Pangeran Ngabdulrakim memiliki nama asli Bandoro Raden Mas Suratman yang kemudian bergelar Pangeran Haryo Hadisuryo II. Nama Ngabdulrakim sendiri merupakan nama julukan Beliau di luar kraton dimana ia yang sangat cinta terhadap Tauhid memilih setia mendampingi kakaknya yakni Pangeran Dipanegara dalam perang melawan Belanda (Perang Jawa: 1825 – 1830).
Silsilah
Pangeran Ngabdulrakim adalah putra ke 13 dari Sultan Hamengku Buwana III yang lahir dari garwa Raden Ayu Puspitasari. Adapun Pangeran Diponegoro (kakaknya) adalah putra pertama, lahir dari garwa Raden Ayu Mangkorowati.
Pangeran Ngabdulrakim adalah sosok ulama sufi sejati. Beliau mendalami Ilmu Tasawuf. Awalnya Pangeran Ngabdulrakim belajar ilmu agama dari Syekh Taptadjani (salah satu putra dari Kyai Nur Iman Mlangi/ KGP. Hangabehi Sandiyo Kartasura) kemudian ia menjadi murid dari Pangeran Dipanegara. Pangeran Ngabdulrakim sangat loyal terhadap Pangeran Dipanegara. Dalam Babad Dipanegara disebutkan bahwa menjelang akhir masa perang Dipanegara (setelah kematian Pangeran Bei) Pangeran Dipanegara hanya membawa serta Pangeran Ngabdulrakim, Basah Mertanegara, Gamel (perawat kuda) dan punakawannya. Sementara para senopati lainnya diperintahkan untuk melakukan perlawanan di wilayahnya masing – masing. Dalam sebuah peristiwa pertempuran di Genthan (kini masuk wilayah Mirit), Pangeran Ngabdulrakim marah besar terhadap Pangeran Suryawijaya sebab dalam posisi dikepung dari berbagai arah ia memberikan kuda biasa kepada Pangeran Dipanegara. Akhirnya Pangeran Ngabdulrakim mengganti kuda tersebut dengan Kyai Wijayacapa (sering disebut pula Jayacapa) dan Pangeran Dipanegara berhasil lolos dari pengepungan dan hujan peluru. Sejak saat itulah Kyai Wijayacapa selalu menjadi kuda tunggangan Beliau.
Kematian Pangeran Bei (Paman Pangeran Dipanegara) mengakibatkan kesedihan mendalam bagi Pangeran Dipanegara hingga Beliau menenangkan diri di Crema (Roma Kamal). Pangeran Dipanegara berdiam di tepi sungai selama satu malam. Beliau selalu didampingi oleh Pangeran Ngabdulrakim bersama Punakawan dan Gamel.
Manunggaling Kawula Gusti
Pada suatu ketika Pangeran Dipanegara sakit keras dan beristirahat di Lubang Handong (timur gunung Paras – Prau Karangsambung).
Melihat Pangeran Dipanegara dalam keadaan sakit keras, Pangeran Ngabdulrakim menangis sehingga Pangeran Dipanegara bertanya. Barikut intisari dialog Pangeran Dipanegara dan Pangeran Ngabdulrakim yang tertulis dalam Babad Dipanegara.
Dipanegara : “Hey Engkau Dul Rakhim, mengapa engkau menangis? Apakah engkau teringat akan anak dan isterimu? Jika itu yang membuatmu menangis, aku iklaskan engkau pulang ke Mataram.”
Ngabdulrakim: “Sama sekali tidak ada pemikiran seperti itu, meninggalkan Paduka untuk kembali ke anak isteri. Hati saya berkata, jika penjajah yang dilaknat Allah tidak bisa sirna dari Tanah Jawa, saya ingin mati dijalan Allah (Sabilullah). Inilah yang kemudian menyebabkan saya menangis.”
Pangeran Dipanegara kemudian tersenyum dan berkata: “ Hey Ngabdul Rakim, Itulah tanda bahwa engkau telah mencapai Hati Salim, sehingga engkau menangis tanpa sebab yang pasti.”
Ngabdulrakim: “Barangkali benar apa yang dikatakan Paduka, sayang sekali belum selesai saya berguru dan memahami apa yang diajarkan oleh Syekh Taptadjani, Beliau telah berpulang ke Rahmatullah”.
Dipanegara: “Hey Ngabdul Rakim, berguru apa engkau kepada Syekh Taptadjani?”
Ngabdulrakim: “Bab Dzikir dan dua tekad yakni Kadariyah dan Kajabariyah, batin saya belum mampu memahami….dst.
Bagaimana Jalan menuju Tauhid Sejati?”.
Dipanegara tersenyum dan berkata: “Hey Ngabdul Rakim, pertanyaanmu itu adalah pemahaman ilmu yang sangat dalam dan sangat langka/sulit didapat.”
Ngabdulrakim: “Dua ilmu itulah yang saya belum paham. Terkait Kesejatian Hakikat Ketuhanan dan hubungannya dengan manunggaling Kawula lan Gusti.”
Dipanegara: “Begini menurutku…. Dst”.
Kemudian Pangeran Dipanegara mengajarkan kesejatian Ilmu Tauhid dan terkait Manunggaling Kawula Gusti hingga Pangeran Ngabdulrakim mengerti sebenar – benarnya. Hal itu menjadikannya semakin patuh terhadap Pangeran Dipanegara sebagai seorang Ratu dan Guru.
Kepatuhan terhadap Guru Ilmu
Setelah sembuh dari sakit, Pangeran Dipanegara bersama Pangeran Ngabdulrakim, Punokawan dan Gamel yang bernama Sumatali pindah ke hutan Bulugantung/Bulubandung (wilayah Peniron) untuk menyusul Basah Mertanegara. Belanda yang mengetahui keberadaan Pangeran Dipanegara di Bulugantung kemudian melakukan pengepungan hingga Pangeran dan pengikutnya terpaksa masuk kedalam hutan. Medan yang sulit membuat Pangeran dan pengikutnya meninggalkan Jayacapa dan Jayakresna (kuda tunggangan Beliau). Pangeran Dipanegara duduk diam di dalam jurang menghindari tembakan – tembakan dari Belanda. Jamenggala diberi tugas sebagai penunjuk jalan. Setelah Belanda meninggalkan Hutan Bulugantung, Pangeran Dipanegara menanyakan nasib Jayacapa dan Jayakresna kepada Gamel Sumatali. Mendengar keterangan dari Sumatali bahwa kedua kuda Beliau ditangkap Belanda, Pangeran pun berniat kembali merebut Jayacapa. Pangeran Ngabdulrakim kemudian menenangkan hati Sang Ratu dan memberi saran untuk mengurungkan niatnya, sebab resikonya sangat berbahaya, selain itu Belanda juga sudah menjauh. Jika memang masih ditakdirkan bertemu, Jayacapa pasti akan bisa bersama Pangeran kembali. Akhirnya Pangeran Dipanegara menerima saran Pangeran Ngabdulrakim.
Di Bulugantung Pangeran Dipanegara beristirahat semalam di dalam gua karena sakit Beliau kambuh. Keesokan harinya rombongan tersebut pun kembali Ke Lubang Handong di pegunungan Panjer dilayani oleh Kalapaking sebagai pemimpin wilayah Panjer. Di Lubang Handong Pangeran kembali sakit parah. Sementara itu Basah Mertanegara dan Basah Gandakusuma beserta seluruh kekuatan bersiaga di Plumbon. Dalam keadaan sakit tersebut Pangeran Dipanegara memerintahkan kepada Pangeran Ngabdulrakim untuk menuju ke Kejawang. Pada awalnya Pangeran Ngabdulrakim menolak karena telah berjanji untuk selalu bersama Pangeran Dipanegara sampai kapan pun. Namun Pangeran Dipanegara kemudian mengingatkan Pangeran Ngabdulrakim bahwa sebagai murid harus patuh pada perintah Guru. Akhirnya setelah mendapatkan penjelasan tentang hakikat hidup dan mati sebagai Insan Kamil serta Manunggaling Kawula Gusti sebagai Kepasrahan Kepada Allah dan keyakinan akan syafaat Nabi, Pangeran Ngabdulrakim pun berangkat menuju Kejawang.
Memegang Tauhid Hingga Akhir Hayat
Di Kejawang, Ngabdul Latif dan Tuan Samparwadi sebagai utusan dari Kolonel Cleerens dan Jenderal De Kock menemui Pangeran Ngabdulrakim yang telah berada di Pondok/Pesanggrahan Pangeran Dipanegara yang saat itu tengah berkumpul bersama Mas Pengulu, Mertanegara dan putra Dipanegara. Utusan tersebut menyarankan agar mereka menyerah. Pangeran Ngabdulrakim pun menolak dengan tegas. Setelah kedua utusan itu pergi, Pangeran Ngabdulrakim bertanya kepada Mertanegara, “Dimanakah letak Gunung Sirnabaya?”. Dijawab sambil menetes air mata oleh Martanegara “Gunung di Utara itulah Sirnabaya.” Pangeran Ngabdulrakim kemudian berkata “Engkau sebagai saksi, jika memang aku tak bisa lagi bertemu dengan Pangeran Dipanegara, aku ikhlas kembali pada Allah Robbil’alamin di sana.” Mereka pun berangkat menuju ke Sirnabaya.
Selang tiga hari keberadaan mereka di Sirnabaya, Belanda menyusul dengan pasukan yang sangat banyak. Mas Pengulu dan putra Pangeran Dipanegara mengajak Pangeran Ngabdulrakim untuk menyingkir dari Sirnabaya. Namun Beliau menolak. Beliau kemudian duduk bersila, memejamkan matanya, menjalankan ilmu yang telah diwasiatkan oleh Sang Guru yang sangat dipatuhinya, masuk ke dalam “Ilmu Lahut”. Dzikir Kamil Mukamil dilakukan. Takdir Yang Maha Kuasa, Pangeran Ngabdulrakim Meragasukma, kembali ke Rahmatullah. Raganya jatuh ke tanah, semua tekejut. Mas Pengulu kemudian mengetahui bahwa Pangeran Ngabdulrakim telah meninggal dunia berpulang ke alam suci.
Belum sempat diurus jenazahnya, Belanda naik semakin dekat. Mas Pengulu dan semua yang ada di Sirnabaya kemudian menyingkir, meninggalkan jasad Pangeran Ngabdulrakim. Keajaiban Tuhan “Al Wahidulqohhar” ada seekor harimau besar yang merajai hutan tersebut datang beserta kawan – kawannya menunggui jenazah Pangeran Ngabdulrakim sehingga Belanda pun mundur. Raja hutan tersebut bernama Tepeng. Ia bersama kawan – kawannya yang sama besarnya menunggu jasad Pangeran Ngabdulrakim selama 3 hari. Setelah 3 hari, Mas Pengulu dan pengikutnya kembali ke Sirnabaya. Tepeng dan kawan – kawan kemudian pergi. Selanjutnya jasad Pangeran Ngabdulrakim dikebumikan di tempat tersebut. Kabar wafatnya Pangeran Ngabulrakim akhirnya sampai kepada Pangeran Dipanegara yang saat itu telah berada di Wagir Tipis tanah Roma (timur Sempor).
Kami warga Roma kamal berterimakasih yg sebanyak - banyaknya atas informasi sejarah ini...
BalasHapus