Sebagai seorang Muslim sudah pasti ada pada dirinya perasaan cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam,
Namun kadar rasa cinta tersebut berbeda antara satu dengan yang lain. Kata cinta bukan hanya hiasan kata-kata di bibir, tetapi harus dibuktikan dalam tindakan dan perbuatan sehari-hari. Rasa cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam wajib dimiliki oleh setiap Muslim, bahkan melebihi cinta kepada orang tua, anak dan isteri.
Allah berfirman:
النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
Nabi (itu) lebih utama bagi orang-orang Mukmin daripada diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. [al-Ahzab/33:6]
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Dari Anas Radhiyallahu anhu ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam:: “Tidaklah beriman salah seorang kalian sampai aku lebih dicintainya dari orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya.” [Muttafaq `alaihi]
Para Ulama menjelaskan bahwa cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam terbagi kepada dua tingkatan:
Tingkat Pertama : Cinta yang wajib terdapat pada setiap pribadi Muslim. Ia merupakan dasar keimanan seseorang. Yaitu keridhaan menerima dengan sepenuh hati ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dengan disertai rasa cinta dan pengagungan, serta tidak mencari petunjuk di luar petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam . Kemudian menta’ati perintahnya, meninggalkan larangannya, mempercayai segala beritanya dan membela agamanya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Tingkat Kedua : Cinta yang melebihi dari tingkat sebelumnya. Yaitu cinta yang membawa kepada sikap yang menjadikan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam sebagai satu-satunya figur atau qudwah dalam segala segi kehidupan. Mulai dari menghidupkan sunnah-sunnah beliau, baik dalam bentuk kualitas maupun kuantitas. Demikian pula, dalam berakhlak dan budi pekerti terhadap keluarga, karib-kerabat, tetangga dan masyarakat. Sampai dalam hal adab-adab sehari-hari lainnya seperti dalam berpakaian, makanan-minum, buang hajat dan tidur.
Sifat-sifat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam selalu hadir dalam benaknya dan senantiasa ia jadikan sebagai teladan dalam kehidupannya sehari-hari, hingga cinta tersebut membuatnya benar-benar rindu ingin bertemu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dan bersedia menebus perjumpaannya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dengan keluarga dan hartanya.
Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ « مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِيْ لِيْ حُبًّا نَاسٌ يَكُونُونَ بَعْدِيْ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِى بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ »
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Umatku yang amat sangat mencintaiku adalah manusia yang datang setelahku, salah seorang mereka berkeinginan seandainya ia dapat melihatku meskipun dengan (mengorbankan) keluarga dan hartanya”.
Salah seorang mengungkapkan perasaannya di hadapan al-Miqdâd bin al-Aswad, sebagaimana terdapat dalam kisah berikut:
عَنْ جُبَيْرٍ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِيْهِ قاَلَ جَلَسْنَا إِلَى الْمِقْدَادِ بْنِ اْلأَسْوَدِ يَوْماً فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ فَقَالَ: طُوْبَىْ لِهَاتَيْنِ الْعَيْنَيْنِ اللَّتَيْنِ رَأَتاَرَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللهِ لَوَدَدْناَ أَناَّ رَأَيْناَ مَا رَأَيْتَ وَشَهِدْناَ مَا شَهِدْتَ
Jubair bin Nufair meriwayatkan dari bapaknya, ia berkata: ” Pada suatu hari, kami duduk di dekat Miqdâd bin al-Aswad. Lalu seseorang lewat sambil berkata (kepada al-Miqdâd): “Kebaikanlah bagi dua mata ini yang melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.” (Jubair menanggapi): “Demi Allah, kami berkeinginan melihat apa yang engkau lihat, dan menyaksikan apa yang engkau saksikan”. [HR Bukhâri dalam Adâbul Mufrad dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]
Barangkali perasaan seperti di atas banyak orang yang mengaku memilikinya, tetapi sikap dan tingkah lakunya sendiri sangat jauh berseberangan dengan apa yang diakuinya. Atau amalan-amalannya jauh dari sunnah, bahkan amat nyata bertolak belakang dengan ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam, penuh dengan kesyirikan dan bid’ah. Tentu hal yang demikian sudah pasti menodai cintanya kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam. Karena rasa cinta harus diiringi dengan amalan yang sesuai dengan tata cara yang dicontohkan dan diajarakan serta dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.
Orang-orang yang benar-benar cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, sekalipun mata kepalanya tidak dapat melihat sifat fisik Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam secara nyata waktu di dunia, namun sifat-sifat, tuntunan dan ajaran beliau selalu hadir dalam pandangan mata hatinya; maka Allah k akan mengumpulkan orang tersebut bersama orang yang dicintainya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَقُولُ فِي رَجُلٍ أَحَبَّ قَوْمًا وَلَمْ يَلْحَقْ بِهِمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
Dari `Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, lalu ia bertanya: “Ya Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum dan ia tidak berjumpa dengan mereka?” Jawab Rasulullah: “Seorang manusia (akan dikumpulkan) bersama orang yang dicintainya” [Muttafaq `alaihi]
Kadangkala seorang Mukmin yang memiliki rasa cinta dan rindu bertemu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Allah memberi karunia kepadanya mimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam waktu di dunia. Namun, bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam sering disalah-gunakan oleh sebagian orang dalam mencapai maksud dan tujuan tertentu.
Berbagai warna bentuk penyimpangan dalam masalah bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sering kita temui dalam kehidupan kita. Seperti ada yang mengaku mimpi bertemu Nabi dengan pengakuan dusta sebagai modal untuk mengelabui orang dan mencari popularitas di kalangan pengikutnya. Padahal, ia sama sekali tidak bermimpi melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallm.
Sebagian lagi, ada yang mengaku menerima ajaran tertentu atau metode baru dalam beribadah saat bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain mengaku mendapat do’a atau dzikir dan salawatan tertentu dalam mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ada pula yang bermimpi sekedar melihat seseorang berpakaian serba putih dan pakai surban, sudah langsung diprediksi bahwa ia bermimpi melihat Nabi. Dan ada lagi yang melakukan wirid-wirid tertentu untuk bermimpi bertemu Nabi, padahal tidak pernah ada anjuran atau tuntunannya dalam syari’at. Atau menganggap orang yang mimpi bertemu Nabi berhak di klaim sebagai wali, serta dapat memberi berkah. Atau setelah bermimpi, mengaku bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga.
Agar kita selamat dari penyimpangan-penyimpangan ini. Maka selayaknya kita menyimak penjelasan Ulama tentang hal ini? Oleh sebab itu, bahasan kali ini sengaja mengangkat seputar pembahasan mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
MUNGKINKAN MIMPI BERTEMU NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM? DAN APA HAKEKATNYA?
Termaktub dalam hadits :
حَدََّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ يُونُسَ عَنْ الزُّهْرِيِّ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ وَلَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ إِذَا رَآهُ فِي صُورَتِهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan telah mengabarkan kepada kami Abdullah dari Yunus dari Az Zuhri telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, bahwasanya Abu Hurairah mengatakan, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:“Barangsiapa melihatku dalam tidur, maka (seakan-akan) ia melihatku ketika terjaga, (karena) setan tidak bisa menyerupaiku.”. Abu Abdullah mengatakan, Ibnu Sirin mengatakan; ‘Maksudnya jika melihat Beliau dengan bentuk (asli) Beliau.’
Dengan hadits semacam ini, klaim-klaim perjumpaan dengan nabi diobral. Padahal dalam memahami hadits, apalagi terkait suatu tema, diperlukan cara yang selektif dan kritis dalam menggali kesimpulan tentang suatu hadits.
Hadits dengan lafadh tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6993 dan darinya Al-Baghawiy dalam Al-Anwaar fii Syamaailin-Nabiy hal. 785 no. 1257 : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdaan : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah, dari Yuunus, dari Az-Zuhriy : Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah : Bahwasannya Abu Hurairah berkata : Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ، وَلَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga. Setan tidaklah bisa menyerupai diriku”.
Hadits dengan lafadh demikian berasal dari jalan ‘Abdullah bin Al-Mubaarak.
‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy At-Tamiimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 181 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3595].
‘Abdullah bin Al-Mubaarak mempunyai mutaba’ah dari :
1. ‘Abdullah bin Wahb.
Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2266 (11), Abu Daawud hal. 908 no. 5023, Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 7/45, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 12/227 no. 3288, dan ‘Aliy bin Al-Hasan Al-Khala’iy dalam Al-Khal’iyyaat no. 22; namun ia membawakan dengan lafadh yang menunjukkan adanya keraguan dari perawi :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ، أَوْ لَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ، لَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, ia akan melihatku dalam keadaan terjaga atau seakan-akan ia telah melihatku dalam keadaan terjaga. Setan tidaklah bisa menyerupai diriku”.
Sanad riwayat ini shahih.
‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 125 H, dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 556 no. 3718].
2. Anas bin ‘Iyaadl.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 13/416 no. 6051 dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَأَى الْحَقَّ
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, sungguh ia telah melihat kebenaran (yaitu : benar-benar melihat beliau dalam wujud sebenarnya)”.
Sanad riwayat ini hasan atau shahih.
Hisyaam bin ‘Ammaar bin Nushair bin Maisarah bin Abaan As-Sulamiy Abul-Waliid Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah atau shaduuq. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 153 H, dan wafat tahun 245 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [lihat : Al-Kaasyif 2/337 no. 5973 danTaqriibut-Tahdziib, hal. 1022 no. 7353].
Yuunus bin Yaziid Al-Ailiy dalam periwayatan dari Az-Zuhriy mempunyai mutaba’aat dari :
a. Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zuhriy (keponakan Az-Zuhriy).
Ahmad 5/306 (37/291) no. 22606, Muslim no. 2267, Ibnu Syaadzaan dalam Al-Masyyakhah no. 13, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad 1/363 no. 615, dan Al-Qadlaa’iy dalam Mu’jamu Ashhaab Al-Qaadliy Abu ‘Aliy Ash-Shadafiy no. 169; dengan lafadh yang menunjukkan adanya keraguan dari perawi sebagaimana di atas.
Sanad riwayat ini hasan.
Muhammad bin ‘Abdillah bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 152 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 866 no. 6089].
b. ‘Uqail bin Khaalid Al-Ailiy
Diriwayatkan oleh Ibnul-Muqri’ dalam Mu’jam-nya hal. 183 no. 982 dan Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 11/578; dengan lafadh yang menunjukkan adanya keraguan dari perawi sebagaimana di atas.
Sanad riwayat ini lemah karena faktor perawinya yang bernama Salaamah bin Rauh dan Muhammad bin ‘Uzaiz Al-Ailiy.
Salaamah bin Rauh bin Khaalid Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abu Rauh Al-Ailiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 197 H/198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 426-427 no. 2728 dan Tahriirut-Taqriib 2/98 no. 2713].
Muhammad bin ‘Uzaiz bin ‘Abdillah bin Ziyaad Al-Ailiy, Abu ‘Abdillah maulaa Bani Umayyah; padanya terdapat kelemahan, para ulama membicarakan tentang keshahihan penyimakan riwayatnya dari pamannya, Salaamah’. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 267 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 878 no. 6179].
‘Uqail bin Khaalid bin ‘Uqail Al-Ailiy, Abu Khaalid Al-Umawiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 144 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 687 no. 4699].
c. Muhammad bin Al-Waliid Az-Zubaidiy.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/28 no. 1739 dengan lafadh yang menunjukkan adanya keraguan dari perawi sebagaimana di atas.
Sanad riwayat ini lemah karena faktor Ibraahiim bin Muhammad bin ‘Irq, seorang yang majhuul al-haal [Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy, hal. 70-71 no. 33].
Muhammad bin Al-Waliid bin ‘Aamir Az-Zubaidiy, Abul-Hudzail Al-Himshiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 146 H/147 H/149 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 905 no. 6412].
Ibnu Syihaab Az-Zuhriy dalam periwayatan dari Abu Salamah mempunyai mutaba’ah dari Muhammad bin ‘Amru Al-Laitsiy sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 2/261 (12/513-514) no. 7553 & 2/425 (15/296) no. 9488 dan Ibnu Hibbaan 13/417 no. 6052; dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَأَى الْحَقَّ، إِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَشَبَّهُ بِي
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, sungguh ia telah melihat kebenaran (yaitu : benar-benar melihat beliau dalam wujud sebenarnya)”.
Sanad riwayat ini hasan.
Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan Al-Madaniy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 145 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 884 no. 6228 dan Tahriirut-Taqriib, 3/299 no. 6188].
Abu Salamah dalam periwayatan dari Abu Hurairah mempunyai mutaba’aat dari :
1. Abu Shaalih.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 110 & 6197, Ahmad 1/400 (6/347) no. 3798 & 2/410 (15/182) no. 9316 & 2/463 (16/44) no. 9966 & 2/469 (16/89-90) no. 10055, At-Tirmidziy dalam Syamaailun-Nabiy hal. 221 no. 407, Ibnu Abi Syaibah 11/55 (16/33) no. 31107, Ath-Thayaalisiy 4/170 no. 2542, Tamaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaid no. 591, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad 1/364 no. 616-617, dan Abul-Hasan bin Thalhah dalam Al-Fawaaid no. 14; semuanya dari jalan Abu Hushain, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah secara marfuu’ dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ عَلَى صُورَتِي
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, sungguh ia (seperti) melihatku dalam keadaan sadar, karena setan tidak dapat menyerupai bentukku”.
Sanad riwayat ini shahih, para perawi tsiqaat.
Dzakwaan, Abu Shaalih As-Sammaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 101 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 313 no. 1850].
Abu Hushain adalah ‘Utsmaan bin ‘Aashim bin Hushain, Abu Hushain Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 128 H/129 H/132 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 664 no. 4516].
2. Muhammad bin Siiriin.
Diriwayatkan oleh Muslim no 2266 (10), At-Tirmidziy 4/123 no. 2280, Ahmad 2/411 (15/188) no. 9324, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 2/291 no. 954 & 8/74 no. 8005, dan Al-Qaasim bin Muusaa dalam Juuz-nya no. 68; semuanya dari jalan Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah secara marfuu’ dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, sungguh ia telah melihatku karena setan tidak bisa menyerupaiku”.
Sanad riwayat ini shahih.
Muhammad bin Siiriin Al-Anshaariy, Abu Bakr bin Abi ‘Amrah Al-Bashriy; seorang tabi’iy masyhur, tsiqah, lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 110 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 853 no. 5985].
3. ‘Abdurrahmaan bin Ya’quub Al-Juhhaniy.
Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah 5/406 no. 3901, Abu Ya’laa 11/372 no. 6488 & 11/405 6530, Ismaa’iil bin Ja’far dalam Hadiits-nya no. 246, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad 1/1011 no. 1854, dan Syaibaan bin Farruukh dalam Juuz-nya no. 62; semuanya dari jalan Al-‘Alaa’ bin ‘Abdirrahmaan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfuu’ dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, sungguh ia telah melihatku karena setan tidak bisa menyerupaiku”.
Sanad riwayat ini shahih.
‘Abdurrahmaan bin Ya’quub Al-Juhhaniy Al-Madaniy, maulaa Al-Huraqah; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’ul-Qiraa’ah, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 605 no. 4073].
Al-‘Alaa’ bin ‘Abdirrahmaan bin Ya’quub Al-Huraqiy, Abu Syibl Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 130-an H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’ul-Qiraa’ah Khalfal-Iimaam, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 761 no. 5286, Irwaul-Ghaliil 5/292, Tahriirut-Taqriib, 3/129-130 no. 5247, dan Natslun-Nabaal, hal. 969 no. 2332].
4. Kulaib bin Syihaab Al-Jarmiy.
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/232 (12/87-88) no.7168 & 2/342 (14/200) no. 8508, At-Tirmidziy dalam Syamaailun-Nabiy hal. 222 no. 409, Ishaaq bin Rahawaih dalam Al-Musnad 1/287 no. 261, Ibnu Syabbah dalam Taariikh Madiinah (Takhriij wa Diraasah Al-Ahaadiitsil-Marfuu’ah fii Kitaab Akhbaaril-Madiinah) hal. 568 no. 733, Al-Haakim 4/393, ‘Affaan bin Muslim dalam Al-Ahaadiits no. 136,dan Ibnul-A’raabiy dalam Mu’jam-nya hal. 76 no. 110; semuanya dari jalan ‘Aashim bin Kulain, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfuu’ dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لا يَتَمَثَّلُنِي
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, sungguh ia telah melihatku karena setan tidak bisa menyerupaiku”.
Sanad riwayat ini shahih.
Kulaib bin Syihaab bin Al-Majnuun Al-Jarmiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Ia telah ditsiqahkan oleh Abu Zur’ah, Ibnu Sa’d, dan Ibnu Hibbaan. Termasuk thabaqah ke-2. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u Raf’il-Yadain, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqribut-Tahdziib hal. 813 no. 5696 dan Tahdziibut-Tahdziib, 8/445-446 no. 808].
‘Aashim bin Kulaib bin Syihaab bin Al-Majnuun Al-Jarmiy. Ibnu Hajar berkomentar : “Shaduuq, dituduh berpemahaman irjaa’”. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 137 H. Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 473 no. 3092]. Namun yang benar ia seorang yang tsiqah. Telah ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in, An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, Ibnu Syaahiin, Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy, dan Ibnu Sa’d. Ahmad bin Hanbal berkata : “Tidak mengapa dengan haditsya”. Abu Haatim berkata : “Shaalih”. Abu Daawud berkata : “Ia orang yang paling utama di kota Kuufah” [selengkapnya lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 5/55-56 no. 89].
Abu Hurairah mempunyai syawaahid dari :
1. Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6994, Ahmad 3/269 (21/339) no. 13849, At-Tirmidziy dalam Syamaailun-Nabiy hal. 224 no. 413, Abu Ya’laa 6/41 no. 3285, ‘Affaan bin Muslim dalam Al-Ahaadiits no. 297, Ibnu Abi Syaibah 11/56 (16/34) no. 31110, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 4/115 no. 3752, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 2/330, Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 7/46, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 12/225-226 no. 3286 dan dalam Al-Anwaar fii Syamaailun-Nabiy hal. 783 no. 1254, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 1/282-283; semuanya dari jalan ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar, dari Tsaabit, dari Anas secara marfuu’ dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَخَيَّلُ بِي، وَرُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, sungguh ia telah melihatku karena setan tidak dapat menyerupai diriku. Mimpi seorang mukmin adalah sebagian dari empatpuluh enam bagian kenabian”.
Sanad riwayat ini shahih.
‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar Al-Anshaariy, Abu Ishaaq/Abu Ismaa’iil Ad-Dabbaagh Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 615 no. 4148].
Tsaabit bin Aslam Al-Bunaaniy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 123 H/127 H. Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 185 no. 818].
2. Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Muslim no. 2268, Ibnu Maajah 5/406-407 no. 3902, Ahmad 3/350 (23/93-94) no. 14779, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 7/106 no. 7582, Ibnu Abi Syaibah 11/56 (16/34) no. 31109, Abu Ya’laa 4/180 no. 2262, ‘Abd bin Humaid 2/148 no. 1044, Asy-Syammaa’ dalam Ats-Tsabt no. 10, Abu Jahm Al-Baghdaadiy dalam Juuz-nya no. 3, Abu ‘Abdillah Al-Muadzdzin dalam Al-Fawaaid no. 38, Asy-Syahaamiy dalam As-Sibaa’iyyaat no. 200, Al-Hasan bin Ahmad Al-Haddaa dalam Mu’jamul-Masyaikh no. 28, Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/61, dan Qaasim Qathluubaghaa dalam ‘Awaaliy Al-Laits bin Sa’d no. 32; dari dua jalan (Al-Laits bin Sa’d dan Zakariyyaa bin Ishaaq), dari Abuz-Zubair, dari Jaabir secara marfuu’ dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي، إِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَتَمَثَّلَ فِي صُورَتِي
“Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpi, sungguh ia telah melihatku karena setan tidak bisa menyerupai bentukku”.
Sanad riwayat ini shahih.
Al-Laits bin Sa’d bin ‘Abdirrahmaan Al-Fuhmiy, Abul-Haarits Al-Mishriy; seorang yang tsiqah, tsabt, faqiih, lagi imam. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 93/94 H, dan wafat tahun 175 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 817 no. 5720].
Zakariyyaa bin Ishaaq Al-Makkiy; seorang yang tsiqah,tertuduh berpemahaman qadariyyah. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 338 no. 2031].
Muhammad bin Muslim bin Tadrus Al-Qurasyiy Al-Asadiy Abuz-Zubair Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, namun sering melakukan tadlis. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 126 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 895 no. 6331].
3. Abu Qataadah radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6996, Muslim no. 2267 (11), At-Tirmidziy dalam Syamaailun-Nabiy hal. 223-224 no. 412, Ad-Daarimiy hal. 1360 no. 2186, Ibnul-Muqri’ dalam Mu’jam-nya hal. 183 no. 983, Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 7/45, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad 1/363 no. 615, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 12/226 no. 3287 dan dalam Al-Anwaar fii Syamaailin-Nabiy hal. 784no. 1255-1256, Ibnu Jaushaa’ dalam Juuz-nya no. 4, Al-Qadlaa’iy dalam Mu’jamu Ashhaab Al-Qaadliy Abu ‘Aliy Ash-Shadafiy no. 170, dan ‘Aliy bin Al-Hasan Al-Khala’iy dalam Khal’iyyaat no. 23; semuanya dari jalan Az-Zuhriy, dari Abu Salamah, dari Abu Qataadah secara marfuu’ dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَأَى الْحَقَّ
“Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpi, sungguh ia melihat kebenaran (yaitu : benar-benar melihat beliau dalam wujud sebenarnya)”.
Sanad riwayat ini shahih.
Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, hafiidh, lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 125 H, atau dikatakan sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 896 no. 6336].
Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi banyak haditsnya. Termasuk thabaqah ke-3, da wafat tahun 94 H dalam usia 72 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1155 no. 8203].
4. Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6997, Ibnu Maajah 5/407 no. 3903, Ahmad 3/55 (18/82-83) no. 11521-11522, Ibnu Abi Syaibah 11/56 (16/34-35) no. 31111, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 5/391-392, Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir (Ar-Raudlud-Daaniy) 1/175-176 no. 277 dan dalam Al-Ausath 3/237-238 no. 3026, Muhammad Ar-Raaziy dalam Al-Masyyakhah no. 19, Abu ‘Abdillah Ar-Raaziy dalam Al-Masyyakhah hal. 114, Abu Bakr bin Al-Buhluul dalam Al-Amaaliy no. 20, dan Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 8/63; dari tiga jalan (‘Abdullah bin Khabbaab, ‘Athiyyah Al-‘Aufiy, ‘Athaa’ bin Yasaar), semuanya dari Abu Sa’iid Al-Khudriy secara marfuu’ dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لا يَتَكَوَّنَنِي
“Barangsiapa yang melihatku (dalam mimpi), sungguh ia telah melihatku karena setan tidak bisa menjelma menjadi diriku”.
Riwayat ini shahih.
‘Abdullah bin Khabbaab Al-Anshaariy An-Najjaariy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat setelah tahun 100 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 502 no. 3310].
‘Athiyyah bin Sa’d bin Janaadah Al-‘Aufiy Al-Jadaliy Al-Qaisiy Al-Kuufiy, Abul-Hasan; seorang yang shaduuq, banyak salahnya, orang Syi’ah lagi mudallis. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 111 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 680 no. 4649 – Tahriirut-Taqriib 3/20 no. 4616].
‘Athaa’ bin Yasaar Al-Hilaaliy, Abu Muhammad/’Abdillah/Yasaar Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 97 H/103 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 679 no. 4638].
5. ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dalam Al-Jaami’ 4/121 no. 2276 dan dalam Syamaailun-Nabiy hal. 221 no. 406, Ibnu Maajah 5/405 no. 3900, Ad-Daarimiy hal. 1359 no. 2185, Ahmad 1/375 (6/23-24) no. 3559 & 1/440 (7/249) no. 4193 & 1/450 (7/331) 4304, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 5/437no. 2074, Ibnu Abi Syaibah 11/55 (16/33) no. 31107 dan Al-Musnad 1/184 no. 266, Abu Ya’laa 9/161-162 no. 5250, Asy-Syaasyiy dalam Al-Musnad 2/176 no. 740-741, Al-Qathii’iy dalam Juuz-nya hal. 365, Asy-Syaasyiy dalam Al-Musnad 2/176 no. 739, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 4/348 & 7/246, As-Sariy bin Yahyaa dalam Al-Ahaadiits no. 73, Abu ‘Aliy bin Syaadzaan dalam Hadiits-nya no. 17, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 2/56 no. 1234, dan Al-Qusyairiy dalam Ar-Risaalah Al-Qusyairiyyah hal. 209; semuanya dari jalan Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari Abul-Ahwash, dari ‘Abdullah bin Mas’uud secara marfuu’ dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي مِنَامِهِ فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لا يَتَمَثَّلُ بِي
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpinya, sungguh ia telah melihatku karena setan tidak bisa menyerupai diriku”.
atau :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ عَلَى صُورَتِي
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, sungguh ia (seperti) melihatku dalam keadaan terjaga karena setan tidak bisa menyerupai bentukku”.
Sanad riwayat ini shahih.
‘Amru bin ‘Abdillah bin ‘Ubaid Al-Hamdaaniy, Abu Ishaaq As-Sabii’iy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, mukatstsir, lagi ‘aabid, namun mengalami ikhtilaath di akhir hayatnya. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 129 H, atau dikatakan sebelum itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 739 no. 5100].
[Catatan : beberapa perawi dalam jalur periwayatan ini telah meriwayatkan darinya sebelum masa ikhtilathnya seperti : Israaiil dan Ats-Tsauriy].
Abul-Ahwash adalah : ‘Auf bin Maalik bin Nadhlah Al-Asyja’iy Al-Jusyamiy, Abul-Ahwash Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 758 no. 5253].
6. Abu Juhaifah radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 4/294-295 no. 2880, Ibnu Maajah 5/407-408 no. 3904, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 10/160no. 4233, Abu Ya’laa 2/184-185 no. 881, Ibnu Hibbaan 13/417-418 no. 6053, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 22/111 no. 279-280 & 22/118 301, Tamaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaid no. 1068, Ad-Daqqaaq dalam Al-Fawaaid no. 115, As-Samarqandiy dalam Al-Fawaaid no. 56, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 13/141; semuanya dari jalan ‘Aun bin Juhaifah, dari ayahnya secara marfuu’ dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَمَثَّلَ بِي
“Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpi, seakan-akan ia telah melihatku dalam keadaan terjaga karena setan tidaklah mampu menyerupai diriku”.
Sanad riwayat ini shahih.
‘Aun bin Abi Juhaifah Wahb bin ‘Abdillah As-Suwaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4 dan wafat tahun 116 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 758 no. 5254].
[Catatan : Riwayat ini merupakan salah satu qarinah pemastian salah satu lafadh keraguan perawi dari jalan Abu Hurairah yang disebutkan di awal].
7. Thaariq bin Al-Asyyam radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ahmad 3/472 (25/215) no. 15880 & 6/394 (45/187) no. 27208, Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 4/352 no. 3113, At-Tirmidziy dalam Syamaailun-Nabiy hal. 222 no. 408, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 7/201-202 no. 2773, Ibnu Abi Syaibah 11/55 (16/32) no. 31106,Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaad wal-Matsaaniy 3/21 no. 1305, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 8/378-379 no. 8180, Ibnul-Qaani' dalam Mu’jamush-Shahaabah 2/47, Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 11/217 & 12/222, Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah 8/99-101 no. 106-108, Abu ‘Abdillah An-Ni’aaliy dalam Al-Fawaaid no. 78,dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 13/336; semuanya dari jalan Khalaf bin Khaliifah, dari Abu Maalik Al-Asyja’iy, dari ayahnya secara marfuu’ dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, sungguh ia telah melihatku”.
Sanad riwayat ini hasan.
Khalaf bin Khaliifah bin Shaa’id bin Baraam Al-Asyja’iy Abu Ahmad Al-Waasithiy Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 91 H/92 H, dan wafat tahun 181 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 299 no. 1741].
Sa’d bin Thaariq bin Asyyam Abu Maalik Al-Asyja’iy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 140 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 369 no. 2253].
8. ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah 5/408 no. 3905, Ahmad 1/361 (5/388-389) no. 3410 & 1/279 (4/318) 2525, At-Tirmidziy dalam Syamaailun-Nabi hal. 223 no. 410, Ibnu Abi Syaibah 11/56 (16/33-34) no. 31108, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 1/202, Ibnu Syabbah dalam Taariikh Madiinah (Takhriij wa Diraasah Al-Ahaadiitsil-Marfuu’ah fii Kitaab Akhbaaril-Madiinah) hal. 561 no. 719, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 12/38 no. 12403 & 12/213 no. 12926, Ibnu ‘Asaakir dalamTaariikh Dimasyq 3/266, dan Adl-Dliyaa' dalam Al-Mukhtarah 11/411 no. 436.; dari dua jalan (Sa’iid bin Jubair dan Yaziid Al-Faarisiy), dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas dengan lafadh :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي
“Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpi, sungguh ia telah melihatku karena setan tidak dapat menyerupai diriku”
atau :
إِنَّ الشَّيْطَانَ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِي، فَمَنْ رَآنِي فِي النَّوْمِ فَقَدْ رَآنِي
“Sesungguhnya setan tidak mampu menyerupai diriku. Maka barangsiapa melihatku di dalam mimpi, sungguh ia telah melihatku”.
Dua jalan tersebut terdapat kelemahan.
Jalan Sa’iid bin Jubair lemah karena faktor Jaabir Al-Ju’fiy. Jaabir bin Yaziid bin Al-Haarits bin ‘Abd Yaghuuts bin Ka’b Al-Ju’fiy Al-Kuufiy, Abu ‘Abdillah. Ibnu Hajar berkata : ”Lemah (dla’iif), Raafidliy”. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 127 H atau dikatakan tahun 132 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 192 no. 886 – atau selengkapnya silakan baca biografinya pada Tahdziibul-Kamaal, 4/465-472 no. 879].
Jalan Yaziid Al-Faarisiy lemah karena faktor dirinya yang majhuul.
9. Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 9/287, namun sanadnya sangat lemah dikarenakan ia terkenal banyak meriwayatkan hadits-hadits munkar.
Diriwayatkan juga oleh Abu ‘Abdillah An-Ni’aaliy dalam Al-Fawaaid no. 55 dari jalan Al-Khathiib, namun ia menyandarkannya kepada hadits ‘Imraan bin Hushain.
Catatan : Salah satu nakaarah yang ada dalam riwayat ini adanya tambahan lafadh :
وَمَنْ رَأَى أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآهُ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لا يَتَمَثَّلُ بِهِ
“Barangsiapa yang melihat Abu Bakr Ash-Shiddiiq dalam mimpi, sungguh ia telah melihatnya karena setan tidak dapat menyerupai dirinya”.
10. Al-Barraa’ bin ‘Aazib radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ar-Ruuyaaniy 1/291 no. 435, Ad-Duulaabiy dalam Al-Kunaa 1/309 no. 545, dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 14/258; semuanya dari jalan Muhammad bin ‘Abbaas Ad-Duuriy, dari Yahyaa bin Abi Bukair, dari ‘Aliy Abu Ishaaq, dari ‘Aamir bin Sa’d Al-Bajaliy, dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib secara marfuu’. Sanadnya lemah karena majhuul-nya ‘Aliy Abu Ishaaq.
11. ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/397 no. 2542 dan dalam Al-Ausath 1/320 no. 608, serta Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 46/321; semuanya dari jalan Ibraahiim bin Al-‘Alaa’, dari Tsawaabah bin ‘Aun At-Tanuukhiy, dari ‘Amru bin Qais, dari ‘Abdullah bin ‘Amru secara marfuu’. Sanadnya lemah karena majhuul-nya Tsawaabah bin ‘Aun.
12. Nafii’ bin Al-Haarits radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 2/492-493, namun sanadnya sangat lemah dikarenakan Jubaarah Al-Himmaaniy dan Al-Hakam bin Dhuhair.
Jubaarah bin Al-Mughallis Al-Himmaaniy, Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 241 H di Kuufah. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 194 no. 898].
Al-Hakam bin Dhuhair Al-Fazaariy, Abu Muhammad bin Abi Lailaa Al-Kuufiy; seorang yang matruuk. Termasuk thabaqah ke-8 dan wafat tahun 180 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 262 no. 1454].
13. ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 9/67 dan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal 3/170no. 336; dari jalan Abul-Az-har Ahmad bin Al-Az-har, dari Yahyaa bin Abil-Hajjaaj, dari Sufyaan Ats-Tsauriy, dari Abu Ishaaq, dari Al-Haarits, dari ‘Aliy secara marfuu’. Ad-Daaruquthniy men-ta’liil riwayat ini karena menyelisihi sejum;ah perawi tsiqaat yang meriwayatkan dari Sufyaan Ats-Tsauriy, dimana mereka meriwayatkan dari Sufyaan Ats-Tsauriy, dari Abu Ishaaq, dari Abul-Ahwash, dari ‘Abdullah bin Mas’uud.
14. Maalik bin ‘Abdillah Al-Khats’amiy radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 19/296-297 no. 660.
Sanad riwayat ini lemah karena faktor Syuraih bin ‘Abdirrahmaan, majhuul.
15. Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah, mursal.
Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 11/215 no. 20363 dan Ibnu Abid-Dun-yaa dalam Al-Manaamaat hal. 92-93 no. 131.
Sanad riwayat ini lemah karena mursal.
16. Qataadah rahimahullah, mursal.
Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 11/215-216 no. 20364.
Sanad riwayat ini lemah karena mursal. Selain itu riwayat Ma’mar dari Qataadah dilemahkan oleh sebagian ahli hadits.
Jika kita perhatikan hadits dengan keseluruhan jalannya, maka kita dapati lafadh ‘fasayaraanii fil-yaqdhah’ (ia akan melihatku dalam keadaan terjaga) adalah ghariib dari ‘Abdullah bin Al-Mubaarak. Adapun ‘Abdullah bin Wahb, ia membawakan riwayat dari Yuunus bin Yaziid dengan lafadh yang menunjukkan keraguan perawi : ‘Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, ia akan melihatku dalam keadaan terjaga atau seakan-akan ia telah melihatku dalam keadaan terjaga’. Keraguan ini berasal dari Az-Zuhriy, karena ashhaab-nya yang lain (Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zuhriy, ‘Uqail bin Khaalid Al-Ailiy, dan Muhammad bin Al-Waliid Az-Zubaidiy) membawakan riwayat dari Az-Zuhriy dengan lafadh adanya keraguan. Oleh karena itu di sini terlihat bahwa ada kemungkinan ‘Abdullah bin Al-Mubaarak membawakan riwayat dengan peringkasan, wallaahu a’lam.
Dan yang terlihat dari keraguan Az-Zuhriy tersebut, maka yang benar dari keraguan tersebut adalah lafadh : ‘seakan-akan ia telah melihatku dalam keadaan terjaga’. Ini ditunjukkan dari lafadh hadits setelahnya, yaitu : ‘(Karena) setan tidak bisa menyerupai diriku’. Lafadh ini dikuatkan dalam lafadh-lafadh dari jalur lain yang maknanya berdekatan dengan lafadh ini, yaitu jika seseorang bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ia benar-benar bermimpi bertemu beliau dalam wujud aslinya, atau ia seperti bertemu dengan beliau dalam keadaan sadar – karena setan tidak bisa menyerupai bentuk atau rupa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Silakan dilihat kembali lafadh dalam berbagai jalur periwayatan di atas. Apalagi lafadh hadits Abu Juhaifah radliyallaahu ‘anhu jelas mengatakan : “Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpi, seakan-akan ia telah melihatku dalam keadaan terjaga karena setan tidaklah mampu menyerupai diriku”. Alhamdulillah, dengan demikian, akurasi lafadh hadits kita dapatkan.
Seandainya kita ambil lafadh ‘fasayaraanii fil-yaqdhah’ dari jalur Ibnul-Mubaarak ini dan dipahami darinya adanya kemungkinan bertemu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sadar (pasca wafatnya beliau), maka ini merupakan pendapat yang ganjil. Al-Qaadliy Abu Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah berkata :
وَشَذَّ بَعْض الصَّالِحِينَ فَزَعَمَ أَنَّهَا تَقَع بِعَيْنَيْ الرَّأْس حَقِيقَة
“Dan sebagian orang-orang shaalih telah berpendapatsyaadz (ganjil) yang mengatakan bahwa melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan dua mata kepala terjadi secara hakekat” [Fathul-Baariy, 19/469].
Ibnu Hajar rahimahullah memberikan bantahan :
وَهَذَا مُشْكِل جِدًّا وَلَوْ حُمِلَ عَلَى ظَاهِره لَكَانَ هَؤُلَاءِ صَحَابَةً وَلَأَمْكَنَ بَقَاء الصُّحْبَة إِلَى يَوْم الْقِيَامَة ، وَيُعَكِّر عَلَيْهِ أَنَّ جَمْعًا جَمًّا رَأَوْهُ فِي الْمَنَام ثُمَّ لَمْ يَذْكُر وَاحِدٌ مِنْهُمْ أَنَّهُ رَآهُ فِي الْيَقَظَة
“Ini sangatlah sulit. Dan seandainya hadits itu dibawa pada makna dhahirnya, niscaya mereka (yang pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) adalah shahabat. Dan status shahabat itu akan tetap ada hingga hari kiamat. Dan bertentangan dengan itu, bahwasannya banyak orang yang pernah melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi, lalu tidak seorang pun dari mereka yang melihat beliau dalam keadaan sadar/terjaga” [idem].
Maksudnya, jika kita memahami hadits : ‘Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga’ sebagaimana dhahirnya – niscaya akan banyak orang yang pernah bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga karena mereka pernah melihat beliau dalam mimpinya. Namun, kenyataannya tidaklah demikian.
Orang yang meninggal, tidaklah mungkin akan bangkit kembali menemui orang yang hidup. Allah ta’ala berfirman :
وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan” [QS. Al-Mukminuun : 100].
Artinya, orang yang meninggal akan tetap di alam mereka (alam kubur) hingga hari kiamat kelak. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang pertama kali dibangkitkan dari alam kuburnya :
حَدَّثَنِي الْحَكَمُ بْنُ مُوسَى أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنَا هِقْلٌ يَعْنِي ابْنَ زِيَادٍ، عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ، حَدَّثَنِي أَبُو عَمَّارٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ، وَأَوَّلُ شَافِعٍ، وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ "
Telah menceritakan kepadaku Al-Hakam bin Muusaa Abu Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Hiql bin Ziyaad, dari Al-Auzaa’iy : Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Ammaar : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin farruukh : Telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat kelak. Aku adalah orang yang muncul (dibangkitkan) lebih dahulu dari kuburan, paling dahulu memberi syafa'at, paling dahulu dibenarkan memberi syafa'at” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2278].
Dari dua dalil ini sangat jelas menafikkan pemahaman dan klaim dimungkinkan bertemu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sadar/terjaga.
An-Nawawiy rahimahullah memberi penjelasan tentang makna ‘fasayaraanii fil-yaqdhah’ (ia akan melihatku dalam keadaan terjaga) adalah :
أَحَدهَا الْمُرَاد بِهِ أَهْل عَصْره ، وَمَعْنَاهُ أَنَّ مَنْ رَآهُ فِي النَّوْم ، وَلَمْ يَكُنْ هَاجَرَ ، يُوَفِّقُهُ اللَّه تَعَالَى لِلْهِجْرَةِ . وَرُؤْيَته صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَقَظَة عِيَانًا ، وَالثَّانِي مَعْنَاهُ أَنَّهُ يَرَى تَصْدِيق تِلْكَ الرُّؤْيَا فِي الْيَقَظَة فِي الدَّار الْآخِرَة ؛ لِأَنَّهُ يَرَاهُ فِي الْآخِرَة جَمِيع أُمَّته مَنْ رَآهُ فِي الدُّنْيَا ، وَمَنْ لَمْ يَرَهُ . وَالثَّالِث يَرَاهُ فِي الْآخِرَة رُؤْيَة خَاصَّته فِي الْقُرْب مِنْهُ وَحُصُول شَفَاعَته وَنَحْو ذَلِكَ . وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Pertama, yang dimaksudkan dengannya adalah orang yang semasa dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para shahabat). Dan maknanya, bahwasannya barangsiapa yang melihat beliau dalam mimpi, namun ia tidak berhijrah, niscaya Allah ta’ala akan memberikan taufiq kepadanya untuk berhijrah dan melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga/sadar dengan mata kepala mereka sendiri. Kedua, maknanya adalah ia akan melihat pembenaran atas mimpinya itu dalam keadaan sadar di akhirat kelak, karena melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam di akhirat akan dialami oleh semua umatnya, baik yang pernah maupun belum pernah melihat beliau di dunia. Dan ketiga, maknanya adalah melihat beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam di akhirat secara khusus dalam kedekatan dan mendapatkan syafa’at dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan semisalnya. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 7/458].
حَدََّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي وَقَالَ ابْنُ فُضَيْلٍ مَرَّةً يَتَخَيَّلُ بِي فَإِنَّ رُؤْيَا الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ الصَّادِقَةَ الصَّالِحَةَ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail telah menceritakan kepada kami ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:“Barangsiapa melihatku di dalam mimpi sungguh dia telah melihatku (yang sebenarnya), karena sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai aku” ~Ibnu fidloil berkata: “menghayalkan aku"~ , Sesungguhnya mimpi seorang mukmin yang benar adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian kenabian.”. (HR. Ahmad No.6871, At-Tirmidzi No.2202).
Tentang mimpi bertemu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,didapatkan keterangan bahwa barangsiapa yang bermimpi melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ia benar-benar melihat beliau dalam bentuk yang aslinya. Hal itu dikarenakan setan tidak bisa meniru atau menyerupai bentuk, wujud, atau rupa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang asli tersebut.
Permasalahannya kemudian adalah : Setelah meninggalnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada lagi yang bisa melihat wujud, bentuk, atau rupa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga kita bisa memastikan yang kita lihat dalam mimpi – seandainya kita bermimpi bertemu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam – adalah benar-benar beliau. Hadits tidak menafikkan bahwa setan mampu mengaku-aku sebagai Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Yang dinafikkan adalah kemampuan setan meniru wujud beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang asli.
Realitas menyatakan bahwa : Banyak orang mengklaim mengaku pernah bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya, baik orang yang shaalih maupun orang faasiq, baik Ahlus-Sunnah maupun Ahlul-Bid’ah.
Dulu, orang yang mengklaim pernah bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya, tidaklah serta-merta dibenarkan. Harus dibuktikan.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَقَدْ رَوَيْنَاهُ مَوْصُولًا مِنْ طَرِيق إِسْمَاعِيل بْن إِسْحَاق الْقَاضِي عَنْ سُلَيْمَان بْن حَرْب وَهُوَ مِنْ شُيُوخ الْبُخَارِيّ عَنْ حَمَّاد بْن زَيْد عَنْ أَيُّوب قَالَ " كَانَ مُحَمَّد - يَعْنِي اِبْن سِيرِينَ - إِذَا قَصَّ عَلَيْهِ رَجُل أَنَّهُ رَأَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : صِفْ لِي الَّذِي رَأَيْته ، فَإِنْ وَصَفَ لَهُ صِفَة لَا يَعْرِفهَا قَالَ : لَمْ تَرَهُ وَسَنَده صَحِيح
“Dan kami telah meriwayatkan secara maushuul dari jalan Ismaa’iil bin Ishaaq Al-Qaadliy, dari Sulaimaan bin Harb – dan ia termasuk di antara guru-guru Al-Bukhaariy - , dari Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, ia berkata : “Dulu Muhammad bin Siiriin apabila ada seseorang bercerita kepadanya bahwa ia pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (dalam mimpi), Ibnu Siiriin berkata : “Sifatkan kepadaku tentang orang yang engkau lihat”. Jika ia menyifatkan kepadanya satu sifat (dari diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) yang tidak ia ketahui, maka Ibnu Siiriin berkata : “Engkau tidak melihatnya”. Sanad riwayat ini shahih [Fathul-Baariy, 19/469].
Simak pula riwayat yang dibawakan Al-Imaam Ahmad dalam Musnad-nya 2/342 (14/200) no. 8508 berikut :
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ، حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، أَنَّهِ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي "،
قَالَ عَاصِمٌ: قَالَ: أَبِي: فَحَدَّثَنِيهِ ابْنُ عَبَّاسٍ فَأَخْبَرْتُهُ أَنِّي قَدْ رَأَيْتُهُ، قَالَ: رَأَيْتَهُ؟ قُلْتُ: إِي وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُهُ، قَالَ: فَذَكَرْتُ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ، قَالَ: إِنِّي وَاللَّهِ قَدْ ذَكَرْتُهُ وَنَعَتُّهُ فِي مِشْيَتِهِ، قَالَ: فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّهُ كَانَ يُشْبِهُهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin Kulaib : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Bahwasannya ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, sungguh ia telah melihatku karena setan tidak bisa menyerupai diriku”.
‘Aashim berkata : Ayahku berkata : “Ibnu ‘Abbaas menceritakannya kepadaku, lalu aku mengkhabarkan kepadanya bahwa aku benar-benar pernah melihat beliau (dalam mimpi)”. Ia berkata : “Engkau pernah melihatnya ?”. Aku katakan : “Demi Allah, sungguh aku benar-benar pernah melihatnya”. (‘Aashim berkata) : Lalu ayahku berkata : “Lalu aku menyebutkan Al-Hasan bin ‘Aliy”. Ia (ayahku) berkata : “Sesungguhnya aku – demi Allah – menyebutkan (sifat tubuhnya)-nya (Al-Hasan bin ‘Aliy) dan cara berjalannya”. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata : “Sesungguhnya Al-Hasan bin ‘Aliy memang menyerupai beliau” [selesai].
Jadi, cara Kulaib membuktikan perihal mimpinya kepada Ibnu ‘Abbaas adalah dengan menyebutkan sifat-sifat yang ada pada Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Dan Al-Hasan adalah orang yang paling serupa dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَحَمَلَ الْحَسَنَ وَهُوَ، يَقُولُ: بِأَبِي شَبِيهٌ بِالنَّبِيِّ، لَيْسَ شَبِيهٌ بِعَلِيٍّ، وَعَلِيٌّ يَضْحَكُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdaan : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari ‘Uqbah bin Al-Haarits, ia berkata : Aku pernah melihat Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu menggendong Al-Hasan. Ia berkata : “Ayahku sebagai tebusannya, ia mirip dengan Nabi, namun tidak mirip ‘Aliy”. Dan ‘Aliy tertawa (mendengarnya) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3749].
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ الْحَسَنُ يُشْبِهُهُ "
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, dari Abu Juhaifah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan Al-Hasan mirip dengan beliau” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3543].
Mimpi seseorang bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah benar jika orang yang ia temui mempunyai kesamaan sifat yang diketahui melalui khabar-khabar yang shahih. Selain itu, tidak mungkin seseorang mimpi bertemu dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beliau berbuat maksiat dan menyuruh berbuat maksiat. Itu adalah perbuatan setan yang mengaku-aku sebagai Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menyesatkan manusia.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar