Translate

Kamis, 05 Juli 2018

Janganlah Menolak Hadits Ahad Dalam Perkara Aqidah

Hal-hal ghaib dan keimanan senantiasa berjalan seiring. Karena butuh “pupuk” keimanan untuk meyakininya. Hal ini memang tidak bisa tidak. Dalam syariat Islam, kita memang dihadapkan pada sejumlah hal ghaib yang sulit dicerna oleh akal kita yang terbatas, sukar ditelaah oleh indera kita yang lemah, bahkan yang sedikit pun tak terbetik di benak.

Kewajiban taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang telah dipahami oleh segenap kaum muslimin. Hal ini bisa diketahui melalui bermacam bentuk ibadah yang mereka lakukan, baik yang ada tuntunannya ataupun tidak, dengan alasan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga dari berbagai bentuk shalawat yang mereka kumandangkan baik yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang tidak dituntunkan oleh beliau. Mereka pun mengatakan beriman, dan cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Namun yang dituntut bukan hanya sekedar ucapan, akan tetapi aplikasi dari cinta tersebut dalam bentuk amal. Orang yang benar-benar menaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan berani mendekati amalan-amalan yang tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan. Karena ia mengetahui bahwa sikap dan cara demikian termasuk kelancangan dalam agama. Di sisi lain, dia akan berusaha mencari pengetahuan tentang syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tahu bahwa melakukan amalan yang tidak dituntunkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sebuah tuduhan bahwa beliau berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau bahwa ada amalan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam rahasiakan dan tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada umat ini. Orang yang benar-benar taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berusaha menyesuaikan segala ucapan, amalan lahiriah dan batiniah dengan tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Ketaatan kepada beliau adalah ketaatan yang mutlak. Artinya, segala apa yang beliau perintahkan hendaknya dilakukan dan segala yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang hendaknya ditinggalkan. Juga, membenarkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan dengan tanpa memilih dan memilah. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى

“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 1-4)

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا

“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`: 69)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku berarti telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada amirku berarti dia telah taat kepadaku dan barangsiapa yang bermaksiat kepada amirku maka dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Ahkam, Bab Qaulullah ta’ala: Wa Athi’ullah…, no. 6603)

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Mereka berkata: “Siapakah yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang taat kepadaku, dialah yang mau masuk surga. Dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku, dialah yang enggan.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul I’tisham bil Kitab was Sunnah, Bab Al-Iqtida` bi Sunani Rasulillah, no. 6737)

Al-Imam Az-Zuhri rahimahullahu berkata: “Dulu para ulama kita berkata: ‘Berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Ad-Darimi rahimahullahu dalam Sunan beliau, 1/44)

Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya (‘Urwah), dia berkata: “Berpegang teguhlah dengan As-Sunnah, berpegang teguhlah dengan As-Sunnah, karena sesungguhnya As-Sunnah adalah tonggak agama.” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadzi dalam As-Sunnah, hal. 29)

Al-Auza’i rahimahullahu berkata: “Lima perkara yang para shahabat dan tabi’in berada di atasnya: Konsisten dengan Al-Jamaah, berpegang dengan As-Sunnah, meramaikan masjid, membaca Al-Qur`an, dan berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/142)

Mengimani Segala yang Diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Merupakan Syarat Syahadat Muhammad Rasulullah

Membenarkan segala perkara ghaib yang beliau beritakan, baik yang telah terjadi atau belum, masuk akal atau tidak, adalah wajib dan merupakan implementasi dari makna syahadat Muhammad Rasulullah sekaligus sebagai syaratnya.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat syahadat Muhammadurrasulullah di dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya dalam kitab ‘Aqidah At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan (hal. 57) dan Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani (hal. 38-38). Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

Pertama: Meyakini kebenaran risalah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa.

Kedua: Mengucapkan dengan lisan terhadap apa yang diyakininya.

Dalil dua syarat ini, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta dia tidak ragu-ragu.” (Al-Hujurat: 15)

Seluruh kaum muslimin mengimani perkara ghaib, bahkan meyakininya sebagai bagian rukun-rukun iman yang enam. Akan tetapi buah beriman kepada hal-hal ghaib tidak begitu nampak dalam kehidupan. Berbeda dengan para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka beriman kepadanya dan nampak buahnya dalam kehidupan mereka. Di antara buah yang telah mereka petik adalah:

1. Memberi semangat dan dorongan untuk melakukan ketaatan dengan berharap pahala dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Takut dari berbuat maksiat dan takut dari sikap ridha terhadap kemaksiatan tersebut, karena takut terhadap adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3. Sebagai penghibur bagi kehidupan mereka apa yang mereka tidak dapati di dunia karena berharap kenikmatan yang abadi di akhirat kelak.

4. Menjadikan mereka memiliki keistimewaan dalam hidup sehingga istiqamah, lapang dada, kuat iman, kokoh dalam malapetaka yang menimpa mereka, bersabar atas semua musibah, mengharapkan pahala dan ganjaran; dan mereka mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan kekal. (Lihat Syarh Ushul Al-Iman hal. 33 dan Asyrathus Sa’ah, hal. 29)

Karena demikian tinggi nilai dari buah keimanan mereka terhadap hari kiamat, sampai-sampai Umar radhiyallahu ‘anhu (semasa menjabat khalifah) berkata dalam ucapan beliau yang masyhur: “Kalau di Irak terdapat keledai terjatuh (karena jalannya yang jelek), aku menyangka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban kepadaku: ‘Kenapa engkau, wahai Umar, tidak membuatkan jalan untuknya?’.” Dalam riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/53) disebutkan: “Kalau ada seekor kambing mati di pinggir sungai Efrat karena hilang, niscaya aku menyangka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meminta tanggung jawab tentangnya pada hari kiamat.”

Hadits Ahad adalah Hujjah dalam Masalah Aqidah

Pembahasan ini amat sangat terkait dengan keimanan terhadap berita-berita ghaib yang datang melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kebanyakan perkara ghaib dijelaskan dengan hadits-hadits ahad, terlebih yang terkait dengan tanda hari kiamat.

Pembahasan ini terkait pula dengan munculnya kelompok dari kaum muslimin yang menentang kebolehan berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam permasalahan aqidah, seperti yang dilakukan oleh ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah dan yang sefahamdengan mereka dari kalangan orang-orang sekarang ini seperti Muhammad ‘Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Salabi, Abdul Karim ‘Utsman, dan lainnya. Juga dari kalangan ulama ahli ushul, seperti yang disebutkan oleh pengarang kitab Syarh Al-Kaukab Al-Munir fi Ushul Al-Fiqh, yaitu Muhammad bin Ahmad bin Abdul ‘Aziz Al-Hambali.

Mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah aqidah. Yang menjadi hujjah adalah dalil-dali yang qath’i baik, dari ayat ataupun dari hadits. Tentu pendapat ini tertolak. Karena sebuah hadits, apabila shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui jalan orang-orang terpercaya yang menyampaikannya kepada kita, maka kita wajib mengimani dan membenarkannya, baik hadits tersebut mutawatir atau ahad, yang menghasilkan ilmu yakin. Ini merupakan madzhab ulama salafush shalih.

Kaidah kelompok yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِيْنًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ

“Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya!’.” (Ali ‘Imran: 32)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Amalan para shahabat dan tabi’in terhadap hadits ahad telah tersebar, tanpa ada pengingkaran sedikitpun. Hal ini menunjukkan kesepakatan mereka untuk menerima hadits ahad.” (Fathul Bari, 13/234)

Firman Allah ta’ala:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63]•

Kata ‘amrihi (أَمْرِهِ – perintah Rasul)’ adalah umum, mencakup perkara ‘aqidah maupun hukum, baik yang diterima melalui jalan mutawatir maupun ahad.

Firman Allah ta'ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti" [QS. Al-Hujuraat : 6].

Dalam qira'at yang lain disebutkan dengan lafadhفَتَثَبَّتُوا . Ayat ini mempunyai mafhum bahwa khabar yang dibawa oleh orang yang terpercaya (tsiqah)wajib untuk diterima, baik dalam masalah 'aqiidah maupun hukum.

Firman Allah ta’ala:

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ

“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui” [QS. An-Nisaa’ : 113].

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [QS. Al-Jum’ah : 2].

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، " وَالْحِكْمَةَ، أَيِ: السُّنَّةَ ".

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah : ‘dan Al-Hikmah’, ia berkata : “Maksudnya As-Sunnah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 3/87; sanadnya hasan].

Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:

فَذَكَرَ اللَّهُ الْكِتَابَ وَهُوَ الْقُرْآنُ وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ يَقُولُ: الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Allah menyebutkan Al-Kitaab, maksudnya Al-Qur’an; dan Allah juga menyebutkan Al-Hikmah. Aku mendengar ulama yang diridlai lagi ahli dalam Al-Qur’an mengatakan : ‘Al-Hikmah adalah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ma’rifah, no. 3; sanadnya shahih].

Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkata:

قَالَتْ هَذِهِ الطَّائِفَةُ بَيَّنَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعَلِّمَ النَّاسَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ، فَالْحِكْمَةُ غَيْرُ الْكِتَابِ، وَهِيَ مَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ فِي الْكِتَابِ، وَكُلٌّ فَرْضٌ لا افْتِرَاقَ بَيْنَهُمَا ؛ لأَنَّ مَجِيئَهُمَا وَاحِدٌ

“Kelompok ini mengatakan : Allah tabaaraka wa ta’ala telah menjelaskan bahwasannya Ia memerintahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al-Kitaab dan Al-Hikmah kepada manusia. Al-Hikmah bukanlah Al-Kitab. Ia adalah segala sesuatu yang telah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sunnahkan yang tidak disebutkan dalam Al-Kitab. Semuanya wajib (diikuti), tidak ada perbedaan antara keduanya, karena tempat kembalinya adalah satu” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah hal. 209-210].

عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ،

Dari Al-Miqadaad bin Ma’diy Karib, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau pernah bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Kitaab dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya...” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4604, Ibnu Hibbaan no. 12, Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 257, dan yang lainnya; shahih].

Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan dua sumber hukum yang berasal dari Allah ta’ala. Seandainya Al-Qur’an merupakan hujjah dalam permasalahan hukum dan ‘aqiidah, begitu juga dengan As-Sunnah, karena As-Sunnah semisal dengan Al-Qur’an.

Firman Allah ta’ala:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan) tentangnya” [QS. Al-Israa’ : 36].

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" [QS. Al-A’raaf : 33].

قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا تَخْرُصُونَ

“Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta” [QS. Al-An’aam : 148].

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dhann (persangkaan) belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”[QS. Al-An’aam : 116].

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dhann (persangkaan), dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” [QS. An-Najm : 23].

وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dhann (persangkaan) sedang sesungguhnya dhann itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” [QS. An-Najm : 28].

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran” [QS. Yuunus : 36].

Ayat-ayat di atas berisi celaan orang yang mengikuti dhann dan melakukan sesuatu tanpa ilmu. Celaan Allah ta’ala ini tidak membedakan antara perkara ‘aqidah (keyakinan) dan hukum. Seandainya orang-orang itu mengatakan hadits ahad hanya menghasilkan dhann  (bukan ilmu/keyakinan) dan hanya wajib diamalkan dalam masalah hukum, itu mengkonsekuensikan perkataan bahwa Allah ta’alamemerintahkan sesuatu yang Ia larang, dan ini mustahil.

Oleh karena itu, baik masalah ‘aqidah dan hukum, keduanya harus ditetapkan berdasarkan ilmu, bukan sekedar dhann; dan itu tercukupi dengan As-Sunnah baik yang diperoleh dari jalan ahad maupun mutawatir.

Firman Allah ta’ala:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43].

Melalui ayat ini Allah ta’ala memerintahkan kita untuk bertanya kepada ulama terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui dalam permasalahan agama, baik hukum maupun ‘aqidah. Allah ta’ala tidak mempersyaratkan agar kita bertanya kepada banyak ahli ilmu sehingga memenuhi persyaratan mutawatir sehingga jawaban atas pertanyaan kita diterima dan diamalkan. Cukup bagi kita bertanya kepada seorang ahli ilmu yang kita percayai atas keilmuannya, maka jawabannya (yang disertai dalil) dapat kita terima dan amalkan. Dan pada kenyataannya, memang seperti itulah yang diamalkan oleh kaum muslimin sepanjang masa.

Mereka yang mempersyaratkan ‘aqidah hanya dapat diterima melalui riwayat yang mutawatir saja, pada prakteknya mayoritas mereka hanyalah bertaqlid kepada penghukuman satu atau dua orang ahli ilmu (atau bahkan hanya level pengajar biasa atau buku bacaan) apakah hadits itu ahad atau mutawatir, karena mereka tidak menguasai ilmu riwayat dan takhrij hadits. Meskipun dikatakan sebuah hadits mutawatir, maka sampainya khabar tersebut kepada pendengar atau si peminta fatwa adalah ahad. Mensyaratkan kemutawatiran khabar adalah kesulitan tersendiri bagi mereka dan pengikut mereka untuk mempraktekkannya.

Firman Allah ta’ala:

فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” [QS. At-Taubah : 122].

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa dikatakan ‘thaaifah’ itu jika jumlahnya minimal 3 orang, karena itu adalah jumlah minimal bilangan jamak. Namun yang benar, ‘thaaifah’ juga dimutlakkan untuk 1 orang berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya” [QS. Al-Hujuraat : 9].

Yang berpendapat jumlah minimal dari ‘thaaifah’ adalah 1 orang adalah Mujaahid, Qataadah, Abu Maalik, Al-Bukhaariy, Ibnul-Mandhuur, Ibnul-Atsiir, Ibnu Hajar, dan yang lainnya.

Seandainya khabar ahad tidak mengandung ilmu dan menjadi hujjah dalam masalah ‘aqidah/keimanan, maka tidak ada faedahnya Allah ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu dan kemudian kembali ke kaumnya untuk memberikan peringatan jika ujungnya peringatan mereka boleh ditolak hanya dengan alasan jumlah mereka tidak mencapai derajat mutawatir.

Firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya” [QS. Al-Maaidah : 67].

Telah dimaklumi bahwasannya sampainya nash merupakan persyaratan tegaknya hujjah kepada orang yang disampaikan. Seandainya khabar ahad tidak menghasilkan ilmu, niscaya hujjah Allah ta’ala tidak dikatakan tegak dengan adanya tabliigh tersebut, dan ini jelas kebathilannya.

Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus individu-individu shahabat dan mengirimkan surat ke beberapa negeri untuk menyampaikan Islam, sehingga hujjah pun dikatakan tegak bagi orang yang telah sampai utusan tersebut kepadanya.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ مُعَاذًا، قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ .....

Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Mu’aadz pernah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutusku seraya bersabda : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitaab, maka ajaklah mereka kepada persaksian LA ILAHA ILLALLAH (tidak ada ilah yang berhak untuk disembah melainkan Allah). Apabila mereka mentaatimu terhadap hal tersebut, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali dalam sehari semalam.....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 19].

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan diri untuk mengutus Mu’’adz seorang diri untuk berdakwah masalah ‘aqidah dan hukum sekaligus kepada penduduk Yaman yang masih memeluk agama Ahli Kitaab. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan sekaligus menjadi hujjah bagi penduduk Yaman, niscaya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengutusnya seorang diri.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ بِكِتَابِهِ رَجُلًا وَأَمَرَهُ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى عَظِيمِ الْبَحْرَيْنِ، فَدَفَعَهُ عَظِيمُ الْبَحْرَيْنِ إِلَى كِسْرَى، فَلَمَّا قَرَأَهُ مَزَّقَهُ، فَحَسِبْتُ أَنَّ ابْنَ الْمُسَيَّبِ، قَالَ: فَدَعَا عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُمَزَّقُوا كُلَّ مُمَزَّقٍ

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus seseorang dengan membawa surat  dan memerintahkannya agar memberikan surat itu kepada penguasa Bahrain. (Setelah diterima), penguasa Bahrain tersebut memberikannya kepada Kisraa. Ketika dibaca, surat itu dirobeknya. – (Perawi berkata: ) Aku mengira Ibnul-Musayyib berkata : - Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdoa agar kekuasaannya dihancurkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 64 & 4424 & 7264].

Seandainya khabar ahad tidak mengandung ilmu dan tidak menjadi hujjah dalam masalah ‘aqiidah – dan surat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu berisi tentang ‘aqiidah, yaitu ajakan kepada ketauhidan Allah ta’ala – niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendoakan kehancuran bagi Kisraa atas penghinaannya terhadap surat yang dikirimkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَوَصِيَّتُهُ إِلَى أُمَّتِهِ، فَلْيُبْلِغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ، لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

Ibnu 'Abbas radliyallaahu ‘anhumaa berkata : "Maka demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh itu suatu wasiat dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya”. (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda): "Maka hendaklah yang hadir menyampaikannya kepada yang tidak hadir, dan janganlah kalian kembali menjadi kafir sepeninggalku. Sebagian kalian membunuh sebagian yang lain"[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1739].

Wasiat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut diucapkan pada waktu haji wada’ yang dihadiri oleh para shahabat dari berbagai pelosok negeri. Wasiat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut dalam berbagai jalan riwayat berisi ‘aqidah dan hukum sekaligus. Oleh karena itu, perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada semua orang yang hadir menyaksikan dan mendengar wasiat beliau agar menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir menunjukkan apa khabar ahad yang dibawa masing-masing shahabat saat kembali ke negerinya mengandung ilmu.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat…”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3461].

Perintah untuk menyampaikan semua hal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu itu umum, yaitu kepada seorang shahabat atau lebih, meliputi perkara ‘aqidah maupun hukum. Hal ini menunjukkan wajibnya untuk beramal bagi orang yang sampai kepadanya khabar tersebut, sehingga khabar itu memberikan faedah ilmu, bukan sekedar dhann.

عَنْ  عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ

Dari 'Abdullah bin Mas'uud, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Semoga Allah mencerahkan wajah seorang yang mendengar sebuah hadits dariku lalu dia menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar…."[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2657; dan ia berkata : 'Hadits hasan shahih'].

Hadits ini seperti dua hadits sebelumnya. Hanya saja dalam hadits ini, dikuatkan lagi dengan adanya pujian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang menyampaikan hadits kepada orang lain sebagaimana yang ia dengar dari beliau. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu kepada orang yang sampai kepadanya hadits tersebut, niscaya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak akan memberikan pujian kepada orang yang menyampaikan hadits kepadanya.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ بَيْنَمَا النَّاسُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ بِقُبَاءٍ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبَلُوهَا وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ

Dari Ibnu 'Umar, ia berkata : "Ketika orang-orang shalat Shubuh di Qubaa', tiba-tiba ada seseorang mendatangi mereka seraya berkata : 'Sesungguhnya telah diturunkan ayat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam, dan beliau telah diperintahkan untuk menghadap Ka'bah (ketika shalat). Maka menghadaplah ke Ka'bah'. Waktu itu mereka shalat menghadap ke Syaam, maka mereka memutar menghadap Ka'bah" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4494 dan Muslim no. 526].

Apabila khabar ahad tidak menjadi hujjah dalam masalah 'aqiidah, niscaya para shahabat yang ketika itu sedang shalat tidak akan langsung memutar menghadap Kiblat saat mendengar perkataan seorang shahabat yang mengkhabarkan telah turun ayat yang memerintahkan mereka untuk menghadap Ka'bah ketika shalat.

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ ، أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي ، فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا ، فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا ، قَالَ : " ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ "

Dari Maalik bin Al-Huwairits, ia berkata : Aku mendatangi Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal di sisi beliau selama 20 malam/hari. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat lemah lembut. Ketika beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, maka beliau bersabda :'Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka. Ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila hadir waktu shalat, maka hendaklah salah seorang diantara kalian mengumandangkan adzan dan orang yang paling tua lah yang mengimami shalatkalian" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 628].

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Maalik bin Al-Huwairits dan rekan-rekannya untuk pulang mengajari keluarga mereka masing-masing tentang syari'at Islam. Dan telah diketahui bahwa syari'at Islam yang mereka pelajari dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam meliputi 'aqidah dan hukum. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan tidak dapat dipakai sebagai hujjah dalam masalah 'aqiidah, maka tidak ada faedahnya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mengajari keluarga mereka masing-masing.

عن عمر رضي الله عنه قال : وَكَانَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ إِذَا غَابَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَهِدْتُهُ أَتَيْتُهُ بِمَا يَكُونُ وَإِذَا غِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَهِدَ أَتَانِي بِمَا يَكُونُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari 'Umar radliyallaahu 'anhu : "Dan dulu seorang shahabat dari kalangan Anshaar, apabila ia tidak hadir dari sisi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sementara aku hadir, maka aku menemuinya dan memberitahukannya sesuatu yang aku dapat dari beliau. Begitu juga sebaliknya, bila aku tidak hadir dari sisi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sedangkan dia hadir, maka ia akan menemuiku dan menyampaikan apa yang ia dapat dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5843].

Semua yang berasal dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam baik 'aqiidah dan hukum, menjadi hujjah bagi para shahabat yang tidak hadir di sisi beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berdasarkankan khabar yang disampaikan shahabat lain yang hadir menyaksikan.

عَنْ فَاطِمَةَ بنت قَيْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّهَا سَمِعَتْ نِدَاءَ الْمُنَادِي مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَادِي الصَّلَاةَ جَامِعَةً، فَخَرَجْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ فِي صَفِّ النِّسَاءِ الَّتِي تَلِي ظُهُورَ الْقَوْمِ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَضْحَكُ، فَقَالَ: " لِيَلْزَمْ كُلُّ إِنْسَانٍ مُصَلَّاهُ "، ثُمَّ قَالَ: " أَتَدْرُونَ لِمَ جَمَعْتُكُمْ؟ "، قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: " إِنِّي وَاللَّهِ مَا جَمَعْتُكُمْ لِرَغْبَةٍ وَلَا لِرَهْبَةٍ، وَلَكِنْ جَمَعْتُكُمْ لِأَنَّ تَمِيمًا الدَّارِيَّ كَانَ رَجُلًا نَصْرَانِيًّا، فَجَاءَ فَبَايَعَ وَأَسْلَمَ، وَحَدَّثَنِي حَدِيثًا وَافَقَ الَّذِي كُنْتُ أُحَدِّثُكُمْ عَنْ مَسِيحِ الدَّجَّالِ، حَدَّثَنِي أَنَّهُ رَكِبَ فِي سَفِينَةٍ بَحْرِيَّةٍ مَعَ ثَلَاثِينَ رَجُلًا مِنْ لَخْمٍ وَجُذَامَ، فَلَعِبَ بِهِمُ الْمَوْجُ شَهْرًا فِي الْبَحْرِ....

Dari Faathimah binti Qais, bahwasannya ia pernah mendengar seruan seorang shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; ‘Ash-shalaatu jaami’ah’.  Maka aku pergi ke masjid dan shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Aku berada di shaff wanita yang berada dekat dengan punggung kaum laki-laki. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menyelesaikan shalatnya, maka beliau duduk di atas mimbar sambil tertawa. Beliau bersabda : “Hendaknya setiap orang tetap di tempatnya”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamkembali bersabda : “Tahukah kalian mengapa aku mengumpulkan kalian?”. Para shahabat menjawab : “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allah, sesungguhnya aku tidaklah mengumpulkan kalian karena keinginan (untuk membagi ghanimah) dan tidak pula karena takut (terhadap musuh). Akan tetapi aku kumpulkan kalian, karena Tamiim Ad-Daariy. Ia dulu seorang yang beragama Nashrani, kemudian datang berbai’at dan masuk Islam. Ia menceritakan kepadaku sebuah kisah yang sesuai dengan kisah yang pernah aku ceritakan kepada kalian tentang Al-Masiih Ad-Dajjaal. Ia menceritakan kepadaku bahwa ia telah berlayar dalam dengan sebuah kapal/perahu besar bersama 30 orang laki-laki dari suku Lakhm dan Judzaam. Mereka dipermainkan oleh ombak selama sebulan di lautan…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2942].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan diri dengan khabar yang dibawa oleh Tamiim Ad-Daariy radliyallaahu ‘anhu tentang Dajjaal dan membenarkannya, padahal bersamanya ada 30 orang lain yang menyaksikannya. Seandainya khabar ahad tidak menjadi hujjah, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan membenarkan apa yang disampaikan oleh Tamiim seorang diri dan besar kemungkinan akan mengecek apa yang disampaikannya dengan 30 orang yang bersamanya.

عَنْ أَنَسٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَسْقِي أَبَا عُبَيْدَةَ وَأَبَا طَلْحَةَ وَأُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ مِنْ فَضِيخِ زَهْوٍ وَتَمْرٍ فَجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ قُمْ يَا أَنَسُ فَأَهْرِقْهَا فَأَهْرَقْتُهَا

Dari Anas bin Malik radliallaahu 'anhu dia berkata : Aku pernah menuangkan minuman dari fadlih (minuman keras dari perasan kurma muda) dan tamr (minuman keras dari perasan kurma kering) kepada Abu 'Ubaidah, Abu Thalhah, Ubay bin Ka'b. Tiba-tiba seseorang datang sambil berkata : "Sesungguhnya khamr telah diharamkan". Lantas Abu Thalhah berkata : "Wahai Anas, bangunlah dan tumpahkanlah!". Maka aku pun menumpahkan khamr tersebut [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5580].

Hadits ini berkenaan dengan turunnya ayat pengharaman khamr. Abu Thalhah tidak menunggu persaksian banyak orang sebelum ia menumpahkan khamrnya. Tidaklah Abu Thalhah melakukannya kecuali ia berkeyakinan (beri'tiqad) bahwa khamr memang benar-benar telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya berdasarkan pengkhabaran seorang shahabat radliyallaahu 'anhumaa kepadanya.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

Dari Ibnu 'Umar dan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Bilaal adzan di waktu malam, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan (Shubuh) kecuali setelah terbitnya fajar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1918-1919].

Para shahabat radliyallaahu 'anhum dulu berhenti dari makan dan minum dengan adzan yang dikumandangkan Bilaal. Maknanya, mereka (para shahabat) meyakini masuknya waktu fajar sekedar mendengar adzan seseorang. Ini adalah masalah 'aqidah yang disetujui oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tanpa ada pengingkaran. Yang beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ingkari hanyalah bahwa mereka masih boleh makan dan minum karena Bilaal mengumandangkan adzan di waktu malam dan belum memasuki waktu fajar (Shubuh).

Setiap hukum amaliy, tidak bisa tidak mesti diikuti dengan 'aqiidah; yaitu 'aqidah bahwa Allah memerintahkan atau melarang kita untuk melakukannya. Seperti halnya perkataan seseorang : "Air ini suci, bisa Anda pergunakan untuk berwudlu". Ketika kita membenarkannya dan kemudian mengamalkannya (berwudlu dengan air itu), maka bersamaan dengan itu pula kita berkeyakinan (beraqidah) bahwa air itu adalah suci.

Begitu juga ketika kita melakukan shalat. Saat melakukannya pasti kita meyakini bahwa shalat yang kita lakukan adalah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya – baik yang hukumnya wajib maupun sunnah - .

Bagaimana bisa dibayangkan seseorang yang melakukan sesuatu amalan ibadah yang rutin berdasarkan hadits ahad tanpa meyakini ibadah yang ia lakukan merupakan perintah dari agama ?. Ini adalah satu pemikiran yang mengherankan......

Maalik bin Anas rahimahumallah ketika beliau membawakan hadits :

الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

"Mimpi yang baik dari seorang laki-laki shalih adalah salah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian".

maka, ada seseorang yang berkata kepada beliau : "Apakah itu berlaku bagi mimpi setiap orang ?". Beliau berkata : "Apakah dengan perkara nubuwaah dapat untuk bersenda-gurau ?" [Fathul-Maalik bi-Tabwiibit-Tamhiid li-Ibni 'Abdil-Barr 'alaa Muwaththa' Maalik, 10/224].

Perkataan ini dapat dipahami bahwa beliau rahimahullah membenarkan dan meyakini hadits tentang ru'yaa (mimpi) tersebut - dan hadits itu masuk dalam katagori ahad yang berkaitan dengan ‘aqiidah.

Madzhab Maalik ini dijelaskan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah:

وقال قوم كثير من أهل الأثر وبعض أهل النظر: أنه يوجب العلم الظاهر والعمل جميعا منهم الحسين الكرابيسي وغيره.وذكر ابن خوازمنداد أن هذا القول يخرج على مذهب مالك

“Banyak orang dari kalangan ahlul-atsar dan sebagian ahlun-nadhar yang mengatakan bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu dhahir dan amal sekaligus. Diantara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Al-Husain Al-Karaabiisiy dan yang lainnya. Ibnu Khuwaazmindaad menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan madzhab Maalik” [At-Tamhiid, 1/8].

Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:

وبعث رسول الله أبا بكر واليا على الحج في سنة تسع وحضره الحج من أهل بلدان مختلفة وشعوب متفرقة فأقام لهم مناسكهم وأخبرهم عن رسول الله بما لهم وما عليهم. وبعث علي بن أبي طالب في تلك السنة فقرأ عليهم في مجمعهم يوم النحر آيات من { سورة براءة }  ونبذ إلى قوم على سواء وجعل لهم مددا ونهاهم عن أمور. فكان أبو بكر وعلي معروفين عند أهل مكة بالفضل والدين والصدق وكان من جهلهما أو أحدهما من الحاج وجد من يخبره عن صدقهما وفضلهما. ولم يكن رسول الله ليبعث إلا واحدا الحجة قائمة بخبره على من بعثه إليه إن شاء الله. وقد فرق النبي عمالا على نواحي عرفنا أسماءهم والمواضع التي فرقهم عليها. فبعث قيس بن عاصم والزبرقان بن بدر وابن نويرة إلى عشائرهم بعلمهم بصدقهم عندهم. وقدم عليهم وفد البحرين فعرفوا من معه فبعث معهم بن سعيد بن العص. وبعث معاذ بن جبل إلى اليمن وأمره أن يقاتل بمن أطاعه من عصاه ويعلمهم ما فرض الله عليهم ويأخذ منهم ما وجب عليهم لمعرفتهم بمعاذ ومكانه منهم وصدقه. وكل من ولى فقد امره بأخذ ما أوجب الله على من ولاه عليه. ولم يكن لأحد عندنا في أحد مما قدم عليه من أهل الصدق ان يقول أنت واحد وليس لك أن تأخذ منا ما لم نسمع رسول الله يذكر انه علينا

“Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Bakr sebagai waliyul-hajj pada tahun ke-9 H yang dihadiri oleh penduduk dari berbagai negeri. Abu Bakr menjalankan manasik haji bersama mereka dan mengkhabarkan kepada mereka apa yang diperintah dan dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus ‘Aliy bin Abi Thaalib pada tahun tersebut untuk membacakan kepada mereka pada hari Nahr ayat-ayat dari surat Al-Baraa’ah, dan memperingatkan apabila orang kafir melanggar perjanjian, maka kaum muslimin pun akan melakukan hal yang sama. ‘Aliy pun melarang kepada mereka beberapa perkara. Abu Bakr dan ‘Aliy dikenal bagi penduduk Makkah dengan keutamaan, agama, dan kejujurannya; sedangkan jama’ah haji yang tidak mengetahui keduanya atau salah seorang dari keduanya, maka orang yang mengetahui memberitahukan kepadanya tentang kejujuran dan keutamaan mereka sehingga mengetahui. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengutus kecuali hanya seorang saja sehingga hujjah pun dikatakan tegak kepada orang-orang tersebut dengannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus para shahabat ke berbagai negeri yang nama dan tempat mereka diutus masing-masing telah kita ketahui. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Qais bin ‘Aashim, Az-Zibriqaan bin Badr, dan Ibnu Nuwairah kepada kabilah mereka masing-masing dikarenakan telah diketahui kejujurannya di sisi mereka. Datanglah kepada mereka utusan Bahrain, lalu mereka mengetahui orang yang ada dalam rombongan tersebut, kemudian beliau mengutus Ibnu Sa’iid bin Al-‘Aash bersama mereka.

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’aadz bin Jabal ke negeri Yaman dan memerintahkannya bersama orang yang mentaatinya untuk memerangi orang yang membangkangnya, dan mengajarkan kepada mereka (penduduk Yaman) apa saja yang diwajibkan Allah ta’ala terhadap mereka, serta mengambil zakat yang yang harus mereka bayarkan; dikarenakan mereka (penduduk Yaman) telah mengenal kedudukan Mu’aadz dan kejujurannya.

Setiap orang yang diberikan tugas menjadi waliy diperintahkan untuk mengambil apa yang diwajibkan Allah kepada mereka. Kami tidak mengetahui ada seorang pun dari mereka ketika datang seorang yang jujur kepada mereka berkata : ‘Engkau hanya seorang, sehingga engkau tidak boleh mengambil dari kami sesuatu yang kami tidak mendengar (secara langsung) bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkannya kepada kami” [Ar-Risaalah, 414-417].

Abu Ya’laa rahimahullah menukil perkataan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah ketika mengomentari hadits-hadits ahad dalam permasalahan ‘aqiidah:

إِنَّ اللَّهَ، تَبَارَكَ وَتَعَالَى، يَنْزِلُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا " وَاللَّهُ يُرَى " وَأَنَّهُ يَضَعُ قَدَمَهُ " وَمَا أَشْبَهُ بِذَلِكَ، نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا وَلا كَيْفَ وَلا مَعْنَى ! وَلا نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا، وَنَعْلَمُ أَنَّ مَا قَالَهُ الرَّسُولُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ إِذَا كَانَتْ بِأَسَانِيدَ صِحَاحٍ.

“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta'ala turun ke langit dunia, Allah kelak akan dilihat (di akhirat), Allah meletakkan kaki-Nya, dan yang semisalnya dari hadits-hadits; maka kami mengimaninya, membenarkannya, tidak menanyakan kaifiyatnya, tidak memaknainya (dengan makna-makna yang bathil), dan tidak menolak satu pun darinya. Kami mengetahui bahwa apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah benar jika berasal dari sanad yang shahih” [Ibthaalut-Ta’wiilaat].

Al-Khathiib Al-Baghdaadiy rahimahullah berkata:

وَعَلَى الْعَمَلِ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ كَانَ كَافَّةُ التَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْفُقَهَاءِ الْمُخَالِفِيْنَ فِي سَائِرِ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى وَقْتِنَا هَذَا، وَلَمْ يَبْلُغْنَا عَنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ إِنْكَارٌ لِذَلِكَ، وَلا اعْتِرَاضٌ عَلَيْهِ

“Dan keharusan untuk beramal dengan khabar waahid adalah pendapat seluruh taabi’iin dan orang-orang setelah mereka dari kalangan fuqahaa’ di seluruh penjuru negeri Islam hingga saat ini. Tidak ada keterangan yang sampai kepada kami seorang pun dari mereka yang mengingkarinya dan menolaknya….” [Al-Kifaayah, hal. 129].

Al-Futuuhiy rahimahullah berkata:

قال ابن عقيل وابن الجوزي والقاضي وأبو بكر بن الباقلاني وأبو حامد وابن برهان والفخر الرازي والآمدي وغيرهم: يفيد العلم ما نقله آحاد الأمة المتفق عليهم إذا تلقي بالقبول

أما المشهور والمستفيض فمن العلماء من قال: يفيد علما نظريا، ومنهم من قال: يفيد القطع

“Ibnu ‘Aqiil, Ibnul-Jauziy, Al-Qaadliy, Abu Bakr bin Al-Baaqilaaniy, Abu Haamid, Ibnu Burhaan, Al-Fakhrur-Raaziy dan yang lainnya berpendapat bahwa apa yang diriwayatkan oleh individu-individu yang telah disepakati dan diterima oleh umat memberikan faedah ilmu. Adapun riwayat masyhuur dan mustafiidl, diantara ulama ada yang berpendapat memberikan faedah ilmu nadhariy, dan diantara mereka ada yang berpendapat memberikan faedah ilmu yang qath’iy (pasti/aksiomatik)” [Syarh Kaukabil-Muniir, 2/248-249].

Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:

وكلهم يدين بخبر الواحد العدل في الاعتقادات ، ويعادي ويوالي عليها ، ويجعلها شرعاً وديناً في معتقده ، على ذلك جماعة أهل السنة

“….Dan semuanya berpegang kepada riwayat satu orang yang adil dalam hal ‘aqidah; membela, mempertahankannya, serta menjadikannya sebagai syari’at dan agama. Jama’ah Ahlus-Sunnah berada di atas pendapat tersebut” [At-Tamhiid oleh Ibnu ‘Abdil-Barr 1/8].

وأجمع أهل العلم من أهل الفقه والأثر في جميع الأمصار فيما علمت على قبول خبر الواحد العدل وايجاب العمل به إذا ثبت ولم ينسخه غيره من أثر أو أجماع على هذا جميع الفقهاء في كل عصر من لدن الصحابة الى يومنا هذا الا الخوارج وطوائف من أهل البدع شرذمة لا تعد خلافا

“Para ulama dari kalangan ahli fiqh dan ahli hadits di seluruh penjuru (negeri-negeri Islam) – sepanjang saya ketahui – telah bersepakat untuk menerima hadits ahad (hadits riwayat satu orang) yang adil (shalih dan terpercaya). Begitu pula (telah ijma’) untuk wajib mengamalkannya, jika ia telah shahih dan tidak dinasakh (dihapus) oleh yang lainnya, baik dari atsar atau ijma’.  Inilah prinsip seluruh fuqahaa di setiap negeri, sejak jaman shahabat hingga hari ini, kecuali Khawarij dan Ahli Bid’ah, yaitu sekelompok kecil yang (ketidaksepakatannya) tidak sebagai perbedaan pendapat” [idem 1/11].

Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah berkata:

وخبر الواحد إذا تلقته الأمة بالقبول ، عملاً به وتصديقاً له - : يفيد العلم [اليقيني] عند جماهير الأمة ، وهو أحد قسمي المتواتر . ولم يكن بين سلف الأمة في ذلك نزاع

“Dan khabar waahid apabila diterima oleh umat dengan penuh penerimaan, baik dalam amalan (hukum) maupun pembenaran (‘aqiidah); menghasilkan ilmu yakin menurut mayoritas umat. Ia adalah salah satu bagian mutawatir. Tidak ada perselisihan di kalangan salaful-ummah tentang hal itu” [Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, hal. 355].

As-Safaariiniy rahimahullah berkata:

يعمل بخبر الآحاد في أصول الدين وحكى ابن عبد البر الإجماع على ذلك

“Khabar ahad diamalkan dalam perkara ushuuluddiin, dan Ibnu ‘Abdil-Barr menghikayatkan adanya ijmaa’ atas hal tersebut” [Lawaami’ul-Anwaar Al-Baahiyyah, 1/19].

Muhammad Al-Amiin Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata:

اعلم أن التحقيق الذي لا يجوز العدول عنه أن أخبار الآحاد الصحيحة كما تقبل في الفروع تقبل في الأصول . فما ثبت عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم بأسانيد صحيحة من صفات الله يجب اثباته واعتقاده على الوجه اللائق بكمال الله وجلاله على نحو لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ .

وبهذا تعلم أن ما أطبق عليه أهل الكلام ومن تبعهم ن أن أخبار الآحاد لا تقبل في العقائد ولا يثبت بها شئ من صفات الله زاعمين أن أخبار الآحاد لا تفيد اليقين وأن العقائد لا بد فيها من اليقين باطل لا يعول عليه . ويكفي من ظهور بطلانه أنه يستلزم رد الروايات الصحيحة الثابتة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم بمجرد تحكيم العقل

“Ketahuilah, bahwa penelitian yang hasilnya tidak diperbolehkan untuk menyimpang darinya adalah : hadits-hadits ahad yang shahih sebagaimana diterima dalam masalah furuu’ juga diterima dalam masalah ushuul. Maka apa saja yang telah sah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallam dengan sanad yang shahih tentang sifat-sifat Allah, wajib untuk menetapkannya dan diyakini sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan Allah, sebagaimana firman-Nya: ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ (QS. Asy-Syuuraa : 11).

Dengan demikian, engkau akan mengetahui bahwa apa yang ditetapkan oleh ahli kalam dan yang mengikuti mereka bahwa hadits ahad tidak diterima dalam masalah ‘aqiidah dan tidak boleh ditetapkan sifat-sifat Allah dengannya, karena persangkaan mereka bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah keyakinan – padahal ‘aqidah harus ditetapkan berdasarkan keyakinan – ; adalah perkataan yang bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti kebathilannya bahwa pendapat ini mengkonsekuensikan untuk menolak riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam berdasarkan penghukuman akal semata” [Mudzakarah fii Ushuulil-Fiqh, hal. 124-125].

Setelah kita memperhatikan dalil-dalil dan perkataan ulama di atas, maka akan nampak – insya Allah – kebathilan orang-orang yang menolak penggunaan hadits ahad dalam permasalahan ‘aqiidah.

Bahaya Menolak Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah

Tidak ada keraguan lagi bagi orang yang berakal bahwa menolak kebolehan hadits ahad menjadi hujjah dalam masalah akidah termasuk penentangan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini tentu akan berdampak negatif. Di antara bahaya yang akan timbul dalam penolakan tersebut adalah:

1. Menolak segala hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi.

2. Menolak adanya syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang besar (syafa’atul ‘uzhma) pada hari kiamat.

3. Menolak adanya syafaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para pelaku dosa besar.

4. Menolak adanya seluruh mukjizat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Al-Qur`an.

5. Menolak awal mula penciptaan dan sifat para malaikat, jin, sifat surga dan neraka yang tidak tersebutkan di dalam Al-Qur`an.

6. Menolak adanya pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur.

7. Menolak berita disempitkannya kuburan bagi mayit.

8. Menolak adanya Ash-Shirath (jembatan), Al-Haudh (telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan timbangan yang memiliki dua daun timbangan.

9. Menolak beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulis catatan setiap manusia: bahagia, celaka, rizki dan ajalnya, ketika dia masih dalam kandungan ibunya.

10. Menolak berbagai kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah dihimpun oleh Al-Imam As-Suyuthi rahimahullahu dalam kitab beliau Al-Khasha`is Al-Kubra. Seperti masuknya beliau ke dalam surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta apa-apa yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa. Juga masuk Islamnya qarin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan jin.

11. Menolak penetapan adanya 10 orang yang dikabarkan masuk surga.

12. Menolak tidak kekalnya pelaku dosa besar (dari kalangan muslimin yang bertauhid) di dalam neraka.

13. Menolak beriman terhadap berita yang shahih tentang hari kiamat, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur`an.

14. Menolak beriman terhadap sebagian besar tanda-tanda hari kiamat (yang sebenarnya hadits-haditsnya mutawatir, namun dianggap ahad oleh orang-orang yang tak mengerti ilmu hadits), seperti keluarnya Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, keluarnya Dajjal, keluarnya api, terbitnya matahari dari sebelah barat, munculnya binatang, dan selainnya.

Perkara Ghaib, Antara Kufur dan Iman

Dari urairan di atas jelaslah bahwa orang-orang yang menentang adanya berita ghaib termasuk kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menentang-Nya serta menentang seluruh rasul. Karena beriman kepada perkara ghaib termasuk rukun-rukun iman. Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullahu mengatakan: “Mengingkari risalah beliau (Shallallahu ‘alaihi wa sallam) termasuk celaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 178)

Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi rahimahullahu menjelaskan: “Tidak akan kokoh fondasi Islam melainkan di atas sikap berserah diri dan menerima. Barangsiapa berusaha menggali ilmu yang dilarang untuk diilmui dan tidak merasa puas dengan menyerahkan pemahamannya, maka keinginannya akan menghalangi dirinya dari kemurnian tauhid, kebersihan ilmu, dan iman yang benar. Sehingga dia menjadi orang yang bimbang antara kufur dan iman, antara membenarkan dan mendustakan, antara menetapkan dan mengingkari. Dia juga akan ternodai oleh bisikan-bisikan yang menyesatkan dan mendatangkan keragu-raguan. Dia bukan seorang yang beriman dan membenarkan, bukan pula seorang penentang yang mendustakan.”

Kaidah ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّيْنَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Al-Baqarah: 177)

Dalam hadits Jibril disebutkan:

أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ. قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Jibril berkata: “Beritahukan kepadaku tentang iman.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada taqdir yang baik maupun buruk.”

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar