Translate

Minggu, 21 Oktober 2018

Keutamaan Sholat Sunah Fajar

Dikisahkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْر

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan satu shalat sunnah pun yang lebih beliau jaga dalam melaksanakannya melebihi dua rakaat shalat sunnah subuh.” (HR Bukhari 1093 dan Muslim 1191)

وَعَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ بِلاَلِ بْنِ رَبَاحٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْهُ، مُؤَذِّنِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم لِيُؤذِنَهُ بِصَلاةِ الغَدَاةِ، فَشَغَلتْ عَائشَةُ بِلاَلاً بِأَمْرٍ سَأَلَتْهُ عَنْهُ حَتىَّ أَصْبَحَ جِدًّا، فَقَامَ بِلاَلٌ فَآذَنَهُ بِالصَّلاةِ، وتَابَعَ أَذَانَهُ، فَلَمْ يَخْرُجْ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم، فَلَمَّا خَرَجَ صَلَّى بِالنَّاسِ، فَأَخبَرهُ أَنَّ عَائِشَةَ شَغَلَتْهُ بِأَمْرٍ سَأَلَتْهُ عَنْهُ حَتَّى أَصْبَحَ جِدّاً، وأَنَّهُ أَبطَأَ عَلَيهِ بالخُرُوْجِ، فَقَال يَعْني النَّبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: “إِنِّي كُنْتُ رَكَعْتُ رَكْعْتَي الفَجْرِ”فقالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّك أَصْبَحْتَ جِدًّا؟ فقالَ:”لَوْ أَصْبَحْتُ أَكْثَرَ مِمَّا أَصبَحْتُ، لرَكعْتُهُمَا، وأَحْسنْتُهُمَا وَأَجمَلْتُهُمَا” رَوَاهُ أَبو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ

Dari Abu ‘Abdillah Bilal bin Rabah, muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukannya waktu shalat Shubuh. Namun, Aisyah membuat sibuk Bilal dengan satu hal yang ia minta sehingga waktu sudah pagi sekali. Lantas Bilal berdiri kemudian memberitahukan waktu shalat dan diikuti oleh azannya. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum keluar. Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, beliau shalat mengimami orang-orang.
Setelah itu, Bilal memberitahukan beliau bahwa ‘Aisyah telah menyibukkan dirinya dengan satu permintaannya sehingga waktu sudah pagi sekali dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lambat untuk keluar. Maka beliau berkata, “Aku melaksanakan shalat dua rakaat qabliyah Shubuh dahulu.” Bilal lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau telah memasuki waktu pagi sekali?” Beliau berkata, “Seandainya aku lebih terlambat dari tadi pagi, aku pasti melaksanakan shalat dua raka’at tersebut, serta menyempurnakan dan membaguskannya.” (HR. Abu Daud, dengan sanad hasan) [HR. Abu Daud, no. 1257. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan :  “Ketika safar (perjalanan), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap rutin dan teratur mengerjakan shalat sunnah fajar dan shalat witir melebihi shalat-shalat sunnah yang lainnya. Tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaksankan shalat sunnah rawatib selain dua shalat tersebut selama beliau melakukan safar" (Zaadul Ma’ad I/315)

Keutamaan shalat sunnah subuh ini secara khusus juga disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Dua rakaat shalat sunnah subuh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.”(HR. Muslim725).

Di antara petunjuk dan contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan dua rakaat shalat sunnah subuh adalah dengan meringankannya dan tidak memanjangkan bacaannya, dengan syarat tidak melanggar perkara-perkara yang wajib dalam shalat. Hal ini ditunjukkan oleh kisah berikut :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ حَفْصَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ الْأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ

Dari Ibnu Umar, beliau berkata bahwasanya Hafshah Ummul Mukminin telah menceritakan kepadanya bahwa dahulu bila muadzin selesai mengumandangkan adzan untuk shalat subuh dan telah masuk waktu subuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat sunnah dua rakaat dengan ringan sebelum melaksanakan shalat subuh.( HR Bukhari 583).

Diceritakan juga oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ

“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat ringan antara adzan dan iqamat shalat subuh.”(HR. Bukhari 584)

‘Asiyah radhiyallahu ‘anha juga menjelaskan ringannya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyatakan :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتىَّ إِنِّيْ لأَقُوْلُ : هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan dua rakaat shalat sunnah subuh sebelum shalat fardhu Subuh, sampai-sampai aku bertanya : “Apakah beliau membaca surat Al-Fatihah?” (HR Bukhari 1095 dan Muslim 1189)

Hadits-hadits di atas menunjukkan sunnahnya memperingan shalat ketika melaksanakan shalat sunnah subuh. Tentu saja yang dimaksud meringankan shalat di sini dengan tetap menjaga rukun dan hal-hal yang wajib dalam shalat.

Imam Nawawi menerangkan bahwa hadits di atas hanya kalimat hiperbolis yaitu cuma menunjukkan ringannya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibanding dengan kebiasaan beliau yang biasa memanjangkan shalat malam dan shalat sunnah lainnya. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 4.

Dan sekali lagi namanya ringan juga bukan berarti tidak membaca surat sama sekali. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Sebagian ulama salaf mengatakan tidak mengapa jika shalat sunnah fajar tersebut dipanjangkan dan menunjukkan tidak haramnya, serta jika diperlama tidak menyelisihi anjuran memperingan shalat sunnah fajar. Namun sebagian orang mengatakan bahwa itu berarti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membaca surat apa pun ketika itu, sebagaimana diceritakan dari Ath Thohawi dan Al Qodhi ‘Iyadh. Ini jelas keliru. Karena dalam hadits shahih telah disebutkan bahwa ketika shalat sunnah qobliyah shubuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al Kafirun dan surat Al Ikhlas setelah membaca Al Fatihah. Begitu pula hadits shahih menyebutkan bahwa tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat atau tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al Qur’an, yaitu yang dimaksud adalah tidak sahnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 3).

Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan bacaan surat yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah membaca surat Al Fatihah dalam shalat sunnah subuh.

Pertama. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam dua rakaat shalat sunnah subuh surat Al Kafirun dan surat Al Ikhlas” (H.R Muslim 726)

Kedua. Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca ayat قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا (Al Baqarah 136) pada rakaat pertama dan membaca آمَنَّا بِاللّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (Ali Imran 52) pada rakaat kedua” ( HR. Muslim 727).

Ketiga.Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca firman Allah قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا (Al Baqarah 136) dan membaca تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ (Ali Imran 64)” (HR. Muslim 728).

Ringkasnya, ada tiga jenis variasai yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat sunnah subuh, yaitu :

1- Rakaat pertama membaca surat Al Kafirun dan rakaat kedua membaca surat Al Ikhlas
2- Rakaat pertama membaca ayat dalam surat Al Baqarah 136:

قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran 52 :

فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللّهِ آمَنَّا بِاللّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

3- Rakaat pertama membaca ayat dalam surat Al Baqarah 136:

ُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran ayat 64 :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Itulah beberapa ayat yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat sunnah subuh. Namun demikian tetap dibolehkan juga membaca selain ayat-ayat di atas.

Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbaring di sisi tubuh sebelah kanan setelah melakukan shalat sunnah subuh. Di antaranya adalah hadits berikut :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا سَكَتَ اْلمُؤَذّنُ بِاْلأُوْلَى مِنْ صَلاَةِ اْلفَجْرِ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ اْلفَجْرِ بَعْدَ اَنْ يَسْتَبِيْنَ اْلفَجْرُ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقّهِ اْلاَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ اْلمُؤَذّنُ لِلإِقَامَةِ

“Apabila muadzdzin telah selesai adzan untuk shalat subuh, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum shalat subuh, beliau shalat ringan lebih dahulu dua rakaat sesudah terbit fajar. Setelah itu beliau berbaring pada sisi lambung kanan beliau sampai datang muadzin kepada beliau untuk iqamat shalat subuh.” (HR Bukhari 590)

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berbaring setelah shalat sunnah subuh dalam beberapa pendapat :

Pertama. Hukumnya sunnah secara mutlak. Ini adalah madzhab Syafi’i dan ini adalah pendapat Abu Musa Al ‘Asy’ari, Rafi’ bin Khadij, Anas bin Malik, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.

Kedua. Hukumnya wajib. Ini adalah madzhab Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah. Bahkan beliau terlalu berlebihan dengan menjadikannya sebagai syarat sahnya shalat subuh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata sebagaimana dinukil Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad I/319 : “ Ini adalah termasuk pendapat yang beliau bersendiri dengan pendapat tersebut dari para imam yang lain”

Ketiga. Hukumnya makruh. Ini merupakan pendapat kebanyakan para salaf. Di anatarnya adalah Ibnu Mas’ud, Ibnul Musayyib, dan An Nakha’i rahimahumullah. Al Qadhi ‘Iyad rahimahullah menyebutkan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Mereka berpendapat bahwa tidak diketahui dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukannya di masjid. Seandainya beliau melakukannya, tentu akan dinukil secara mutawatir.

Keempat. Hukumnya menyelisihi perkara yang lebih utama. Ini adalah pendapat Hasan Al Bashri rahimahullah.

Kelima. Hukumnya mustahab bagi yang melakukan shalat malam agar dapat beristirahat. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul ‘Arabi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah.

Keenam. Berbaring di sini bukanlah inti yang dimaksud, namun yang dimaksud adalah memisahkan antara shalat sunnah dan shalat wajib. Ini diriwayatkan dari pendapat Imam Syafi’i. Namun pendapat ini tertolak, sebab pemisahan waktu memungkinkan dilakukan dengan selain berbaring.

Kesimpulannya, yang lebih tepat dari pendapat-pendapat di atas bahwa berbaring setelah shalat sunnah subuh hukumnya mustahab (dianjurkan), asalkan memenuhi dua syarat :

1- Berbaring dilakukan di rumah dan bukan di masjid karena tidak pernah dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukannya di dalam masjid.
2- Hendaknya orang yang melakukan sunnah ini, mampu untuk bangun kembali dan tidak tertidur sehingga tidak terlambat untuk melakukan shalat subuh secara berjamaah.

Imam Nawawi mengatakan,

أَنَّ سُنَّة الصُّبْح لَا يَدْخُل وَقْتهَا إِلَّا بِطُلُوعِ الْفَجْر ، وَاسْتِحْبَاب تَقْدِيمهَا فِي أَوَّل طُلُوع الْفَجْر وَتَخْفِيفهَا ، وَهُوَ مَذْهَب مَالِك وَالشَّافِعِيّ وَالْجُمْهُور

“Shalat sunnah Shubuh tidaklah dilakukan melainkan setelah terbit fajar Shubuh. Dan dianjurkan shalat tersebut dilakukan di awal waktunya dan dilakukan dengan diperingan. Demikian pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i  dan jumhur (baca: mayoritas) ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 3).

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar