Translate

Selasa, 31 Mei 2016

Musibah Datang Karena Dosa Kesalahan Manusia

Alloh penguasa alam raya. Dengan kuasa-Nya, Allah dapat berbuat apa saja tanpa ada seorang pun yang mampu menghalanginya. Kita dan semua yang kita saksikan dalam kehidupan ini pun milik-Nya. Dengan hikmah-Nya yang maha tinggi, Allah berkenan memberi apa saja kepada kita, Allah pun mampu mengambilnya dari kita. Allah berkehendak mengaruniakan kebaikan yang kita inginkan, Allah pun berhak menurunkan musibah yang tidak kita harapkan.

Musibah, bencana dan malapetaka ada dalam kuasa-Nya pula. Kehidupan manusia di dunia ini hampir tak pernah sepi dari musibah yang datang silih berganti. Dari yang kecil sampai yang besar. Dari yang ringan sampai yang berat. Dari yang sedikit hingga yang banyak. Ada musibah yang bersifat umum dan ada yang bersifat individu. Ada musibah yang tidak melibatkan manusia dan ada yang musibah yang melibatkan manusia zalim.

Allah Mahabijaksana. Musibah adalah sunnah-Nya. Segala yang diperbuat-Nya selalu mengandung hikmah yang agung. 

Ketika musibah dan bencana menghampiri kita, kadang yang dijadikan kambing hitam adalah alam, artinya alam itu murka. Ketika sakit datang, yang disalahkan pula konsumsi makanan, kurang olaharga dan seterusnya. 

Ketika kita terzholimi oleh atasan atau majikan karena belum telat gaji bulanan, kadang yang jadi biang kesalahan adalah majikan atau bos yang dijuluki pelit atau bakhil. Walau memang sebab-sebab tadi bisa jadi benar sebagai penyebab, namun jarang ada yang merenungkan bahwa karena dosa atau maksiat yang kita perbuat, akhirnya Allah mendatangkan musibah, menurunkan penyakit atau ada yang menzholimi kita. 

Coba kita renungkan ayat yang akan dibahas berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).

Firman Allah Swt.:

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ}

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.(Asy-Syura: 30)

Yakni betapapun kamu, hai manusia, tertimpa musibah, sesungguhnya itu hanyalah karena ulah keburukan kalian sendiri yang terdahulu.

{وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}

Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Asy-Syura: 30)

Maksudnya, keburukan-keburukanmu. Maka Dia tidak membalaskannya terhadap kalian, bahkan Dia memaafkannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ}

Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun. (Fathir: 45)

Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan seperti berikut:

"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَب وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزَن، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ، حَتَّى الشَّوْكَةِ  يُشَاكُهَا"

Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, tiada sesuatu pun yang menimpa seorang mukmin berupa kelelahan, kepayahan, kesusahan, dan tidak (pula) kesedihan melainkan Allah menghapuskan darinya berkat musibahnya itu sebagian dari kesalahan-kesalahan (dosa-dosa)nya, sehingga yang berupa duri yang menusuk (kaki)nya.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُليَّة، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ قَالَ: قَرَأْتُ فِي كِتَابِ أَبِي قِلابَةَ قَالَ: نَزَلَتْ: {فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ} [الزَّلْزَلَةِ:7، 8] وَأَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ، فَأَمْسَكَ وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي لَرَاءٍ مَا عَمِلْتُ مِنْ خَيْرٍ وَشَرٍّ؟ فَقَالَ: "أَرَأَيْتَ مَا رَأَيْتَ مِمَّا تَكْرَهُ، فَهُوَ مِنْ مَثَاقِيلِ ذَرّ الشَّرِّ، وَتُدَّخَرُ مَثَاقِيلُ الْخَيْرِ حَتَّى تُعْطَاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ" قَالَ: قَالَ أَبُو إِدْرِيسَ: فَإِنِّي أَرَى مِصْدَاقَهَا فِي كِتَابِ اللَّهِ: {وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub yang mengatakan bahwa ia membaca di dalam kitab Abu Qilabah yang menyebutkan bahwa ayat berikut, yaitu firman Allah Swt.: Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (Az-Zalzalah: 7-8) Diturunkan saat Abu Bakar r.a. sedang makan, lalu ia menghentikan makannya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku selalu mengetahui apa yang aku kerjakan berupa kebaikan atau keburukan." Rasulullah Saw. menjawab: Tidakkah engkau melihat apa yang engkau lihat berupa perkara yang tidak kamu sukai(menimpa dirimu) itu merupakan beban dari sezarrah keburukan, kemudian dimasukkan ke dalam timbangan kebaikan, hingga engkau mendapatkannya di hari kiamat nanti. Lalu disebutkan Abu Idris pernah mengatakan, bahwa ia melihat hal yang semakna yang menguatkannya di dalam Kitabullah, yaitu melalui firman-Nya: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Asy-Syura: 30)

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Abu Qilabah, dari sahabat Anas r.a. Ia mengatakan bahwa hadis yang pertama adalah yang paling sahih.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ الطَّبَّاعِ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الفَزَاري، حَدَّثَنَا الْأَزْهَرُ بْنُ رَاشِدٍ الْكَاهِلِيُّ، عَنِ الخَضْر بْنِ القَوَّاس الْبَجْلِيِّ، عَنْ أَبِي سُخَيْلَةَ عَنْ عَلِيٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلِ آيَةٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَحَدَّثَنَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: {وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ} . وَسَأُفَسِّرُهَا لَكَ يَا عَلِيُّ: "مَا أَصَابَكُمْ مِنْ مَرَضٍ أَوْ عُقُوبَةٍ أَوْ بَلَاءٍ فِي الدُّنْيَا، فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَاللَّهُ تَعَالَى أَحْلَمُ مِنْ أَنْ يُثَنِّى عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ فِي الْآخِرَةِ، وَمَا عَفَا اللَّهُ عَنْهُ فِي الدُّنْيَا فَاللَّهُ تَعَالَى أَكْرَمُ مِنْ أَنْ يَعُودَ بَعْدَ عَفْوِهِ"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa ibnut Tabba', telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Mu'awiyah Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Al-Azhar ibnu Rasyid Al-Kahili, dari Al-Khadir ibnul Qawwas Al-Bajali, dari Abu Sakhilah, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang suatu ayat dalam Kitabullahyang paling afdal yang telah diceritakan kepada kami oleh Rasulullah Saw, yaitu firman-Nya: 'Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)' (Asy-Syura: 30) Lalu Rasulullah Saw. bersabda, 'Hai Ali, aku akan menafsirkannya kepadamu: Apa saja yang menimpa kamu berupa sakit atau siksaan atau musibah di dunia, maka dikarenakan ulah tanganmu sendiri, dan Allah Swt. Maha Penyantun dari menduakalikan siksaan-Nya di akhirat nanti. Dan apa yang dimaafkan oleh Allah di dunia, maka Allah Swt. Mahamulia dari mengulanginya sesudah memaafkannya'.”

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Marwan ibnu Mu'awiyah dan Abdah, dari Sakhilah yang menceritakan bahwa Ali r.a. pernah mengatakan, lalu disebutkan hal yang semisal secara marfu'.

Kemudian Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hal yang semisal dari jalur lain secara mauquf.

Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Abu Muzahim, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu Abul Waddah, dari Abul Hasan, dari Abu Juhaifah yang menceritakan bahwa ia masuk menemui sahabat Ali ibnu Abu Talib r.a, lalu Ali r.a. berkata, "Maukah aku ketengahkan kepada kamu sekalian suatu hadis yang dianjurkan bagi orang mukmin untuk menghafalnya?" Kemudian mereka memintanya untuk mengetengahkannya, maka Ali membaca firman Allah Swt.: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Asy-Syura: 30) Lalu Ali r.a. berkata, bahwa apa saja yang telah dijatuhkan oleh Allah sebagai hukuman di dunia, maka Allah Maha Penyantun dari menduakalikan hukuman-Nya kelak di hari kiamat. Dan apa saja yang telah dimaafkan oleh Allah di dunia, maka Allah Mahamulia dari mengulangi pemaafan-Nya di hari kiamat nanti.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا طَلْحَةُ -يَعْنِي ابْنَ يَحْيَى-عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ مُعَاوِيَةَ-هُوَ ابْنُ أَبِي سُفْيَانَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِي جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Talhah (yakni Ibnu Yahya), dari Abu Burdah, dari Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan r.a. yang mengatakan bahwa aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tiada sesuatu pun yang menimpa diri seorang mukmin pada jasadnya yang membuatnya kesakitan, melainkan Allah meng­hapuskan karenanya sebagian dari keburukan-keburukannya.

قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا كَثُرَتْ ذُنُوبُ الْعَبْدِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَا يُكَفِّرُهَا، ابْتَلَاهُ اللَّهُ بالحَزَنِ لِيُكَفِّرَهَا"

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Hasan, dari Zaidah, dari Laits, dari Mujahid, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila dosa seorang hamba banyak, sedangkan dia tidak memiliki sesuatu sebagai penghapusnya (kifaratnya), maka Allah mengujinya dengan kesedihan untuk menghapuskan dosa-dosanya itu.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Ismail ibnu Muslim, dari Al-Hasan Al Basri yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Asy-Syura: 30)

Bahwa ketika ayat ini diturunkan, Rasulullah Saw. bersabda:

"وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، مَا مِنْ خَدْش عُودٍ، وَلَا اخْتِلَاجِ عِرْقٍ، وَلَا عَثْرة قَدَمٍ، إِلَّا بِذَنْبٍ وَمَا يَعْفُو اللَّهُ عَنْهُ أَكْثَرُ"

Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman)-Nya, tiada suatu lecet pun karena kayu dan tiada pula terkilirnya urat dan tiada pula tersandungnya telapak kaki melainkan karena perbuatan dosa, dan apa yang dimaafkan oleh Allah dari (penderita) nya adalah lebih banyak.

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari mansur, dari Al-Hasan, dari Imran ibnu Husain r.a. yang mengatakan bahwa salah seorang muridnya menemuinya, sedangkan Imran ibnu Husain saat itu sedang terkena cobaan penyakit pada tubuhnya. Lalu sebagian dari murid-muridnya mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya kami merasa sedih dengan apa yang kami lihat menimpa dirimu." Maka Imran ibnu Husain menjawab, "Janganlah kamu bersedih hati melihat diriku seperti ini, karena sesungguhnya apa yang kamu lihat ini karena suatu dosa, sedangkan apa yang dimaafkan oleh Allah jauh lebih banyak (daripada dosa itu)." Kemudian Imran ibnu Husain r.a. membaca firman-Nya: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. (Asy-Syura: 30)

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid Al-Hamami, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abul Bilad yang mengatakan bahwa ia pernah membacakan firman berikut kepada Al-Ala ibnu Badr, yaitu: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. (Asy-Syura: 30) Dan ia mengatakan bahwa matanya telah buta sejak ia masih kanak-kanak. Maka Al-Ala ibnu Badr menjawab, "Itu karena dosa-dosa kedua orang tuamu."

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Abdul Aziz ibnu Abu Daud, dari Ad-Dahhak yang mengatakan bahwa tiadalah yang kami ketahui bila ada seseorang telah hafal Al-Qur'an, kemudian ia lupa melainkan karena suatu dosa yang dilakukannya. Kemudian ia membaca firman Allah Swt.: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu) (Asy-Syura: 30)

 “Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa musibah yang menimpa kalian tidak lain adalah disebabkan karena dosa yang kalian dahulu perbuat. Dan Allah memaafkan kesalahan-kesalahan kalian tersebut. Dia bukan hanya tidak menyiksa kalian, namun Allah langsung memaafkan dosa yang kalian perbuat.” 

Karena memang Allah akan menyiksa seorang hamba karena dosa yang ia perbuat. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ

“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melata pun” (QS. Fathir: 45).

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, mereka mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

“Tidaklah seorang mukmin tertimpa suatu musibah berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), rasa capek, rasa sakit, rasa sedih, dan kekhawatiran yang menerpa melainkan dosa-dosanya akan diampuni” (HR. Muslim no. 2573).

Dari Mu’awiyah, ia berkata bahwa ia mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا مِنْ شَىْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِى جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِه

“Tidaklah suatu musibah menimpa jasad seorang mukmin dan itu menyakitinya melainkan akan menghapuskan dosa-dosanya” (HR. Ahmad 4: 98. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanadnya shahih sesuai syarat Muslim).

Bisa jadi pula musibah itu datang menghampiri kita karena dosa orang tua. Abul Bilad berkata pada ‘Ala’ bin Badr mengenai ayat,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri”, dan sejak kecil aku sudah buta, bagaimana pendapatmu? ‘Ala’ berkata,

فبذنوب والديك

“Itu boleh jadi karena sebab orang tuamu”.

Seseorang bisa jadi mudah lupa terhadap ayat Qur’an yang telah ia hafal karena sebab dosa yang ia perbuat. Adh Dhohak berkata,

ما نعلم أحدا حفظ القرآن ثم نسيه إلا بذنب

“Kami tidaklah mengetahui seseorang yang menghafal Qur’an kemudia ia lupa melaikan karena dosa”. Lantas Adh Dhohak membacakan surat Asy Syura yang kita bahas saat ini. Lalu ia berkata,

وأي مصيبة أعظم من نسيان القرآن.

“Musibah mana lagi yang lebih besar dari melupakan Al Qur’an?”

Jadi boleh jadi bukan karena kesibukan kita, jadi biang kesalahan hafalan Qur’an itu hilang. Boleh jadi karena tidak menjaga pandangan, terus menerus dalam maksiat serta meremehkan dosa, itulah sebab Allah memalingkan Al Qur’an dari kita.

Moga Allah melepaskan berbagai musibah yang menimpa kita. Ayat ini adalah sebagai renungan bagi kita untuk selalu mengintrospeksi diri sebelum menyalahkan orang lain ketika kita terzholimi. Boleh jadi musibah itu  datang karena dosa syirik, tidak ikhlas dalam amalan, amalan yg tidak berdasar, dosa besar atau meremehkan maksiat yang kita perbuat hari demi hari.

Sebagaimana yang telah dikatakan diatas, musibah adalah sunnatullah di dunia ini. Dunia bukan tempat kenikmatan. Mencari kesenangan dan kenikmatan selama-lamanya dan terus-menerus tidak mungkin akan didapatkan di dunia ini. 

Di dunia ini bercampur antara nikmat dan bencana, antara kemudahan dan kesusahan, antara kesenangan dan kesedihan. Jika begitu hakikat dari kehidupan dunia, maka musibah yang datang kepada seorang hamba sejatinya dapat mengingatkannya ke negeri akhirat, tempat cita-cita untuk meraih segala kenikmatan dapat ditambatkan.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al Balad: 4)

Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, susah payah dalam menghadapi musibah-musibah di dunia, dan kesulitan-kesulitan di akhirat.”

Faktor musibah utama ini (ulah manusia) ada dua hal, yakni faktor sosial dan faktor spiritual.

Pertama, faktor sosial. Maksudnya adalah faktor-faktor pemicu musibah yang berasal dari ulah manusia secara alamiah. Misalnya, membuang sampah ke sungai, tidak adanya daerah serapan air, banyaknya gedung dan bangunan, merupakan faktor penyebab banjir. Banyaknya volume kendaraan, tidak taat dan tertib lalu lintas menyebabkan terjadinya kecelakaan. Pembakaran hutan secara liar bisa menyebabkan gangguan polusi udara. Pembuangan limbah pabrik bisa menjadi polusi air. Digundulinya lereng gunung bisa menyebabkan tanah longsor.

Kedua, faktor spiritual. Maksudnya adalah faktor pemicu musibah yang berkaitan dengan nilai dan syariat agama. Faktor spiritual bisa berwujud melalaikan ibadah, banyak dosa dan maksiat, adanya “legalisasi” perzinaan, narkoba menjadi gaya hidup, memilih-memilih dan menolak syariat, banyaknya aliran dan pemahaman sesat-menyesatkan yang menodai syariat, dan syirik di mana-mana.

Berkenaan dengan poin kedua ini, terdapat ayat al-Quran yang relevan, yakni:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Maka, Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya itu.” (Q.S. al-A’raf [7]: 96).

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa sebab tidak berkahnya suatu negara adalah tidak beriman, tidak bertakwa, dan mendustakan ayat Allah. Selanjutnya, negara yang tidak beriman, tidak bertakwa, dan menolak ayat Allah akan mendapatkan siksa dari Allah SWT. Perhatikan saja, berkah langit dan berkah bumi tidak Allah buka. Langit menurunkan hujan yang sejatinya menyiram bumi, ternyata malah menyisakan air denan volumke berlebih alias banjir. Bumi, yang sejatinya diharapkan mengeluarkan kebaikan, ternyata malah berguncang (gempa), gunung meletus, longsor, dll. dengan intensitas yang tinggi.

Oleh karena itu, ketika bencana melanda suatu negara, hal yang harus dipikirkan adalah sejauh mana negara tersebut memiliki perhatian yang tinggi terhadap syariat. Bukan mengaitkannya dengan gejala alam semata. Karena, jika syariat dijadikan kambing hitam kehancuran negara (politik, ekonomi, social, kerukunan, toleransi, kebebasan, dll.) seperti yang kita lihat saat ini, maka ayat di atas mungkin saja terjadi: hilangnya berkah langit dan bumi (banyak bencana).

Hikmah Musibah

Musibah yang ditetapkan Allah kepada hamba-Nya memiliki beberapa hikmah, yaitu al-ikhtibar (ujian), at-tahdzir (peringatan), al-‘adzab (siksa), al-mukaffirudz dzanbi (penebus dosa).

1. Al-Ikhtibar (ujian)

Hikmah pertama dari musibah adalah sebagai al-ikhtibar atau ujian. Bagi siapa musibah sebagai ujian? Tentunya bagi orang-orang yang mengaku beriman. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوْا أَنْ يَقُوْلُوْا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman.’ sedang mereka tidak diuji lagi?” (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 2).

Jadi, bagi kita yang mengaku diri beriman, bersiap-siaplah untuk menghadapi ujian. Dan, perlu diingat bahwa semakijn tinggi pohon, semakin tinggi angin yang menerpanya; semakin tinggi kualitas iman seseorang, semakin besar ujian yang akan dihadapinya. Inilah fitrahnya.

Namun, jangan khawatir. Bagi orang yang imannya tinggi, ujian besar insya Allah akan terasa tawar. Sebaliknya, bagi orang yang imannya lemah, ujian sekecil apapun, rasanya sangat dahsyat. Jika demikian, kunci agar mudah dan lulus dalam ujian adalah kekuatan iman. Kekuatan iman akan melahirkan sabar, ikhtiar, doa, dan tawakal. Keempatnya tidak bisa dipisahkan satu sama lain ketika menghadapi ujian. Hilang salah satu, ujian pun bisa-bisa gagal.

Semoga kita termasuk orang yang bisa mengaplikasikan keempat hal tersebut: sabar, ikhtiar, doa, dan tawakal; di saat ujian melanda.

2. At-Tahdzir

Musibah yang melanda bisa saja Allah tetapkan sebagai tahdzir atau peringatan. Peringatan Allah berikan kepada orang yang sering melakukan dosa dan maksiat. Ketiika diuji dengan penyakit misalnya, hal pertama yang harus dievaluasi adalah apakah kita sudah bersih dari dosa atau belum. Kalau ternyata belum dan memang tidak ada manusia yang bersih sepenuhnya dari dosa, ini berarti Allah sedang memberikan peringatan agar tidak bersantai-santai berbuat dosa dan maksiat, dan agar segera kembali ke jalan yang benar (istigfar, tobat). Karena, setiap dosa ada timbal baliknya, sekecil apapun.

Artinya, jangan GR alias gede rasa dulu. Penyakit yang dirasa, rugi dalam dagang, rezeki sukar dicari, ngejomblo terus padahal hati rindu menikah, nama baik jadi turun, dll., jangan dulu divonis sebagai ujian dari Allah. Barangkali semua itu adalah teguran bahwa diri kita masih terlalu banyak dosa dan maksiat kepada-Nya. Sehinga, dengan teguran ini Allah masih memberi kesempatan untuk memperbaiki dan memantaskan diri di hadapan-Nya. Yang akan terjadi adalah, jika kita baik dan pantas ditolong Allah, maka Allah pun akan menolong dengan segera untuk menepikan musibah yang terjadi. Itu dia sunnatullah-nya. Dan, demikianlah sikap terbaik daripada GR merasa musibah adalah ujian dari Allah. Mendingan merasa bahwa musibah ini adalah peringatan sehingga kita tidak terlalu kalem dalam musibah dan dengan kesadaran seera memperbaiki diri di samping istigfar sebanyak-banyaknya.

3. Al-‘Adzab

Yang paling mengerikan hati adalah musibah yang terjadi merupakan adzab dari Allah SWT. Yang namanya adzab ya tentu bagi orang yang pantas diadzab. Siapa mereka?

Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Quran dan hadits, yang akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia maupun di akhirat adalah mereka yang mendustakan dan menolak ayat-ayat Allah (kafir), mereka yang menduakan Allah dalam ketauhidan (syirik), dan mereka kaum munafik si serigala berbulu domba. Jika ada orang kafir, musyrik, dan munafik terkena musibah, dipastikan bahwa musibah itu merupakan azab dari Allah SWT.

Namun, dijelaskan pula dalam hadits bahwa musibah, penyakit, dan kesedihan pun ternyata balasan atas kesalahan yang dilakukan. Nabi saw. bersabda:

اَلْمَصَائِبُ وَالْأَمْرَاضُ وَالْأَحْزَانُ فِى الدُّنْيَا جَزَاءٌ

“Musibah-musibah, penyakit-penyakit, dan kesedihan-kesedihan merupakan balasan (atas kesalahan).” (H.R. Ibnu Mardwih dan Abu Nu’aim).

Sepadan dengan hadits tersebut Allah SWT berfirman yang artinya, “Pahala dari Allah itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (Q.S. an-Nisa [4]: 123).

4. Mukaffirudz Dzanbi

Hikmah selanjutnya dari musibah adalah sebagai mukaffirudz dzanbi atau penghapus dosa. Siapakah yang mendapat hikmah ini? Tidak semua orang yang terkena musibah akan mendapakan penghapusan dosa. Yang akan mendapatkan hikmah ini adalah ia yang beriman dan beramal saleh. Sedangkan orang kafir, musyrik, dan munafik tidak akan mendapatkan hikmah pengampunan  dosa karena musibah bagi mereka adalah adzab sebagaimana poin sebelumnya.

Namun, tidak lantas dosa orang beriman kemudian diampuni Allah ketika musibah datang. Ada syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Syarat tersebut adalah sabar menjalani dan “menikmati” musibah.

Bagaimana wujud kesabarannya? Orang yang sabar terlihat dalam sikapnya: tidak berkeluh kesah, tenang, tangguh, tegar, berikhtiar semaksimal mungkin, terus berdoa, dan menyerahkan seala urusan kepada Allah (tawakal).

Mengenai hikmah ini, Rasulullah saw. bersabda:

مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ تُصِيْبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةَ يُشَاكُهَا

“Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim, kecuali Allah akan mengampuni dosanya meskipun hanya tertusuk duri.” (H.R. Bukhari).

Tak heran, jika para ulama terdahulu lebih merasa bahagia jika musibah tiba. Ternyata, musibah yang dihadapi dengan sabar, berbuah diampuni dosa yang telah dilakukan. Kalau begitu, ketika kita beristigfar minta diampuni dosa oleh Allah, maka salah satu  bentuk pengabulannya adalah Allah mengirimkan musibah untuk dihadapi dengan sabar.

Evaluasi untuk Negeri

Indonesia saat ini sedang berkabung dengan berbagai musibah yang singgah silih berganti. Banjir belum usai, gempa dahsyat terjadi. Akibat gempa belum terpulihkan, gunung pun meletus. Selain itu, longsor, kebakaran hutan, kecelakaan lalu lintas,  dll. pun turut “mewarnai” bencana yang datang.

Ada apa dengan Indoensia? Pertanyaan ini harus dijawab. Karena, selama ini para tokoh bangsa hanya mengaitkannya dengan gejala alam. Belum ada atau sedikit saja yang mengungkit permasalahan sikap, nilai dan ketaatan dalam agama (baca: Islam).

Ya. Karena, sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, pantas dan memang harus ada evaluasi dalam sikap hidup beragama. Dasarnya sudah dipahami bahwa musibah yang muncul adalah respon atas dosa dan maksiat kepada Allah. Selain itu, musibah-musibah yang menimpa umat-umat terdahulu adalah karena sikap mereka yang menentang dan tidak mau mengamalkan syariat agama Allah.

Nah, sekarang silahkan dievaluasi oleh masing-masing, kira-kira dari keempat hikmah yang dibahas sebelumnya, Indonesia berada di mana? Apakah musibah negara sebagai ujian, peringatan, atau siksa? Wallahu a’lam. Hanya Allah yang tahu.

Selain negara yang harus dievaluasi, kita pun mesti bermuhasabah diri. Barangkali kita sudah melalaikan ibadah, banyak dosa dan maksiat kepada Allah, menjauhi sunnah dan menghidupkan bid’ah. Hal-hal tersebut merupakan fasad (kerusakan) di muka bumi yang akan mengundang musibah.

Mengiyakan hal tersebut, pernah terjadi gempa dahsyat di jaman Umar bin Khatab. Lalu Umar melakukan “briefing” dan menegaskan bahwa musibah ini tiada lain disebabkan oleh dosa dan maksiat.

Oleh karena itu, salah satu  hal yang sangat harus dilakukan setiap kita adalah beristigfar kepada Allah sesering dan sebanyak mungkin. Barangkali dosa dan maksiat kita lah yang mengundang musibah itu. Sikap seperti ini sangat baik daripada menuduh bahwa orang lah yang berbuat salah sehingga menyebabkan musibah.

Ya Allah, ampunilah dosa dan terimalah taubat kami.
Semoga hati, lisan dan badan ini bisa bersabar dalam menghadapi berbagai cobaan.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar