KRT Selomanik pendiri Kadipaten Selomanik. Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Selomanik adalah seorang pejuang kemerdekaan yang gigih menentang penjajahan kolonial Belanda ditanah Jawa. Ketika Pangeran Diponegoro mengobarkan semangat jihad fii sabilillah atau perang suci melawan segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan kolonial Belanda terhadap rakyat pribumi. KRT Selomanik pasang badan untuk membela perjuangan Pangeran Diponegoro dan menghimpun kekuatan dengan mendirikan Kadipaten Selomanik dilereng gunung Lawang, Kaliwira, Wonosobo. Dengan dibantu KPH Balitar I, Ki Ageng Bangkong reang, Tumenggung Udan toko, Ki Ageng Branjang kawat, Ki Ageng Udan mimis, dan Ki Ageng Jebret. KRT Selomanik mengumpulkan para pejuang dan rakyat pribumi untuk dididik menhadi prajurit yang tangguh dalam rangka menentang dan mengusir penjajahan Belanda yang semakin merajalela dan sewenang-wenang.
Dalam setiap oprasi militer terhadap kolonial Belanda, KRT Selomanik juga berkoordinasi dengan KRT Jogonegoro (Selomerto), KRT Wiroduto (Sapuran), KRT Kerto waseso (Kalibawang), KRT Setjonegoro (Ledok) untuk menghimpun kekuatan dan strategi yang jitu. Sehingga tak ayal dengan bergabungnya senopati-senopati Pangeran Diponegoro membuat konsentrasi kolonial Belanda terpecah dan kesulitan untuk menguasai wilayah Wonosobo.
KRT Selomanik dan prajuritnya beberapa kali terlibat peperangan yang sengit dengan penjajah Belanda, seperti peperangan di Kaliwira, Sapuran dan di Kertek untuk menghadang pasukan Belanda yang datang dari Temanggung dan Purworejo.
Perjuangan KRT Selomanik tidak hanya sebatas di kabupaten Wonosobo, Beliau juga menghimpun kekuatan diwilayah Banjar negara untuk menutup akses Belanda melalui sungai Serayu. Petilasanya pun masih terawat dengan baik dipinggir sungai Serayu Banjar negara, tepatnya area Taman Wisata SerulingMas, dan di Desa Karangjoho Purbalingga.
Selain dikenal sebagi seorang pejuang kemerdekaan yang gigih, KRT Selomanik juga dikenal sebagai seorang muslim yang taat dan memiliki suara merdu saat membaca Al Quran. KRT Selomanik berjuang mengusir penjajah hingga akhir hayatnya, Beliau dimakamkan di desa Selomanik, Kecamatan Kaliwira, Kabupaten Wonosobo. Hampir setiap hari ada peziarah yang datang, apalagi pada malam-malam tertentu seperti malam Jum'at kliwon, peziarah yang datang dari berbagai kabupaten dan kota di pulau Jawa.
Letak Makam Tumenggung Selomanik berada di desa Selomanik Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo. Jarak dari ibukota Kecamatan + 6 km. Luas area makam sekitar 500 m2, sementara luas bangunan makam itu sendiri berkisar 120 m2 (lebar 10 m, panjang 12 m).
Tokoh-tokoh yang berada dalam makam itu antara lain:
Ki Ageng Tumenggung Selomanik
Ki Ageng Tumenggung Branjang Kawat
Ki Ageng Tumenggung Udan Mimis
Ki Ageng Tumenggung Udan Toko
Selomanik berasal dari dua suku kata, ‘Selo & Manik’. Selo berati batu dan Manik berarti permata. Dinamakan demikian karena di wilayah Selomanik terdapat dua buah batu besar yang konon menjadi pertapaan seorang tokoh Selomanik yang akan kita bahas di bawah ini. Dalam sejarah berdirinya Kadipaten Wonosobo tertulis bahwa cikal bakal Wonosobo bermula dari suatu kadipaten di wilayah Selomanik.
Tersebutlah KRT Kertowaseso adalah seorang Tumenggung di dalam struktur pemerintahan keraton Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada saat dalam intern keraton terjadi kemelut, akibat kebijakan Patih Danurejo yang lebih condong berpihak pada VOC. KRT Kertowaseso menempatkan dirinya pada kubu Pangeran Diponegoro. Kemelut semakin meruncing dengan kesewenang-wenangan VOC/Belanda mencampuri urusan internal keraton, menghentikan aturan sewa tanah para bangsawan kepada pengusaha-pengusaha Belanda, mengenakan pajak tinggi terhadap rakyat. Dan yang terakhir, pembuatan jalan tembus Magelang – Jogja yang melewati dengan membuat patok-patok di atas tanah makam leluhur tanpa seizin pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pengikutnya yang marah kemudian membongkar patok-patok yang melewati makam leluhur Diponegoro. Akibat tindakan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya maka pada tanggal 20 Juli 1825 pada sore hari, VOC dan bala tentaranya menyerbu puri kediaman pangeran Diponegoro. Maka terjadilah peperangan di komplek sekitar puri, sang pangeran beserta prajurit-prajuritnya yang setia berhasil meloloskan diri dari blokade tentara Belanda. Selanjutnya Diponegoro menyingkir ke arah selatan, dan menyusun kekuatan di sebuah goa, yang kemudian terkenal dengan goa Selarong. Sejak saat itu Pangeran Diponegoro menyerukan perang salib atau perang suci melawan kaum kafir Belanda. Ternyata seruan Diponegoro mendapat simpati dari banyak pangeran, bangsawan maupun rakyat Mataram yang selama ini sudah muak dengan kesewenang-wenangan Belanda yang membuat rakyat menderita. Seruan pangeran Diponegoro ternyata juga mendapat sambutan hangat dari kalangan ulama dan santri. Hal ini bisa mengerti, mengingat pangeran Diponegoro adalah seorang pangeran yang sejak kecil lebih menyukai kehidupan religius di pesantren, daripada hidup mewah didalam keraton. Beranjak dewasa sang pangeran banyak mempunyai sahabat dan menjalin hubungan akrab dengan kalangan ulama-ulama yang tersebar di penjuru Jawa. Jadi wajar jika seruan perang Diponegoro banyak mendapat sambutan hangat dan melibatkan laskar-laskar santri di seluruh wilayah Jawa.
Kembali kepada sejarah KRT Kertowaseso. Setelah menyusun kekuatan dari goa Selarong, Pangeran Diponegoro segera memerintahkan para pengikutnya. Terutama para pangeran yang mahir dan mengetahui ilmu berperang untuk menyebar ke seluruh pedalaman Jawa. Tujuannya untuk menghimpun kekuatan dan menggalang dukungan dari para ulama/kyai di seluruh Jawa agar bangkit melawan kezaliman Belanda. Termasuk diantaranya kepada KRT Kertowaseso. Pangeran Diponegoro memerintahkan kepada KRT. Kertowaseso untuk menghubungi Kyai Alwi atau Ali sahabatnya ( pada waktu itu orang Jawa biasa memanggil dan menyebut dengan “Kyai Ngalwi” ) di sebuah pesantren di lembah yang sekarang di namakan Kaliwiro. Kyai Alwi adalah seorang ulama yang diperkirakan berasal dari daerah Jawa Timur. Beliau datang untuk berdakwah mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di daerah ini. Mengenai latar belakang beliau, tidak bisa diketahui secara pasti. Karena memang sangat sedikit, bahkan bisa di katakan tidak ada sejarah dan literatur yang mengetahui latar belakang sejarah Kyai Alwi. Jejak sejarah Kyai Alwi hanya tertulis sejak beliau berhubungan dengan KRT Kertowaseso.
Dengan segera KRT Kertowaseso berangkat menghubungi Kyai Alwi untuk memberitahukan seruan Diponegoro. Sampai di pesantren Kyai Alwi, KRT Kertowaseso mendapat dukungan untuk menghimpun dan membentuk laskar perang yang terdiri dari santri-santri kyai Alwi. Laskar-laskar ini sangat penting dan strategis untuk menunjang perang semesta rakyat Jawa. Disamping itu KRT Kertowaseso juga menempatkan daerah ini sebagai basis perlawanan dan rute gerilya Diponegoro. Mengingat kondisi alam daerah ini yang berupa hutan lebat berbukit-bukit penuh lembah lembah curam sangat menunjang untuk medan gerilya. Sehingga akhirnya pangeran Diponegoro pun juga bergerilya dan membuat basis perlawanan di daerah ini. Kemudian untuk menjaga eksistensi pesantren dari serbuan tentara Belanda, maka KRT Kertowaseso membuat markas prajurit di sebuah desa di lereng gunung Lawang. Mengingat betapa pentingnya peran pesantren dalam pendidikan agama maupun untuk kaderisasi laskar. Maka perlu dihindarkan keterlibatan pesantren dalam konflik secara langsung, di dalam perang melawan Belanda.
Penempatan markas laskar di desa lereng gunung Lawang ini karena daerah yang strategis yang dipimpin oleh KRT Selomanik (Ki Ageng Selomanik). Dalam perjalanan sejarahnya, kadipaten Selomanik kemudian menjadi cikal bakal berdirinya kadipaten Wonosobo.
Perjuangan Ki Ageng Selomanik Dalam Bergerilya
Ki Ageng Selomanik merupakan seorang panglima dari pasukan Pangeran Diponegoro. Bahkan ketika tersiar kabar bahwa Pangeran Diponegoro telah ditangkap, Ki Ageng Selomanik dipilih untuk melanjutkan tugas yaitu memimpin pasukan demi melanjutkan perjuangan menolak dan melawan para kolonial yang melakukan kekerasan terhadap bangsa Indonesia.
Langkah yang dilakukan oleh Ki Ageng Selomanik adalah dengan melakukan syiar Islam serta menghimpun para pemuda yang dipersiapkan menjadi benteng pertahanan bangsa. Tekanan semakin berat, terlebih lagi saat itu Patih Danureja yang merupakan utusan dari kerajaan Mataram justru memihak pada kompeni Belanda.
Ki Ageng Selomanik terus melakukan perjalanan, para pemuda dari berbagai daerah yang dikunjungi Ki Ageng Selomanik berhasil dipersiapkan, hingga sampai ke wilayah pelosok. Upaya menyiapkan pasukan yang dilakukan oleh Ki Ageng Selomanik ternyata didengar oleh Patih Danureja. Melalui utusan yang dikirimnya, Danureja mengajak Ki Ageng Selomanik untuk berhenti menyiapkan pasukan, namun usaha tersebut ditolak mentah-mentah oleh Ki Ageng Selomanik sehingga pertempuran terjadi, utusan Danureja kocar-kacir dan mundur serta melaporkan kejadian tersebut kepada Patih Danureja.
Penolakan yang dilakukan Ki Ageng Selomanik membuat Danureja marah, bahkan dia seketika itu juga mengirimkan pasukan dengan jumlah yang lebih besar. Lagi-lagi, mereka berhasil ditaklukkan oleh pasukan yang dipimpin secara langsung oleh Ki Ageng Selamanik atau yang lebih tersohor dengan nama Ki Ageng Selomanik. Sadar akan ada serangan yang lebih besar lagi, Ki Ageng Selomanik beserta pengikutnya berpindah lokasi ke Semarang, langkah ini dilakukan untuk mendapatkan bantuan dari Adipati Ranggajaya yang berdasarkan saran dari Pangeran Diponegoro.
Upaya penggabungan pasukan yang dilakukan Ki Ageng Selomanik dengan Pasukan Adipati Ranggajaya didengar oleh Danureja, hingga dia memerintahkan pasukannya untuk melakukan penyerangan ke Ki Ageng Selomanik. Tidak hanya itu, dia juga meminta bala bantuan tentara dari Adipati Jepara untuk ikut melawan pasukan Ki Ageng Selomanik.
Banyaknya pasukan gabungan dari Danureja dan Adipati Jepara membuat pasukan Ranggajaya kocar kacir, bahkan banyak juga pasukan yang gugur, termasuk adipati Ranggajaya. Namun, Ki Ageng Selomanik bersama sebagian pasukan yang tersisa masih bisa menyelamatkan diri dengan meloloskan diri dari sergapan musuh ke arah kaki gunung Merbabu.
Di kaki gunung Merbabu, pasukan Ki Ageng Selomanik bertemu dengan Ki Buyut Merbabu dan menceritakan mengenai peperangan yang baru terjadi. Ki Buyut kemudian langsung memerintahkan Surantani putra sulungnya untuk menemani Ki Ageng Selomanik melanjutkan perjalanan.
Di lain pihak, Adipati Jepara yang mulai frustasi mencari Ki Ageng Selomanik menggelar sebuah sayembara untuk menangkap Ki Wasesa (nama lain Ki Ageng Selomanik) dengan hadiah berupa jabatan sebagai Adipati Semarang. Sayembara ini kemudian didengar oleh Jugil Awar Awar dari Kedu yang pernah melakukan pertapaan di Gunung Sumbing.
Perburuan terhadap Ki Ageng Selomanik terus saja dilakukan, tetapi upaya untuk menangkap dan membinasakan pasukannya selalu gagal. Perjalanan panjangpun terus dilakukan oleh Ki Ageng Selomanik bersama pasukannya. Pasukan ini bahkan juga sempat singgah di berbagai tempat, seperti di kediaman Demang Wonokerto, Demang Singamerta, Singa Taruna (Putra Demang Singa Merta) dan Ki Ageng Parak.
Lagi-lagi tempat persembunyian Ki Ageng Selomanik diketahui Jugil Awar-Awar yang menjadikan mereka berhijrah melewati bukit-bukit dan hutan yang sangat terjal. Untuk menjernihkan hati dan pikirannya, Ki Wasesa berhenti untuk bersemedi di bukit – bukit tersebut. Sampai pada akhirnya tibalah mereka di Desa Kutawaringin. Disana terjadi pertempuran yang dahsyat diantara pasukan Ki Ageng Selomanik melawan pasukan Jugil Awar – Awar. Kedua putra Ki Ageng Selomanik dan Surantani berjuang mati-matian mempertahankan Kutawaringin. Akan tetapi malang tidak dapat ditolak, kedua putra Ki Ageng Selomanik yaitu Raden Waringin dan Raden Anom gugur di medan perang.
Gugurnya kedua putra Ki Ageng Selomanik justru menjadikan Surantani semakin bersemangat untuk menghabisi musuh-musuhnya. Target awal adalah Jugil Awar-awar, karena dialah yang menjadi penyebab gugurnya kedua anak dari Ki Ageng Selomanik. Semangat perjuangan Surantani akhirnya berhasil mengalahkan Jugil Awar – Awar dan bala pasukan yang sengaja dikirim dari Adipati Jepara.
Usai kejadian tersebut, Ki Ageng Selomanik melakukan penyusuran di sungai dan berhenti di satu tempat yang kini menjadi nama Kutabanjarnegara. Di tempat itulah Ki Ageng Selomanik memutuskan untuk melakukan semedi. Saat melakukan persemedian, pasukan Jepara mengepung Kutabanjarnegara, namun saat akan dilakukan penangkapan oleh pasukan Jepara, raga dari Ki Ageng Selomanik menghilang dan yang tersisa hanyalah pakaian serta tongkat yang biasa beliau kenakan dan tempat tersebut dijadikan Makam Ki Ageng Selomanik.
Pengejaran Ki Ageng Selomanik pun terus Dilakukan oleh utusan kaum Belanda dan antek anteknya. Sementara itu Ki Ageng Selomanik meneruskan perjalanan ke arah barat bersama dengan pasukannya yang tersisa menuju sebuah desa yang bernama Karang Joho, untuk menemui sahabatnya Raden Nur Daiman (Cucu Raden Nur Dzaka) pendiri desa Karang Joho.
Didesa Karangjoho KRT Selomanik berkonsolidasi Dengan Raden Nurdaiman dalam strategi perjuangan. Atas permintaan sahabat Beliau, Ki Ageng Selomanik berkenan mengajarkan ilmu keprajuritan dan keagamaan hingga beberapa lamanya.
Tempat yang Beliau tempati untuk mengajarkan ilmu hingga kini di sebut dengan nama Kemantren.
Kemantren dari kalimat (kemulyane manungso kang mesantren) / mulianya manusia karna menjalani hidup di pesantren.
Dan setelah sekian lama Ki Ageng Menetap Di Karangjoho. Beliau berpamitan kepada Raden Nur Daiman untuk segera kembali ke kadipaten meneruskan perjuangan. Kepada sahabatnya Ki Ageng Selomanik memberikan Iket dan Timang untuk di kubur di tempat Kyai Ageng Mujahadah. Agar Alloh senantiasa memberikan berkah keselamatan pada seluruh Warga. Dan sampe kini tempat petilasan Mujahadah Ki Ageng sebagai tempat yang dikeramatkan di Desa Karangjoho Purbalingga.
Dapat disimpulkan bahwa perjuangan Ki Ageng Selomanik adalah seorang pejuang islam yang ikut memperjuangkan bangsa dan mengusir penjajah Belanda, bahkan dia juga harus hidup berpindah-pindah demi mengelabuhi musuh serta melawan kolonial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar