Ketika kita melakukan safar atau bepergian dengan jarak tempuh yang jauh, tentulah kita akan melewati beberapa kali waktu shalat. Bagi yang menggunakan kendaraan pribadi, akan lebih mudah untuk berhenti sejenak di masjid untuk menunaikan shalat. Akan tetapi, bagi yang menggunakan kendaraan umum seperti bus, kereta, kapal laut, dan pesawat, hal ini tentu harus menyesuaikan dengan rute berhenti dari kendaraan tersebut. Dan sering kali waktu shalat akan habis sebelum kita sampai di tempat tujuan.
Amalan ini sekarang sudah jarang dilakukan oleh kaum muslimin, padahal dulu, sering dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah salah satu kemudahan bagi kaum muslimin agar mereka lebih giat dalam menambah surplus pahala shalat sunnah saat bepergian, karena shalat sunnah dapat menyempurnakan kekurangan yang ada dalam shalat wajib sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَاةُ، قَالَ: يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا، فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya yang pertama kami dihisab dari diri manusia pada hari kiamat dari amal-amalnya adalah shalat. Rabb kita ‘azza wa jallaa berfirman kepada malaikat, padahal Ia lebih mengetahui : ‘Lihatlah shalat hamba-Ku apakah sempurna atau kurang’. Apabila shalatnya sempurna, maka dituliskan padanya (pahala) yang sempurna. Namun apabila kurang, maka Allah berfirman : ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku mempunyai amalan shalat sunnah (tathawwu’) ?’. Apabila ia mempunyai amalan shalat sunnah, maka Allah berfirman : ‘Sempurnakanlah bagi hamba-Ku shalat wajibnya dari shalat sunnahnya’. Kemudian amalan-amalan lain dihisab sama seperti itu” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 864-866; shahih].
Beberapa dalil yang melandasi amalan yang disebutkan dalam judul antara lain adalah :
Firman Allah ta’ala :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 115].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ مُقْبِلٌ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ، قَالَ: وَفِيهِ نَزَلَتْ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ".
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di atas kendarannya kemana saja kendaraannya menghadap, yaitu ketika beliau datang dari Makkah menuju Madiinah. Dan pada peristiwa itu turun ayat : ‘ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS. Al-Baqarah : 115)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 700].
عَنْ جَابِرِ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ "
Dari Jaabir, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di atas kendaraannya kemana saja kendaraan itu menghadap. Namun apabila hendak mengerjakan shalat wajib, beliau turun lalu menghadap kiblat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 400 & 1094 & 1099 & 4140, Abu Daawud no. 1227, At-Tirmidziy no. 351, dan yang lainnya].
عَنْ عَامِر بْن رَبِيعَةَ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ
Dari ‘Aamir bin Rabii’ah, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertasbih (yaitu : shalat) di atas kendaraannya. Beliau memberi isyarat dengan kepalanya kemana saja kendaraannya menghadap. Namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan hal tersebut dalam shalat wajib” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1097].
عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بِطَرِيقِ مَكَّةَ، فَقَالَ سَعِيدٌ: " فَلَمَّا خَشِيتُ الصُّبْحَ نَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ، ثُمَّ لَحِقْتُهُ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: أَيْنَ كُنْتَ؟ فَقُلْتُ: خَشِيتُ الصُّبْحَ فَنَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: أَلَيْسَ لَكَ فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِسْوَةٌ حَسَنَةٌ؟ فَقُلْتُ: بَلَى وَاللَّهِ، قَالَ: فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ عَلَى الْبَعِيرِ "
Dari Sa’iid bin Yasaar, bahwasannya ia berkata : Aku pernah pergi bersama 'Abdullah bin ‘Umar di suatu jalan di kota Makkah. Ketika aku khawatir (masuk waktu) Shubuh, aku turun (dari kendaraanku), lalu aku mengerjakan shalat witir. (Setelah selesai), aku menyusulnya". ‘Abdullah berkata : “Dari mana saja engkau?”. Aku menjawab : “Aku tadi khawatir (masuk waktu) Shubuh, aku turun (dari kendaraanku), dan kemudian mengerjakan shalat witir". 'Abdullah berkata : "Tidakkah dalam diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam terdapat contoh yang baik (uswah hasanah) bagimu ?". Aku berkata : “Tentu saja, demi Allah”. 'Abdullah berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat witir di atas onta” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 999 & 1000 & 1095 & 1096 & 1098 & 1105, Muslim no. 700].
عَنْ أَنَس بْن سِيرِينَ، قَالَ: " اسْتَقْبَلْنَا أَنَسًا بْنَ مَالِكٍ حِينَ قَدِمَ مِنْ الشَّأْمِ، فَلَقِينَاهُ بِعَيْنِ التَّمْرِ فَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي عَلَى حِمَارٍ وَوَجْهُهُ مِنْ ذَا الْجَانِبِ يَعْنِي عَنْ يَسَارِ الْقِبْلَةِ، فَقُلْتُ: رَأَيْتُكَ تُصَلِّي لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ، فَقَالَ: لَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ لَمْ أَفْعَلْهُ "
Dari Anas bin Siiriin, ia berkata : Kami pernah menyambut kedatangan Anas bin Malik ketika ia baru datang dari Syaam. Kami menemuinya di tempat yang bernama ‘Ainut-Tamr. Ketika itu aku melihatnya (Anas) shalat di atas keledainya dengan menghadap ke sebelah kiri kiblat. (Setelah ia selesai), aku bertanya kepadanya : “Aku melihatmu shalat dengan tidak menghadap kiblat”. Ia berkata : “Seandainya aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1100, Muslim no. 702, Abu Daawud no. 1225, dan yang lainnya].
عَنْ أَنَس بْن مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ، ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ وَجَّهَهُ رِكَابُهُ "
Dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan safar dan hendak melakukan shalat sunnah, maka beliau menghadapkan ontanya ke kiblat, lalu bertakbir. Setelah itu beliau shalat kemana saja ontanya itu menghadap [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1225; hasan].
An-Nawawiy rahimahullah mengatakan adanya konsensus ulama diperbolehkannya shalat sunnah di atas kendaraan saat safar :
فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث جَوَاز التَّنَفُّل عَلَى الرَّاحِلَة فِي السَّفَر حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، وَهَذَا جَائِز بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ
“Dalam hadits-hadits ini terdapat dalil diperbolehkannya shalat sunnah di atas kendaraan ketika safar kemanapun kendaraan itu menghadap. Hukumnya diperbolehkan menurut ijmaa’ pada ulama” [Syarh Shahiih Muslim, 5/210].
Diperbolehkan juga melakukan shalat sunnah di atas kendaraan meskipun perjalanannya tersebut belum melewati batas jarak safar menurut jumhur ulama. Ath-Thabariyrahimahullah berkata ketika menisbatkan pendapat ini pada jumhur ulama :
أَنَّ اللَّه تَعَالَى جَعَلَ التَّيَمُّم رُخْصَة لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِر ، وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ كَانَ خَارِج الْمِصْر عَلَى مِيل أَوْ أَقَلّ وَنِيَّته الْعَوْد إِلَى مَنْزِله لَا إِلَى سَفَر آخَر وَلَمْ يَجِد مَاء أَنَّهُ يَجُوز لَهُ التَّيَمُّم ، وَقَالَ : فَكَمَا جَازَ لَهُ التَّيَمُّم فِي هَذَا الْقَدْر جَازَ لَهُ النَّفْل عَلَى الدَّابَّة لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الرُّخْصَة
“Bahwasannya Allah ta’ala menjadikantayammum sebagai rukhshah bagi orang yang sakit dan musafir. Dan para ulama sepakat bagi orang yang keluar dari negerinya sejauh satu mil atau kurang dan ia berniat akan kembali ke rumahnya – bukan tujuan untuk bersafar ke daerah lain - , dimana waktu itu ia tidak mendapatkan air, maka diperbolehkan baginya untuk bertayammum. Sebagaimana diperbolehkan untuk bertayammum dalam keadaan ini, maka diperbolehkan pula baginya untuk melakukan shalat shalat sunnah di atas hewan tunggangannya dengan sebab adanyaisytiraak keduanya dalam hal rukhshah” [Fathul-Baariy, 2/575].
Kaum muslimin yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah, ketahuilah bahwa hukum shalat di atas kendaraan itu ada rinciannya. Hukum asalnya tidak boleh dan tidak sah, namun dibolehkan dalam keadaan tertentu.
Wajib Shalat Di Darat Jika Masih Bisa
Sebagaimana kita ketahui bersama, menghadap kiblat adalah syarat sah shalat, tidak sah shalatnya jika tidak dipenuhi. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (QS. Al Baqarah: 144)
Maka pada asalnya, shalat wajib yang lima waktu dilakukan di darat dan tidak boleh dikerjakan di atas kendaraan karena sulit menghadap kiblat dengan benar.
Berbeda dengan shalat sunnah, boleh dikerjaan di atas kendaraan jika sedang safar, karena banyak dalil yang menunjukkan kebolehahnnya. Adapun jika tidak sedang safar, maka tidak ada keperluan untuk shalat wajib atau sunnah di atas kendaraan. Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim membuat judul “bab bolehnya shalat sunnah di atas binatang tunggangan dalam safar kemana pun binatang tersebut menghadap“, yaitu ketika menjelaskan hadits:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي سُبْحَتَهُ حَيْثُمَا تَوَجَّهَتْ بِهِ نَاقَتُهُ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat sunnah kemana pun untanya menghadap” (HR. Muslim 33).
dalam riwayat lain:
إن رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كان يوترُ على البعيرِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat witir di atas unta” (HR. Al Bukhari 999, Muslim 700).
Imam An Nawawi lalu berkata: “hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya shalat sunnah kemana pun binatang tunggangan menghadap. Ini boleh berdasarkan ijma kaum Muslimin”. Dan di tempat yang sama, beliau menjelaskan: “hadits ini juga dalil bahwa shalat wajib tidak boleh kecuali menghadap kiblat, dan tidak boleh di atas kendaraan, ini berdasarkan ijma kaum Muslimin. Kecuali karena adanya rasa takut yang besar” (Syarah Shahih Muslim, 5/211).
BOLEH SHALAT SUNNAH DI ATAS KENDARAAN
Ulama sepakat atas bolehnya melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraan mobil, kereta api, pesawat terbang dan kapal laut. Menghadap kiblat atau tidak. Dalam posisi gerakan sempurna atau dengan isyarat.
Dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari diriwayatkan dari Ibnu Umar
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يسبح على الراحلة قِبَلَ أي وجه توجه، ويوتر عليها، غير أنه لا يُصلي عليها المكتوبة
Artinya: Rasulullah pernah shalat di atas kendaraan dengan menghadap ke sembarang arah (tidak ke arah kiblat) dan Shalat witir di atas kendaraan. Hanya saja Nabi tidak pernah shalat fardhu di atas kendaraan.
TIDAK BOLEH SHALAT FARDHU 5 WAKTU DI ATAS KENDARAAN
Dalam menafsiri hadits di atas, Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 5/211 menyatakan
وفيه دليل على أن المكتوبة لا تجوز إلى غير القبلة، ولا على الدابة وهذا مجمع عليه؛ إلا في شدة الخوف
Artinya: Hadits ini menunjukkan bahwa shalat wajib 5 waktu tidak boleh dilakukan kecuali (a) harus menghadap kiblat; dan (b) tidak boleh dilakukan di atas kendaraan. Ini pendapat ijmak (kesepakatan antar madzhab). Kecuali dalam keadaan sangat takut (atau darurat).
KONDISI DARURAT YANG DIBOLEHKAN SHALAT WAJIB DI ATAS KENDARAAN
Apa yang dimaksud kondisi darurat? Imam Nawawi menerangkan secara detail dalam kitab Al-Majmuk Syarah Muhadzab 3/242 sbb:
ولو حضرت الصلاة المكتوبة، وخاف لو نزل ليصليها على الأرض إلى القبلة انقطاعاً عن رفقته أو خاف على نفسه أو ماله لم يجز ترك الصلاة وإخراجها عن وقتها، بل يصليها على الدابة لحرمة الوقت، وتجب الإعادة لأنه عذر نادر.
Artinya: Apabila waktu shalat wajib / fardhu tiba, dan dia (a) takut kalau turun dari kendaraan untuk shalat di tanah dan menghadap kiblat akan membuatnya terputus dari teman (rombongan)-nya; atau (b) takut keselamatan jiwabnya; atau (c) takut keselamatan hartanya, dia tidak boleh meninggalkan shalat dan keluar dari waktu shalat, maka dia boleh melakukan shalat di atas kendaraan untuk menghormati waktu (li hurmatil waqti) dan ia wajib mengulangi (mengqadha) shalatnya karena itu merupakan udzur yang jarang terjadi.
Yang dimaksud Imam Nawawi shalat fardhu li hurmatil wakqti (menghormati waktu) dan harus mengulangi itu apabila (a) shalatnya tidak menghadap kiblat; (b) shalatnya tidak dalam gerakan yang sempurna alias hanya memakai isyarat saja.
Adapun apabila shalat di atas kendaraan tersebut dilakukan dengan cara yang sama layaknya shalat di tanah yakni (a) menghadap kiblat; dan (b) gerakan shalat sempurna yakni dengan berdiri, rukuk dan sujud, maka shalatnya tidak perlu diulang atau diqadha menurut sebagian pendapat dalam madzhab Syafi'i.
Dalam Syarah Muslim 5/211 Imam Nawawi menyatakan
فلو أمكنه استقبال القبلة، والقيام والركوع والسجود على الدابة واقفة - يعني غير سائرة - عليها هودج، أو نحوه جازت الفريضة على الصحيح من مذهبنا، فإن كانت سائرة لم تصح على الصحيح المنصوص للشافعي
Artinya: Apabila bisa menghadap kiblat, dan berdiri rukuk dan sujud di atas kendaraan yang sedang diam ... maka boleh shalat fardhu di atas kendaraan menurut pendapat yang sahih dalam madzhab Syafi'i. Apabila kendaraan itu sedang berjalan maka tidak sah shalatnya menurut pendapat yang sahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi'i (artinya, ada pendapat yang menyatakan sah shalatnya).
Catatan: Ada pendapat dalam madzhab Hanbali bahwa dalam keadaan darurat di atas kendaraan seperti pesawat atau bis yang tidak bisa dihentikan, boleh shalat tanpa menghadap kiblat dan cukup dengan isyarat tanpa harus mengulangi (mengqodho). Sedangkan menurut madzhab Syafi'i tetap harus mengulangi di waktu yang normal.
Tata cara Sholat Dalam Kendaraan
Menghadap qiblat termasuk syarat sahnya shalat, sebagaimana firman Allah ta'aalaa:
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ [البقرة/144]
"Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya" (QS.Al-Baqarah:144)
Dan berdiri bila mampu dalam shalat fardhu termasuk rukun shalat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب
"Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka dengan duduk, apabila tidak mampu maka dengan berbaring" (HR.Al-Bukhary, dari 'Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhu)
Oleh karena itu, shalat fardhu di kereta apabila masih memungkinkan kita berdiri dan menghadap qiblat maka kita harus berdiri dan menghadap qiblat sebagaimana yang dilakukan para salaf ketika naik kapal, mereka shalat di kapal dengan berdiri menghadap qiblat, dan ketika kapal berubah arah mereka tetap berusaha menghadap qiblat.
Berkata Ibrahim An-Nakha'iy rahimahullah:
يستقبل القبلة كلما تحرفت
"(Orang yang shalat di atas kapal) tetap menghadap qiblat setiap kapal tersebut berpindah arah) (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 3/189 no:6634)
Berkata Hasan Al-Bashry dan Muhammad bin Siiriin rahimahumallah:
يصلون فيها قياما جماعة، ويدورون مع القبلة حيث دارت
"Mereka shalat berjama'ah di kapal dengan berdiri, dan mereka tetap menghadap qiblat kemanapun kapal berputar " (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 3/189 no:6637)
Namun apabila tidak mampu berdiri atau tidak mampu menghadap qiblat maka kita kerjakan shalat sesuai dengan kemampuan kita. Apabila tidak mampu berdiri maka duduk, apabila tidak mampu ruku dan sujud maka cukup dengan menundukkan badan, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada ruku'nya. Allah ta'aalaa berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن/16]
"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian" (QS. At-Taghaabun:16)
Allah ta'aalaa juga berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة/286]
"Allah tidak membebani sebuah jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya" (QS. Al-Baqarah:286)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فافعلوا منه ما استطعتم
"Apa yang aku larang maka hendaklah kalian jauhi, dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian kerjakan sesuai dengan kemampuan kalian" (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Berkata Syeikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu:
تصح الصلاة على الطائرة وهي تطير في الجو، كما تصح الصلاة على الباخرة والسفينة ونحوها. وهذا أَشبه بحال الضرورة. لأَنه لا يستطيع إِيقافها ولا النزول لأَداء الصلاة، ولا يجوز تأْخير الصلاة عن وقتها بحال. وكما تصح الصلاة على السيارة إِذا جد به السير ولم يتمكن الراكب من إِلزام السائق بإِيقاف السيارة وخشي خروج الوقت، فإِنه يصلي قبل خروج الوقت ويفعل ما يستطيع عليه، ثم إِذا صلى الإِنسان في الطائرة ونحوها فإِن استطاع أَن يصلي قائمًا ويركع ويسجد لزمه ذلك في الفريضة، وإِلا صلى على حسب حاله وأَتى بما يقدر عليه من ذلك، كما يلزمه استقبال القبلة حسب استطاعته. وكلما دارت انحرف إِلى القبلة إِذا كانت الصلاة فرضًا
"Sah shalat di dalam pesawat yang sedang terbang, sebagaimana sah shalat di dalam kapal dan yang semisalnya, dan ini lebih serupa dengan keadaan dharurat, karena dia tidak mampu menghentikan kendaraan tersebut, dan juga tidak bisa turun untuk mengerjakan shalat, sementara tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya dalam keadaan apapun. Sebagaimana shalat juga sah di atas mobil apabila sedang berjalan dan penumpang tidak bisa mengharuskan sopir menghentikan kendaraan, dan dia takut habis waktu, maka hendaklah dia shalat sebelum habis waktunya dan melakukan apa yang dia mampu. Kemudian apabila seseorang shalat di pesawat dan yang semisalnya maka jika dia mampu shalat dengan berdiri, ruku', dan sujud maka dia wajib melakukannya pada shalat fardhu, kalau tidak bisa maka shalat sesuai dengan kondisi dia, dan mengerjakan apa yang dia mampu, sebagaimana wajib bagi dia menghadap qiblat sesuai dengan kemampuan, setiap kali kendaraan itu berputar maka dia tetap menghadap ke qiblat bila itu adalah shalat fardhu" (Fataawaa wa Rasaa'il Syeikh Muhammad bin Ibrahim no:516)
Berkata Komite Tetap Untuk Riset llmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:
وأما كونه يصلي أين توجهت المذكورات أم لا بد من التوجه إلى القبلة دومًا واستمرارًا أو ابتداءً فقط - فهذا يرجع إلى تمكنه، فإذا كان يمكنه استقبال القبلة في جميع الصلاة وجب فعل ذلك؛ لأنه شرط في صحة صلاة الفريضة في السفر والحضر، وإذا كان لا يمكنه في جميعها، فليتق الله ما استطاع، لما سبق من الأدلة، هذا كله في الفرض
"Adapun, apakah dia shalat mengikuti arah kendaraan-kendaraan tersebut (mobil, kereta, pesawat, atau kendaraan roda empat) harus menghadap qiblat secara terus-menerus atau hanya di awal shalat, maka ini dikembalikan kepada kemampuan dia, jika dia mungkin menghadap qiblat terus-menerus dalam shalat seluruhnya maka dia wajib melakukannya, karena ini syarat sahnya shalat fardhu baik ketika safar atau muqim, dan apabila tidak mungkin menghadap qiblat terus-menerus maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan, karena dalil-dalil yang telah berlalu, dan ini semua dalam shalat fardhu" (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 8/124)
يجوز ترك استقبال القبلة في حالتين ؛
Diperbolehkan meninggalkan / tidak menghadap kiblat dalam dua (2) keadaan:
١ - في صلاة شدة الخوف
٢- في نافلة السفر المباح سواء أكان سفرا طويلا أم قصيرا
وتارة يكون ماشيا وتارة يكون راكبا ؛
1. Pada keadaan sangat genting / mengkhawatirkan / hal yang ditakuti.
2. Pada sholat sunnah dalam keadaan bepergian yang mubah (tidak haram) baik perjalanan jauh atau dekat
Adakalanya bepergian dengan berjalan kaki, adakalanya bepergian dengam naik kendaraan;
فإذا كان ماشيا : يجب استقبال القبلة في أربعة أركان : عند الإحرام والركوع والسجود والجلوس بين السجدتين
Ketika bepergian dengan berjalan kaki maka wajib untuk menghadap kiblat dalam empat (4) rukun (sholat) :
(1) Ketika Takbirotul Ihrom,
(2) Ruku',
(3) Sujud,
(4) Duduk di antara dua sujud.
وإذا كان راكبا : يجب استقبال القبلة في الإحرام إن سهل عليه ، وإلا فلا يجب الاستقبال مطلقا
Ketika bepergian dengan berkendara maka wajib untuk menghadap kiblat pada waktu takbirotul ihrom jika mudah melakukannya, dan jika tidak mudah / kesulitan maka tidak wajib menghadap kiblat secara mutlak.
السفر القصير هو الذي يكوة من مرحلتين ( ٨٢ كيلو ) ، وأقله : أن يسافر إلى محل لا يسمع فيه نداء الجمعة ، وقيل : ميل 1
Perjalanan dekat yaitu perjalanan yang kurang dari dua (2) marhalah (82 km), minimal: seseorang bepergian ke suatu tempat yang tidak dapat terdengar panggilan / adzan jum'at. menurut pendapat lain: menggunakan 1 mil.
وتكون قبلته مقصده ، فلا يجوز أن ينحرف عنها إلا لجهة القبلة ، فإ انحرف عامدا عالما بطلت صلاته
Kiblat itu menjadi tujuan / sasarannya, maka tidak diperbolehkan seseorang menyimpang / berpaling dari arah kiblat melainkan harus menghadap kiblat, apabila berpaling dengan sengaja dan mengerti maka sholatnya batal.
وإذا كان يصلي في سفينة أو قطار ومثله الهودج والمرقد ونحو ذلك فيجد عليه أن يتم ركوعه وسجوده إن سهل ، ويجب عليه استقبال القبلة في جميع الصلاة إن سهل عليه كذلك ، وإلا فلا يجب
Jika seseorang sholat di perahu, kereta api, dan seperti halnya sekeduk, tempat tidur / pembaringan dan lain-lain maka orang yang sholat wajib menyempurnakan ruku' dan sujudnya jika mudah, dan wajib pula menghadap kiblat dalam keseluruhan sholat jika mudah baginya, dan jika tidak mudah maka tidak wajib.
ومثل ذلك : الصلاة في الطائرة ، فتجوز مع الصحة صلاة النفل ، وأما صلاة الفرض إن تعينت عليه أثناء الرحلة ، وكانت الرحلة طويلة ، بأن لم يستطع الصلاة قبل صعودها أو انطلاقها أو بعد هبوطها في الوقت ، ولو تقديما أو تأخيرا ، ففي هذ الحالة يجب عليه أن يصلي لحرمة الوقت مع استقبال القبلة ، وفيها حالتان ؛
Begitu pula seperti halnya orang yang sholat di pesawat terbang, maka boleh baginya dan juga sah untuk sholat sunnah. Adapun untuk sholat fardlu jika menjadi wajib / tertentu untuk dilaksanakan di tengah menempuh perjalanan, dan perjalanan yang ditempuh itu jauh, sekiranya seseorang tidak mampu untuk melaksanakan sholat tepat pada waktunya sebelum naik ke pesawat atau berangkatnya pesawat (take off) atau setelah mendaratnya pesawat (landing), meskipun (sholatnya dikerjakan) dengan jama' taqdim atau ta'khir, maka dalam keadaan ini wajib bagi seseorang untuk sholat lihurmatil waqti beserta menghadap kiblat, dan dalam hal ini ada dua (2) keadaan:
إن صلى بإتمام الركوع والسجود : ففي وجوب القضاء عليه خلاف ، لعدم استقرار الطائرة في الأرض ، المعتمد أن عليه القضاء
Jika sholat dengan menyempurnakan ruku' dan sujud maka dalam hukum kewajiban mengqodlo' terdapat perbedaan pendapat, karena tidak menetapnya pesawat di tanah, dan pendapat yang mu'tamad (yang kuat dibuat pedoman) adalah wajib mengqodlo'.
وإن صلى بدون إتمام الركوع والسجود ، أو بدون استقبال القبلة مع الإتمام ؛ فيجب عليه القضاء بلا خلاف
Dan jika sholat tanpa menyempurnakan ruku' dan sujud, atau tanpa menghadap kiblat serta dapat menyempurnakan (ruku' dan sujud), maka wajib mengqodlo' tanpa ada silang pendapat dari para ulama'.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar