Salah satu contoh dari universalitas ajaran Islam adalah bahwa Islam mengatur persoalan makan dan minum. Banyak hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang memberikan tuntunan dalam hal ini. Darinya, para ulama menyusun adab-adab makan dan minum dalam kitab-kitab mereka. Sehingga semakin mudahlah kita untuk memahami dan mengamalkan tuntunan Islam dalam masalah ini. Di antaranya, membaca basmalah sebelum makan, makan dengan tangan kanan, makan dengan duduk, tidak bersandar ketika makan, tidak mencela makanan, dan selainnya.
Ada satu adab makan yang kurang diperhatikan. Bahkan, terkadang jika diamalkan banyak umat Islam yang mencibirnya, padahal hadits cukup jelas menjelaskannya. Yaitu menjilati tangan dan piring sebelum mengelap atau mencucinya agar tidak ada makanan yang tersisa.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمُ الطَّعَامَ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا وَ لَا يَرْفَعَ صَحْفَةً حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا، فَإِنَّ آخِرَ الطَّعَامِ فِيْهِ بَرَكَةٌ
"Apabila salah seorang kamu makan makanan, janganlah dia mengelap tangannya hingga menjilatinya atau meminta orang menjilatinya. Dan janganlah dia mengangkat piringnya hingga menjilatinya atau meminta orang untuk menjilatinya., karena pada makanan terakhir terdapat barakah." (HR. Bukhari no. 5465; Muslim no. 2031, Abu Dawud, Nasai, Ahmad dan lainnya).
Makan dengan tiga jari merupakan adab Islam yang sepatutnya tidak ditinggalkan oleh kaum muslimin. Al-Imaam Muslim rahimahullah berkata :
حدثنا يحيى بن يحيى. أخبرنا أبو معاوية عن هشام بن عروة، عن عبدالرحمن بن سعد، عن ابن كعب بن مالك، عن أبيه. قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأكل بثلاث أصابع. ويلعق يده قبل أن يمسحها.
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Mu’aawiyyah, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ‘Abdurrahman bin Sa’d, dari Ibnu Ka’b bin Maalik, dari ayahnya, ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan dengan tiga jari, dan menjilat tangannya sebelum mengusapnya dengan sapu tangan" [Shahih Muslim no. 2032].
Al-‘Allamah An-Nawawi rahimahullah berkata,
وَاسْتِحْبَاب الْأَكْل بِثَلَاثِ أَصَابِع ، وَلَا يَضُمّ إِلَيْهَا الرَّابِعَة وَالْخَامِسَة إِلَّا لِعُذْرٍ بِأَنْ يَكُون مَرَقًا وَغَيْره مِمَّا لَا يُمْكِن بِثَلَاثٍ وَغَيْر ذَلِكَ مِنْ الْأَعْذَار
“Dan diantara pelajaran hadits adalah disunnahkan makan dengan tiga jari, dan janganlah seseorang menggunakan jari yang keempat dan kelima kecuali karena suatu ‘udzur (alasan yang membolehkan), seperti jika makanannya berupa kuah atau selainnya yang tidak mungkin memakannya dengan tiga jari, dan alasan-alasan lainnya.” [Syarhu Muslim, 13/203]
Penggunaan tiga jari ini, menunjukan ketawadhuan beliau dan sifat beliau yang tidak rakus dengan makanan. Yang demikian itu berlaku bagi makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari, adapun makanan yang tidak bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari, maka diperbolehkan untuk menggunakan lebih dari tiga jari ataupun dengan sendok misalnya. Namun, makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari, maka hendaknya kita hanya menggunakan tiga jari saja, karena hal itu merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
Akan tetapi jika makanan itu susah untuk diambil dan dimakan dengan tiga jari, boleh menggunakan lebih dari tiga jari. Telah berkata Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah :
وَالْأَكْلُ بِأَكْثَرَ مِنْهَا مِنْ الشَّرَهِ وَسُوءِ الْأَدَبِ ، وَلِأَنَّهُ غَيْرُ مُضْطَرٍّ لِذَلِكَ لِجَمْعِهِ اللُّقْمَةَ وَإِمْسَاكِهَا مِنْ جِهَاتِهَا الثَّلَاثِ ، وَإِنْ اُضْطُرَّ إلَى الْأَكْلِ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَصَابِعَ ، لِخِفَّةِ الطَّعَامِ وَعَدَمِ تَلْفِيقِهِ بِالثَّلَاثِ يَدْعَمُهُ بِالرَّابِعَةِ أَوْ الْخَامِسَةِ .
“Makan dengan lebih dari tiga jari termasuk keburukan dan jeleknya adab. Hal itu dikarenakan tidak ada kebutuhan yang mengharuskan menggunakan lebih dari tiga jari untuk mengumpulkan suapan makanan dan memegangnya. Namun jika ada kebutuhan untuk makan lebih dari tiga jari, karena ringan/lembutnya makanan dan tidak dapat diambil dengan tiga jari, maka ia boleh menggunakan jari yang keempat atau kelima” [Fathul-Baariy, 9/578].
‘Illat hukum menggunakan lebih dari tiga jari adalah karena ada kebutuhan. Hal itu sama dengan penggunaan sendok, ia pun boleh dipakai karena kebutuhan (untuk makan makanan yang berkuah, sup, dan yang lain sebagainya). Oleh karenanya, makan dengan sendok tidaklah lebih utama daripada makan lebih dari tiga jari dengan melihat ‘illat hukum yang sama.
Menurut penjelasan Imam Al-Ghazali, aktivitas makan menggunakan 3 jari dinilai dari beberapa sudut, yaitu :
1. Makan dengan menggunakan satu jari dapat menjadikan seseorang terhindar dari sifat pemarah.
2. Makan dengan menggunakan dua jari dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong.
3. Makan dengan menggunakan tiga jari dapat menghindarkan seseorang dari sifat lupa.
Selain itu, makan dengan tiga jari merupakan cara yang pas untuk mengukur porsi yang cocok bagi setiap orang.
Fakta berikutnya,makan dengan menggunakan tangan ternyata bisa lebih sehat daripada makan dengan sendok. Mengapa bisa demikian? Hal ini dikarenakan pada tangan kita terdapat sebuah enzim, yakni enzim RNase yang dapat menurunkan aktivitas bakteri-bakteri patogen yang ada pada tangan kita ketika kita makan. Enzim RNase adalah enzim yang dapat mendepolarisasi RNA (asam nukleat). Sehingga ketika kita menyuap makanan dengan tangan, bakteri yang terdapat pada makanan dapat terikat oleh enzim Rnase yang dihasilkan di tangan kita. Tapi tentunya dengan catatan, tangan kita sudah dicuci terlebih dahulu dengan sabun hingga bersih dan higienis.
Enzim Rnase banyak dihasilkan oleh 3 jari tangan, yaitu ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Apabila makan menggunakan 3 jari tersebut, maka bakteri yang masuk kedalam sistem pencernaan akan diikat oleh enzim Rnase, sehingga aktivitas bakteri pun terhambat. Tak hanya bakteri, namun juga berbagai virus berbahaya, seperti virus RNA.
Jadi, jika anda menginginkan sistem pencernaan tubuh tetap sehat, sebaiknya makanlah sesuai sunnah Rasul. Menggunakan 3 jari dan menjilati jari-jari sesudah makan.
Nabi shallallahu’alaihiwasallam biasa makan berjama’ah dalam satu piring besar, sebab keberkahan turun pada sunnah dalam makan berjama’ah ini.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya (no. 3764, shahih)
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي وَحْشِيُّ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلَا نَشْبَعُ، قَالَ: «فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ؟» قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ»
Menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa Ar-Razi, menceritakan kepada kami Al-Walid bin Muslim yang berkata: menceritakan kepada saya Wahsyi bin Harb dari Bapaknya, dari Kakeknya, “Sesungguhnya para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami makan namun tidak merasa kenyang”. Nabi bersabda, “Mungkin kalian makan sendiri-sendiri?”. Mereka menjawab, “Iya”. Nabi lantas bersabda, “Makanlah secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah sebelumnya (Bismillah), maka pastilah makanan tersebut akan diberkahi.”
Akan tetapi, hal ini bukan merupakan larangan bagi makan sendirian.
Allah berfirman,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا
“Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS. an-Nur: 61).
Ibn Katsir menyatakan dalam Tafsirnya (6/86),
فَهَذِهِ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَنْ يَأْكُلَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ، وَمَعَ الْجَمَاعَةِ، وَإِنْ كَانَ الْأَكْلُ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلَ وَأَبَرَكَ
“Ini merupakan rukhshoh (keringanan) dari Allah Ta’ala. Seorang boleh makan dengan cara sendiri-sendiri, atau bersama beberapa orang/berjama’ah (dalam satu wadah makanan) meskipun makan dengan cara berjama’ah itu lebih berkah dan lebih utama.”
Lalu Ibnu Katsir menyebutkan hadits diatas.
Nabi shallallahu’alaihi wasallam biasa makan dengan lesehan, karena beliau tidak suka makan sambil bersandar.
Abu Syaikh meriwayatkan dalam Ahlaqun Nabi wa Adabuhu (no. 128, hasan):
أَخْبَرَنَا الْبَغَوِيُّ، نَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ الْمَقَابِرِيُّ، نَا أَبُو إِسْمَاعِيلَ الْمُؤَدِّبُ، عَنْ مُسْلِمٍ الْأَعْوَرِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْلِسُ عَلَى الْأَرْضِ، وَيَأْكُلُ عَلَى الْأَرْضِ، وَيَعْتَقِلُ الشَّاةَ، وَيُجِيبُ دَعْوَةَ الْمَمْلُوكِ»
Al-Baghawi mengabarkan kepada kami, menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub al-Maqabiri, menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Muaddib, meceritakan kepada kami Muslim al-A’war dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam biasa duduk diatas lantai, makan diatas lantai (lesehan), memerah kambing, dan memenuhi undangan seorang budak”.
Al-Haitsami (9/20) berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani, dan sanadnya hasan”.
Bahkan Beliau shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah memiliki meja makan, tempat beliau makan dirumahnya adalah tikar dari kulit,
Abu Syaikh meriwayatkan dalam Ahlaqun Nabi wa Adabuhu (no. 620, shahih),
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، نَا بُنْدَارٌ، نَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ يُونُسَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، يَقُولُ: مَا أَكَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلَا فِي سُكُرُّجَةٍ، وَلَا خُبِزَ لَهُ مُرَقَقٌ. قُلْتُ لِقَتَادَةَ: عَلَى مَا يَأْكُلُونَ؟ قَالَ: عَلَى هَذِهِ – لَسُفْرَةٌ
Menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, menceritakan kepada kami Bundar, menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam, menceritakan kepada saya Bapak dari Yunus dari Qatadah dari Anas bin Malik yang berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah makan di meja makan ataupun dari mangkuk kecil, beliau juga tidak pernah dibuatkan roti yang lembut”. Yunus bertanya kepada Qatadah, “lantas dimana beliau makan?”. Qatadah menjawab, “Diatas alas makan dari kulit”.
Hadits ini dikeluarkan juga oleh Bukhori (no. 5415).
Beliau juga biasa makan bersama-sama dalam satu tempat makan besar yang dinamai al-Gharra, yang biasa diangkat oleh 4 orang,
Abu Syaikh meriwayatkan dalam Ahlaqun Nabi wa Adabuhu (no. 621, shahih)
أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي عَاصِمٍ، نَا الْحَوْطِيُّ، نَا أَبُو عُمَرَ، وَعُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ، نَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عِرْقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ بُسْرٍ، يَقُولُ: كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَصْعَةٌ يُقَالُ لَهَا: الْغَرَّاءُ، يَحْمِلُهَا أَرْبَعَةُ رِجَالٍ
Mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Ashim, menceritakan kepada kami Al-Hauthi, menceritakan kepada kami Abu ‘Umar dan Utsman bin Sa’id. Menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahman bin Auf yang berkata: aku mendengar Abdullah bin Busr mengatakan, “Nabi shallallahu’alaihi wasallam mempunyai tempat makan besar (nampan) yang dinamai al-gharra dan bisa diangkat oleh 4 orang”.
Hadits ini dikeluarkan juga oleh Abu Dawud (no. 3773).
Abu Syaikh meriwayatkan juga (no. 622, shahih), dengan lafazh:
كَانَ لِرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَفْنَةٌ لَهَا أَرْبَعُ حِلَقٍ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memiliki sebuah tempat makan yang memiliki 4 buah pegangan”.
Cara duduk beliau ketika makan
Nabi shallallahu’alaihi wasallam membenci segala cara duduk untuk makan dengan bersandar (tentu saja kecuali orang yang terpaksa atau sakit).
Sebagaimana dalam riwayat Shahih Bukhori (no. 5398):
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الأَقْمَرِ، سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا»
Menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, menceritakan kepada kami Mis’ar dari Ali bin Al-Aqmar yang mendengar Abu Hudzaifah berkata: bersabda Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam: “Saya tidak makan sambil bersandar”.
Terdapat beberapa riwayat tentang cara beliau shallallahu’alaihi wasallam duduk untuk makan. Dan semuanya itu tercakup dalam duduk yang tidak bersandar.
Ada riwayat dari Abu Hasan bin al-Muqri dalam Syamailnya sebagaimana disebutkan dalam takhrij al-Ihya karya al-Iraqi (1/432):
كَانَ إِذا قعد عَلَى الطَّعَام استوفز عَلَى ركبته الْيُسْرَى وَأقَام الْيُمْنَى
“Bahwa (Nabi shallallahu’alaihi wasallam) ketika duduk untuk makan beliau menekuk lututnya yang kiri dan menegakkan kaki kanan”.
Tetapi sanad hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh al-’Iraqi.
Ada juga hadits yang shahih dalam riwayat Muslim (no. 2044),
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، كِلَاهُمَا عَنْ حَفْصٍ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سُلَيْمٍ، حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ، قَالَ: «رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُقْعِيًا يَأْكُلُ تَمْرًا»
Menceritakan kepada kami Abu Bakar ibn Abi Syaibah dan Abu Sa’id al-Asyaj, keduanya dari Hafsh. Abu Bakar berkata: Menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Mush’ab bin Sulaim. Menceritakan kepada kami Anas bin Malik yang berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wasallam memakan kurma sambil duduk muq’iy”.
Hanya saja, Para ulama berbeda pendapat tentang duduk muq’iy ini, sampai kurang lebih 3 atau 4 pendapat. Diantara pendapat itu ada yang mengatakan bahwa duduk muq’iy itu seperti duduk yang disebutkan dihadits dhaif diatas tadi.
Akan tetapi jalan tengah bagi semua riwayat dan pendapat itu adalah dikembalikan pada hadits dibencinya makan sambil duduk bersandar diawal tadi. Semua cara duduk untuk makan yang dibenci adalah semua cara duduk yang bisa disebut duduk sambil bersandar, baik ke belakang ataupun ke samping dan tidak terbatas dengan duduk tertentu.
Ibnu Hajar mengatakan,
وَإِذَا ثَبَتَ كَوْنُهُ مَكْرُوهًا أَوْ خِلَافُ الْأَوْلَى فَالْمُسْتَحَبُّ فِي صِفَةِ الْجُلُوسِ لِلْآكِلِ أَنْ يَكُونَ جَاثِيًا عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَظُهُورُ قَدَمَيْهِ أَوْ يَنْصِبُ الرِّجْلَ الْيُمْنَى وَيَجْلِسُ عَلَى الْيُسْرَى
“Jika sudah pasti bahwasanya makan sambil bersandar itu dimakruhkan atau kurang utama, maka posisi duduk yang dianjurkan ketika makan, adalah dengan (jatsa) menekuk kedua lutut dan menduduki bagian dalam telapak kaki atau dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri.” (Fathul Baari 9/542).
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar