Susuhunan Pakubuwono VI dikalangan kraton dikenal sebagai Pangeran Bangun Tapa. Nama ini diberikan karena beliau memiliki kebiasaan bertapa, sebagai bagian dari kehidupan beliau sepanjang masa yang dihabiskan untuk perjuangan.
PB VI diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional RI berdasarkan Keppres No. 294 tanggal 17 Nopember 1964.
Sejauh mana perjuangan beliau sehingga pantas diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan? Sedangkan Sultan Agung yang perjuangannya melawan Kompeni lebih dikenal dalam sejarah, baru diangkat sebagai pahlawan pada tanggal 3 Nop 1975.
Ada sebagian kalangan bahkan pengamat sejarah yang meragukan pengangkatan PB VI sebagai Pahlawan. Jawabnya adalah maklum, mengingat sejarah beliau tidak banyak diketahui, baik oleh masyarakat umum maupun didalam penulisan sejarah. Sedang sejarah yang ada lebih banyak ditulis oleh Belanda sendiri dengan menutupi peran PB VI. Mengapa Bung Karno, seorang pemimpin yang cerdas dan berwawasan spiritual, tidak ragu ragu menetapkan PB VI sebagai Pahlawan Nasional, bahkan pengangkatannya mendahului para Pejuang lain yang lebih dikenal? Akan terjawab dalam ungkapan ini.
Pengungkapan sejarah ini diperoleh dari dokumen dan berbagai sumber dari Kraton Surakarta yang tidak disebar luaskan. Kami mengungkap sejarah perjuangan PB VI berkenaan dengan tugas yang diberikan oleh Ketua Paguyuban Darah Dalem Pahlawan Nasional PB VI pada tahun 1997 di Solo. Ringkasan dari sejarah ini dibacakan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 Nop 1997 di Istana Makam Raja Raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta.
JIWA PEJUANG PB VI
Lahir dengan nama BRM Sapardan, pada hari Minggu Wage, 26 April 1807 Jam 2 pagi. Beliau adalah Putra Susuhunan Pakubuwono V dan Cucu Susuhunan Pakubuwono IV. Sejak kanak kanak dekat dengan Eyang Dalem, bahkan menjadi kekudangan (harapan) agar kelak kemudian menjadi raja yang mampu mengusir penjajah dan mengembalikan kejayaan seperti dizamannya Leluhur Dalem Sultan Agung dan Hayam Wuruk. Kekudangan mana oleh Ayahanda PB V diwujudkan dalam Tembang Dandanggula :
Putraningsun pindha Dewa Aji
Hayu kadya suryaning wanodya
Deg pidegsa sarirane
Nora prakosa bakuh
Kukuh jinongko hing Ywang Widhi
Wanter santoseng karsa
Suthik yen winengku
Kuwasane liya bangsa
Budidaya mardikane bu Pretiwi
Tekeng tembe wurinya
Tembang ini melukiskan sosok beliau yang luhur dan wajah yang bersinar lembut dengan perawakan yang tidak berlebihan. Ditegaskan bahwa sudah menjadi Kehendak Tuhan, beliau ini memiliki pendirian yang kuat tidak sudi dikuasai dan diatur oleh Asing, berusaha memerdekakan tanah air hingga akhir hayat.
Nata Luhur Gung Hamrabawani
Bawana Pinaku Bangun tapa
Pandhita Ratu harane
Rukun sawiji tuhu
Tetaline kawula Gusti
Ginugah hing Ywang Suksma
Humangsah prang kalbu
Buntu tatap titimasa
Mapan pinastheng weca jumeneng dadi
Tetunggulipun Bangsa
Sebagai raja agung berwibawa yang berjiwa pandita pertapa, atas dasar kebaktian kepada Tuhan, beliau mengupayakan kerukunan bawahan dan atasan untuk menghadapi perang lahir dan batin. Meskipun belum saatnya dapat memerdekakan bangsa, namun yang pasti menjadi pahlawan perintis kemerdekaan.
Sedemikian dekatnya dengan Eyang Dalem sehingga ditahun 1817 ketika masih berumur 10 thn, beliau diajak menyaksikan dimana Pakubuwono IV berperang melawan Kolonial Inggris. Jadi sejak kecil didalam jiwa beliau sudah tertanam perjuangan melawan penjajah. Beliau naik tahta pada usia 16 tahun yaitu pada Hari Senen Kliwon, 15 September 1823. Setelah menjadi raja, sudah pasti apabila beliau mewujudkan dalam tindakan nyata untuk melanjutkan perjuangan Eyang Dalem mengusir penjajah. Namun ada yang tidak puas dengan pengangkatan ini yaitu Pangeran Purbaya, adik dari Pakubuwono V, yang merasa dirinya lebih pantas menggantikan kakaknya dengan alasan keponakannya masih terlalu muda. Inilah dalam kisah nanti yang menjadi penghambat dalam perjuangan.
PENGATUR STRATEGI DIBELAKANG LAYAR.
Ketika itu sebagai seorang raja, yang dikenal sebagai pemuda yang memiliki semangat tinggi, beliau merasa gerak geriknya sangat diawasi oleh Belanda, sehingga tidak bebas secara terang-terangan mengadakan perlawanan. Apalagi masih terikat perjanjian dengan Belanda yang dikenakan terhadap Raja Raja sebelumnya pada tahun 1677 (bersamaan dengan pengangkatan Amangkurat II), 1702 (pengangkatan Amangkurat III) dan 1749 (pengangkatan PB III). Dimana setiap pengangkatan, raja dikenakan kewajiban memberi bantuan sejumlah prajurit untuk keamanan dan pertahanan. Perjanjian mana berlaku juga terhadap Susuhunan PB VI.
Oleh karena keterbatasan gerak gerik, beliau mengadakan kerjasama dengan Pangeran Diponegoro yang kebetulan memiliki cita-cita yang sama untuk mengusir penjajah.
Kedua Patriot ini, berpuluh kali mengadakan pertemuan rahasia di Krendhawahana dekat kaliyoso, Guwaraja lereng Merapi Merbabu, Mancingan pesisir laut selatan, Padhepokan Jatirogo daerah Tanjung Anom, dll tempat rahasia dalam rangka mempersiapkan peperangan melawan penjajah. Ditempat tempat rahasia inilah beliau menyempatkan bertapa (samadhi), menapak tilas kebiasaan para raja leluhur, yaitu Sanjaya, Syailendra, Smaratunggadewa, Rakai Pikatan, Erlangga, Jayabaya, Kertanegara, Wijaya, Hayam Wuruk dan Brawijaya.
Inti hasil pertemuan adalah :
1. Pertempuran akan dikobarkan serentak keseluruh pelosok tanah Jawa.
2. Pangeran Diponegoro menghimpun kekuatan dari para petani, santri dan segenap lapisan rakyat.
3. Susuhunan Pakubuwono VI mengerahkan bantuan berupa dana, logistik, senjata, prajurit dan segala kebutuhan peperangan, baik secara langsung maupun melalui perintah kepada para Bupati didaerah.
4. Agar peran Susuhunan Pakubuwono VI tidak diketahui oleh Belanda, perang akan dipimpin dan dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro. Kyai Maja selain penasehat merangkap sebagai penghubung antara PB VI dengan P. Diponegoro.
5. Susuhunan Pakubuwono VI tetap berada dibelakang layar, sampai pada saatnya tampil kedepan apabila konsolidasi seluruh rakyat di P. Jawa telah terbentuk cukup kuat dan ketika Belanda mulai melemah.
PERANG DIKOBARKAN
Perang berkobar dengan dahsyat mulai tahun 1825 meliputi seluruh Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Sedemikian dahsyatnya, bangsa bangsa di Eropa waktu itu menyebut dengan Perang Jawa. Sedangkan peristiwa diterjangnya makam keluarga Pangeran Diponegoro oleh pembangunan jalan untuk kepentingan Belanda, sebagaimana ditulis didalam sejarah versi Belanda, sebenarnya hanyalah momentum untuk mengawali peperangan. Jadi peperangan sudah dipersiapkan jauh sebelumnya secara matang oleh Susuhunan bersama Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu gebrakan ini betul betul Belanda menjadi kewalahan dan kalang kabut.
Dapat dipahami bahwa tidak mungkin perang dapat berkobar demikian dahsyat tanpa dukungan material, personal dan spiritual dari Pakubuwono VI. Dukungan material dapat dikatakan tak terbatas mengingat Kasunanan adalah penerus dan pewaris dari kerajaan kerajaan sebelumnya mulai dari Mataram Kuno, Kahuripan, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram hingga Surakarta Hadiningrat. Tidak hanya makanan, perbekalan dan anggaran, juga termasuk pusaka yang diantaranya adalah :
· Keris Kyai Sandhanglawe dan panah Kyai Sirwinda kepada Pamanda Pangeran Diponegoro. Dalam menggunakan panah supaya disertai sasanti : “Sirwinda, nuncepa gundhule Walanda kang hambeg kumawasa”! Dengan menggunakan keris inilah P. Diponegoro berhasil membunuh banyak serdadu Belanda dipalagan dekat Ringin Growong (Kulon Progo), sehingga tempat ini dianggap keramat oleh musuh dengan sebutan “jalma mara jalma mati”.
· Pelana kuda Kyai Sabuk Angin lengkap dengan cemethinya kepada Raden Ajeng Sumirah. Pusaka ini dapat memacu kuda dengan kecepatan luar biasa sambil menerjang musuh dan memusnahkannya dengan cemethi. Termasuk kapten Van der Bos menjadi korban ketika berhadapan dengan R.A Sumirah (Nyai Kedung Gubah).
· Keris Kyai Umbul Ludiro kepada Tumenggung Prawirodigdoyo, yang mampu menjadikan banjir darah (umbul ludiro) dikalangan pasukan Belanda.
· Dll pusaka yang diberikan PB VI kepada Senthot Ali Basah Prawirodirdjo, Imam Rozi (Kyai Singomanjat), RA Kusriyah (Nyai Ageng Serang) dan masih banyak lagi.
Dukungan SDM (Sumber Daya Manusia) yang memperkokoh pasukan, tidak ternilai harganya, diantaranya adalah:
· Para Pinisepuh Pengageng kraton nan sakti mandraguna, seperti Kanjeng Gusti Pangeran Mangkubumi dan Kanjeng Gusti Pangeran Kusumoyudo.
· Para Kyai selain Kyai Mojo dan Kyai Singomanjat, yang berperan sebagai Manggala Setya, seperti Kyai Singoprono, Kyai Singolodra, Kyai Singomangkoro, Kyai Singomanggolo, Kyai Singodipo dan Kyai Singoyudo. Barisan Kyai yang memperoleh sebutan Singo tsb diatas, menggambarkan singa hutan yang tidak takut siapapun dan siap bertarung sampai ajal, artinya musuh harus menemui ajal, kalau tidak dirinya siap menerima ajal.
· Pasukan Manggala Putri yang pantang mundur, selain RA Sumirah dan RA Kusriyah yang telah disebut diatas, mereka adalah RA Akhadiyah, RA Marwiyah, RA Marfungah dan RA Murtinah. Fakta membuktikan bahwa sesungguhnya barisan Raden Ajeng inilah yang menginspirasi RA Kartini dalam perjuangan melawan Belanda melalui tulisan. Justru inilah yang membuat Kartini bersedih mengapa tidak sempat berjuang fisik seperti Eyang Eyang Putrinya tersebut diatas.
Jelas bahwa tidak mungkin sedemikian besar dukungan SDM disegala lapisan rakyat hingga ditingkat Elite, apabila tidak atas prakarsa PB VI sebagai penguasa waktu itu. Dari barisan ini saja sudah tidak meragukan lagi kesungguhan PB VI dalam upaya mengusir penjajah sampai rela mengerahkan kerabat putri putri cantik menyabung nyawa dimedan laga!
Dukungan spiritual tidak dapat diabaikan karena beliau sering bertapa memohon kepada Tuhan untuk keberhasilan perjuangan, sesuai dengan sebutan beliau yaitu Pangeran Bangun Tapa.
Belanda telah menghabiskan lebih dari 20 juta gulden dan 15.000 tentaranya tewas, yang membuat pemerintahannya didaratan Eropa mengalami kegoncangan. Sehingga Belgia dan Luxemburg sebagai negara bagian, mengambil kesempatan mengadakan pergolakan, hingga pada akhirnya pada tahun 1830 memisahkan diri dari Belanda hingga sekarang. Untuk memberikan gambaran berapa banyak 20 juta gulden itu, dapat dibandingkan dengan biaya sebesar 50.000 gulden untuk memugar candi Borobudur waktu itu. Jadi 20 juta gulden setara dengan biaya untuk memugar 400 candi Borobudur! Dari jumlah tentara Belanda yang tewas, 15.000 jiwa adalah angka yang berlipat kali lebih besar dari keberhasilan para pejuang yang lain dalam menewaskan tentara musuh. Perlawanan Sultan Agung sekalipun, tidak sampai menewaskan sepuluh ribu tentara Belanda.
Ketika itu kemenangan mutlak sudah diambang pintu. Belanda sudah bangkrut, sedang perbekalan dan tambahan kekuatan dari Susuhunan Pakubuwono VI untuk pasukan Pangeran Diponegoro mengalir terus, tersebar keseluruh medan laga di daerah Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Banyumas, Pati hingga ke Jawa Timur. Niscaya apabila tidak ada pengkhianatan, beberapa tahun kemudian Belanda sudah terusir dari bumi Pertiwi.
PENGKHIANATAN
Namun tibalah saatnya kelicikan Belanda berulang kembali, seperti didalam perang ini. Diawali dengan persekongkolan Belanda dengan Pangeran Purboyo (Adik PB V) yang memang ingin menjadi raja. Dia ini yang membocorkan strategi dan rahasia perjuangan serta menghambat segala bantuan dari kraton untuk pasukan dimedan laga. Sejak itu perlawanan mulai melemah karena dengan cepat Belanda dapat mengetahui rahasia dan posisi kekuatan perjuangan, untuk satu persatu ditaklukkan dan dipecah belah. Pada gilirannya, lagi lagi berdasarkan informasi dari Pangeran Purboyo, malam hari tanggal 5 Juni tahun 1830 terjadi penangkapan terhadap Pakubuwono VI di Mancingan (pantai selatan Yogjakarta) sepulang dari upaya untuk membangkitkan kembali perlawanan pasca tertangkapnya Pangeran Diponegoro tanggal 28 Maret 1830. Beliau dengan masih berpakaian penyamaran sebagai orang biasa langsung dibawa ke Semarang dan selanjutnya diasingkan ke Pulau Ambon.
Sebagai hadiah dari Belanda, Pangeran Purboyo dinobatkan menjadi Paku Buwono VII.
BERJUANG TERUS DIPENGASINGAN.
Yang mengagumkan ternyata perjuangan PB VI tidak terhenti di tempat pengasingan sebagaimana raja raja yang telah dibuang. Beliau masih terus mengobarkan perlawanan dengan berjuang ditempat yang baru bersama-sama dengan para pemimpin pergerakan di Maluku, antara lain dengan Sultan Ternate dan keturunan Sultan Palembang, Mahmud Badarudin, yang dibuang di Ternate serta dibantu masyarakat Cina yang dikoordinir nona Kowi (anak Kwe Ko Hing).
Ternyata tempat pengasingan Pangeran Diponegoro di Manado masih terlalu dekat dengan Ambon, terbukti dengan masih berlanjutnya komunikasi perjuangan diantara keduanya. Pada akhirnya Pangeran Diponegoro dijauhkan lagi dari Ambon dengan ditempatkan di Ujung Pandang.
Perlawanan yang tiada hentinya dari Pakubuwono VI membuat Belanda kehilangan akal, sehingga pada hari Minggu Pon tgl 3 Juni thn 1849 Susuhunan ditangkap kembali oleh Belanda. Selanjutnya esok harinya jam 5.00 pagi, dieksekusi oleh regu tembak dengan senjata Baker Rifle yang diantaranya mengenai kepala tepat diatas mata kanan. Ini adalah pelanggaran Undang Undang Internasional yang disusun di Geneva yang berlaku terhadap Negara Penjajah yang isinya tidak boleh membunuh Raja di wilayah Jajahan. Mengapa Belanda nekat dan berani membunuh seorang Raja, sebagai bukti betapa heroiknya Susuhunan tetap mengadakan perlawanan meskipun sudah ditempat pembuangan. Tidak seperti raja raja lain (yang juga diangkat sebagai pahlawan) ditempat pembuangan tinggal duduk manis disediakan segala kesenangannya oleh Belanda asal tidak lagi melakukan perlawanan. Sebenarnya diawal masa pembuangan Susuhunan dicukupi juga segala kesenangannya oleh Belanda, tetapi sama sekali tidak terpengaruh. Kalau hanya untuk kesenangan duniawi dan apabila beliau berkenan, sudah dari dulu diawal menjadi raja apapun bisa didapatkan, tidak perlu mengadakan perlawanan terhadap penjajah.
Dikisahkan waktu itu diawal pengasingan, Susuhunan merasakan keprihatinan yang amat mendalam akibat kegagalan perjuangan. Sebagai Seorang Pertapa Agung, kesedihannya menimbulkan iklim buruk bagi serdadu Belanda sehingga yang sakit pagi sore mati, yang sakit sore pagi mati. Penguasa Belanda menjadi kalang kabut berupaya agar Susuhunan tidak berlanjut dalam kesedihan, mencari informasi ke Keraton Surakarta apa yang paling disukainya. Maka diserahkanlah kesukaannya yaitu kuda balap hitam besar dan sangat tampan yang didatangkan dari Eropa. Tetapi balik kuda inilah yang dipakai Susuhunan untuk melanjutkan perjuangan.
Sebagai layaknya raja raja besar yang gemar bertapa dan memiliki kawaskitan, maka sebelum dieksekusi beliau sempat berwasiat mengingatkan Belanda : "Hai penjajah, tunggulah 100 tahun lagi, tiga generasi dari keturunanku akan mengusir kalian dari Bumi Pertiwi ini".
Terbuktilah wasiat ini dengan tersingkirnya secara de facto seluruh aparat Belanda pada tahun 1949, melalui perjuangan bangsa Indonesia dibawah pimpinan Ir.Soekarno.
SEKILAS ANALISA
Sungguh luar biasa keluhuran jiwa Susuhunan PB VI sebagai patriot bangsa yang dengan ikhlas mengorbankan jiwa raganya. Beliau berjuang betul betul tanpa pamrih; tidak juga meskipun hanya untuk mendapatkan nama baik. Terbukti dengan posisinya yang secara diam diam berada dibelakang layar, sehingga tidak perlu diketahui oleh siapapun.
Pada zaman itu, para raja dan para petinggi Kraton banyak yang mencari selamat dan mengikut arus saja. Terbukti dengan Kesultanan Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman, membantu Belanda dengan mengerahkan laskar memerangi para Pejuang.
Sesungguhnyalah yang disebut dengan pasukan Pangeran Diponegoro, sebenarnya adalah prajurit Kasunanan juga yang tersebar dipulau Jawa, yang diperintah oleh rajanya melalui para Bupati, untuk membantu Pangeran Diponegoro. Inilah yang membuat Belanda keheran heranan, mengapa pasukan Pangeran Diponegoro demikian banyak, kuat dan tidak ada habis habisnya. Sedang pasukan Belanda sudah habis habisan, termasuk kehabisan akal sehat, hingga akhirnya bersekongkol dengan Pangeran Purbaya. Alasan ini jugalah kenapa pihak kraton tidak mengungkap sejarah yang sebenarnya terjadi, karena pengkhianatan itu dilakukan oleh kerabat kraton itu sendiri yang kemudian mendapat hadiah dari Belanda menjadi Pakubuwono VII. Sesungguhnya para pembesar kraton sama sekali tidak menyukai pengkhianatan ini, terbukti dengan setelah meninggalnya PB VII tidak digantikan oleh keturunannya, tetapi oleh adiknya sebagai PB VIII, sambil menunggu putra PB VI, BRM Duksino, yang oleh para Sesepuh Kerabat kraton disepakati menjadi PB IX. Dari sini tiba saatnya untuk mengungkap hubungannya dengan Bung Karno.
Pengganti PB IX adalah putra mahkota yang bernama BRM Kusno (lahir tgl 29 Nop 1866), yang kemudian menjadi PB X (th 1893 s/d 1939) dengan sebutan Pangeran Hingkang Wicaksana. Sebagai cucunda PB VI, faham akan perjuangan Eyang Dalem yang dengan gigih melawan penjajah, yang harus dilanjutkan oleh 3 generasi sesudah PB VI, yang berarti putra PB X lah yang akan mengusir Belanda di tahun 1949, yaitu 100 th kemudian setelah PB VI dieksekusi di th 1849. Sebagai Raja yang bijaksana dan uninga sakdurunge winarah (mengetahui sebelum terjadi), pada th 1900 beliau mengambil garwa ampil seorang putri raja Buleleng yang bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Ketika mulai mengandung Sang Isteri diungsikan ke Surabaya dengan didampingi seorang abdi dalem kinasih yang bernama R. Sukemi, yang selanjutnya menggantikan sebagai suami Sang Putri. PB X mengetahui bahwa putranya yang akan lahir inilah yang dimaksud oleh Eyang Dalem PB VI yang akan memerdekakan bangsa ditahun 1949. Tetapi perjuangannya tidak lagi didalam keraton, karena disamping kehidupan kraton sangat diawasi Belanda, juga karena perlawanan terhadap Belanda sejak era pasca PB VI sudah berada diluar keraton. Betul, ditahun 1901 lahirlah Sang Fajar yang diberi nama Kusno, yaitu nama beliau sendiri ketika masih muda. Kusno inilah setelah dewasa bernama Sukarno yang berhasil memimpin bangsa ini mengusir Belanda secara de facto ditahun 1949, yang kemudian menjadi presiden RI yang pertama.
Meskipun Susuhunan Pakubuwono VI bersama Pangeran Diponegoro belum berhasil mengusir penjajah, namun pengaruh Perang Jawa telah berhasil menginspirasi dan membangkitkan semangat perjuangan masyarakat luas di luar kraton pada generasi berikutnya. Dapat dikatakan sebagai peralihan dari perjuangan yang bersumber pada Kraton (Raja) ke perjuangan yang bersumber pada Tanah Air (Rakyat). Diawali dengan tumbuhnya pergerakan pergerakan sosial, seperti gerakan melawan pemerasan, gerakan ratu adil, gerakan samin dan gerakan keagamaan, hingga pergerakan pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Indische Partij dan Gerakan Pemuda. Semuanya merupakan bibit perjuangan yang dilahirkan oleh kepeloporan Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro, hingga berhasil mengusir penjajah Belanda secara keseluruhan tepat pada tahun 1949.
PELAJARAN BAGI PEMIMPIN.
Marilah kita memetik pelajaran dari kebesaran jiwa PB VI dibandingkan dengan kepemimpinan nasional dijaman yang tinggal mengenyam nikmatnya kemerdekaan ini.
Dalam situasi negara RI yang sedang dilanda segala macam kebohongan, kebodohan dan bencana ini, apakah para pemimpin kita sudah berperan sebagai pejuang bangsa ataukah hanya membohongi agar diri sendiri dan keluarganya tetap tetap selamat dan berkemewahan?
Bandingkan dengan PB VI selaku pejuang bangsa, beliau bahkan meninggalkan kehidupan yang serba mewah untuk bersusah payah memperjuangkan kesejahteraan rakyat dari belenggu penjajahan. PB VI merasakan bagaimana mungkin mewujudkan kerajaan yang besar seperti dijaman Mataram Kuno dan Majapahit, sementara Belanda mengeduk terus kekayaan sumber daya alam bumi Pertiwi ini, maka harus disingkirkan.
Dijaman sekarang ini penghambat kejayaan bangsa, yang juga harus disingkirkan adalah sifat kepemimpinan nasional yang tidak memperjuangkan kemandirian dan kebesaran bangsa, yang pada gilirannya hanya mencari persenan atau komisi dengan mengikuti saja kemauan Negara maju seperti Amerika Serikat dan Cina, yang nota bene menyodorkan diri untuk dijajah meskipun secara halus dan tersamar. Akibat dari kepemimpinan yang diliputi kebodohan ini, menimbulkan penderitaan pada rakyat kecil, karena selalu dikalahkan dan tertindas. Disisi lain martabat bangsa merosot jauh, karena rakyat kecil yang tidak berdaya itu rela jadi budak di negara negara Arab, padahal bangsa Arab adalah kelompok bangsa yang peradabannya jauh dibawah bangsa Indonesia dimasa lalu.
Pada dasarnya setiap pemimpin bangsa ini apabila mau mendengarkan suara hati nuraninya, akan faham betul bagaimana seharusnya menjalankan pemerintahan ini secara benar, jujur dan adil. Masalahnya karena masih terlalu besar pamrihnya terhadap tahta dan harta, yang menyebabkan tertutupnya hati nurani tersebut. Dia berarti bukan pejuang bangsa, karena salah satu ciri yang menonjol sebagai pejuang sejati adalah tanpa pamrih; sebagai yang telah dicontohkan oleh Susuhunan Paku Buwono VI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar