Setiap daerah umumnya memiliki tokoh-tokoh sakti dunia persilatan sendiri-sendiri yang dibanggakan dan dijadikan panutan. Tradisi pencak silat dan ilmu kesaktian diturunkan dari seorang guru kepada murid-muridnya dan dari seseorang kepada anak keturunannya dan sejarah silat dikisahkan melalui legenda yang beragam dari satu daerah ke daerah lain.
Pelajaran dan pelatihan ilmu silat bukan hanya berkenaan dengan kesaktian kanuragan, tetapi juga menjadi bagian dari latihan spiritual. Walaupun gerakan dan jurus-jurusnya banyak mengenai upaya membela diri dan menyerang lawan, tetapi ada filosofi yang ditanamkan di dalamnya, yaitu tujuan utama belajar ilmu beladiri bukanlah untuk menjadi jagoan atau untuk kesombongan, tetapi yang utama adalah untuk keselamatan, keselamatan diri sendiri dan juga keselamatan orang lain, dan untuk membela kebenaran. Tujuan belajar ilmu beladiri adalah sebagai sarana membentuk pribadi ksatria yang membela kebenaran dan keadilan dan membela yang tertindas.
Bentuk pencak silat dan alirannya pun berbeda-beda. Sebagian aliran pencak silat merupakan ajaran asli dari keilmuan seseorang. Sebagian lain adalah pencak silat yang keilmuannya berasal dari aliran-aliran pencak silat lain yang dikombinasikan menjadi satu aliran baru yang lebih lengkap unsur-unsur keilmuannya. Banyak juga aliran pencak silat yang jurus-jurus gerakan silatnya asalnya berasal dari pengamatan atas perkelahian binatang liar. Gerakan harimau si raja hutan yang kuat dan ganas, dan gerakan kera yang lincah dan cerdik, adalah contoh-contoh yang banyak ditiru dalam gerakan silat. Dan sudah umum bahwa dalam banyak perguruan silat juga diajarkan penggunaan tenaga supernatural.
Tenaga supernatural dalam bentuk yang disebut tenaga dalam, kekuatan batin atau ilmu gaib dan ilmu khodam merupakan sarana pengganda kekuatan atau untuk tameng pertahanan. Gerakan-gerakan yang dilambari tenaga supernatural akan menjadi berlipat-lipat kekuatannya dibandingkan yang hanya menggunakan tenaga fisik saja. Aspek olah raga, aspek bela diri dan aspek tenaga supernatural inilah yang telah membuat pencak silat menjadi terkenal di belahan bumi lain seperti di Eropa, Kanada dan Australia.
Pencak silat hanyalah sebagian saja dari ilmu kesaktian kanuragan. Pada jaman dulu, di tanah Jawa, termasuk Jawa Barat, ilmu kesaktian kanuragan, selain pencak silat dan tenaga dalam, banyak diisi dengan kekuatan dari olah kebatinan yang merupakan inti utama kekuatan kesaktian seseorang. Sekarang, olah kebatinan ini sudah banyak digantikan dengan ilmu gaib dan ilmu khodam, dengan mantra dan khodam, yang walaupun lebih mudah mempelajarinya dan langsung bisa dilihat hasilnya, tetapi telah banyak mengurangi perkembangan dan budaya pencak silat itu sendiri dan keasliannya, bahkan tanpa belajar pencak silat pun pada masa sekarang ini orang dapat menjadi sakti hanya dengan khodam dan mengamalkan ilmu gaib.
Perkembangan ilmu pencak silat selalu disertai dengan kemahiran penggunaan senjata, baik dalam pelajaran menggunakannya ataupun dalam pelajaran bagaimana menangkalnya. Pada jaman dulu, di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) sesakti apapun seseorang dan apapun senjata yang dipakainya, biasanya ia juga memiliki sebuah keris sebagai senjata pamungkas andalannya. Walaupun senjata andalannya sehari-hari adalah golok, pedang, cemeti, tombak, dsb, tetap saja keris menjadi senjata pamungkasnya. Hal ini didasari pada keyakinan tentang adanya kegaiban di dalam keris. Dalam kesaktian mereka sendiri sudah terkandung kekuatan gaib dalam penggunaannya. Dan pamungkas penggunaan sebuah keris, selain untuk menambah kekuatan gaib kesaktiannya, juga untuk menandingi / melunturkan kesaktian gaib lawannya.
Tingkat kesaktian seseorang sangat menentukan derajat dan kepangkatannya di dalam struktur kerajaan. Kepala-kepala prajurit, senopati, dsb, biasanya dipilih dari orang-orang yang memiliki kesaktian lebih untuk memimpin prajurit di bawahnya. Kesaktian itu bersifat pribadi dan didapat dari pelajaran tersendiri di luar kerajaan. Di dalam kerajaan sendiri ada pelatihan pencak silat, olah fisik dan olah batin tersendiri yang resmi dan dikhususkan untuk digunakan oleh para prajurit dalam peperangan, terutama untuk keseragaman formasi keprajuritan dan membina ketangguhan prajurit. Kekuatan ketentaraan suatu kerajaan, bukan hanya ditentukan oleh bentuk persenjataan dan banyaknya jumlah tentara, tetapi juga ketangguhan personel tentaranya dalam menghadapi pasukan lawan.
Pada jaman Kerajaan Singasari tentaranya mendapatkan pelajaran resmi gerakan silat keprajuritan berdasarkan gerakan banteng dan singa (macan).
Di dalam formasi bertahan atau menyerang, barisan bertahan dan menyerang seperti banteng ini, selain menguatkan fisik tentaranya, juga sangat ampuh untuk mengalahkan pasukan lawan. Dengan bersenjatakan tombak panjang atau pedang, dengan barisan yang rapat, bergerak menyerang maju menusuk dan mundur bertahan dan gerakan kaki menghentak ke tanah, teratur saling mengisi dan melindungi, gerakan barisan banteng ini membuat tentara lawan terdesak dan tak ada ruang untuk menghindar, kecuali mundur atau kabur. Dan sifat-sifat banteng ketaton (banteng marah karena terluka) siap diterapkan dalam kondisi terdesak, tidak ada kata kalah dan mundur, lebih baik sama-sama hancur.
Gerakan bertahan dan menyerang seperti macan atau singa diterapkan pada saat formasinya terpecah. Para prajurit membentuk kelompok-kelompok kecil seperti sekawanan singa dan melakukan serangan seperti macan mengamuk.
Dengan banyaknya jumlah tentara dan baiknya ketangguhan keprajuritannya itu kerajaan Singasari berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menundukkan banyak kerajaan di banyak wilayah, bahkan sampai ke negeri seberang, negeri Laos, Vietnam dan Kamboja.
Kerajaan-kerajaan di Jawa Barat tidaklah sama seperti kerajaan-kerajaan di Jawa (Jawa Timur / Jawa Tengah). Di Jawa Barat kerajaannya kecil-kecil, raja-rajanya lebih menyerupai penguasa-penguasa kecil di wilayah yang juga kecil-kecil. Mereka juga tidak memiliki banyak pasukan tentara, sehingga banyak mengandalkan bantuan dari rakyat sipil dan para pendekar di wilayahnya. Para pembesar dan raja-rajanya lebih cenderung berperilaku sebagai orang-orang sakti yang sering turun gunung dan malang melintang di dunia persilatan. Karena itulah ilmu ketentaraan dan kerajaan-kerajaannya tidak berkembang seperti di Jawa.
Pada jaman tersebut di tanah Pasundan juga berkembang banyak pencak silat harimau / macan. Walaupun pencak silat macan ini tidak diajarkan sebagai pelajaran resmi keprajuritan, tetapi para prajurit, senopati, dsb, biasanya menguasai pencak silat macan sebagai ilmu kesaktian pribadi dari pelajaran kesaktiannya di luar kerajaan (ada pencak silat macan yang khusus diajarkan untuk anggota keluarga kerajaan, tapi tidak diajarkan resmi untuk keprajuritan). Di dalam peperangan, ilmu macan pasundan juga dipraktekkan dengan ilmu auman macan yang terdengar seperti auman seribu macan yang berfungsi meruntuhkan mental prajurit lawan, berbeda dengan di Jawa yang dalam ketentaraannya hanya menggunakan formasi dan gerakan-gerakan macan saja (walaupun ada juga ilmu auman macan seperti ilmu senggoro macan, tetapi tidak resmi digunakan di dalam ketentaraan).
Ilmu-ilmu kesaktian tersebut, selain dilambari dengan kekuatan kebatinan, juga tidak terlepas dari pengetahuan manusia tentang roh-roh halus yang banyak digunakan sebagai khodam ilmu, pengganda kekuatan kesaktian seseorang. Bahkan di Jawa Barat ada beberapa kerajaan yang memiliki pasukan gaib berupa roh-roh gaib berwujud harimau. Yang terkenal contohnya adalah pasukan harimau gaib di bawah pemerintahan Prabu Siliwangi Pajajaran. Juga kerajaan Galuh, yang secara fisik sudah tidak ada, tetapi kerajaannya secara gaib masih ada, di kota Cianjur, yang di sekitar bangunan gaib kerajaan itu berdiri ada juga bangunan-bangunan lain yang adalah tempat tinggal raja, keluarga dan para putri raja, prajurit dan senopati yang tetap setia kepada rajanya, beserta sukma-sukma mereka disana. Kerajaan gaib itu dijaga oleh sembilan sosok gaib harimau sakti yang masing-masing lebih tinggi berlipat-lipat kekuatannya daripada Ibu Ratu Kidul.
Sedangkan perkembangan ilmu kesaktian di kerajaan Singasari dan Majapahit, selain dipengaruhi filosofi singa dan banteng, kemudian juga dilhami oleh sosok gaib berwujud naga. Yang terutama berpengaruh adalah sifat dari sosok gaib naga yang gagah dan berwatak penguasa. Simbol-simbol naga kemudian banyak digunakan sebagai simbol penguasa, simbol raja dan keluarga raja atau para bangsawan, selain simbol naga yang sudah diwujudkan pada bentuk-bentuk dapur keris jawa.
Isi gaib (khodam) keris kesaktian pun berkembang juga. Yang semula sosok wujud gaibnya banyak berwujud seperti manusia laki-laki tinggi besar / ksatria atau bapak-bapak berjubah, kemudian sosok wujud gaibnya juga banyak yang berwujud naga. Contohnya yang terkenal adalah sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang sosok gaibnya berwujud ular naga besar berwarna hitam. Yang satu sisiknya berkilau kekuningan seperti emas, yang satunya lagi memiliki perlik-perlik berkilau seperti intan melingkari tubuhnya. Masing-masing naga tersebut panjangnya + 5 km dan bermahkota. Atau juga keris Kyai Sengkelat yang isi gaib kerisnya berwujud ular naga berwarna hitam gelap. Walaupun ukuran tubuhnya hanya 1/4 naga-naga tersebut di atas dan tidak bermahkota, tetapi lebih sakti daripada mereka semua.
Ilmu kesaktian ketentaraan kerajaan mencapai puncak kejayaannya pada jaman Mahapatih Gajah Mada. Ilmu ketentaraan disempurnakan dengan keilmuan yang didasarkan pada sifat-sifat gajah, yaitu besar, kuat dan menakutkan (ilmu ini juga diilhami oleh sifat-sifat kesaktian dewa pujaan mereka, yaitu Ganesha). Dalam penggunaannya, dengan dilambari kekuatan batin, mereka membuat suara riuh sambil menjejakkan kaki di tanah, membuat bumi seolah-olah bergetar membuat mental pasukan lawan runtuh. Bahkan dalam kasus perang Bubat dengan keilmuan ketentaraan ini pasukan Majapahit tidak hanya dapat melunturkan pengaruh auman ilmu macan Pasundan, tetapi juga merontokkan mental lawan dan membuat barisannya kacau balau.
Dengan kekuatan ketentaraannya ini kerajaan Majapahit berjaya mengembangkan kekuasaannya bukan hanya ke utara seperti pada jaman Singasari, tetapi juga ke timur dan ke barat. Bahkan Sriwijaya, kerajaan terkuat di wilayah barat pun ditaklukannya. Dan pasukan Mongol yang beberapa kali datang untuk menaklukkan Majapahit pun berhasil dipukul mundur.
Dengan filosofi gajah itu Gajah Mada membuat fisik pasukannya menjadi kuat dan bermental baja. Gajah Mada sendiri, selain berkekuatan besar dan berkesaktian tinggi, juga menggunakan untuk dirinya sendiri suatu ilmu yang disebut ilmu gajah atau ilmu lembu sekilan, suatu ilmu untuk mengeraskan dan memadatkan kekuatan kebatinan dan tenaga dalam sampai menjadi setebal sejengkal dari kulit tubuhnya, menjadikannya berkekuatan besar dan berkesaktian tinggi, menjadikan tubuhnya kuat dan tak dapat dikenai pukulan dan segala macam senjata tajam dan pusaka, dan tak mempan sihir dan santet, suatu jenis ilmu kesaktian kekuatan dan pertahanan tubuh yang didasari filosofi gajah yang berbadan besar, kuat dan berkulit tebal, yang menjadikannya jaya tak terkalahkan dalam setiap pertarungan.
Rahasia kejayaan Singasari dan Majapahit ini bukan hanya terletak pada kekuatan ketentaraan dan kesaktian personilnya, tetapi juga kesaktian dari keris-keris sakti mereka. Dalam menaklukkan kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri jajahannya, mereka bukan hanya harus berhadapan dengan bala tentara kerajaan lawan, tetapi juga rakyat sipil, tokoh-tokoh sakti dunia persilatan dan para pendekar setempat yang terpanggil untuk membela negerinya. Mereka juga bukan hanya menghadapi kekuatan kesaktian kanuragan manusia, tetapi juga segala macam ilmu kesaktian gaib, serangan gaib sihir, santet, teluh, tenung dan berbagai macam keilmuan gaib musuh-musuhnya. Dan untuk mengalahkan segala bentuk kesaktian itu, selain digunakan kekuatan kesaktian dari diri mereka sendiri, juga digunakan kesaktian dari keris-keris mereka.
Penggunaan keris pun berbeda dengan jaman sekarang. Pada jaman dulu, selain tata cara penggunaan keris yang mirip dalam pencak silat keris pada jaman sekarang, penggunaan keris yang utama adalah menyatukan kesaktian gaib keris dengan kesaktian kebatinan pemakainya, sehingga kesaktian kebatinan pemakainya dan kegaiban dari kerisnya menjadi satu kesatuan, orangnya menjadi satu pribadi baru yang kesaktiannya berlipat ganda dibandingkan sebelumnya yang tanpa keris. Senjata di tangan bisa apa saja, tetapi penyatuannya dengan gaib kerisnya menjadikan kekuatan kesaktiannya berlipat ganda, walaupun kerisnya belum dikeluarkan dari sarungnya. Kerisnya hanya akan dikeluarkan bila senjata lain sudah tidak berguna untuk mengalahkan lawannya. Bahkan seorang senopati perang, dalam penyatuan kekuatan kebatinan dengan kerisnya, bila hanya menghadapi lawan setingkat prajurit saja, kekuatan kebatinan lewat sorot matanya saja sudah cukup untuk membuat lawannya terkapar, apalagi bila ia menghunus kerisnya dan ujung kerisnya diarahkan kepada seseorang !
Penggunaan keris tidak hanya sebagai senjata tusuk dan sabet yang di dalamnya mengandung kekuatan gaib, tetapi yang terutama adalah memanfaatkan kekuatan gaib keris itu sendiri untuk disatukan dengan kesaktian kebatinan seseorang. Dalam hal ini penyatuan kesaktian seseorang dengan kekuatan gaib keris mirip dengan penggunaan ilmu khodam, sehingga dengan tambahan kekuatan khodamnya kekuatan ilmu seseorang menjadi berlipat-lipat kekuatannya. Dan dalam pemanfaatan kekuatan gaib keris ini tidak dibutuhkan amalan-amalan seperti dalam ilmu gaib atau ilmu khodam. Yang dibutuhkan hanyalah sugesti kesatuan batin si pengguna dengan kerisnya. Sehingga, walaupun kerisnya belum dikeluarkan dari sarungnya, kekuatan gaibnya sudah bekerja mengikuti sugesti pemakainya.
Itulah sebabnya sebuah keris bersifat khusus bagi pemakainya, karena benar-benar dibutuhkan kecocokkan antara karakter keris dengan kebatinan penggunanya supaya dapat tercapai kesatuan yang sempurna antara seseorang dengan kerisnya. Seseorang yang sudah sedemikian itu tidak membutuhkan banyak keris yang sakti-sakti, ia hanya butuh satu keris saja, dan itu adalah yang sejalan saja dengan kebatinannya. Dan jelas sekali perbedaan penggunaan keris dengan penggunaan jimat yang hanya dipakai atau dibawa-bawa sebagai pelindung atau penambah kekuatan, tetapi tidak ada penyatuan batin pemakainya dengan kegaibannya, sehingga kemampuan orangnya tidak menjadi berlipat-lipat.
Pada jaman sekarang orang sudah tidak lagi berbicara tentang kesaktian, tetapi hanya sebatas ilmu bela diri. Penggunaan keris pun hanya sebatas teknik pencak silat keris saja yang memperlakukan keris mirip dengan memperlakukan pisau belati atau senjata tusuk lainnya. Tidak lagi ada penyatuan kesaktian keris dengan kesaktian batin penggunanya. Pada jaman sekarang, kesaktian batin sudah jauh berkurang. Yang sekarang banyak dipelajari orang adalah kekuatan tenaga dalam dan ilmu gaib / khodam, yang sebenarnya hanyalah sebagian saja dari kesaktian kebatinan.
Setelah berakhirnya kerajaan Majapahit, digantikan kerajaan baru di Demak dan berkembangnya agama Islam di Jawa, kekuatan dan keilmuan keterampilan ketentaraan kerajaan sudah jauh berkurang, sehingga kerajaan-kerajaan berikutnya sesudah Majapahit tidak ada lagi yang mampu menjadi kerajaan besar yang didukung dengan tentara yang kuat.
Keinginan memiliki keris pun sudah banyak berkurang karena alasan haram dan halal dalam agama dan orang lebih suka memiliki jimat batu dan rajahan beraksara Arab. Keris-keris baru yang diciptakan pun sudah jauh berkurang kadar kesaktiannya. Orang mulai mengenakan keris di depan badan dan memperlakukan keris mirip seperti memperlakukan benda jimat, hanya diharapkan tuahnya saja, dan dimanfaatkan untuk keperluan ilmu gaib / perdukunan, hanya dimanfaatkan kekuatan khodamnya saja, tidak ada lagi penyatuan kebatinan orangnya dengan kerisnya.
Kesaktian kebatinan pun sudah berkurang jauh kadarnya, karena orang mulai beralih pada kesaktian ilmu gaib dan ilmu khodam. Ilmu gaib dan ilmu khodam sebenarnya juga bagian dari ilmu kesaktian kebatinan, tetapi orang mulai meninggalkan olah batin dan lebih menekuni ilmu gaib dan ilmu khodam saja, sehingga kadar kesaktian dari menekuni ilmu gaib dan ilmu khodam itu masih jauh di bawah kesaktian keilmuan kebatinan.
Itulah sebabnya orang-orang lama kerajaan Majapahit keberadaannya sangat mengkhawatirkan hati orang-orang kerajaan Demak, karena mereka memiliki kesaktian yang sangat tinggi yang jika dikehendaki mereka akan dapat dengan cukup mudah melenyapkan kerajaan Demak dan tentaranya, walaupun Demak didukung oleh para Wali sekalipun. Itulah sebabnya dalam upaya melenyapkan orang-orang itu, para Wali menggunakan alasan bukan alasan tuduhan pemberontakan atau apapun yang mungkin menimbulkan perlawanan dan peperangan yang akan merugikan Demak, tetapi alasan kesesatan ajaran agama Syech Siti Jenar yang mereka anut.
Kerajaan Singasari dan Majapahit tidak memperlakukan negeri-negeri taklukkan mereka sebagai negeri jajahan yang dijarah kekayaan dan hasil buminya, tetapi mereka memperlakukan dengan baik negeri dan kerajaan-kerajaan bawahannya. Bahkan mereka mengenalkan peradaban dan ilmu-ilmu pemerintahan, dan membantu membangun pelabuhan-pelabuhan, selain supaya kapal-kapal mereka lebih mudah untuk merapat, juga membantu negeri tersebut untuk dikunjungi kapal-kapal dagang dari negeri lain untuk melakukan perdagangan, sehingga negeri-negeri tersebut kemudian menjadi lebih maju peradabannya dan lebih makmur.
Kerajaan Singasari dan Majapahit telah juga berjasa mempopulerkan keris ke negeri-negeri taklukkan mereka dan juga sering meninggalkan keris-keris bagus sebagai cinderamata kepada kerajaan-kerajaan taklukkannya. Keris-keris itu dimaksudkan selain sebagai tanda persaudaraan / kekeluargaan, juga sebagai tanda / lambang bahwa kebesaran kerajaan Singasari / Majapahit ada di atas kerajaan itu, karena keris adalah juga lambang pemerintahan Jawa. Juga pernah sepasang keris cantik dipersembahkan sebagai mas kawin untuk 2 orang putri kerajaan negeri Campa yang dipinang untuk dibawa ke tanah Jawa.
Mereka juga menyebarkan empu-empu keris, tetapi keris-keris yang dibuat di luar Jawa Timur dan Jawa Tengah dan yang dibuat sesudah jaman Majapahit, kualitas tempaan logamnya, dan tingkat kesaktian dan kegaibannya tidak dapat dibandingkan dengan keris-keris Singasari dan Majapahit, hanya bentuknya saja yang indah mengikuti selera dan seni masyarakat setempat. Sampai sekarang keris-keris Singasari dan Majapahit masih banyak dicari orang, bukan hanya karena kualitas tempaan logamnya yang baik sekali, tetapi juga kesaktian gaibnya yang tinggi, sehingga para kolektor keris berani membayar mahal untuk keris-keris tersebut.
Sepertinya ini seperti Definisi Ajian Macan Putih yang menjadi Isu dan Opini semata. Bukan ajian yang sungguhnya
BalasHapus