Translate

Jumat, 06 Juli 2018

Kewajiban Memilih Makanan Dan Minuman Yang Halal

Secara etimologi makanan adalah memasukkan sesuatu melalui mulut. Dalam bahasa Arab makanan berasal dari kata at-ta’am ( الطعام ) dan jamaknya al-atimah (الأطمة ) yang artinya makan-makanan. Sedangkan dalam ensiklopedia Hukum Islam yaitu segala sesuatu yang dimakan oleh manusia, sesuatu yang menghilangkan lapar.

Halal berasal dari bahasa Arab ( الحلال ) yang artinya membebaskan, memecahkan, membubarkan dan membolehkan. Sedangkan ensiklopedia hukum Islam yaitu segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya atau sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syara. Jadi pada intinya makanan halal adalah makanan yang baik yang dibolehkan memakannya menurut ajaran islam, yaitu sesuai dalam Al-Qur’an dan Al Hadist.

Sedangkan pengertian makan yang baik itu adalah segala makan yang dapat membawa kesehatan bagi tubuh, dapat menimbulkan nafsu makan dan tidak ada larangan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Kata thayyib menunjukkan sesuatu yang benar-benar baik. Bentuk jamak dari kata ini adalah thayyibat yang diambil dari derivasi thaba-yathibu-thayyibah dengan beberapa makna, yaitu: zaka wa thahara (su cidan bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdaza (enak) dan halal (halal). Pada dasarnya kata ini berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indra dan jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikan. Al-qur’an menyebutkan kata thayyiban dengan diawali kata halalan sebanyak empat kali untuk menjelaskan sifat makanan yang halal.

Firman Allah ta’ala:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah dan yang tercekik” [QS. Al-Maaidah : 3].

قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah” [QS. Al-An’aam : 145].

إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [QS. Al-Maaidah : 90].

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar” [QS. Al-Baqarah : 219].

Allah ta’ala menetapkan padanya al-itsm (dosa).

Dan pada ayat yang lain:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ

“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar” [QS. Al-A’raaf : 33].

(Dalam ayat ini), Allah ta’ala mengharamkan al-itsm (dosa) secara nash.

Dikatakan, al-itsm merupakan salah satu nama di antara nama-nama khamr, sebagaimana ungkapan syair:

شربت الإثم حتى ضل عقلي

كذاك الإثم يذهب بالعقول

“Aku minum al-itsm (khamr) hingga tersesat akalku,

demikianlah al-itsm (khamr) dapat menghilangkan akal”

Hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa yang terdapat dalam Shahiihain : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang al-bit’, lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ

“Setiap minuman dapat memabukkan, maka haram hukumnya”.

Hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dalam Shahiih Muslim:

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

“Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan haram hukumnya”.

dan haditsnya yang lain dalam Shahiihain:

مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا، حُرِمَهَا فِي الْآخِرَةِ

“Barangsiapa yang minum khamr di dunia kemudian ia tidak bertaubat darinya, maka diharamkan khamr tersebut kelak di akhirat (untuknya)”.

Juga hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu dalam Shahiihain:

أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ بِإِيلِيَاءَ بِقَدَحَيْنِ مِنْ خَمْرٍ وَلَبَنٍ، فَنَظَرَ إِلَيْهِمَا، ثُمَّ أَخَذَ اللَّبَنَ، قَالَ لَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ لِلْفِطْرَةِ، لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْرَ لَغَوَتْ أُمَّتُك

“Didatangkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada malam beliau di-israa’-kan di Iiliyaa’ dua gelas masing-masing berisi khamr dan susu. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan dua gelas tersebut, setelah itu beliau mengambil gelas yang berisi susu. Jibriil ‘alaihis-salaam berkata kepada beliau : ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepadamu terhadap fitrah. Seandainya engkau mengambil khamr, niscaya umatmu akan tersesat”.

dan haditsnya yang lain dalam Shahiihain:

وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ الشَّارِبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ....

“Tidaklah seorang peminum ketika ia sedang minum khamr dalam keadaan mukmin….”.

Al-Baihaqiy meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Hasan, ia berkata:

جاء رجل بنبيذ إلى أحب خلق الله إليه حتى أفسده، يعني العقل

“Datang seorang laki-laki dengan membawa nabiidz yang merupakan makhluk Allah yang paling ia cintai, hingga nabiidz tersebut merusaknya – yaitu : akalnya”.

Dikatakan kepada sebagian orang Arab : “mengapa engkau tidak minum nabiidz ?”. Ia menjawab : “Demi Allah, betapa aku ridla seandainya akalku itu sehat. Lantas bagaimana aku memasukkan sesuatu kepadanya yang justru akanmerusaknya ?”.

Dari Al-Hakam bin Hisyaam, bahwasannya ia pernah berkata kepada anaknya:

يا بنيَّ إياك والنبيذ، فإنه فيءٌ في شدقك وسلحٌ في عَقِبِكَ، وحدّ في ظهرك، وتكون ضحكة للصبيان، وأسيراً للدّيَّان

“Wahai anakku, jauhilah nabiidz, karena ia merupakan muntahan mulutmu, kotoran duburmu, serta hukuman yang menimpa punggungmu yang menjadi bahan tertawaan anak-anak dan tawanan bagi agama”.

Dari sebagian ahli hikmah, bahwasannya ia pernah berkata kepada anaknya:

يا بُنيّ ما يدعوك إلى النبيذ؟. قال : يهضم طعامي. قال : والله [يا] بني هو لدينك أهضم

“Wahai anakku, apa yang mendorongmu untuk minum nabiidz?”. Si anak menjawab : “Untuk menghancurkan (mencerna) makananku”. Si ahli hikmah berkata : “Demi Allah wahai anakku, ia lebih menghancurkan agamamu”.

Dalam Shahih Muslim dan yang lainnya dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, disebutkan:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالى أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: يَأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ [المؤمنون : ٥١]، وَقَالَ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ [البقرة : ١٧٢] ، ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu adalah Thayyib (baik), Ia tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminiin dengan apa yang Ia perintahkan kepada para Rasul. Allah ta’ala berfirman : ‘Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’ (QS. Al-Mukminuun : 51). Allah ta’ala juga berfirman : ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah’ (QS. Al-Baqarah : 172)”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu lalu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata : ‘Ya Rabb..ya Rabb…’, sedangkan makanannya haram, pakaiannya dari yang haram, minumannya haram, dicukupi dari yang haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya?”.

Dalam Shahihain dari hadits An-Nu’maan bin Basyiir radliyallaahu ‘anhu, (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam):

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَ ذَلِكَ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِعِرْضِهِ وَدِيْنِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، وَحِمَى اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَحَارِمُهُ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara yang samar, sungguh ia telah menyelamatkan kehormatannya dan agamanya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara-perkara yang samar, maka ia akan terjatuh pada perkara-perkara yang diharamkan, seperti seorang penggembala yang menggembala (gembalaannya) di sekitar wilayah larangan dikhawatirkan lama-kelamaan ia akan memasukinya. Ketahuilah, setiap raja mempunyai wilayah larangan, dan wilayah larangan Allah di muka bumi adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya”.

Dalam Shahiihain dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam):

إِنِّي لَأَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِي فَأَجِدُ التَّمْرَةَ سَاقِطَةً عَلَى فِرَاشِي أَوْ فِي بَيْتِي ، فَأَرْفَعُهَا لِآكُلَهَا، ثُمَّ أَخْشَى أَنْ تَكُونَ صَدَقَةً فَأُلْقِيهَا

“Sesungguhnya aku pulang menuju keluargaku. Aku mendapati sebutir kurma terjatuh di atas tempat tidurku atau di rumahku. Lalu aku angkat kurma tersebut untuk memakannya, namun kemudian aku khawatir jika kurma tersebut merupakan kurma shadaqah/zakat sehingga aku pun membuangnya”.

Dalam Shahiih Al-Bukhaariy dari hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :

كَانَ لِأَبِي بَكْرٍ غُلَامٌ يُخْرِجُ لَهُ الْخَرَاجَ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ، فَجَاءَ يَوْمًا بِشَيْءٍ فَأَكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ لَهُ الْغُلَامُ أَتَدْرِي مَا هَذَا؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَمَا هُوَ؟ قَالَ: كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لِإِنْسَانٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَمَا أُحْسِنُ الْكِهَانَةَ إِلَّا أَنِّي خَدَعْتُهُ، فَلَقِيَنِي فَأَعْطَانِي بِذَلِكَ فَهَذَا الَّذِي أَكَلْتَ مِنْهُ، فَأَدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ فَقَاءَ كُلَّ شَيْءٍ فِي بَطْنِهِ

“Dahulu Abu Bakr mempunyai seorang budak yang biasa mengeluarkan kharaj (harta yang menjadi bagian majikan dari usaha budaknya) untuknya. Abu Bakr biasa makan dari kharaj tersebut. Pada suatu hari, budak tersebut datang membawa sesuatu, lalu Abu Bakr memakannya. Si budak berkata : ‘Apakah engkau tahu makanan ini?’. Abu Bakr berkata : ‘‘Makanan apa ini?’. Si budak berkata : ‘Dulu di masa jahiliyyah aku pernah praktek perdukunan kepada orang-orang. Sebenarnya, saya tidak pandai perdukunan, sehingga aku cuma menipunya saja. Lalu orang tersebut menemuiku dan memberiku upah. Makanan yang engkau makan ini berasal dari upah itu’. Segera Abu Bakr memasukkan jarinya ke mulutnya hingga memuntahkan semua yang ada di perutnya”.

Dari Zaid bin Aslam:

أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه شرب لبناً فأعجبه، فقال للذي سقاه : من أين لك هذا اللبن ؟. فأخبره أنه ورد على ماء قد سماه، فإذا نعم من نعم الصدقة وهم يسقون فحلبوه لي من ألبانها، فجعلته في سقائي وهو هذا، فأدخل عمر يده فاستقاءه

“Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah meminum susu, lalu ia merasa heran. Ia berkata kepada orang yang memberinya minum : ‘Darimana engkau dapatkan susu ini?’. Kemudian orang tersebut mengkhabarkan kepadanya bahwa ia sampai pada suatumata air yang telah diberi nama. Ternyata di situ ada onta-onta shadaqah yang sedang minum air. Mereka memeraskan susunya untukku, lalu aku jadikan susu itu sebagai minumanku. Susu itu itulah yang engkau minum’. Maka ‘Umar memasukkan tangannya ke mulutnya lalu memuntahkannya”.

Telah memberitahukan kepada kami Al-Baihaqiy dengan sanadnya dari Bisyr bin Al-Haarits, ia berkata: Telah berkata Yuusuf bin Asbaath:

إِذَا تَعَبَّدَ الشَّابُّ، يَقُولُ إِبْلِيسُ: انْظُرُوا مِنْ أَيْنَ مَطْعَمُهُ، فَإِنْ كَانَ مَطْعَمُهُ مَطْعَمَ سُوءٍ، قَالَ: دَعُوهُ، لا تَشْتَغِلُوا بِهِ، دَعُوهُ يَجْتَهِدُ وَيَنْصَبُ، فَقَدْ كَفَاكُمْ نَفْسَهُ

“Apabila seorang pemuda beribadah, maka Ibliis berkata : ‘Perhatikan dari mana makanannya’. Apabila makanannya adalah makanan yang buruk, maka Ibliis berkata : ‘Biarkanlah ia, jangan kalian menyibukkan diri dengannya. Biarkan ia bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, sesungguhnya ia telah mencukupi kalian dengan (hawa nafsu) dirinya”.

Dari Hudzaifah Al-Mar’asyiy, bahwasannya ia pernah melihat orang-orang yang bergegas menuju shaf pertama. Lalu ia berkata:

يَنْبَغِي أَنْ يَتَبَادُرُوا إِلَى أَكْلٍ مِنَ الْحَلالِ

“Seharusnya mereka (juga) bergegas untuk memakan makanan yang halal”.

Dari Fudlail bin ‘Iyaadl, ia berkata: Sufyaan Ats-Tsauriy pernah ditanya tentang keutamaan shaff pertama, lalu ia menjawab:

انْظُرْ كِسْرَتَكَ الَّتِي تَأْكُلُهَا مِنْ أَيْنَ تَأْكُلُهَا، وَقُمْ فِي الصَّفِّ الأَخِيرِ

“Lihatlah remahan makanan yang engkau makan, darimana engkau makan itu. Dan berdirilah di shaff akhir”.

Dan juga darinya (Ats-Tsauriy), ia berkata:

انْظُرْ دِرْهَمَكَ مِنْ أَيْنَ هُوَ وَصَلِّ فِي الصَّفِّ الأَخِيرِ

“Lihatlah dirhammu, dari mana ia (engkau dapatkan). Dan shalatlah di shaff akhir”.

Dari Sarriy As-Saqathiy, bahwasannya ia tidak memakan sayuran berwarna hitam, tidak buahnya, dan tidak juga sesuatu yang tidak diketahui asal-usulnya. Ia sangat menekankan hal itu dalam rangka wara’. Meskipun demikian, ia berkata:

كُنْتُ بِطَرَسُوسَ، وَكَانَ مَعِي فِي الدَّارِ فِتْيَانٌ مُتَعَبِّدُونَ، وَكَانَ فِي الدَّارِ تَنُّورٌ يَخْبِزُونَ فِيهِ، فَانْكَسَرَ التَّنُّورُ فَعَمِلْتُ بَدَلَهُ مِنْ مَالِي فَتَوَرَّعُوا أَنْ يَخْبِزُوا فِيهِ

“Aku pernah di negeri Tharasuus, dan bersamaku di dalam rumah ada pemuda yang rajin beribadah. Di rumahtersebut terdapat tanur yang dipergunakan orang-orang untuk memasak/membuat roti. Lalu tanur tersebut tiba-tiba pecah sehingga aku menggantinya dari hartaku. Mereka bersikap wara’ untuk membuat roti dari tungku tanur tersebut”.

Dan juga darinya (Sarriy As-Saqathiy), ia berkata:

وَكَانَ أَبُو يُوسُفَ الْعُسولي يَلْزَمُ الثَّغْرَ وَيَغْزُو، فَكَانَ إِذَا غَزَا مَعَ النَّاسِ وَدَخَلُوا بِلادَ الرُّومِ أَكَلَ أَصْحَابُهُ مِنْ ذبائحهم وفواكههم، وَهُوَ لا يَأْكُلُ، فَيُقَالُ لَهُ: يَا أَبَا يُوسُفَ، أَتَشُكُّ أَنَّهُ حَلالٌ؟ فَيَقُولُ: لا، فَيُقَالُ لَهُ: فَكُلْ مِنَ الْحَلالِ، فَيَقُولُ: إِنَّمَا الزُّهْدُ فِي الْحَلالِ

“Adalah Abu Yuusuf Al-‘Usuuliy senantiasa menjaga perbatasan dan sering berperang. Sewaktu ia berangkat berperang dengan orang-orang dan masuk ke negeri Romawi, shahabat-shahabatnya makan sembelihan mereka dan buah-buahan mereka, namun ia tidak memakannya. Dikatakan kepadanya : ‘Wahai Abu Yuusuf, apakah engkau ragu status kehalalannya ?’. Ia berkata : ‘Tidak’. Dikatakan kepadanya : ‘Makanlah dari makanan yang halal ini’. Ia berkata : ‘Zuhud itu hanyalah ada pada makanan yang halal”.

Dari As-Sarriy, ia berkata:

رجعت من بعض المغازي، فَرَأَيْتُ فِي طَرِيقِي مَاءً صَافِيًا وَحَوْلَهُ عُشْبٌ مِنْ حَشِيشٍ قَدْ نَبَتَ، فَقُلْتُ فِي نَفْسِي: يَا سَرِيُّ، لَوْ كُنْتَ يَوْمًا أَكَلَتْ أَكْلَةً حَلالا، وَشَرِبْتَ شَرْبَةً حَلالا، فَالْيَوْمُ، فَنَزَلْتُ عَنْ دَابَّتِي، فَأَكَلْتُ مِنْ ذَلِكَ الْحَشِيشِ، وَشَرِبْتُ مِنْ ذَلِكَ الْمَاءِ، فَهَتَفَ بِي هَاتِفٌ، سَمِعْتُ الصَّوْتَ وَلَمْ أَرَ الشَّخْصَ: يَا سَرِيُّ الْمُغَلِّس، فَالنَّفَقَةُ الَّتِي بَلَغَتْكَ إِلَى هُنَا مِنْ أَيْنَ هِيَ؟ فقصر إليّ نفسي

“Aku pernah kembali dari sebagian peperangan. Lalu aku melihat di jalanku air yang jernih dan di sekitarnya tumbuh rerumputan dari jenis hasyiisy. Maka aku berkata pada diriku : ‘Wahai Sarriy, apabila engkau di suatu hari memakan makanan yang halal dan minum minuman yang halal, lalu bagaimana dengan hari ini ?’. Kemudian aku turun dari kendaraanku, lalu aku makan hasyiisy tersebut dan minum air yang ada di situ. Setelah itu aku mendengar suara yang aku tidak melihat orang yang mengatakannya : ‘Wahai Sarriy bin Al-Mughallis, nafkah yang menyampaikan dirimu hingga ke tempat ini, dari mana engkau dapatkan ?’. Suara itu mencegah diriku (untuk memakan dan meminumnya)”.

Diriwayatkan dari sebagian mereka, bahwasannya ia senantiasa mencari yang halal dan meminta agar ditunjukkan kepadanya (yang halal). Lantas, ditunjukkanlah ia kepada Al-Hasan Al-Bashriy. Ia pun melakukan perjalanan dari negeri yang jauh menuju (tempat) Al-Hasan. Lalu Al-Hasan berkata kepadanya :

إنني رجل واعظ آكل من هدايا الناس وضيافاتهم، لكنني أدلك على رجل ببلاد سجستان تراه في مزرعته، له بقرة قد جعل لها في أحد طريقيها تبناً وشعيراً، وفي الآخر ماءً، فإذا وصلت إلى التبن والشعير، عرضهما عليها، وإذا وصلت إلى الماء، عرضه عليها، فقال : فتوجه الرجل إليه، فوجده كذلك، فسلم عليه وقص عليه حاله، فبكى الرجل، وقال : قد صدقك الإمام أبو سعيد، لكن زال ذلك عني بسبب أن البقرة عبرت ذات يوم إلى أرض جاري وقد اشتغلتُ عنها بصلاتي، فعادت إلى أرضي وقوائمها ملطخة بطينها، واختلط ذلك بطين أرضي فصارت شبهة، عد إليه ليدلك على غيري، وبكى

“Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi nasihat yang makan dari hadiah/pemberian orang dan jamuan mereka. Akan tetapi akan aku tunjukkan kepadamu seorang laki-laki di negeri Sijistaan yang engkau akan lihat ladang pertaniannya. Ia memiliki sapi dimana ia membuat salah satu jalan baginya (sapi) berupa tumpukan jerami dan gandum, dan jalan yang lain berupa air. Apabila sapi itu sampai pada jalan yang berisi tumpukan jerami dan gandum, maka ia memberikan keduanya kepada sapinya itu. Dan apabila sapi itu sampai pada jalan yang berair, maka ia juga memberikan air itu untuknya”. Maka ia pergi mencari laki-laki tersebut dan berhasil menemuinya. Ia mengucapkan salam kepadanya dan bercerita kepadanya tentang keadaannya. Maka laki-laki tersebut menangis seraya berkata : “Sungguh, Al-Imaam Abu Sa’iid (Al-Hasan Al-Bashriy) telah jujur kepadamu. Akan tetapi apa yang ia ceritakan telah hilang dariku karena suatu hari sapiku melewati tanah tetanggaku dimana waktu itu aku sedang sibuk dengan shalatku. Lalu sapi itu kembali ke tanahku sedangkan kaki-kakinya terlumuri dengan tanahnya dan kemudian bercampur dengan tanahku sehingga hal itu menjadi syubhat. Kembalilah kepadanya (Al-Hasan) sehingga ia dapat menunjukkan orang selain diriku”. Kemudian ia menangis.

Dari Abu ‘Abdillah bin Al-Jalaa’, ia berkata :

أَعْرِفُ مَنْ أَقَامَ بِمَكَّةَ ثَلاثِينَ سَنَةً لَمْ يَشْرَبْ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ إِلا مَا اسْتَقَاهُ بَرَكْوَتِهِ وَرِشَائِهِ، وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْ طَعَامِ جَلَبَ مِنْ مِصْرَ شَيْئًا

“Aku mengetahui seseorang yang tinggal di Makkah selama tiga puluh tahun yang ia tidak pernah minum air zamzam kecuali yang ia peroleh dengan ceret dan tali timbanya. Ia tidak mau menerima makanan yang datang (diimpor) dari Mesir sedikitpun”.

Dari Bisyr bin Al-Haarits  Al-Haafiy bin ‘Abdirrahmaan, ia berkata : Aku mendengar Al-Mu’aafaa bin ‘Imraan berkata:

كَانَ عَشَرَةٌ فِيمَنْ مَضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَنْظُرُونَ الْحَلال الشَّدِيدَ، لا يُدْخِلُونَ بُطُونَهُمْ إِلا مَا يَعْرِفُونَ مِنَ الْحَلالِ، وَإِلا اسْتَفُّوا التُّرَابَ ". ثُمَّ عَدَّ بِشْرُ إِبْرَاهِيمَ بْنَ أَدْهَمَ، وَسُلَيْمَانَ الْخَوَّاصَ، وَعَلِيَّ بْنَ فُضَيْلِ بْنِ عِيَاضٍ، وَأَبَا مُعَاوِيَةَ الأَسْوَدَ، وَيُوسُفَ بْنَ أَسْبَاطٍ، وَوُهَيْبَ بْنَ الْوَرْدِ، وَحُذَيْفَةَ شَيْخاً مِنْ أَهْلِ حَرَّانَ، وَدَاوُدَ الطَّائِيَّ، فَعَدَّ بِشْرٌ عَشَرَةً

“Ada sepuluh orang dari kalangan ulama dahulu yang senantiasa memperhatikan kehalalan dengan sangat ketat. Tidak akan masuk ke perut-perut mereka kecuali yang mereka ketahui dari makanan yang halal. Jika tidak, maka mereka mencukupkan diri menelan tanah”. Kemudian Bisyr menyebutkan orang-orang tersebut diantaranya : Ibraahiim bin Idham, Sulaimaan Al-Khawwaash, ‘Aliy bin Fudlail bin ‘Iyaadl, Abu Mu’aawiyyah Al-Aswad, Yuusuf bin Asbaath, Wuhaib bin Al-Ward, Hudzaifah syaikh penduduk negeri Harraan, Daawud Ath-Thaaiy, dan kemudian Bisyr menghitungnya sepuluh orang.

Dari Yahyaa bin Ma’iin Al-Muhaddits :

الْمَالُ يَذْهَبُ حِلُّهُ وَحَرَامُهُ         يَوْمًا وَيَبْقَى فِي غَدٍ آثَامُهُ

 لَيْسَ التَّقِيُّ بِمُتَّقٍ لإِلَهِهِ         حَتَّى يَطِيبَ شَرَابُهُ وَطَعَامُهُ

 وَيَطِيبَ مَا يَحْوِي وَيَكْسِبُ كَفُّهُ         وَيَكُونَ فِي حُسْنِ الْحَدِيثِ كَلامُهُ

 نَطَقَ النَّبِيُّ لَنَا بِهِ عَنْ رَبِّهِ         فَعَلَى النَّبِيِّ صَلاتُهُ وَسَلامُهُ

“Harta akan hilang kehalalan dan keharamannya suatu hari nanti
sehingga hanya tersisa keesokan harinya dosa-dosanya
Tidaklah ketaqwaan terhadap Tuhannya (dapat diraih)
hingga ia memperbaiki makanan dan minumannya
Serta memperbaiki apa yang ia miliki dan ia usahakan
sehingga perkataannya adalah hadits-hadits yang baik
Yang diucapkan Nabi kepada kita dari Rabbnya
shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi”.

Sufyaan Ats-Tsauriy pernah ditanya tentang wara’, lalu ia menjawab:

إِنِّي وَجَدْتُ فَلا تَظُّنُوا غَيْرَهُ         هَذَا التَّوَرُّعَ عِنْدَ هَذَا الدِّرْهَمُ
فَإِذَا قَدَرْتَ عَلَيْهِ ثُمَّ تَرَكْتَهُ           فَاعْلَمْ بِأَنَّ هُنَاكَ تَقْوَى الْمُسْلِم

“Sesungguhnya aku mendapati sesuatu yang tidak disangka oleh orang lain
sifat wara’ ini ketika dirham ada di sisinya
Apabila engkau mampu untuk mendapatkannya namun engkau tinggalkan
ketahuilah bahwa di sanalah ketaqwaan seorang muslim”.

Dari Muhammad bin ‘Abdil-Kariim Al-Marwaziy : Ketika Yahyaa bin Aktsam dipercaya menjabat qadliy/hakim, saudaranya yang bernama ‘Abdullah bin Aktsam di negeri Marwi – dan ia seorang yang zuhud – menulis surat kepadanya:

وَلُقْمَةٍ بِجَرِيشِ الْمِلْحِ تَأْكُلُهَا         أَلَذُّ مِنْ تَمْرَةٍ تُحْشَى بِزَنْبُورِ
 وَأَكْلَة قَرَّبَتْ لِلْهُلْكِ صَاحِبَهَا         كَحَبَةِ الْفَخِّ دَقَّتْ عُنْقَ عُصْفُورِ

“Sesuap tumbukan garam yang engkau makan
lebih lezat daripada kurma yang dimakan bersama zanbur
Makanan yang mendekatkan orang yang memakannya pada kehancuran
seperti biji jerat yang memecahkan leher burung pipit”.

Dari Ibraahiim bin Husyaim, bahwasannya ia pernah menasihati rekannya ketika melepas kepergiannya. Ia berkata:

أوصيك أن يكون عملك صالحا، وتأكل طيبا

“Aku menasihati dirimu agar amalanmu shaalih, dan engkau memakan makanan yang baik (halal)”.

Kita ketahui, halal itu bukan sekedar halal makanannya, tapi juga dari sumber bagaimana mendapatkannya pun harus halal. Kalau sumbernya haram seperti korupsi, mencuri, merampok, menggusur tanah rakyat dengan harga yang rendah, maka makanan yang dimakan pun meski sebetulnya halal, tetapi haram. Maka Rasulullah saw., telah bersabda:

إِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ

Artinya: “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan-kehormatan kalian antara sesama kalian adalah haram”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Dan selain doanya tidak dikabulkan, dikarenakan makanan, minuman, pakaiannya, serta dagingnya tumbuh dari barang yang haram maka akan membuat si pemakannya disiksa di api neraka. Nabi berkata:

أَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى لَهُ

Artinya : “Tiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram maka api neraka lebih utama membakarnya.” (HR. Ath-Thabrani)

Selain halal, makanan juga harus baik. Dan alasan kenapa Allah menganjurkan makanan yang bukan hanya halal tetapi juga baik karena mengkonsumsi semua makanan dan minuman yang bisa memudharatkan diri, apalagi kalau sampai membunuh diri baik dengan segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan semua jenis dan macamnya, rokok, dan yang sejenisnya. Juga sabda Nabi saw., :

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Artinya : “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”.

Setiap orang beriman diperintahkan Allah SWT. Untuk senantiasa mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (mengandung gizi dan vitamin yang cukup). Jadi bagian ayat yang berbunyi halal dan baik (halalan thayyiban)tersebut diatas mengandung makna dua makna yang akan melekat pada setiap rezeki makanan yang dikonsumsi manusia.

Pertama, hendaklah makanan di dapatkan dengan cara yang halal yang sesuai dengan syariat Islam yang dicontohkan Rasul. Dalam hal ini mengandung makna perintah untuk bermuamalah yang benar.

Kedua, dalam makna baik atau thayyib adalah dari sisi kandungan zat makanan yang dikonsumsi. Makanan hendaknya mengandung zat yang dibutuhkan oleh tubuh, baik mutu maupun jumlah. Makanan gizi seimbang adalah dianjurkan.

Ada makanan halal tetapi tidak thayyib, misalnya Rasul mencontohkan, kulit dan jeroan binatang sembelihan dibuang. Bahkan beliau bersabda jangan memakan tulang karena tulang adalah makanan untuk saudaramu dari bangsa jin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian-bagian tersebut ternyata banyak mengandung zat penyebab kadar kolestrol darah dalam tubuh manusia cepat meningkat.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

1 komentar:

  1. Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
    cuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
    kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
    yuu buruan segera daftarkan diri kamu
    Hanya di dewalotto
    Link alternatif :
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    BalasHapus