Translate

Jumat, 13 Juli 2018

Mencium Hajar Aswad Adalah Tuntunan Rosululloh SAW

Mengapa seorang muslim disunnahkan mencium hajar Aswad? Jawabannya sebenarnya begitu simpel yaitu ingin mengikuti tuntunan Nabi. Karena Nabi menciumnya maka kita menciumnya. Itu saja alasan sederhananya.

Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَابِسِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْ لَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin katsiir : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari ‘Aabis bin Rabii’ah, dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia pernah mendatangi hajar aswad lalu menciumnya dan berkata : “Sesungguhnya aku tahu bahwasannya engkau hanyalah sebuah batu yang tidak memberikan kemudlaratan dan tidak pula manfaat. Seandainya aku tidak melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tidak sudi menciummu” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 1597].

Beberapa faedah dari hadits di atas:

Wajibnya mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah beliau tunjuki walau tidak nampak hikmah atau manfaat melakukan perintah tersebut. Intinya, yang penting dilaksanakan tanpa mesti menunggu atau mengetahui adanya hikmah.

Ibadah itu tawqifiyah, yaitu berdasarkan dalil, tidak bisa dibuat-buat atau direka-reka.

Mencium hajar aswad termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kenapa mencium hajar aswad? Alasannya mudah, karena ingin mengikuti ajaran Rasul. Karena seandainya Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak melakukannya, maka tentu kaum muslimin tidak melakukannya.

Para sahabat begitu semangat melaksanakan setiap ajaran Rasul.

Yang mendatangkan manfaat danmudhorot hanyalah Allah. Hajar aswad hanyalah batu biasa yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Segala sesuatu selain Allah tidak dapat memberikan manfaat atau bahaya walau ia adalah sesuatu yang diagung-agungkan.

Hajar Aswad, Bagaimana Dulunya?

Perlu diketahui bahwa hajar aswad adalah batu yang diturunkan dari surga. Asalnya itu putih seperti salju. Namun karena dosa manusia dan kelakukan orang-orang musyrik di muka bumi, batu tersebut akhirnya berubah jadi hitam.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِى آدَمَ »

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hajar aswad turun dari surga padahal batu tersebut begitu putih lebih putih daripada susu. Dosa manusialah yang membuat batu tersebut menjadi hitam”. ( HR. Tirmidzi no. 877. Shahih menurut Syaikh Al Albani)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَكَانَ أَشَدَّ بَيَاضاً مِنَ الثَّلْجِ حَتَّى سَوَّدَتْهُ خَطَايَا أَهْلِ الشِّرْكِ.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hajar aswad adalah batu dari surga. Batu tersebut lebih putih dari salju. Dosa orang-orang musyriklah yang membuatnya menjadi hitam.” (HR. Ahmad 1: 307. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa lafazh ‘hajar Aswad adalah batu dari surga’ shahih dengan syawahid-nya. Sedangkan bagian hadits setelah itu tidak memiliki syawahid yang bisa menguatkannya. Tambahan setelah itudho’if karena kelirunya ‘Atho’).

Keadaan batu mulia ini di hari kiamat sebagaimana dikisahkan dalam hadits,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْحَجَرِ « وَاللَّهِ لَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا وَلِسَانٌ يَنْطِقُ بِهِ يَشْهَدُ عَلَى مَنِ اسْتَلَمَهُ بِحَقٍّ »

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai hajar Aswad, “Demi Allah, Allah akan mengutus batu tersebut pada hari kiamat dan ia memiliki dua mata yang bisa melihat, memiliki lisan yang bisa berbicara dan akan menjadi saksi bagi siapa yang benar-benar menyentuhnya” (HR. Tirmidzi no. 961, Ibnu Majah no. 2944 dan Ahmad 1: 247. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Benda-benda tertentu yang mengandung barakah berdasarkan dalil sehingga kita boleh bertabarruk dengannya antara lain:

a.      Hujan

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُّبَارَكًا فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ

“Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam” [QS. Qaaf : 9].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ بَرَكَةٍ، إِلَّا أَصْبَحَ فَرِيقٌ مِنَ النَّاسِ بِهَا كَافِرِينَ، يُنْزِلُ اللَّهُ الْغَيْثَ، فَيَقُولُونَ الْكَوْكَبُ كَذَا وَكَذَا

“Tidaklah Allah menurunkan barakah dari langit, kecuali akan ada sekelompok manusia yang kufur terhadapnya. Allah menurunkan hujan, lalu mereka berkata : ‘Bintang ini dan itu (yang menurunkan hujan)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 72].

Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyingkap pakaian beliau saat turun hujan pertama agar badan beliau terkena air hujan. Juga sebagian shahabat mengeluarkan beberapa barang/perabot keluar rumah agar terkena air hujan.

b.      Zaitun

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api” [QS. An-Nuur : 35].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُوا الزَّيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Makanlah zaitun dan jadikanlah ia sebagai minyak, karena ia termasuk pohon yang diberkahi” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1851, Ibnu Maajah no. 3319, ‘Abd bin Humaid no. 13, dan yang lainnya; lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 379].

c.      Kurma

Dalilnya adalah hadits:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُلُوسٌ إِذَا أُتِيَ بِجُمَّارِ نَخْلَةٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُ يَعْنِي النَّخْلَةَ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُولَ هِيَ النَّخْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثُمَّ الْتَفَتُّ فَإِذَا أَنَا عَاشِرُ عَشَرَةٍ أَنَا أَحْدَثُهُمْ، فَسَكَتُّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ النَّخْلَةُ "

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Ketika kami sedang duduk bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau disuguhi jantung kurma. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya di antara pohon ada satu pohon yang barakahnya seperti barakah seorang muslim”. Aku pun menduganya yang dimaksud adalah pohon kurma. Lalu aku ingin menjawabnya : ‘Ia adalah pohon kurma wahai Rasulullah’, namun ketika aku menoleh ternyata aku adalah yang paling muda diantara yang hadir. Maka aku pun diam, dan kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ia adalah pohon kurma” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5444].

d.      Segala sesuatu dari badan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam (rambut, keringat, dan yang lainnya).

Dalilnya diantaranya:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ بَيْتَ أُمِّ سُلَيْمٍ، فَيَنَامُ عَلَى فِرَاشِهَا، وَلَيْسَتْ فِيهِ، قَالَ: فَجَاءَ ذَاتَ يَوْمٍ، فَنَامَ عَلَى فِرَاشِهَا، فَأُتِيَتْ، فَقِيلَ لَهَا: هَذَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَامَ فِي بَيْتِكِ، عَلَى فِرَاشِكِ، قَالَ: فَجَاءَتْ وَقَدْ عَرِقَ وَاسْتَنْقَعَ عَرَقُهُ عَلَى قِطْعَةِ أَدِيمٍ عَلَى الْفِرَاشِ، فَفَتَحَتْ عَتِيدَتَهَا، فَجَعَلَتْ تُنَشِّفُ ذَلِكَ الْعَرَقَ فَتَعْصِرُهُ فِي قَوَارِيرِهَا، فَفَزِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَا تَصْنَعِينَ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ ؟ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَرْجُو بَرَكَتَهُ لِصِبْيَانِنَا، قَالَ: أَصَبْتِ

Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah masuk ke rumah Ummu Sulaim. Beliau lalu tidur di atas alas tidur Ummu Sulaim ketika ia tidak ada di rumah. Pada hari lainnya beliau juga datang dan melakukan hal yang sama. Ketika Ummu Sulaim datang, ada yang melapor bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidur di alas tidur di rumahnya. Segera saja Ummu Sulaim masuk dan mendapati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersimbah keringat yang sangat banyak sehingga mengenai sepotong kulit yang berada di dekat alas tidur tersebut. Kemudian Ummu Sulaim menyeka keringat tersebut lalu memerasnya ke dalam botol-botol yang terbuat dari kaca. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamterbangun dan merasa kaget. Beliau bertanya : “Apa yang sedang kamu lakukan wahai Ummu Sulaim ?”. Ia menjawab : “Wahai Rasulullah, kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami”. Maka beliau berkata : “Engkau benar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2331].

Dan yang lainnya.

Maka, orang tidak boleh seenaknya mengatakan bahwa tahu, tempe, asem, dan melon ada barakahnya secara spesifik, karena itu tidak ada dalilnya. Begitu juga tidak boleh mengatakan keringat kakek dan neneknya mengandung barakah diqiyaskan dengan barakahnya keringat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena para shahabat dulu tidak pernah bertabarruk dengan keringat selain dari keringat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu tidak bertabarruk dengan dzat Hajar Aswad karena dianggap mengandung barakah, karena kerberkahan benda-benda tertentu harus berdasarkan dalil, bukan berdasarkan akal dan pendapat semata.

‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu hanyalah mencium Hajar Aswad karena melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya.

Oleh karenanya, tabarruk ‘Umar radliyallaahu ‘anhubukan pada dzat bendanya (yaitu Hajar Aswad), akan tetapi bertabarruk dengan sikap ittibaa’ dan ibadah/amal ketaatan sesuai dengan yang diajarkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tabarruk dengan amal shaalih adalah dianjurkan oleh syari’at.

Ath-Thabariy rahimahullah berkata:

إِنَّمَا قَالَ ذَلِكَ عُمَر لِأَنَّ النَّاس كَانُوا حَدِيثِي عَهْد بِعِبَادَةِ الْأَصْنَام فَخَشِيَ عُمَر أَنْ يَظُنّ الْجُهَّال أَنَّ اِسْتِلَام الْحَجَر مِنْ بَاب تَعْظِيم بَعْض الْأَحْجَار كَمَا كَانَتْ الْعَرَب تَفْعَل فِي الْجَاهِلِيَّة فَأَرَادَ عُمَر أَنْ يُعَلِّم النَّاس أَنَّ اِسْتِلَامه اِتِّبَاع لِفِعْلِ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا لِأَنَّ الْحَجَر يَنْفَع وَيَضُرّ بِذَاتِهِ كَمَا كَانَتْ الْجَاهِلِيَّة تَعْتَقِدهُ فِي الْأَوْثَان

“’Umar hanyalah mengatakannya karena orang-orang belum lama terlepas dari penyembahan terhadap berhala, sehingga ia khawatir orang-orang bodoh akan menyangka mencium batu merupakan pengagungan terhadap sebagian batu-batu sebagaimana orang-orang ‘Arab dulu melakukannya di jaman Jaahiliyyah. Maka ‘Umar hendak memberitahukan kepada orang-orang bahwa ia mencium Hajar Aswad karena ittibaa’ terhadap perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan dikarenakan batu tersebut dapat memberikan manfaat dan mudlarat sebagaimana Jaahiliyyah dulu yang meyakininya pada berhala-berhala’ [Fathul-Baariy, 3/462-463].

Al-Baihaqiy rahimahullah berkata:

فَأَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ قَدْ عَبَدَ الْحَجَرَ فَحِينَ أَهْوَى إِلَى الرُّكْنِ كَأَنَّهُ هَابَ مَا كَانَ عَلَيْهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَبَرَّأَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سِوَى اللَّهِ وَأَخْبَرَهُ بِأَنَّهُ حَجَرٌ لا يَضُرُّ وَلا يَنْفَعُ يُرِيدُ مَا كَانَ عَلَى هَيْئَتِهِ حَجَرًا وَأَنَّهُ إِنَّمَا يُقَبِّلُهُ مُتَابَعَةً لِلسُّنَّةِ

“Amiirul-mukminiin ‘Umar radliyallaahu ‘anhu dulu menyembah batu. Maka ketika beliau membungkuk hendak mencium Ar-Rukn, sepertinya ia khawatir tentang kondisinya dulu di jaman Jaahiliyyah (yang menyembah batu). Maka beliau berlepas diri dari segala sesuatu selain Allah dan mengkhabarkan bahwa ia hanyalah batu yang tidak memberikan kemudlaratan dan tidak pula manfaat – maksud beliau adalah statusnya sebagai batu - , dan bahwasannya beliau hanya menciumnya karena ber-ittibaa’ kepada sunnah” [Syu’abul-Iimaan, 5/471].

An-Nawawiy rahimahullah berkata:

وَأَمَّا قَوْل عُمَر - رَضِيَ اللَّه عَنْهُ - : ( لَقَدْ عَلِمْت أَنَّك حَجَر وَإِنِّي لَأَعْلَم أَنَّك حَجَر وَأَنَّك لَا تَضُرّ وَلَا تَنْفَع ) فَأَرَادَ بِهِ بَيَان الْحَثّ عَلَى الِاقْتِدَاء بِرَسُولِ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَقْبِيله ، وَنَبَّهَ عَلَى أَنَّهُ لَوْلَا الِاقْتِدَاء بِهِ لَمَا فَعَلَهُ ، وَإِنَّمَا قَالَ : وَإِنَّك لَا تَضُرّ وَلَا تَنْفَع ؛ لِئَلَّا يَغْتَرّ بَعْض قَرِيبِي الْعَهْد بِالْإِسْلَامِ الَّذِينَ كَانُوا أَلِفُوا عِبَادَة الْأَحْجَار وَتَعْظِيمهَا وَرَجَاء نَفْعهَا ، وَخَوْف الضَّرَر بِالتَّقْصِيرِ فِي تَعْظِيمهَا ، وَكَانَ الْعَهْد قَرِيبًا بِذَلِكَ ، فَخَافَ عُمَر - رَضِيَ اللَّه عَنْهُ - أَنْ يَرَاهُ بَعْضهمْ يُقَبِّلهُ ، وَيَعْتَنِي بِهِ ، فَيَشْتَبِه عَلَيْهِ فَبَيَّنَ أَنَّهُ لَا يَضُرّ وَلَا يَنْفَع بِذَاتِهِ ، وَأنْ كَانَ اِمْتِثَال مَا شَرَعَ فِيهِ يَنْفَع بِالْجَزَاءِ وَالثَّوَاب فَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لَا قُدْرَة لَهُ عَلَى نَفْع وَلَا ضَرّ ، وَأَنَّهُ حَجَر مَخْلُوق كَبَاقِي الْمَخْلُوقَات الَّتِي لَا تَضُرّ وَلَا تَنْفَع وَأَشَاعَ عُمَر هَذَا فِي الْمَوْسِم ؛ لِيُشْهَد فِي الْبُلْدَان ، وَيَحْفَظهُ عَنْهُ أَهْل الْمَوْسِم الْمُخْتَلِفُو الْأَوْطَان . وَاَللَّه أَعْلَم .

“Adapun perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : ‘Sesungguhnya aku tahu bahwasannya engkau hanyalah sebuah batu, dan aku tahu bahwa engkau sebuah batu yang tidak memberikan kemudlaratan dan tidak pula manfaat’, maka ia hendak memberikan penjelasan dengannya tentang anjuran untuk meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi w sallamdalam menciumnya (Hajar Aswad), dan memberitahukan bahwa seandainya bukan karena maksud untuk meneladani beliau, niscaya ia tidak melakukannya. ‘Umar hanyalah berkata : ‘dan sesungguhnya engkau tidak memberikan mudlarat dan tidak pula manfaat; agar orang-orang yang baru masuk Islam yang dulunya senang menyembah batu, mengagungkannya, dan mengharapkan manfaatnya, dan khawatir terhadap mudlarat yang ditimbulkannya karena kurang dalam pengungannya; tidak terpedaya. Mereka baru saja lepas dari semua itu. Maka ‘Umarradliyallaahu ‘anhu khawatir timbul syubhat pada sebagian orang melihatnya mencium Hajar Aswad dan memberikan perhatian kepadanya. ‘Umar pun menjelaskan bahwa ia (Hajar Aswad) tidak dapat memberikan mudlarat dan tidak pula manfaat dengan dzatnya, serta bahwasannya ia adalah makhluk ciptaan yang tidak dapat memberikan manfaat berupa balasan dan pahala serta tidak dapat memberikan mudlarat. ‘Umar menyebarkan ini pada musim haji agar diketahui di negeri-negeri dan dihapal orang-orang dari berbagai negara yang menunaikan haji di muslim haji. Wallaahu a’lam’ [Syarh Shahiih Muslim, 9/16-17].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وَهُوَ قَاعِدَة عَظِيمَة فِي اِتِّبَاع النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَفْعَلهُ وَلَوْ لَمْ يَعْلَم الْحِكْمَة فِيهِ ، وَفِيهِ دَفْع مَا وَقَعَ لِبَعْضِ الْجُهَّال مِنْ أَنَّ فِي الْحَجَر الْأَسْوَد خَاصَّة تَرْجِع إِلَى ذَاته ، وَفِيهِ بَيَان السُّنَن بِالْقَوْلِ وَالْفِعْل

“Hal tersebut merupakan kaedah yang sangat agung dalam ittibaa’ kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada apa yang dilakukan ‘Umar meskipun ia tidak mengetahui hikmah yang terkandung di dalamnya” [Fathul-Baariy, 3/463].

Mencium atau mengusap benda-benda tertentu dalam rangka ibadah tidak diperbolehkan kecuali jika ada dalilnya.

Al-Qaadliy Abu Ya’laa rahimahullah ketika menyebutkan alasan pendapat kedua yang beredar dalam madzhabnya (Hanaabilah) tentang permasalahan berkata:

إنما طريقة القربة تقف على التوقيف ولهذا قال عمر ـ رضي الله عنه ـ في الحجر: لولا أني رأيت رسول الله يقبلك لما قبلتك وليس في هذا توقيف

“Jalan mendekatkan diri kepada Allah hanyalah berdiri di atas tauqiif (landasan dalil). Oleh karena itu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu berkata tentang Hajar Aswad : ‘Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menciummu, sungguhaku tidak sudi menciummu’. Dan tidak ada tauqiifdalam perbuatan ini (meletakkan tangan di atas kubur dan mengusap-usapnya)’ [Al-Masaailul-Fiqhiyyah min Kitaab Ar-Riwaayatain wal-Wajhain, 1/215].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

قَالَ شَيْخنَا فِي " شَرْح التِّرْمِذِيّ " : فِيهِ كَرَاهَة تَقْبِيل مَا لَمْ يَرِدْ الشَّرْع بِتَقْبِيلِهِ

“Telah berkata Syaikh kami dalam Syarh At-Tirmidziy : ‘Dalam riwayat tersebut terdapat dalil dibencinya mencium sesuatu yang tidak ada dalil dalam syari’at untuk menciumnya’ [Fathul-Baariy, 3/463].

عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ مَسَّ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar membenci mengusap kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juuz-nya no. 27, dan darinya Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/45 dan As-Siyar 12/378; shahih].

Setelah membawakan ini Adz-Dzahabiy rahimahullah mengomentari:

كره ذلك لأنه رآه إساءة أدب ، وقد سُئل أحمد بن حنبل عن مسّ القبر النبوي وتقبيله فلمْ يرَ بذلك بأسا ، رواه عنه ولده عبدالله بن أحمد

“Hal itu dimakruhkan karena ia (Ibnu ‘Umar) berpandangan sebagai suu’ul-adab saja. Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang mengusap-usap kubur nabi dan menciumnya, maka ia berpendapat tidak mengapa. Diriwayatkan darinya oleh anaknya yang bernama ‘Abdullah” [Mu’jamusy-Syuyuukh, 1/45].

Sebagian orang membawakan perkataan Adz-Dzahabiyrahimahullah di atas untuk menegaskan tetap dimasyru’kannya mengusap-usap kubur Nabi dalam rangka tabarruk padanya dan mengisyaratkan bahwa sikap Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tersebut bukan mengandung larangan.

Sangat kontradiktif ! Jika memang mengusap-usap kuburdan bertabarruk padanya itu diperbolehkan oleh syari’at, tentu Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidak akan membencinya dan mengklasifikasikan perbuatan tersebut sebagai suu’ul-adab terhadap beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah shahabat yang dikenal sangat besar rasa ittibaa’-nya hingga dalam hal kebiasaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang asalnya tidak diperintahkan untuk mengikutinya.

حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ الْعَدْلُ، ثَنَا أَبُو نَصْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ نَصْرٍ، ثَنَا أَبُو غَسَّانَ مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، ثَنَا زُهَيْرٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُوقَةَ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ: " لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا أَحْذَرَ أَنْ لا يَزِيدَ فِيهِ وَلا يُنْقِصَ مِنَ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا "

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah bin Diinaar Al-‘Adl : Telah menceritakan kepada kami Abu Nashr Ahmad bin Muhammad bin Nashr : Telah menceritakan kepada kami Abu Ghassaan Maalik bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Zuhair, dari Muhammad bin Suuqah, dari Abu Ja’far, ia berkata : “Tidak ada seorang pun dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam apabila mendengar satu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam yang lebih bersemangat untuk memperingatkan agar tidak menambah ataupun menguranginya daripada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak (At-Tatabbu’ – Muqbil Al-Wadii’iy), 3/690 no. 6453; sanadnya hasan].

Jika mengusap-usap dan bertabarruk merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, niscaya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidak akan meninggalkannya, membencinya, dan menghukuminya sebagai kejelekan adab. Apakah mungkin Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu membenci sunnah Nabi jika ia memang mengetahui itu merupakan bagian dari sunnah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?.

Thinking before speaking !.

Apalagi, tidak ada riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang bertabarruk mengusap-usap kubur dan juga tidak ada riwayat shahih dari para shahabat radliyallaahu ‘anhum yang melakukannya pada kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika memang disyari’atkan, tentu sudah dijelaskan.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ "

Dari Abu Dzarr, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak tersisa sesuatupun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 2/155-156 no. 1647; sanadnya shahih].

Sebagai tambahan kita katakan:

Sebagian ulama madzhab Hanaabilah mengingkari riwayat tersebut dengan menafikkan keshahihannya – meski sebagian lain ada yang menetapkannya – . Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وَأَمَّا غَيْره فَنُقِلَ عَنْ الْإِمَام أَحْمَد أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ تَقْبِيل مِنْبَر النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقْبِيل قَبْره فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا ، وَاسْتَبْعَدَ بَعْض اِتِّبَاعه صِحَّة ذَلِكَ

“Adapun mencium selain manusia, maka telah dinukil dari Al-Imaam Ahmad bahwasannya ia pernah ditanya tentang mencium mimbar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mencium kuburnya, dan ia berpendapat tidak mengapa. Dan sebagian pengikutnya (yaitu ulama madzhab Hanaabilah) menganggap riwayat tersebut tidak shahih” [Fathul-Baariy, 3/475].

Selain itu, ada riwayat lain dari Al-Imaam Ahmad rahimahullah sebagai berikut:

فَصْلٌ : وَلَا يُسْتَحَبُّ التَّمَسُّحُ بِحَائِطِ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَقْبِيلُهُ ، قَالَ أَحْمَدُ : مَا أَعْرِفُ هَذَا .

قَالَ الْأَثْرَمُ : رَأَيْت أَهْلَ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَا يَمَسُّونَ قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُونَ مِنْ نَاحِيَةٍ فَيُسَلِّمُونَ .

قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ : وَهَكَذَا كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُ . قَالَ : أَمَّا الْمِنْبَرُ فَقَدْ جَاءَ فِيهِ. يَعْنِي مَا رَوَاهُ إبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِئُ ، أَنَّهُ نَظَرَ إلَى ابْنِ عُمَرَ ، وَهُوَ يَضَعُ يَدَهُ عَلَى مَقْعَدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمِنْبَرِ ثُمَّ يَضَعُهَا عَلَى وَجْهِهِ .

Pasal : Tidak disukai/disunnahkan mengusap tembok kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula menciumnya. Ahmad berkata : ‘Aku tidak mengetahuinya’. Al-Atsram berkata : “Aku melihat ulama dari kalangan penduduk Madiinah tidak menyentuh kubur Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka berdiri dari sisi kubur lalu mengucapkan salam. Abu ‘Abdillah berkata : ‘Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar”. Abu ‘Abdillah berkata : “Adapun mimbar, maka ada riwayat tentang hal tersebut (yang membolehkannya). Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Abdil-Qaari’, bahwasannya ia pernah melihat Ibnu ‘Umar meletakkan tangannya di atas tempat duduk mimbar Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian meletakkannya (mengusapnya) ke wajahnya” [Al-Mughniy, 3/599].

Yang penting untuk kita ketahui adalah pokok cara pandang Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam permasalahan ini. Ketika beliau tidak mengetahui adanya nash atau atsar dari salaf, maka beliau tidak melakukannya. Namun ketika beliau menemukan nash atau atsar yang dapat dijadikan dasar, maka beliau membolehkannya. Menurut riwayat Al-Atsram ini, perbuatan mengusap dan mencium kubur Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui dalil/pijakannya, dan kemudian beliau rahimahullahmenjelaskan sikap Ibnu ‘Umar dan ulama Madiinah yang tidak melakukannya.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Ibnu ‘Umarradliyallaahu ‘anhumaa tidak melakukannya karena membenci perbuatan tersebut. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa pandangan beliau rahimahullah adalah tidak masyru’-nya mengusap-usap kubur Nabi. Inilah jugayang dipahami Al-Qaadli Abu Ya’laa Al-Hanbaliy setelah menyebutkan riwayat Al-Atsram rahimahumallah tersebut:

وهذه الرواية تدل على أنه ليس بسنة وضع اليد على القبر

“Riwayat ini menunjukkan tidak disunnahkannya meletakkan tangan di atas kubur (dan mengusap-usapnya)” [Al-Masaailul-Fiqhiyyah min Kitaab Ar-Riwaayatin wal-Wajhain, 1/215].

Adapun mengusap mimbar, menurut beliau (Ahmad bin Hanbal) diperbolehkan karena berpegangan dengan riwayat Ibnu ‘Umar yang dikatakan pernah mengusap mimbar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; sedangkan Ibnu ‘Umar merupakan salah seorang shahabat yang sangat besar ittibaa’-nya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Atsar Ibnu ‘Umar dari Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Abdil-Qaari’ yang dimaksudkan dalam riwayat Al-Atsram tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat(1/123) : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil bin Abi Fudaik, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Abi Dzi’b, dari Hamzah bin Abi Ja’far, dari Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Abdil-Qaari’ : “…..(al-atsar)…”.

Riwayat ini lemah karena majhulnya Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Abdil-Qaari’ dan Hamzah bin Abi Ja’far.Keterangan tentang Ibraahiim dapat dibaca pada At-Taariikh Al-Kabiir 1/297 no. 951, Al-Jarh wat-Ta’diil 2/111 no. 329, dan Ats-Tsiqaat li-Ibni Hibbaan 4/9. Adapun Ja’far bin Abi Hamzah dapat dibaca pada At-Taariikh Al-Kabiir3/51 no. 192, Al-Jarh wat-Ta’diil 3/209 no. 914, dan Ats-Tsiqaat 6/227. Wallaahu a’lam.

Dikarenakan lemah kita tidak dapat memegang riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu tersebut dan menyepakati pendapat Al-Imaam Ahmad rahimahullah. Meskipun dalam hal sikap akhir kita berbeda dengan beliau dalam riwayat Al-Atsram ini, pada hakekatnya kita berkesesuaian dengan metode beliau. Bukan seperti orang yang tidak memahaminya dan ‘pokoknya’ cocok dengan pendapat beliau tanpa memperhatikan metode yang beliau pakai.

Seandainya pun shahih, maka Al-Imaam Ahmad tidak menyamakan antara mengusap mimbar dan mengusap kuburan. Seandainya beliau menyamakannya, niscaya beliau akan membolehkannya mengusap kuburan yang diqiyaskan dengan mengusap mimbar. Sama-sama diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Namun, ternyata beliau rahimahullah tidak bersikap demikian.

Kembali kepada riwayat Al-Imaam Ahmad yang pertama (yang disebutkan oleh Adz-Dzahabiy rahimahumallah).

Di sini ternukil dua riwayat yang berbeda dalam masalah mengusap-usap kubur. Al-Qaadliy Abu Ya’laa Al-Hanbaliyrahimahullah menyebutkan permasalahan ini dalam kitabAr-Riwaayatain wal-Wajhain (melalui perantaraan kitab Al-Masaailul-Fiqhiyyah min Kitaab Ar-Riwaayatain wal-Wajhain, 1/214-215).

Mana yang shahih dari madzhab Hanaabilah ?. Al-Mardawiy rahimahullah menjawab:

لَا يُسْتَحَبُّ تَمَسُّحُهُ بِقَبْرِهِ عَلَيْهِ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ قَالَ فِي الْمُسْتَوْعِبِ : بَلْ يُكْرَهُ قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ : أَهْلُ الْعِلْمِ كَانُوا لَا يَمَسُّونَهُ

“Tidak disunnahkan mengusap kubur beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan pendapat yang benar dari madzhab (Hanaabilah). Ia berkata dalam Al-Mustau’ib : ‘Bahkan dimakruhkan’. Al-Imaam Ahmad berkata : ‘Para ulama tidak menyentuhnya” [Al-Inshaaf, 4/53].

Untuk madzhab Syaafi’iyyah, An-Nawawiy rahimahullah berkata:

قال أبو موسى : وقال الإمام أبو الحسن محمد بن مرزوق الزعفراني وكان من الفقهاء المحققين في كتابه في الجنائز : ولا يستلم القبر بيده ، ولا يقبله قال : وعلى هذا مضت السنة. قال أبو الحسن : واستلام القبور وتقبيلها الذي يفعله العوام الآن من المبتدعات المنكرة شرعا ، ينبغي تجنب فعله وينهى فاعله ، قال فمن قصد السلام على ميت سلم عليه من قبل وجهه ، وإذا أراد الدعاء تحول عن موضعه واستقبل القبلة ، قال أبو موسى : وقال الفقهاء المتبحرون الخراسانيون : المستحب في زيارة القبور أن يقف مستدبر القبلة مستقبلا وجه الميت ، يسلم ولا يمسح القبر ولا يقبله ولا يمسه ، فإن ذلك عادة النصارى

“Abu Muusaa berkata : Dan telah berkata Al-Imaam Abul-Hasan Muhammad bin Marzuuq Az-Za’faraaniy – dan ia termasuk fuqahaa yang terkenal teliti – dalam kitabnya pada pembahasan tentang janaaiz : ‘Tidak mengusap kubur dengan tangannya dan tidak pula menciumnya’. Ia berkata : ‘Inilah yang sesuai dengan sunnah’. Abul-Hasan berkata : ‘Mengusap-usap kubur dan menciumnya sebagaimana yang dilakukan orang-orang awam termasuk bid’ah-bid’ah yang munkar secara syar’iy. Sudah seharusnya perbuatan tersebut dijauhi dan pelakunya dilarang’. Ia berkata : ‘Barangsiapa yang hendak mengucapkan salam terhadap mayyit, maka ucapkanlah salam dari arah wajahnya. Dan apabila hendak berdoa, maka ia berpindah tempat dan menghadap kiblat’. Abu Muusaa berkata : Telah berkata fuqahaa negeri Khurasaan yang luas ilmunya : ‘Dianjurkan ketika ziarah kubur untuk berdiri membelakangi kiblat seraya menghadapkan wajah ke mayit dan mengucapkan salam kepadanya tanpa mengusap kubur, menciumnya, dan menyentuhnya, karena hal itu termasuk kebiasaan orang Nashaaraa”.

Kemudian An-Nawawiy mengomentari :

وما ذكروه صحيح لأنه قد صح النهي عن تعظيم القبور ، ولأنه إذا لم يستحب استلام الركنين الشاميين من أركان الكعبة لكونه لم يسن ، مع استحباب استلام الركنين الآخرين ، فلأن لا يستحب مس القبور أولى ، والله أعلم

“Apa yang mereka sebutkan itu adalah benar, karena telah shahih adanya larangan pengagungan terhadap kubur. Selain itu, apabila tidak dianjurkan untuk mencium dua rukun Syaam yang merupakan bagian dari rukun-rukun Ka’bah karena hal itu tidak disunnahkan, bersamaan dengan adanya anjuran untuk mencium dua rukun yang lain (Hajar Aswad dan Rukun Yamaniy); maka menyentuh (dan mengusap) kubur tentunya lebih tidak disunnahkan,wallaahu a’lam” [Al-Majmuu’, 5/286-287].

Asy-Syaikh ‘Abdul-Qadiir Al-Jiilaaniy rahimahullah berkata:

اذا زار قبرا لا يضع يده عليه و لا يقبله فانه عادة اليهود و لا يقعد عليه و لا يكتى عليه

“Apabila seseorang berziarah ke kubur, ia tidak boleh meletakkan tangannya di atas kubur dan tidak pula menciumnya, karena hal itu kebiasaan orang Yahuudi. Tidak boleh duduk di atasnya dan tidak boleh bersandar padanya” [Al-Ghunyah, 1/91].

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى: إِنَّمَا أُمِرُوا أَنْ يُصَلُّوا عِنْدَهُ وَلَمْ يُؤْمَرُوا بِمَسْحِهِ، وَلَقَدْ تَكَلَّفَتْ هَذِهِ الأُمَّةُ شَيْئًا مَا تَكَلَّفَتْهُ الأُمَمُ قَبْلَهَا.......

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Zurai’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah tentang ayat : ‘Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat’ (QS. Al-Baqarah : 125), ia berkata : “Kalian hanyalah diperintahkan untuk shalat di tempat tersebut, dan tidak diperintahkan untuk mengusap-usapnya. Dan sungguh umat ini telah takalluf (memperberat-berat diri) pada sesuatu yang umat sebelumnya tidak ber-takalluf padanya.…..” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya 2/35; sanadnya hasan].

عَنْ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَرِهَ أَنْ يُقَبِّلَ الرَّجُلُ الْمَقَامَ أَوْ يَمْسَحَهُ

Dari ‘Athaa’ : Bahwasannya ia membenci seseorang mencium maqaam (Ibraahiim) dan mengusap-usapnya” [Diriwayatkan oleh Al-Faakihiy dalam Akhbaar Makkah no. 951; sanadnya hasan].

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar