Do’a adalah ibadah dan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
, الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ “
Do’a adalah ibadah
.” (HR. Abu Daud no. 1479, At Tirmidzi no. 2969, Ibnu Majah no. 3828 dan Ahmad 4/267; dari An Nu’man bin Basyir).
Setiap manusia berdoa tujuan pasti ingin didengar dan dikabulkan Allah SWT segala permohonannya. Dan, Allah telah memberi tahu bagaimana cara atau adab berdoa yang paling disukai NYA.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (55) وَلا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (56)
Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan suara yanglembut. Sesungguhnya Allah tidakmenyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-A'raf: 55-56)
Allah Swt. memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar mereka berdoa memohon kepada-Nya untuk kebaikan urusan dunia dan akhirat mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً}
Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. (Al-A'raf: 55)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah mengucapkan doa dengan perasaan yang rendah diri, penuh harap, dan dengan suara yang lemah lembut. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu (Al-A'raf: 205), hingga akhir ayat.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan bahwa suara orang-orang terdengar keras saat mengucapkan doanya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أصمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ
Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian bukanlah menyeru (Tuhan) yang tuli dan bukan pula (Tuhan) yang gaib, sesungguhnya Tuhan yang kalian seru itu Maha Mendengar lagi Mahadekat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata Al-Khurrasani, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dengan berendah diri dan suara yang lembut. (Al-A'raf: 55) Yang dimaksud dengan khufyah ialah suara yang pelan.
Ibnu Jarir mengatakan, makna tadarru' ialah berendah diri dan tenang dalam ketaatan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan khufyah ialah dengan hati yang khusyuk, penuh keyakinan kepada Keesaan dan Kekuasaan-Nya terhadap semua yang ada antara kalian dan Dia, bukan dengan suara yang keras untuk pamer.
Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Mubarak ibnul Fudalah, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa sesungguhnya dahulu ada orang yang benar-benar hafal Al-Qur'an seluruhnya, tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Dahulu ada orang yang benar-benar banyak menguasai ilmu fiqih, tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Sesungguhnya dahulu ada orang yang benar-benar gemar melakukan salat yang panjang-panjang di dalam rumahnya, sedangkan di rumahnya banyak terdapat para pengunjung yang bertamu, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Sesungguhnya kita sekarang menjumpai banyak orang yang tiada Suatu amal pun di muka bumi ini mereka mampu mengerjakannya secara tersembunyi, tetapi mereka mengerjakannya dengan terang-terangan. Padahal sesungguhnya kaum muslim di masa lalu selalu berupaya dengan keras dalam doanya tanpa terdengar suaranya selain hanya bisikan antara mereka dan Tuhannya. Demikian itu karena Allah Swt. telah berfirman di dalam Kitab-Nya: Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. (Al-A'raf: 55); Dan firman Allah Swt. ketika menceritakan seorang hamba yang saleh yang Dia ridai perbuatannya, yaitu:
{إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا}
yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. (Maryam: 3)
Ibnu Juraij mengatakan bahwa makruh mengeraskan suara, berseru, dan menjerit dalam berdoa; hal yang diperintahkan ialah melakukannya dengan penuh rasa rendah diri dan hati yang khusyuk.
Kemudian Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata Al-Khurasahi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-A'raf: 55) Yakni dalam berdoa, juga dalam hal lainnya.
Abu Mijlaz mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-A'raf: 55)
Maksudnya, janganlah seseorang meminta kepada Allah agar ditempatkan pada kedudukan para nabi.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عن زياد ابن مِخْراق، سَمِعْتُ أَبَا نَعَامَةَ عَنْ مَوْلًى لِسَعْدٍ؛ أَنَّ سَعْدًا سَمِعَ ابْنًا لَهُ يَدْعُو وَهُوَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ، إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَنَعِيمَهَا وَإِسْتَبْرَقَهَا وَنَحْوًا مِنْ هَذَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَسَلَاسِلِهَا وَأَغْلَالِهَا. فَقَالَ: لَقَدْ سَأَلْتَ اللَّهَ خَيْرًا كَثِيرًا، وَتَعَوَّذْتَ بِاللَّهِ مِنْ شَرٍّ كَثِيرٍ، وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ: "إِنَّهُ سَيَكُونُ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الدُّعَاءِ". وَقَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ: {ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً [إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ] } وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَقُولَ: "اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Ziad ibnu Mikhraq; ia pernah mendengar Abu Nu'amah meriwayatkan dari seorang maula Sa'd bahwa Sa'd pernah mendengar salah seorang anak lelakinya mengatakan dalam doanya, "Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepadamu surga dan semua kenikmatannya dan baju sutranya, serta hal lainnya yang semisal. Saya berlindung kepada-Mu dari neraka, rantai, dan belenggunya." Maka Sa'd mengatakan, "Engkau telah meminta kepada Allah kebaikan yang banyak dan berlindung kepada Allah dari kejahatan yang banyak. Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Sesungguhnya kelak akan ada suatu kaum yang melampaui batas dalam berdoa'." Menurut lafaz yang lain disebutkan, "Melampaui batas dalam bersuci dan berdoa." Kemudian Sa'd membacakan firman-Nya:Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri.(Al-A'raf: 55) Sa'd mengatakan, "Sesungguhnya sudah cukup bagimu jika kamu mengucapkan dalam doamu hal berikut, 'Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada Engkau surga dan semua ucapan atau perbuatan yang mendekatkan diriku kepadanya. Saya berlindung kepada Engkau dari neraka dan dari semua ucapan atau perbuatan yang mendekatkan diriku kepadanya."
Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah, dari Ziyad ibnu Mikhraq, dari Abu Nu'amah, dari maula Sa'd, dari Sa'd, lalu ia menuturkan hadis ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عفَّان، حَدَّثَنَا حَمَّاد بْنُ سَلَمَةَ، أَخْبَرَنَا الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ أَبِي نَعَامة: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُغَفَّلٍ سَمِعَ ابْنَهُ يَقُولُ: اللَّهُمَّ، إِنِّي أَسْأَلُكَ الْقَصْرَ الْأَبْيَضَ عَنْ يَمِينِ الْجَنَّةِ إِذَا دَخَلْتُهَا. فَقَالَ: يَا بُنَيَّ، سَلِ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَعُذْ بِهِ مِنَ النَّارِ؛ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "يَكُونُ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الدُّعَاءِ والطَّهُور".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Al-Hariri, dari Abu Nu'amah, bahwa Abdullah ibnu Mugaffal pernah mendengar anaknya mengucapkan doa berikut, "Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada Engkau gedung putih yang ada di sebelah kanan surga, jika saya masuk surga." Maka Abdullah berkata kepadanya, "Hai anakku, mintalah surga kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari neraka. Karena sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Kelak akan ada suatu kaum yang melampaui batas dalam doa dan bersucinya'."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Affan.
Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Musa ibnu Ismail, dari Hammad ibnu Salamah, dari Sa'id ibnu Iyas Al-Hariri, dari Abu Nu'amah yang nama aslinya ialah Qais ibnu Ubayah Al-Hanafi Al-Basri. Sanad ini dinilai baik dan dapat dipakai.
Perintah berdoa dengan suara yang lembut juga termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [al-A’râf/7:205]
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah seorang Tabi’i, ia berkata: “Dahulu, kaum muslimin sangat tekun dalam berdoa. Tidak terdengar suara dari mereka, kecuali hanya suara lirih antara mereka dengan Rabb mereka”. Selanjutnya, beliau membacakan surat al-A’râf/7 ayat 55 dan pujian terhadap Nabi Zakariyya dalam surat Maryam/19 ayat 3.
عَنْ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ، هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ»
Dari Abu Musa Al Asy'ary Radhiallohu 'anhu, beliau berkata : Kami pernah bepergian bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam, lalu apabila kami melewati suatu lembah, kamipun TAHLIL dan TAKBIR, dengan mengangkat/membesarkan suara, maka Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Wahai sekalian manusia, rendahkanlah (kasihanilah) diri kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah menyeru Zat yang tuli dan tidak pula jauh, sesungguhnya DIA bersama kalian dan DIA maha mendengar lagi dekat, Maha Suci Nama-Nya dan Maha Tinggi Kebesaran-Nya. [HR. Bukhari dan Muslim]
Berkata Ibnu Juraij :
مِنْ الِاعْتِدَاءِ رَفْعُ الصَّوْتِ وَالنِّدَاءُ بِالدُّعَاءِ وَالصِّيَاحُ
Termasuk "Melampaui Batas"adalah mengangkat suara, menyeru dan berteriak ketika berdo'a.
Telah datang ayat yang memberikan anjuran agar tidak mengeraskan suara ketika berzikir dan berdo'a, Allah Subhanahu wata'ala berfirman :
{وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى} [طه: 7]
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. [QS. Tho-ha (20):7]
Maksudnya : Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu ketika berzikir kepada Allah baik itu dalam bentuk do'a atau selainnya, maka ketahuilah sesungguhnya Dia tidak butuh akan suara kerasmu karena Allah Subhanahu Wata'ala mengetahui apa yang kamu rahasiakan kepada orang lain dan yang lebih tersembunyi dari itu.
Contoh lain dari melampaui batas dalam berdo'a adalah berdo'a agar dimudahkan berbuat dosa atau memutus tali silaturahim, atau berdo'a agar diberi sesuatu yang mustahil diwujudkan baik secara syar'i ataupun secara kodrat, misalnya seseorang berdo'a : Ya Allah, jadikanlah aku seorang Nabi. Mustahil secara kodrat misalnya berdo'a kepada Allah agar menyatukan dua hal yang kontradiksi. Do'a-do'a seperti itu adalah do'a memohon sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan.
Abdullah bin Mughaffal pernah mendengar anaknya berdo'a dengan mengucapkan :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْقَصْرَ الْأَبْيَضَ، عَنْ يَمِينِ الْجَنَّةِ إِذَا دَخَلْتُهَا
"Ya Allah sesungguhnya saya memohon kepada-Mu istana putih di sisi kanan surga jika saya memasukinya."
Maka Abdullah bin Mughaffal berkata :
أَيْ بُنَيَّ، سَلِ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنَ النَّارِ
"Wahai anakku mintalah surga kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari neraka"
Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam bersabda :
«إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ»
"Sesungguhnya akan ada suatu kaum dari ummat ini yang berlebih-lebihan dalam hal bersuci dan berdo'a" [HR. Abu Daud]
Merendahkan suara dan tidak mengeraskannya termasuk etika dalam berdoa. Etika ini mencerminkan nilai-nilai positif. Di antaranya:
(1) Cara ini menunjukkan keimanan yang lebih besar, karena ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengar suara yang lirih,
(2) Cara ini lebih beradab dan sopan. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengar suara yang pelan, maka tidak sepantasnya berada di hadapan-Nya kecuali dengan suara yang rendah.
(3) Sebagai pertanda sikap khusyu‘ dan ketundukan hati yang merupakan ruh doa,
(4) Lebih mendatangkan keikhlasan. Karena doa dengan suara keras membuat orang lain merasa terganggu dan terpancing perhatiannya kepada suara-suara yang keras lagi riuh-rendah.
(5) Cara ini membantu untuk konsisten dan senantiasa berdoa. Karena bibir tidak merasa bosan dan anggota tubuh tidak mengalami kelelahan. Sebagaimana orang yang membaca dan mengulang-ulangnya dengan suara keras, maka akan lebih cepat merasa penat.
(6) Cara berdoa dengan suara lirih juga menunjukkan, bahwa seorang hamba meyakini kedekatannya dengan Allah Subahnahu wa Ta’ala.
Firman Allah Swt.:
{وَلا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا}
Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. (Al-A'raf: 56)
Allah Swt. melarang perbuatan yang menimbulkan kerusakan di muka bumi dan hal-hal yang membahayakan kelestariannya sesudah diperbaiki. Karena sesungguhnya apabila segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kelestariannya, kemudian terjadilah pengrusakan padanya, hal tersebut akan membahayakan semua hamba Allah.
Dalam ayat ini Allah melarang manusia agar tidak membuat kerusakan di permukaan bumi. Kerusakan ini mencakup:
1. Kerusakan jiwa, dengan cara membunuh dan memotonga anggota tubuh.
2. Kerusakan harta, dengan cara ghoshob dan mencuri.
3. Kerusakan agama dan kafir, dengan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan.
4. Kerusakan nasab, dengan melakukan zina.
5. Kerusakan akal, dengan meminum-minuman yang memabukkan.
Kesimpulannya, bahwa kerusakan itu mencakup kerusakan terhadap akal, akidah, tata kesopanan, pribadi, maupun sosial, sarana-sarana penghidupan, dan hal-hal yang bermanfaat untuk umum, seperti lahan-lahan pertanian, perindustrian, perdagangan dan sarana-sarana kerjasama untuk sesama manusia.
Salah satu bentuk perbaikan yang dilakukan Allah adalah dengan mengutus para Nabi untuk meluruskan dan memperbaiki kehidupan yang kacau dalam masyarakat. Siapa yang tidak menyambut kedatangan Rasul, atau menghambat misi mereka, dia telah melakukan salah satu bentuk perusakan di bumi.
Bumi sebagai tempat tinggal dan tempat hidup manusia dan makhluk Allah lainnya sudah dijadikan Allah dengan penuh rahmat-Nya. Gunung-gunung, lembah-lembah, sungai-sungai, lautan, daratan dan lain-lain semua itu diciptakan Allah untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh manusia, bukan sebaliknya dirusak dan dibinasakan.
Hanya saja ada sebagian kaum yang berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka tidak hanya merusak sesuatu yang berupa materi atau benda, melainkan juga berupa sikap, perbuatan tercela atau maksiat serta perbuatan jahiliyah lainnya. Akan tetapi, untuk menutupi keburukan tersebut sering kali mereka menganggap diri mereka sebagai kaum yang melakukan perbaikan di muka bumi, padahal justru merekalah yang berbuat kerusakan di muka bumi.
Allah SWT melarang umat manusia berbuat kerusakan dimuka bumi karena Dia telah menjadikan manusia sebagai khalifahnya. Larangan berbuat kerusakan ini mencakup semua bidang, termasuk dalam hal muamalah, seperti mengganggu penghidupan dan sumber-sumber penghidupan orang lain.
Maka Allah Swt. melarang hal tersebut, dan memerintahkan kepada mereka untuk menyembah-Nya dan berdoa kepada-Nya serta berendah diri dan memohon belas kasihan-Nya. Untuk itulah Allah Swt. berfirman;
{وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا}
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). (Al-A'raf; 56)
Yakni dengan perasaan takut terhadap siksaan yang ada di sisi-Nya dan penuh harap kepada pahala berlimpah yang ada di sisi-Nya. Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan:
{إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ}
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al-A'raf: 56)
Maksudnya, sesungguhnya rahmat Allah selalu mengincar orang-orang yang berbuat kebaikan, yaitu mereka yang mengikuti perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ
Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa. (Al-A'raf: 156), hingga akhir ayat.
Dalam ayat ini disebutkan qaribun dan tidak disebutkan qaribatun mengingat di dalamnya (yakni lafaz rahmat) terkandung pengertian pahala; atau karena disandarkan kepada Allah, karena itu disebutkan qaribun minal muhsinin (amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik).
Matar Al-Warraq pernah mengatakan, "Laksanakanlah janji Allah dengan taat kepada-Nya, karena sesungguhnya Dia telah menetapkan bahwa rahmat-Nya amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."
Dien Islam yang kaffah ini telah melarang segala bentuk pengerusakan terhadap alam sekitar, baik pengerusakan secara langsung maupun tidak langsung. Kaum Muslimin, harus menjadi yang terdepan dalam menjaga dan melestarikan alam sekitar. Oleh karena itu, seyogyanya setiap Muslim memahami landasan-landasan pelestarian lingkungan hidup. Karena pelestarian lingkungan hidup merupakan tanggung jawab semua umat manusia sebagai pemikul amanah untuk menghuni bumi Allâh Azza wa Jalla ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang perbuatan merusak lingkungan hidup karena bisa membahayakan kehidupan manusia di muka bumi. Karena bumi yang kita tempati ini adalah milik Allâh Azza wa Jalla dan kita hanya diamanahkan untuk menempatinya sampai pada batas waktu yang telah Allâh Azza wa Jalla tetapkan. Oleh karena itu, manusia tidak boleh semena-mena mengeksplorasi alam tanpa memikirkan akibat yang muncul.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
تِلْكَ آيَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ ۗ وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِلْعَالَمِينَ
Itulah ayat-ayat Allah Azza wa Jalla. Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar dan tiadalah Allâh berkehendak untuk menganiaya hamba-hambaNya. [Ali Imrân/3:108]
Allah Azza wa Jalla menciptakan alam ini bukan tanpa tujuan. Alam ini merupakan sarana bagi manusia untuk melaksanakan tugas pokok mereka yang merupakan tujuan diciptakan jin dan manusia. Alam adalah tempat beribadah hanya kepada Allâh semata. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(Yaitu) Orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. [Ali Imrân/3:191]
Syariat Islam sangat memperhatikan kelestarian alam, meskipun dalam jihâd fi sabîlillah. Kaum Muslimin tidak diperbolehkan membakar dan menebangi pohon tanpa alasan dan keperluan yang jelas.
Kerusakan alam dan lingkungan hidup yang kita saksikan sekarang ini merupakan akibat dari perbuatan umat manusia. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan firmanNya :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [ar-Rûm/30:41]
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar