Surabaya merupakan salah satu kerajaan yang memiliki pengaruh paling kuat diantara kerajaan-kerajaan pantai lainnya. Ricklefs menyebutkan bahwa Kalimantan dan Sukadana termasuk dalam wilayah kekuasaan Surabaya. Dalam kitab ‘Sedjarah Dalem’ disebutkan bahwa pengaruhnya meliputi daerah Jawa maupun luar Jawa yaitu, Bang Wetan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Pulau Sulawesi bagian tengah hingga selatan dan sebagian kepulauan Maluku bagian selatan.
Dalam kitab karangan sastrawan Surakarta, Ki Padmosusastro 1902, ini pula dijelaskan bahwa Kerajaan Surabaya telah ada sebelum Mataram Islam berdiri pada 1570-an. Kerajaan ini berdiri diperkirakan pada tahun 1365-an. Raja-raja Surabaya sebelum abad 17 tidak diketahui karena masih jarang budaya sastra tulis di Jawa pesisiran, sedangkan pada abad 17 sendiri kerajaan ini dipimpin oleh Jayalengkara yang berhasil menahan gempuran selama 2 periode penguasa mataram.
Raja pertama Mataram saat itu, Panembahan Senopati, ingin menyatukan tanah Jawa dalam kekuasaan Mataram sehingga harus menaklukkan daerah-daerah yang belum dikuasainya. Salah satu daerah tersebut adalah Surabaya. Namun demikian, Surabaya juga ingin menguasai Jawa Timur dan Jawa Tengah sehingga kedua kerajaan ini saling melakukan ekspansi untuk menancapkan kekuasaanya di tanah Jawa.
Diceritakan bahwa Senapati menyerang Tuban yang menjadi daerah kekuasaan Surabaya pada 1598 sampai 1598. Penyerangan ini tidak membuahkan hasil dan Mataram mengalami kekalahan. Pada tahun 1600, Senapati menyerang Pasuruan yang juga termasuk dalam kekuasaan Surabaya. Seperti penyerangan di daerah kekuasaan Surabaya lainnya, Senapati gagal mengalahkan Surabaya. Jadi, hingga Senapati meninggal pada 1601 tidak ada daerah Surabaya yang dapat ditaklukan Senapati.
Perjuangan untuk menaklukakan Surabaya diteruskan oleh putra Senapati, yaitu Panembahan Seda Ing Krapyak yang menjadi raja kedua Mataram. Pada tahun 1610 sampai 1613, raja kedua Mataram ini menyerang Surabaya. Penyerangan ini mengakibatkan melemahnya sektor perokonomian Surabaya karena dalam penyerangan ini menghancurkan hasil-hasil pertanian di daerah kekuasaan Surabaya. Namun, hal itu belum bisa membuat Surabaya takluk pada Mataram sehingga ketika Panembahan Seda Ing Krapyak ini meninggal dunia pada 1 Oktober 1613, Surabaya belum dapat ditaklukkan Mataram.
Perjuangan untuk menyatukan pulau Jawa dilanjutkan oleh putra Panembahan Seda Ing Krapyak, yaitu Sultan Agung. Sultan Agung belajar dari ayah dan kakeknya yang gagal dalam penyerangan terhadap Surabaya. Ia tidak serta merta menyerang Surabaya dengan membawa pasukan yang banyak karena ia tahu bahwa Surabaya mempunyai sekutu yang siap membantu dalam mempertahankan daerah kekuasaannya. Selain itu, Kota Surabaya memiliki pertahanan yang sangat kuat.
Strategi Mataram Dalam menguasai Surabaya
WINONGAN hanyalah sebuah kota kecamatan di wilayah kabupaten Pasuruan, Jawa Timur saat ini, yang letaknya berada di sebelah tenggara Surabaya. Di kota kecil itulah pada tahun 1614, pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Surotani, mendirikan pusat komandonya sekaligus mengkoordinasikan serangan Mataram ke daerah timur. Sejak 1614, mulai dari Winongan, balantentara Mataram terus merongrong kekuasaan Surabaya. Serangan demi serangan pun dilakukan ke berbagai wilayah kekuasaan Surabaya di pantai utara Jawa, mulai dari Tuban, Gresik dan terus merangsek ke jantung kekuasaan Surabaya.
Ada dua kerajaan yang menjadi musuh utama Mataram, yakni Surabaya di timur dan Banten di barat. Sejak kepemimpinan Panembahan Hanyakrawati (1601-1613), Kerajaan Mataram gigih memperluas pengaruhnya di Jawa. Beberapa tahun menjelang akhir kekuasaanya, Raja yang kemudian setelah meninggal digelari sebagai Panembahan Seda Ing Krapyak itu memang menjalankan politik luar negeri yang aktif. Bahkan, mengutip sejarawan HJ. De Graaf, Panembahan mempekerjakan Juan Pedro Italiano, seorang petualang Italia, yang telah masuk Islam, untuk melobi para pedagang Belanda.
Semasa hidupnya Panembahan Krapyak gencar memerangi Surabaya namun tak pernah berhasil menguasai kota yang terkenal memiliki pertahanan yang kuat itu. Ketika Sultan Agung menggantikan posisi Panembahan Krapyak pada 1613, raja baru itu meneruskan pekerjaan sang ayah yang tak sempat berlanjut karena keburu wafat pada 1 Oktober 1613. Pada saat Sultan Agung memerintah, sebuah taktik lain dijalankan. Alih-alih menyerang langsung ke Surabaya, sultan yang sebelum dinobatkan bernama Raden Mas Jatmiko itu memilih untuk menyerang lebih dulu daerah-daerah taklukan Surabaya.
Beberapa bulan setelah penobatannya, Sultan Agung langsung memberikan titah kepada Tumenggung Surotani yang disertai ribuan balatentara Mataram untuk segera berangkat menyerang daerah timur. Sultan Agung memberikan perintah dengan acaman: bunuh siapa pun yang mundur dari gelanggang pertempuran. Target serangan pertama adalah Pasuruan. Namun serangan itu gagal karena tentara Pasuruan bertempur habis-habis mempertahankan kotanya. Walhasil balatentara Mataram mundur ke Winongan dan bertahan di daerah itu dengan membangun perintang yang sangat kuat untuk melindungi diri dari kemungkinan serangan balasan.
Sementara menyusun kekuatan untuk serangan ulang, Tumenggung Surotani memerintahkan Tumenggung Alap-Alap merebut Lumajang dan Renong. Namun kedua bupati daerah itu berhasil melarikan diri. Tumenggung Alap-Alap dan pasukannya yang berhasil menguasai kota, menjarah harta benda milik bupati, bahkan menculik para perempuan untuk dibawa pulang. Aksi penyerangan dilanjutkan sampai ke Malang di mana pasukan Tumenggung Alap-Alap berhasil menangkap Ronggo Toh Jiwo, bupati Malang yang sempat melarikan diri dari kejaran pasukan.
Cara pasukan Mataram menebar aksi teror ini cukup berhasil menimbulkan ketakutan di kalangan penguasa daerah-daerah protektorat Surabaya. Dalam jangka waktu yang singkat, Mataram terus menggempur daerah-daerah di Jawa Timur. Ekspedisi demi ekspedisi dikirim, mengoyak rasa tenteram para penguasanya. Tak semua serangan Mataram berhasil. Dalam beberapa serangan balasan, pasukan Mataram kocar-kacir, seperti yang terjadi pada pertempuran di Sungai Andaka (kini disebut sungai Brantas), di mana dua pemimpin pasukan Mataram, Aria Suratani dan Ngabei Ketawangan tewas di tempat.
Menyerang terlebih dahulu kota-kota satelit di sekitar Surabaya agaknya bertujuan untuk memutus jalur logistik ke Surabaya. Sebagai kota pelabuhan, Surabaya menggantungkan dirinya kepada daerah-daerah pedalaman (hinterland) untuk suplai berbagai kebutuhan sehari-hari. Bahkan kebutuhan atas air pun diambil dari kali Mas, salah satu dari dua cabang kali pecahan aliran Sungai Brantas yang melintasi Mojokerto. Kelak lewat sungai Brantas Surabaya bisa dibuat bertekuklutut.
Taktik demikian ditempuh Mataram karena serangan langsung terhadap Surabaya tak pernah berhasil. Surabaya terlalu kuat, apalagi bala bantuan dari Madura selalu siap setiap saat mempertahankan Surabaya. Selama bertahun-tahun, semenjak naih takhta, Sultan Agung terus melancarkan penyerbuan ke Surabaya. Seringkali menemui kegagalan tapi dia tak pernah jera untuk melakukan serangan.
Diceritakan oleh Artus Geijsel bahwa lingkaran kota Surabaya adalah 5 mil. Dalam rangka mempertahankan diri dari musuh, di setengah kota dikelilingi tembok dan setengahnya lagi baliwetri (onggokan tanah). Kota tersebut juga dikelilingi oleh parit dan di antara parit dan tembok tadi terdapat tanggul yang kuat. Di setiap jarak terjauh tembakan meriam terdapat satu benteng kecil berbentuk bujur sangkar yang setiap benteng tersebut memiliki 10 sampai 12 meriam. Oleh karena itu, tidak heran jika Surabaya memang sulit untuk ditaklukkan.
Sultan Agung menyadari hal itu sehinnga dalam rangka menaklukkan Surabaya ia tidak langsung menyerang pusat kota, namun ia terlebih dahulu menguasai daerah-daerah bawahan yang menjadi pemasok bahan makanan ke pusat kota Surabaya. Pada tahun 1614, Sultan Agung memerintahkan untuk menyerang daerah kekuasaan Surabaya bagian selatan seperti, Ujung Timur, Malang, dan kemungkinan juga Pasuruan. Penyerangan tersebut tidak membuahkan hasil sehingga dalam perjalanan pulang pasukan Mataram ini diserang lagi oleh Surabaya, namun serangan itu dapat dikalahkan oleh tentara Mataram. Pada tahun 1615, Mataram dapat menguasai Wirasaba (daerah antara Jombang dan Mojokerto) yang dulunya disinyalir merupakan tempat keraton Majapahit. Penaklukkan ini menjadi penting karena Wirasaba merupkan daerah hinterland kota Surabaya yang menjadi pemasok air bersih melalui Sungai Brantas maupun salah satu pemasok bahan makanan.
Surabaya tidak hanya diam begitu saja. Pada 1615 ini pula Surabaya melakukan ekspedisi untuk menyerang balik Mataram melalui pantai utara. Dalam perjalanannya, Surabaya meminta bantuan pada Pajang. Namun, Pajang yang menjadi daerah bawahan Mataram ini tidak memberikan bantuan pada Surabaya. Ekspedisi ini diketahui oleh Mataram sehingga Sultan Agung memerintahkan untuk mengepungnya. Pada akhirnya, Surabaya dapat ditumpas Mataram di Siwalan (Pajang) setelah tidak ada penguasa lokal yang membantu untuk menyerang Mataram.
Pada tahun 1616 – 1617, Sultan Agung dapat menguasai Lasem dan Pasuruan. Pada tahun 1617 ini pula, Pajang, yang menjadi daerah bawahan Mataram memberontak pada Mataram sehingga Sultan Agung menghancurkan kota Pajang dan memindahkan penduduknya ke Mataram. Penguasa Pajang akhirnya pergi ke Surabaya untuk mencari perlindungan dari Mataram.
Pada tahun 1619, Mataram dapat menguasai Tuban yang menjadi penghasil kayu jati sebagai bahan untuk pembuatan kapal-kapal Surabaya. Setelah dapat menguasai Tuban, Mataram mulai mengembangkan angkatan laut untuk menyaingi dan menaklukkan Surabaya dan daerah bawahannya melalui jalur laut. Hal ini juga yang menjadi sebab takluknya daerah bawahan Surabaya diseberang pulau yaitu, Kalimantan dan Sukadana pada 1622. Mataram mengirimkan 70 kapal dan 2000 prajurit untuk menaklukan daerah ini yang dipimpin adipati Kendal, yaitu Tumenggung Bahurekso.
Dua tahun setelah penaklukan Tuban, Sultan Agung mengirimkan pasukan lagi untuk menyerang Madura yang menjadi sekutu Surabaya. Penyerangan ini bertujuan untuk memutus salah satu suplai penting dan juga untuk mengepung Surabaya. Surabaya tidak tinggal diam dan akhirnya terjadilah peperangan antara Surabaya dan Madura melawan Mataram di Madura. Penyerangan ini dipimpin oleh Tumenggung Ketawangan dan Tumenggung Alap-Alap.
Menurut Padmosusastro, peperangan ini merupakan peperangan terhebat dalam sejarah serangan Mataram. Hal ini dikarenakan kekuatan Madura dan Surabaya yang tangguh memaksa Mataram mengirimkan lagi bantuan 80.000 pasukan untuk mengalahkannya. Selain itu, peperangan yang melelahkan ini juga menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi kedua belah pihak. Namun, hal ini belum juga mengakibatkan Surabaya menyerah pada Mataram.
Perlu diketahui bahwa Madura juga berperan penting terhadap kekuatan pertahanan Surabaya. Ketika Surabaya mendapat serangan, Madura siap membantu Surabaya kapanpun untuk mengamankan daerah kekuasaannya. Jadi, tidak mengherankan jika Mataram harus mengeluarkan biaya dan tenaga yang sangat besar untuk menaklukan Madura pada 1624.
Setelah takluknya daerah-daerah penyuplai Surabaya pada Mataram, Mataram tidak semerta-merta langsung menyerang inti kota Surabaya. Pasukan Mataram mendirikan perkemahan di sekitar Mojokerto untuk mencari cara dan menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan serangan pada Surabaya. Memang daerah-daerah sekitar Surabaya sudah dapat dikuasai Mataram, namun pertahanan Kota Surabaya masih terlalu kuat untuk pasukan Mataram.
Setelah penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh Mataram, Kota Surabaya tidak mendapat suplai makanan dari daerah-daerah hinterland sehingga terjadi kelaparan, bahkan kematian yang diakibatkan dari kelaparan tersebut. Apalagi setelah terjadinya peperangan di Madura yang sangat merugikan itu. Jadi, penguasa Surabaya mendapat masalah kelaparan yang harus diselesaikan agar dapat mempertahankan Kota Surabaya dari serangan Mataram.
Setelah bertempur selama hampir satu dekade lebih, akhirnya Mataram berhasil memasuki pinggiran kota Surabaya yang pertahanannya tak terkalahkan itu. Pasukan Mataram di bawah pimpinan dua panglima perangnya, Tumenggung Ketawangan dan Tumenggung Alap-Alap menggempur Surabaya pada 1624.
Dari sumber Belanda, sebagaimana dikutip dari De Graaf, kendati sudah berhasil menembus barikade pertahanan Surabaya, pasukan Mataram masih mengalami kesulitan mematahkan pertahanan pasukan Surabaya yang gigih mempertahankan pusat kotanya.
Tentara Mataram pun kembali menebar teror kepada penduduk pinggiran Surabaya. Sawah dan ladang milik penduduk diporak-porandakan dengan maksud para penduduk yang tetap bertahan segera menyerah seperti juga yang dilakukan oleh penduduk Sampang, Madura ketika mereka diserang Mataram beberapa waktu sebelumnya. Pertempuran dengan pihak Surabaya, mengutip De Graaf, “sudah sampai tingkat kritis. Sebanyak 80 ribu orang mengepung kota ini.” Karena alotnya pertahanan pasukan Surabaya, Mataram memilih untuk bersikap defensif sambil mencari akal untuk menyusun serangan mematikan kepada pihak Surabaya. Mereka pun mendirikan perkemahan di sekitar Mojokerto sambil menunggu waktu tepat melancarkan serangan.
Tumenggung Mangun Oneng yang diberi mandat memimpin serangan ke Surabaya.Ia menghindari kontak fisik dengan Surabaya yang akan merugikan pasukannya sendiri sehingga ia memanfaatkan Sungai Brantas yang menjadi penyuplai air bersih bagi Surabaya. kali ini melancarkan taktik “bendungan Jepara” untuk menyumbat aliran sungai Brantas yang menjadi sumber air bagi penduduk Surabaya. Teknik pembendungan tersebut menggunakan berbatang pohon kelapa dan bambu yang diletakkan membentang di dasar sungai sampai dengan permukaannya. Setelah air tersumbat dan hanya mengalir sedikit saja, pasukan Mataram menceburkan bangkai binatang dan berkeranjang buah aren (latin:Arenga saccharifera). Bangkai menyebabkan air berbau busuk sementara buah aren menimbulkan gatal-gatal yang luar biasa hebatnya pada penduduk surabaya sehingga pasukan Mataram akan mudah menyerang Kota Surabaya.
Strategi tersebut tidak sia-sia. Selain masalah kelaparan tadi, kini muncul masalah baru, yaitu penduduk Kota Surabaya terjangkit wabah penyakit dan gatal-gatal yang luar biasa yang disebabkan bangkai dan buah aren tadi. Strategi ini diketahui oleh raja Surabaya dan raja memutuskan untuk melakukan pertemuan dengan pemimpin pasukan Mataram karena raja tidak tega pada rakyatnya yang terkena wabah ini. Raja Surabaya mengirimkan anaknya, Pangeran Pekik, beserta 1000 pasukan untuk menemui Tumenggung Oneng.
Dan akhirnya, pada 27 Oktober 1625 Surabaya menyerah pada Mataram. Jadi, Mataram menang melawan Surabaya bukan karena serangan pasukannya, tetapi Surabayalah yang menyerah karena kelaparan dan wabah penyakit yang terjadi akibat strategi yang diterapkan Mataram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar