Di dalam al-Qur’an, Allah swt. menyebutkan satu jenis binatang bernama keledai yang menjadi simbol kebodohan. Allah swt. menyebutkannya, agar manusia mengambil pelajaran daripadanya dan tidak memiliki sikap hidup seperti yang dicontohkan seekor keledai. Adapun sikap bodoh keledai itu adalah;
Seekor keledai selalu menjadi tunggangan dan pemikul beban manusia. Hal itu seperti disebutkan Allah dalam surat an-Nahl [16]: 8
وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (Surat aN-Nahl Ayat-8)
Seekor keledai dengan senang dan bangga mengantarkan manusia dari suatu tempat ke tempat lain dengan memikulnya di atas punggung, atau memikul beban manusia ke sutau tempat yang diinginkan manusia itu. Namun, setelah manusia sampai ke tujuannya atau setelah beban manusia sampai ke tempat dimaksud, keledai yang dengan susah payah menanggung beban tidak lagi disebut jasanya, bahkan nyaris dilupakan begitu saja.
Begitulah sutau bentuk kebodohan yang dicontohkan keledai. Memang, orang bodoh biasanya selalu menjadi tunggangan dan kendaraan bagi yang lain untuk mencapai maksudnya. Namun, ketika mereka telah sampai kepada maksud atau apa yang diinginkanya, manusia yang sebelumnya ditunggangi dan dijadikan kendaraan tidak lagi disebut dan dengan mudah dilupakan. Bahkan, yang lebih ironis mereka terkadang menjadi korban kesusuksesan manusia lain.
Lihatlah dalam percaturan politik atau sebuah pergerakan, para politisi dan penguasa menjadikan kelompok masyarakat tertentu sebagai kendaraan mereka, agar bisa sampai ke puncak kekuasaan. Setelah mereka memperoleh kekuasaan, kelompok yang mereka tunggangi dan telah berjuang dengan darah dan keringat mereka, dengan mudah dilupakan dan tidak mendapatkan apa-apa selain penderitaan. Tentu saja kelompok yang mau ditunggangi sepeerti itu adalah kelompok yang “bodoh” seperti keledai.
Seekor keledai kadang kala memikul sesuatu yang sangat berharga, namun ia tidak bisa mengambil manfaat dari apa yang berada di pundaknya itu. Begitulah yang disebutkan Allah swt. dalam surat al-Jumu’ah [62]: 5
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Surat Jum'ah Ayat-5)
Allah Swt. berfirman, mencela orang-orang Yahudi yang telah diberi kitab Taurat dan telah Dia bebankan kepada mereka kitab Taurat itu untuk diamalkan. Kemudian mereka tidak mengamalkannya, perumpamaan mereka dalam hal ini sama dengan keledai yang dipikulkan di atas punggungnya kitab-kitab yangtebal. Makna yang dimaksud ialah keledai itu tidak dapat memahami kitab-kitab yang dipikulnya dan tidak mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, karena keledai hanya bisa memikulnya saja tanpa dapat membedakan muatan apa yang dibawanya.
Demikian pula halnya dengan mereka yang telah diberi Al-Kitab, mereka hanya dapat menghafalnya secara harfiyah, tetapi tidak memahaminya dan tidak pula rfiengamalkan pesan-pesan dan perintah-perintah serta larangan-larangan yang terkandung di dalamnya. Bahkan mereka menakwilkannya dengan takwilan yang menyimpang dan menggantinya dengan yang lain. Keadaan mereka jauh lebih buruk daripada keledai, karena keledai adalah hewan yang tidak berakal, sedangkan mereka adalah makhluk yang berakal, tetapi tidak menggunakannya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain:
{أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ}
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebihsesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Al-A'raf: 179)
Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ}
Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Al-Jumu'ah: 5)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَير، عَنْ مُجَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَهُوَ كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا، وَالَّذِي يَقُولُ لَهُ "أنصت"، ليس له جمعة"
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Namir, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang berbicara pada hari Jumat, padahal imam sedang berkhotbah, maka perumpamaannya sama dengan keledai yang memikul kitab-kitab yang tebal. Dan orang yang berkata kepadanya, "Diamlah!" Maka tiada(pahala) Jumat baginya.
Adalah sebuah kebodohan, jika kita tinggal di negeri yang subur dan kaya raya, namun kita hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Begitu juga, teramat bodoh jika kita tinggal di lingkungan orang-orang pintar dan berilmu, sementara kita tetap berada dalam kebodohan dan keterbelakangan. Jika ada seorang manusia atau sekelompoik orang dalam keadaan seperti perumpamaan di atas, mereka adalah seperti keledai atau bahkan lebih bodoh dari keledai. Sebab, keledai begitu karena tidak memiliki akal, sementara manusia dilengkapi akal yang bisa digunakan untuk berfikir dan mengembangkan diri.
Keledai adalah binatang yang berbadan kecil bila dibandingkan binatang sejenisnya seperti kuda dan baghal. Begitu juga, keledai adalah binatang yang bodoh seperti yang telah disebutkan. Akan tetapi, keledai memiliki suara dan ringkikan yang lebih kuat dan nyaring bila dibandingkan dengan suara kuda, baghal atau gajah sekalipun. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat Luqman[ 31]: 19
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
Begitulah gambaran manusia yang paling bodoh. Mereka tidak memiliki ilmu dan wawasan, berfikiran kerdil, sempit dan picik, akan tetapi memiliki “bualan/ota” yang besar. Mereka adalah orang yang bodoh, namun berlagak lebih hebat dari orang pintar. Mereka adalah orang yang tidak tahu apa-apa, namun tidak sadar dengan ketidaktahuannya. Inilah kelompok manusia yang paling berbahaya, “Orang yang tidak tahu, dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu”. Begitulah salah satu ungkapan filsafat tentang pembagian manusia.
Sebuah Pasal tentang Sikap Angkuh
عَنْ أَبِي لَيْلَى، عَنِ ابْنِ بُرَيْدة، عَنْ أَبِيهِ مَرْفُوعًا: "مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ"
Diriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya secara marfu': Barang siapa yang menyeret kainnya dengan sikap sombong, maka Allah tidak mau melihatnya (kelak di hari kiamat).
Ibnu Abu Laila telah meriwayatkan yang semisal melalui Ishaq ibnu Ismail, dari Sufyan, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara marfu'.
وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّار، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: "لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ". وَ"بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ فِي بُرْدَيْهِ، أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ، خَسَفَ اللَّهُ بِهِ الْأَرْضَ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"
Telah menceritakan pula kepada kami Muhammad ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah secara marfu': Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya kelak di hari kiamat. Dan ketika seorang lelaki sedang melangkah dengan angkuhnya memakai baju burdah dua lapis seraya merasa besar diri, (tiba-tiba) Allah membenamkannya ke dalam tanah, dan dia terus terbenam ke dalam bumi sampai hari kiamat nanti.
Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya, bahwa ketika seorang lelaki, hingga akhir hadis.
Keledai adalah binatang yang berbadan kecil bila dibandingkan binatang sejenisnya seperti kuda dan baghal. Begitu juga, keledai adalah binatang yang bodoh seperti yang telah disebutkan. Akan tetapi, keledai memiliki suara dan ringkikan yang lebih kuat dan nyaring bila dibandingkan dengan suara kuda, baghal atau gajah sekalipun. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat Luqman[ 31]: 19
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
Begitulah gambaran manusia yang paling bodoh. Mereka tidak memiliki ilmu dan wawasan, berfikiran kerdil, sempit dan picik, akan tetapi memiliki “bualan/ota” yang besar. Mereka adalah orang yang bodoh, namun berlagak lebih hebat dari orang pintar. Mereka adalah orang yang tidak tahu apa-apa, namun tidak sadar dengan ketidaktahuannya. Inilah kelompok manusia yang paling berbahaya, “Orang yang tidak tahu, dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu”. Begitulah salah satu ungkapan filsafat tentang pembagian manusia.
Keledai adalah binatang yang selalu “nyengir” menampakan giginya dalam kondisi dan situasi apapun. Ketika memikul beban atau sedang istirahat sekalipun, seekor keledai akan tetap “nyengir”. Ketika dibelai atau dimarahi bahkan dipukul sekalipun, seekor keledai akan tetap “nyengir”.
Begitulah gambaran manusia yang bodoh. Mereka tidak bisa membedakan antara pujian dan amarah. Tidak bisa membedakan antara kebahagiaan dan kesedihan. Mereka selalu tertawa dalam setiap keadaan termasuk ketika dimarahi sekalipun.
Manusia yang cerdas adalah mansuai yang mengerti situsi dan kondisi serta mampu menempatkan diri, menjaga sikap dan ucapan sesuai keadaan yang dihadapi. Bahkan, mereka mengerti dan memahami sesuatu dari orang lain, sekalipun dalam bentuk isyarat atau kedipan mata.
Dalam ungkapan filosofi masyarakat Minangkabau disebutkan, bahwa manusia yang pintar adalah “Alun takilek alah kalam, takilek ikan di laut alah tau jantan batinonyo”. Maksudnya, manusia yang pintar adalah manusia yang mengerti sesuatau, sebelum orang lain mengatakannya dengan bahasa tegas atau kasar. Bahkan, isyrat berupa kedipan mata orang lain, dia sudah mengetahui maksudnya. Saking bijaksananya, seekor ikan di laut yang melintas secepat kilat di hadapannya, sudah dia ketahui jenis kelaminnya.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar