Translate

Rabu, 18 April 2018

Ziaroh Para Wali Sebagai Wasilah

Kuburan merupakan salah satu ajang kekufuran dan kesyirikan di masa jahiliyah. Terbukti hal yang demikian dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَفَرَأَيْتُمُ الاَّتَ وَالْعُزَّى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ اْلأُنْثَى تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزَى

“Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-’Uzza dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah patut untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah anak perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 19-22)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mencerca kaum musyrikin dengan peribadatan mereka kepada patung-patung, tandingan-tandingan bagi Allah dan berhala-berhala, di mana mereka memberikan rumah-rumah untuk menyaingi Ka’bah yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Berkah (barokah) diartikan dengan bertambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari 'bertambahnya kebaikan' atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.

Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ “. رواه ابن حبان (١٩١٢) وأبو نعيم في “الحلية” (٨/١٧٢) و الحاكم في “المستدرك” (١/٦٢) و الضياء في “المختارة” (٦٤/٣٥/٢) و قال الحاكم : “صحيح على شرط البخاري” . و وافقه الذهبي.

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berkah
Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)

Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.

Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.

Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:

أَنَّ مُوْسَى  قَالَ: رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ اْلأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ وَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الْكَثِيْبِ الْأَحْمَرِ».

“Sesungguhnya Nabi Musa berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”

Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:

وَفِيْهِ اسْتِحْبَابُ مَعْرِفَةِ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ لِزِيَارَتِهَا وَالْقِيَامِ بِحَقِّهَا، وَقَدْ ذَكَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِقَبْرِ السَّيِّدِ مُوْسَى u عَلاَمَةً هِيَ مَوْجُوْدَةٌ فِيْ قَبْرٍ مَشْهُوْرٍ عِنْدَ النَّاسِ اْلآَنَ بِأَنَّهُ قَبْرُهُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمَوْضِعَ الْمَذْكُوْرَ هُوَ الَّذِيْ أَشَارَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ.

“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).

Berdasarkan hadis-hadis sahih ziarah kubur adalah sunah. Jika ziarah kubur sunah, maka melakukan perjalanan untuk ziarah kubur juga sudah pasti sunah (Syaikh Ali as Sumhudi dalam Khulashat al Wafa I/46). Bahkan Rasulullah Saw setelah di Madinah secara rutin setiap tahun ziarah ke makam syuhada yang gugur saat perang Uhud di Makkah:

كَانَ النَّبِيُّ يَأْتِي قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ رَأْسِ الْحَوْلِ فَيَقُوْلُ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ قَالَ وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ (مصنف عبد الرزاق 6716 ودلائل النبوة للبيهقى 3 / 306)

"Diriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimi, ia berkata: Rasulullah Saw mendatangi kuburan Syuhada tiap awal tahun dan beliau bersabda: Salam damai bagi kalian dengan kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu (al-Ra'd 24). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama" (HR Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf No 6716 dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah III/306)

Tidak dipungkiri memang ada ulama yang mengharamkannya dengan berdalil pada hadis sahih:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

"Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Rasulullah (Madinah) dan masjid al Aqsha" (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini tidak dapat dijadikan dalil larangan ziarah ke makam Rasulullah Saw. Hal ini berdasarkan takhsis (yang membatasi) dari dua hadis, yang menunjukkah bahwa larangan berpergian dalam hadis diatas adalah ke masjid selain yang 3 tadi, bukan ke makam para Nabi atau ulama.

Pertama riwayat Ahmad (III/471) dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah Saw bersabda:

لاَ يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيْهِ الصَّلاَةُ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا (رواه أحمد وشهر فيه كلام وحديثه حسن)

"Seharusnya bagi pengendara tidak melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk melaksanakan salat disana, selain masjid al-Haram, masjid al-Aqsha dan masjidku". Al-Hafidz Al-Haitsami berkata: "Di dalam sanadnya terdapat Syahr bin Hausyab, hadisnya hasan" (Majma' az-Zawaid IV/7). Al-Hafidz Ibnu Hajar juga menilainya hasan dalam Fathul Bari III/65

Kedua, hadis riwayat al-Bazzar dari Aisyah, Rasulullah Saw bersabda:

أَناَ خَاتَمُ اْلأَنْبِيَاءِ وَمَسْجِدِي خَاتَمُ مَسَاجِدِ اْلأَنْبِيَاءِ أَحَقُّ الْمَسَاجِدِ أَنْ يُزَارَ وَتُشَدَّ إِلَيْهِ الرَّوَاحِلُ الْمَسْجِدُ وَمَسْجِدِي صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ (رواه البزار)

"Aku adalah penutup para Nabi, dan masjidku adalah penutup masjid-masjid para Nabi. Dan yang paling berhak didatangi adalah masjid al-Haram dan masjidku…." (Baca Majma' az-Zawaid IV/7 karya al-Hafidz al-Haitsami)

Ahli hadis Al Hafidz Ibnu Hajar membantah penggunaan hadis diatas sebagai dalil larangan melakukan ziarah ke makam orang-orang shaleh. Pertama, jika hadis ini digunakan sebagai larangan melakukan perjalanan ziarah kubur, maka mestinya melakukan perjalanan silaturrahim, perjalanan mencari ilmu, berdagang dan sebagainya juga dilarang (Fathul Bari IV/190). Kedua, hadis ini bertentangan dengan hadis sahih lain riwayat al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar yang menjelaskan bahwa "Rasulullah berkunjung ke masjid Quba' setiap hari Sabtu, baik berkendaraan atau berjalan kaki". Oleh karenanya melakukan perjalanan ke selain tiga masjid tersebut tidak dilarang (Fathul Bari IV/190)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْل مَنْ مَنَعَ شَدَّ اَلرِّحَال إِلَى زِيَارَةِ اَلْقَبْرِ اَلشَّرِيفِ وَغَيْره مِنْ قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَاَلله أَعْلَمُ (فتح الباري لابن حجر - ج 4 / ص 197)

“Maka batallah pendapat ulama yang mengatakan dilarangnya ziarah ke makam Rasulullah dan dan makam orang-orang shaleh” (Fathul Bari IV/197)

Imam Nawawi juga berkata:

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي شَدِّ الرِّحَالِ وَإِعْمَالِ الْمَطِيّ إِلَى غَيْرِ الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ كَالذَّهَابِ إِلَى قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ وَإِلَى الْمَوَاضِعِ الْفَاضِلَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَقَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيّ مِنْ أَصْحَابِنَا هُوَ حَرَامٌ وَهُوَ الَّذِي أَشَارَ الْقَاضِي عِيَاضٌ إِلَى اِخْتِيَارِهِ وَالصَّحِيْحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الَّذِي اِخْتَارَهُ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْمُحَقِّقُوْنَ أَنَّهُ لاَ يَحْرُمُ وَلاَ يُكْرَهُ (شرح النووي على مسلم - ج 5 / ص 62)

“Ulama berbeda pendapat dalam melakukan perjalanan ke selain 3 masjid diatas, seperti perjalanan ke makam-makam orang shaleh, tempat-tempat utama dan sebagainya. Dari kalangan Syafiiyah, Syaikh al-Juwaini mengatakan haram. Pendapat ini pula yang diisyaratkan oleh Qadli Iyadl. Namun pendapat yang sahih menurut ulama Syafiiyah, yang juga dipilih oleh Imam al-Haramain dan ulama lainnya adalah tidak haram dan tidak makruh” (Syarah Muslim 5/62)

Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «اَلاَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ» رواه البيهقي.

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya').

Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مِتُّ عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ وَإِنْ رَأَيْتُ غَيْرَ ذَلِكَ اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ » رَوَاهُ الْبَزَّارُ.

“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]).

Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:

وَلاَ يَدْخُلُ فِيْ هَذَا الْبَابِ (أَيْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ السَّلَفِ) مَا يُرْوَى مِنْ أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ يَسْمَعُاْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ وَاْلأَمْرُأَجَلُّ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا يُرْوَى أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَشَكَا إِلَيْهِ الْجَدَبَ عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَأْتِيَ عُمَرَ فَيَأْمُرَهُأَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ وَمِثْلُ هَذَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْهُوَ دُوْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَعْرِفُ مِنْ هَذِهِ الْوَقَائِعِ كَثِيْرًا. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣).

“Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).

Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata:

وَقَالَ الْحَافِظُ اَبُوْ بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ اَخْبَرَنَا اَبُوْ نَصْرٍ بْنُ قَتَادَةَ وَاَبُوْ بَكْرٍ الْفَارِسِيُّقَالَا حَدَّثَنَا اَبُوْ عُمَرِ بْنِ مَطَرٍ حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ عَلِيٍّ الذُّهْلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُيَحْيَى حَدَّثَنَا اَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ اَبِيْ صَالِحٍ عَنْ مَالِكٍ قَالَ اَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌفِيْ زَمَنِ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَيَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ اللهَ لِاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَقَالَ اِيْتِ عُمَرَ فَأَقْرِءْهُ مِنِّي السَّلاَمَ وَاَخْبِرْهُمْ اِنَّهُمْ مُسْقَوْنَ وَقُلْلَهُ عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ الْكَيْسِ فَاَتَى الرَّجُلُ فَاَخْبَرَ عُمَرَ فَقَالَ يَارَبِّ مَا آَلُوْا اِلاَّ مَا عَجَزْتُعَنْهُ، وَهَذَا اِسْنَادٌ صَحِيْحٌ. (الحافظ ابن كثير، البداية والنهاية ٧/٩۲ وقال في جامع المسانيد ١/۲٣٣: اسناده جيد قوي، وروى هذا الحديث ابن ابي خيثمة. انظر: الاصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في الارشاد ١/٣١٣ وابن عبد البر في الاستيعاب ۲/٤٦٤ وصححه الحافظ ابن حجر في “ فتح الباري “ ۲/٤٩٥.

“Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).

Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.

Berkah Kuburan Orang Sholeh menurut Imam AdzDzahabi, seperti terkutip berikut ini :

سير أعلام النبلاء – (ج 17 / ص 77(
قلت: والدعاء مستجاب عند قبور الانبياء والاولياء، وفي سائر البقاع، لكن سبب الاجابة حضور الداعي، وخشوعه وابتهاله، وبلا ريب في البقعة المباركة، وفي المسجد، وفي السحر، ونحو ذلك، يتحصل ذلك للداعي كثيرا، وكل مضطر فدعاؤه مجاب.

Doa itu MUSTAJAB (BILA DIBACA) DI SISI MAKAM PARA NABI DAN WALI, juga di beberapa tempat yang lain. Namun penyebab terkabulnya doa adalah hadhirnya hati orang yang berdoa, kekhusyuka nya, dan TIDAK DIRAGUKAN LAGI DI TEMPAT-TEMPAT YANG DIBERKATI, di masjid, saat sahur dan sebagainya dimana doa akan lebih banyak didapat oleh pelakunya. Dan setiap orang yang sangat membutuhkan maka doanya akan diijabahi”
(al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’ 17/77).

Madzhab Hanbali Percaya Berkah Kuburan Orang Saleh

(فَصْلٌ) وَيُسْتَحَبُّ الدَّفْنُ فِي الْمَقْبَرَةِ الَّتِي يَكْثُرُ فِيْهَا الصَّالِحُوْنَ لَتَنَالَهُ بَرَكَتهُمْ، وَكَذَلِكَ فِي الْبِقَاعِ الشَّرِيْفَةِ فَقَدْ رُوِيَ فِي الْبُخَارِي وَمُسْلِمٍ أَنَّ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ لَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى أَنْ يُدْنِيَهُ إِلَى اْلاَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ (الشرح الكبير لابن قدامة – ج 2 / ص 389)

“(Fashal) Disunahkan mengubur di pemakaman yang banyak orang salehnya, agar dapat berkah mereka, begitu pula tempat-tempat mulia. Al-Bukhari dan Muslim sungguh meriwayatkan bahwa Musa As ketika ia akan wafat meminta kepada Allah agar didekatkan dengan tanah Baitul Maqdis sejarak lemparan batu”
(Syarh al-Kabir, Ibnu Qudamah, 2/389)

( وَ ) يُسْتَحَبُّ أَيْضًا الدَّفْنُ فِي ( مَا كَثُرَ فِيهِ الصَّالِحُونَ ) لِتَنَالَهُ بَرَكَتُهُمْ وَلِذَلِكَ الْتَمَسَ عُمَرُ الدَّفْنَ عِنْدَ صَاحِبَيْهِ وَسَأَلَ عَائِشَةَ ، حَتَّى أَذِنَتْ لَهُ . (كشاف القناع عن متن الإقناع – ج 4 / ص 420)

“Disunahkan mengubur di pemakaman yang banyak orang salehnya, agar dapat berkah mereka, oleh karenanya Umar berusaha agar dimakamkan di deekat kedua sahabatnya dan meminta pada Aisyah hingga ia memberi izin”
(Kasysyaf al-Qina’ 4/420)

يُسْتَحَبُّ الدَّفْنُ عِنْدَ الصَّالِحِ لِتَنَالَهُ بَرَكَتُه (الفروع لابن مفلح – ج 3 / ص 353)

“Disunahkan mengubur di dekat orang saleh agar mendapat berkahnya”
(al-Furu’ Ibnu Muflih, 3/353)

Ahli hadis juga mempercayai tabarruk dan tawassul:

قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ فِي الْعَاقِبَةِ : فَيُنْدَبُ لِوَلِيِّ الْمَيِّتِ أَنْ يَقْصِدَ بِهِ قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ وَمَدَافِنَ أَهْلِ الْخَيْرِ فَيَدْفَنَهُ مَعَهُمْ وَيَنْزِلَهُ بِإِزَائِهِمْ وَيُسْكِنَهُ فِي جِوَارِهِمْ تَبَرُّكًا وَتَوَسُّلاً بِهِمْ وَأَنْ يَجْتَنِبَ بِهِ قُبُوْرَ مَنْ يُخَافُ التَّأَذِّي بِمُجَاوَرَتِهِ وَالتَّأَلُّمُ بِمُشَاهَدَةِ حَالِهِ (فيض القدير – ج 1 / ص 297)

“Abdulhaqq berkata dalam kitab al-Aqibah: Disunahkan bagi keluarga mayit untuk bertuju ke makam orang-orang saleh dan pemakaman orang-orang baik, kemudian dimakamkan bersama mereka dan diletakkan didekat mereka, ditempatkan di sebelah mereka, untuk mencari berkah dan bertawassul dengan mereka. Dan hendaknya menjauhi kuburan orang yang dikhawatirkan buruk berdampingan dengan kubur mereka dan tersakiti menyaksikan keadaannya”
(Faidl al-Qadir 1/297)

وَقَبْرُهُ بِسَنَا بَاذْ خَارِجَ النَّوْقَانِ مَشْهُوْرٌ يُزَارُ بِجَنْبِ قَبْرِ الرَّشِيْدِ قَدْ زُرْتُهُ مِرَارًا كَثِيْرَةً وَمَا حَلَّتْ بِي شِدَّةٌ فِي وَقْتِ مَقَامِي بِطُوْسٍ فَزُرْتُ قَبْرَ عَلِّى بْنِ مُوْسَى الرِّضَا صَلَوَاتُ اللهِ عَلَى جَدِّهِ وَعَلَيْهِ وَدَعَوْتُ اللهَ إِزَالَتَهَا عَنِّى إِلاَّ اسْتُجِيْبَ لِي وَزَالَتْ عَنِّى تِلْكَ الشِّدَّةَ وَهَذَا شَئٌ جَرَّبْتُهُ مِرَارًا فَوَجَدْتُهُ كَذَلِكَ (ثقات ابن حبان – ج 8 / ص 457)

“Makam Ali bin Musa di Sanabadz di sebelah luar Nauqan sudah masyhur dan diziarahi, berada di samping makam ar-Rasyid. Saya sudah sering kali menziarahinya. Saya tidak mengalami kesulitan ketika saya berada di Thus kemudian saya berziarah ke makam Ali bin Musa Ar Ridho, semoga Salawat dari Allah dihaturkan kepada kakeknya (Nabi Muhammad) dan kepadanya. Saya berdoa kepada Allah untuk menghilangkan kesulitan tersebut, kecuali dikabulkan untuk saya dan kesulitan itu pun lenyap dari saya. Ini saya alami berkali-kali, dan saya temukan seperti itu.”
(Ahli Hadis Ibnu Hibban dalam ats-Tsiqat 8/457)

ودفن بكار بن قتيبة بطريق القرافة، والدعاء عند قبره مستجاب. (رفع الإصر عن قضاة مصر لابن حجر – ج 1 / ص 43 الطبقات السنية في تراجم الحنفية للتقي الغزي – (ج 1 / ص 195)

“Bakkar bin Qutaibah dimakamkan di jalan Qarafah. Berdoa didekatnya adalah mustajab. Ia meninggal pada 270 H, usianya hampir 90 tahun” (Raf’ al-Ishri ‘an Qudlat Mishr karya Ibnu Hajar 1/43 dan Thabaqat as-Saniyyah At Taqiy Al Ghaziy 1/195).

Apakah Imam Adz Dzhabi dan seluruh ulama serta pengikutnya akan masuk neraka karena kebid’ahan serta kesyirikan yang dibuat ( menurut Salafy-Wahabi) akan menjadi penghuni neraka??

HUKUM MEMBAWA TANAH MAKAM UNTUK TABARUK

Bertabaruk dengan tanah atau pasir makam seorang wali, dibolehkan dalam madzhab fiqih SUNNI. Al-Imam Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi al-Maliki (wafat tahun 914 H) berkata:

حمل تراب المقابر للتبرك
وسئل أحمد بن بكوت عن تراب المقابر الذي كان الناس يحملونه للتبرك هل يجوز أو يمنع؟ فأجاب هو جائز ما زال الناس يتبركون بقبور العلماء والشهداء والصالحين وكان الناس يحملون تراب سيدنا حمزة بن عبد المطلب في القديم من الزمان فإذا ثبت أن تراب سيدنا حمزة يحمل من قديم الزمان فكيف يتمالأ أهل العلم باالمدينة على السكوت عن هذه البدعة المحرمة ؟ هذا من الأمر البعيد. قلت من هذا القبيل ما جرى عليه عمل العوام في نقل تراب الشيخ أبي يعزى وتراب ضريح الشيخ أبي غالب النيسابوري للاستشفاء من الأمراض والقروح المعضلة. (الإمام أبي العباس أحمد بن يحيى الونشريسي، المعيار المعرب والجامع المغرب عن فتاوى أهل أفريقية والأندلس والمغرب، 1/330).

Hukum membawa tanah makam untuk Tabaruk

Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah makam yang dibawa oleh orang-orang karena tujuan tabaruk apakah boleh atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh. Orang-orang (umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutthalib sejak masa lampau. Apabila telah tetap bahwa tanah makam Sayyidina Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka bagaimana mungkin para ulama Madinah akan bersepakat mendiamkan bid’ah yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan. Aku berkata: “Termasuk bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan yang berlaku, berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam Syaikh Abu Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1 hal. 330).

Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا اشْتَكَى الإِنْسَانُ الشَّىْءَ مِنْهُ أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جَرْحٌ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا وَوَضَعَ سَبَّابَتَهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ رَفَعَهَا « بِاسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا ». متفق عليه.

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila seseorang mengeluhkan sakit kepada beliau, atau pada dirinya terdapat bisul dan luka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, dengan jari-jarinya begini, dan meletakkan telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya: “Dengan nama Allah, tanah bumi kita, dengan ludah sebagian kita, agar supaya orang kita yang sakit disembuhkan oleh sebabnya, dengan restu Tuhan kita.” (HR Bukhari dan Muslim.)

Dalam mengomentari hadits tersebut, Ibnu Qayyimil Jauziyah berkata:

وَمَعْنَى الْحَدِيثِ: أَنَّهُ يَأْخُذُ مِنْ رِيقِ نَفْسِهِ عَلَى أُصْبُعِهِ السَّبَّابَةِ، ثُمَّ يَضَعُهَا عَلَى التُّرَابِ فَيَعْلَقُ بِهَا مِنْهُ شَيْءٌ، فَيَمْسَحُ بِهِ عَلَى الْجُرْحِ، وَيَقُولُ هَذَا الْكَلَامَ لِمَا فِيهِ مِنْ بَرَكَةِ ذِكْرِ اسْمِ اللهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، وَالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ، … وَهَلِ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: ” تُرْبَةُ أَرْضِنَا ” جَمِيعُ الْأَرْضِ أَوْ أَرْضُ الْمَدِينَةِ خَاصَّةً؟ فِيهِ قَوْلَانِ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ مِنَ التُّرْبَةِ مَا تَكُونُ فِيهِ خَاصِّيَّةٌ يَنْفَعُ بِخَاصِّيَّتِهِ مِنْ أَدْوَاءٍ كَثِيرَةٍ، … وَإِذَا كَانَ هَذَا فِي هَذِهِ التُّرْبَاتِ، فَمَا الظَّنُّ بِأَطْيَبِ تُرْبَةٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ وَأَبْرَكِهَا، وَقَدْ خَالَطَتْ رِيقَ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَارَنَتْ رُقْيَتَهُ بِاسْمِ رَبِّهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، (ابن قيم الجوزية، زاد المعاد، 4/187).

“Makna hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil ludah beliau pada jari telunjuknya, lalu meletakkannya ke tanah, sehingga ada tanah yang menempel, lalu beliau usapkan pada luka dan mengucapkan kalimat tadi, karena isinya terdapat berkah Nama Allah, menyerahkan urusan kepada-Nya… Apakah yang dimaksud dengan tanah bumi kam, berlaku bagi semua bumi atau khusus tanah Madinah? Dalam hal ini ada dua pendapat. Tidak diragukan lagi, bahwa sebagian tanah memiliki khasiat yang bermanfaat bagi banyak penyakit… apabila hal ini berlaku dalam semua tanah ini, lalu bagaimana dengan tanah yang paling suci di muka bumi dan tanah yang paling berkah, dan telah bercampur dengan ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ruqyah beliau bersama Nama Tuhannya dan menyerahkan urusan kepada-Nya?” (Ibnu Qayyimil Jauziyah, Zadul Ma’ad, juz 4 hal. 187).

Pernyataan di atas menyimpulkan, bahwa tanah itu ada barokahnya. Kalau memang ada barokahnya, berarti bertabaruk hukumnya tidak ada-apa dan syar’i.

Wallihul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar