Translate

Selasa, 03 April 2018

Aceh Tamiang Saksi Bisu Kegagalan Ekspansi Gajah Mada

Aceh Tamiang, adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Aceh, berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara. Saat ini, wilayah Kabupaten Aceh Tamiang terdiri atas 12 kecamatan, 27 kemukiman, dan 213 kampung. Salah satu kecamatan yang ada di Aceh Tamiang bernama Kecamatan Manyak Payed. Kecamatan ini, sudah ada sejak Aceh Tamiang sebelum dimekarkan, yakni pada saat masih  bergabung dengan Kabupaten Aceh Timur.

Nama Manyak Payed diyakini oleh banyak pihak berasal dari istilah Majapahit.  Sebuah kerajaan Hindu Nusantara pada abad XIII, dengan rajanya yang terkenal yakni Hayam Wuruk, serta Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya. Kemiripan istilah  Manyak Payed dengan Majapahit  ini menimbulkan pertanyaan, apakah benar Manyak Payed yang saat ini berada di Kabupaten Aceh Tamiang, berasal dari istilah Majapahit serta bagaimana keterkaitannya? Tujuan penulisan ini adalah langkah awal untuk dilakukannya riset lanjutan yang lebih mendalam tentang jejak sejarah Majapahit di Kabupaten Aceh Tamiang.

Tamiang Dalam Kitab Negarakretagama
Kitab Negarakretagama (Negara dengan Tradisi/Agama yang Suci), yang dikarang oleh Mpu Prapanca, bercerita tentang keadaan di Keraton Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, yang bertahta dari tahun 1350-1389. Mpu Prapanca menulis kitab ini pada bulan Aswina tahun Saka 1287 atau sekitar bulan September-Oktober 1365. Dalam kitab ini, nama Tamihang atau Tamiang merupakan salah satu negara Melayu yang berada di pulau Sumatera yang berhasil ditaklukkan oleh Majapahit.

Pada bab ke XIII Kitab Negarakretagama, disebutkan secara terperinci pulau negara bawahan, terdiri dari Melayu, Jambi, Pelembang, Toba dan Darmasraya. Ikut juga disebut Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe (Pulau Kampai), Haru (Aru), Mandailing, Tamihang (Tamiang), Perlak (Peureulak), Padang Lwas (Padang Lawas), Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus. Itulah negara-negara Melayu yang berhasil ditaklukan. Termasuk juga negara-negara di Pulau Tanjungnegara (Kalimantan) yaitu: Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, dan Lawai.

Ekspansi Majapahit ke Tamiang
Asal muasal nama Manyak Payed, menurut H.M. Zaenuddin, terjadi pada saat bala tentara kerajaan Majapahit, yang dipimpin langsung oleh Maha Patih Gajah Mada, menyerang kerajaan Samudra Pasai sekitar tahun 1350. Akan tetapi, karena kuatnya pertahanan Samudra Pasai, pasukan Gajah Mada hanya bisa sampai disekitar wilayah Sungai Raya, Peureulak dan Kuala Jambo Aye. Akhirnya Gajah Mada-pun memutuskan untuk menaklukan Tamiang saja, karena didapat informasi ada seorang puteri raja nan cantik jelita, bernama Puteri Meuga Gema. Tujuan ekspansi yang semula akan mengalahkan Samudra Pasai, beralih kepada misi penaklukan Tamiang serta mempersembahkan Puteri Meuga Gema kepada Prabu Hayam Wuruk.

Berdasarkan perintah Gajah Mada tersebut, maka pasukan Majapahit mencari lokasi di wilayah kerajaan Tamiang untuk mendirikan benteng pertahanan. Didapatilah suatu tempat yang strategis, letaknya dekat dengan kota Langsa sekarang. Lokasi pasukan Majapahit mendirikan benteng tersebut, oleh masyarakat Aceh disebut dengan kata Manyak Pahit, yang berasal dari Majapahit. Kemudian, Manyak Pahit berubah menjadi Manyak Payed.  

Pasukan Majapahit yang menduduki wilayah Manyak Payed ini, juga menjalankan kegiatan administrasi pemerintahan. Beberapa wilayah di sekitarnya seperti Telaga Tujoh (Langsa), Aramiah, Bayeun, Damar Tutong, dipaksa untuk mengakui kedaulatan kerajaan Majapahit yang berada di Manyak Payed. Akan tetapi, karena perbedaan adat serta agama, maka pemerintahan Majapahit di Manyak Payed ini tidak berjalan dengan lancar.

Kembali kepada tujuan penaklukan Tamiang, diperintahkan oleh Gajah Mada utusannya untuk pergi ke pusat pemerintahan kerajaan Tamiang di Benua untuk menghadap Raja Muda Sedia dengan misi utama meminang Puteri Meuga Gema, mengakui kedaulatan Majapahit, sehingga upeti yang selama ini dibayar kepada kerajaan Samudra Pasai beralih kepada Majapahit. Misi terakhir adalah mengajak Raja Tamiang dan rakyatnya, untuk bersama-sama dengan pasukan Majapahit menyerang kerajaan Samudra Pasai.

Permintaan utusan Gajah Mada ditolak oleh Raja Muda Sedia. Penolakan tersebut disikapi oleh Gajah Mada dengan menyerang kerajaan Tamiang melalui jalur laut, yakni melalui Kuala Besar disekitar daerah Kuala Peunaga. Penyerangan via laut ini mendapat perlawanan dari angkatan laut Tamiang yang dipimpin Laksamana Kantommana dibantu oleh tentara kerajaan Samudra Pasai. Hasilnya, pasukan Majapahit berhasil dipukul mundur, dan mendirikan pertahanan di sebuah pulau dekat Teluk Aru (Pangkalan Susu). Kuala dimana kekalahan pasukan Majapahit, dinamakan Kuala Raja Ulak. Ulak artinya “termundur”.

Kegagalan gelombang pertama penyerangan Gajah Mada kepada Raja Muda Sedia, tidak menjadikan pasukan Majapahit patah semangat. Mengingat pertahanan laut kerajaan Tamiang cukup kuat disekitar Kuala Peunaga, maka serangan kedua dilancarkan dari alur-alur kecil yang sangat banyak di hilir Tamiang. Guna memuluskan pergerakan kapal perang pasukan Majapahit, salah satu alur sungai dilakukan pengerukan untuk membuat terusan, hingga menembus ke Sungai Tamiang. Sungai atau terusan yang dibuat tersebut, dinamakan Sungai Kurok Dalam. Kurok dalam bahasa Indonesia artinya keruk atau menggali.

Akibat dibuatnya terusan tersebut, maka kapal-kapal pasukan Majapahit bisa mendekati pusat kerajaan Tamiang di Benua, tanpa diketahui oleh angkatan laut Tamiang. Pasukan Gajahmada-pun didaratkan di suatu wilayah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Benua, yakni di Kampung Durian, guna melakukan penyerbuan dari darat. Pada saat perjalanan darat menuju Benua, sebuah pembuluh madat (alat hisap candu) yang terbuat dari emas milik Gajah Mada jatuh disebuah lubuk dan tidak dapat ditemukan kembali. Lubuk tempat jatuhnya suling candu Gajah Mada itu, kemudian dinamakan Lubuk Bukit Batu Suling. Sekarang, nama wilayah tersebut dikenal dengan nama Bukit Suling.

Kemudian terjadilah peperangan antara pasukan Majapahit dengan pasukan kerajaan Tamiang di sekitar kampung Landoh (Landok). Panglima Perang Lela dari Landoh memberikan laporan kepada Raja Muda Sedia bahwa pasukan Majapahit sudah mendekati pusat kerajaan Tamiang di Benua. Laporan Panglima Perang Lela ini diacuhkan oleh Raja Muda Sedia dengan logika pertahanan angkatan laut Tamiang yang sangat kuat di Kuala Tamiang, dan sebelumnya telah terbukti berhasil memukul mundur armada Majapahit.

Akhirnya istana kerajaan Tamiang di Benua dikuasai oleh pasukan Majapahit. Raja Muda Sedia dan permaisuri, berhasil meninggalkan istana sebelum diduduki oleh pasukan Majapahit. Akan tetapi, Putri Meuga Gema yang bersembunyi didalam sebuah Gong Besar Kerajaan berhasil ditawan oleh prajurit Gajah Mada. Setelah membakar istana, dibawalah Puteri Meuga Gema kedalam kapal Majapahit. Dalam perjalanan, kapal yang membawa Puteri Meuga Gema mengalamai kerusakan (kebocoran), sehingga terpaksa berlabuh untuk diperbaiki. Peristiwa ini diketahui oleh tunangan Puteri Meuga Gema yang berasal dari kerajaan Samudra Pasai, bernama Tuanku Ampon Tuan. Dengan siasatnya, Putri Meuga Gema berhasil dibebaskan dari tawanan Majapahit. Lokasi tempat pembebasan Puteri Meuga Geuma tersebut, saat ini dinamakan Bukit Selamat.

Peristiwa Serang Jaya
Informasi pendudukan pasukan Majapahit di istana Benua, akhirnya sampai juga kepada Laksamana Kantommana. Pada saat kapal Majapahit kembali ke hilir melewati Sungai Kurok, dengan maksud mencari Puteri Meuga Gema, diserang oleh angkatan laut Tamiang dan sekutunya. Sisa kapal perang Majapahit yang selamat mundur ke laut. Akan tetapi, oleh pasukan Kantommana dan Samudra Pasai, tidak dilakukan pengejaran dengan asumsi kapal perang Majapahit akan terus pulang ke Jawa.

Ternyata, di darat masih ada sepasukan Majapahit yang terus melakukan pencarian akan keberadaan Puteri Meuga Gema. Pasukan ini terus bergerak, dan membuat pertahanan didaerah yang berbukit-bukit didekat Bukit Selamat. Sisa pasukan Tamiang yang ada di darat, oleh Mangkuraja Muda Sidinu, dikonsolidasikan untuk melakukan pengejaran tehadap pasukan Majapahit yang ada di darat. Terjadilah pertempuran antara pasukan Tamiang dengan Majapahit, yang kemudian tempat tersebut dinamakan Serang Jaya, yang artinya arena pertempuran yang mendapat kemenangan yang jaya. Serang Jaya bermakna juga, bahwa pasukan Tamiang yang dibantu Samudra Pasai dan Aru tidak mundur, sehingga menimbulkan korban nyawa di kedua belah pihak.

Peristiwa Serang Jaya ini bukan akhir dari peperangan Tamiang dan Majapahit. Karena, masih ada sisa pasukan Majapahit di markas yang didirikan untuk mencari Puteri Meuga Geuma. Demikian juga dengan tentara laut Majapahit, masih ada yang bertahan di sekitar Teluk Aru. Sisa pasukan Majapahit ini, kemudian mendapat bantuan pasukan yang datang dari Majapahit setelah peristiwa Serang Jaya. Pasukan Majapahit yang baru tiba ini, dibekali dengan peralatan lengkap, dan prajuritnya memakai baju besi. Tempat pendaratan pasukan Majapahit kemudian dinamakan Pangkalan Susor. Pangkalan Susor ini, kemudian disebut sebagai Pangkalan Susu saja. Pasukan Majapahit yang berbaju besi ini kemudian mendirikan tempat pertahanan di suatu daerah, yang kemudian dinamakan Besitang, yang artinya “tentara berbaju besi datang”.

Akhir Ekspansi Majapahit di Tamiang
Pasukan bantuan Majapahit yang didaratkan di Pangkalan Susu dan membuat pertahanan di Besitang, akhirnya diserang oleh tentara gabungan Tamiang, Samudra Pasai dan Aru. Pertempuran ini mengakibatkan korban jiwa yang tak sedikit. Konon korban yang tewas tidak lagi dikuburkan, hanya ditumpuk atau dikumpulkan saja seperti tumpukan kayu. Daerah atau lokasi  timbunan atau tumpukan korban tewas ini kemudian dinamakan “Kampung Tambun Tulang”, yang artinya  bekas timbunan tulang orang yang tewas pada zaman dahulu.

Melihat perlawanan yang diberikan oleh kerajaan Tamiang dengan sekutunya, ditambah kegagalan pemerintahan Majapahit di Manyak Payed yang tidak mendapat dukungan dari wilayah sekitarnya, Gajah Mada-pun memutuskan untuk kembali pulang ke Majapahit di Jawa. Guna menutupi kegagalan ekspedisi penaklukan Samudra dan Tamiang, cukup banyak dibawa orang-orang yang berasal dari Tamiang dan Aru sebagai tawanan. Satu ciri khas yang menandakan keturunan Tamiang yang ada di Jawa, yaitu jika ada perempuan Jawa yang memakai Subang (kerabu) Tanduk yang bertahtakan perak, emas atau batu mulia, diyakini sebagai keturunan Tamiang yang ada di Jawa, yang dulunya ditawan oleh pasukan Gajah Mada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar