Bahasa Tidung dialek Tarakan merupakan bahasa Tidung yang pertengahan karena dipahami oleh semua warga suku Tidung. Beberapa kata bahasa Tidung masih memiliki kesamaan dengan bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir.
Kerajaan Tidung
Kerajaan suku Tidung sudah mulai berdiri kurang lebih pada tahun 870-995 masehi di Menjelutung, Sungai Sesayap, Kabupaten Tana Tidung (KTT). Tercatat ada lima raja yang bergantian memimpin dari masa ke masa pada kerajaan Tidung kuno.
Pada tahun 870-995 Aki Du merupakan raja pertama suku Tidung yang bermukim di sekitar Sungai Sesayap. Setelah masa Aki Du berakhir, suku Tidung kemudian dipimpin Aki Bu lalu dilanjutkan Aki Sam, dan Aki Jay. Mendekati tahun 900-an, kepemimpinan raja Tidung berganti pada raja Benayuk.
Pada masa kepemimpinan Raja Benayuk, barulah suku Tidung menyebar di berbagai tempat di utara Kalimantan. Keturunan Raja Benayuk yang dipimpin raja yang bernama Yamus, mendirikan kerajaan di Liyu Maye, Mengkedulis pada tahun 1005-1076. Selain Raja Yamus yang dikenal kuat oleh sebagian suku Tidung, Raja Benayuk juga memiliki keturunan yang menjadi raja, yakni Raja Ikayam yang diketahui bermukim di sekitar sungai Sembakung.
Meneruskan generasi kerajaan Tidung, keturunan dari Raja Ikayam dan Yamus dinikahkan. Raja Ikayam yang memiliki anak bernama Inaum, dinikahkan dengan Imerintu yang merupakan anak Raja Yamus. Pada pernikahan ini, Imerintu menjadi raja dan meneruskan dinasti kerajaan Tidung pada tahun (1039-1054).
Sebelum dinasti kerajaan Yamus dan Ikayam di Mengkedulis berakhir pada tahun 1076, ada raja yang bernama Ibugang dari garis keturunan Raja Ikayam yang meneruskan dinasti kerajaan Tidung pada era itu. Selanjutnya, Raja Ibugang menikah dengan Ilawang yang merupakan anak dari Isari dari keturunan Raja Yamus. Pernikahan Raja Ibugang dan Ilawang mendapatkan lima keturunan yang juga meneruskan kerajaan Tidung kuno.
Igulung, Iguyung, Itara, Iteripet, dan Salinggamit merupakan keturunan dari Raja Ibugang dan Ilawang. Dari kelimanya, ada yang meneruskan kerajaan Tidung ke pulau Tarakan. Pada tahun 1076-1105, berdiri sebuah kerajaan di pesisir timur Tarakan yakni Binalatung. Kerajaan di Binalatung tersebut dipimpin Raja Itara. Dari Raja Itara inilah Tarakan mulai berkembang dan menjadi pusat perhatian kerajaan Tidung lainnya.
Tak lama Raja Itara memimpin kerajaan Tidung di Binalatung, keturunannya Ikurung meneruskan kejayaan raja Tidung pada tahun 1105-1130. Raja Ikurung lalu menikah dengan Puteri Kurung yang mendapatkan keturunan yang juga menjadi raja, yakni Ikerungan. Kerajaan Tidung di Binalatung yang dipimpin Raja Ikerungan tak begitu lama. Lantaran kerajaan yang terletak di pesisir pantai tersebut luluh lantak karena bencana alam. “Sepertinya ada bencana alam yang dasyat. Kemungkinan tsunami, karena (kerajaan) di pesisir,”
Lantaran kerajaan rusak parah, Raja Ikerungan memindahkan kerajaan ke tempat yang tergolong aman. Pada masa perpindahan kerajaan ini, masa kepemimpinan kerajaan mulai beralih pada keturunan Raja Ikerungan, yakni Ikarang yang memimpin kerajaan pada tahun 1156-1191.
Kerajaan yang dipimpin Ikarang tersebut bergeser ke pesisir Barat Tarakan, yakni Tanjung Batu. Di Tanjung Batu inilah Raja Ikarang kembali membangun kerajaan Tidung. Kerajaan yang dibangun di pesisir Tanjung Batu tersebut diketahui tidak berjalan lama. Sebab, kerajaan Tidung yang dipimpin Raja Ikarangan berpindah ke pesisir Barat Tarakan, Sungai Bidang. Di sini, Raja Ikarangan yang merupakan keturunan dari Raja Ikarang yang menikah dengan Puteri Kayang, menetap cukup lama di Sungai Bidang.
Ikerangan keturunan pertama Raja Ikarang dan Puteri Kayang memimpin sejak tahun 1191-1216. Setelah itu, tahta kerajaan di pesisir Sungai Bidang itu berganti pada Raja Ibidang pada tahun 1216-1236. Pada masa ini, kerajaan suku Tidung perlahan mengenal Islam. Islam yang masuk melalui pesisir-pesisir ternyata diterima dengan baik oleh suku Tidung kala itu.
Meski pada kepemimpinan Raja Ibidang belum banyak yang memluk Islam, namun Islam baru mulai berkembang pada masa kerajaan yang dipimpin Raja Ibengawan. Dari silsilah kerajaan tidung kuno, kata Norbeck mayoritas suku tidung saat itu masih memeluk agama hindu atau belum memiliki agama.
“Ibengawan itu pada tahun 1236-1280 sekitar tahun itu penyebaran Islam di Kalimantan sudah dilakukan. Hampir seluruh penduduk yang tinggal di pesisir saat itu memeluk Islam,”
Semenjak Islam masuk di kerajaan Tidung kuno yang dipimpin Raja Ibengawan, sistem kepemerintahan pun perlahan mulai berubah ke arah yang agamis. Meski belum banyak perubahan sistem kerjaan Tidung kuno di bawah kepemimpinan Raja Ibengawan, namun perlahan raja-raja setelahnya memperbaiki sistem kerajaan yang lebih teratur seperti kerajaan Islam pada umumnya.
Pada masa Raja Itambu, raja yang memimpin setelah Raja Ibengawan. Beberapa perubahan dalam kerajaan mulai terlihat. Mulai dari pemberian nama anak hingga cara berpakaian mulai diubah sesuai hukum Islam. Raja Itambu yang memimpin pada tahun 1280-1300, nama raja Tidung kuno mulai merujuk ke nama Islami. Salah satunya raja Aji Beruwing yang memimpin pada tahun 1300-1330. Pada masa ke masa, kerajaan Tidung di Sungan Bengawan semakin luas dan makmur. Para warganya tidak hanya menggantungkan nasib dari hasil laut. Warga suku Tidung pada masa itu juga bercocok tanam.
Setelah itu, kerajaan di Sungai Bidang dipimpin oleh Raja Aji Suria Sakti pada tahun 1330-1369 dan diteruskan Raja Pangiran Kungun tahun 1330-1394. Pada masa inilah kerajaan di Sungai Bidang berakhir dan kembali pindah ke tempat lain. Penerus Raja Pangiran Kungun, Pangiran Tempuad memindahkan kerajaan Tidung kuno dari Tarakan ke Pimping, Baratan, dan Tanah Kuning. Setelah berhasil memindahkan kepemerintahan kerajaan Tidung, Raja Pangiran Tempuad menikah dengan Ilahay.
Lahirlah Aji Iram Sakti dan Aji Gurinda yang akhirnya kekuasaan Raja Pangiran Tempuad diteruskan Aji Iram Sakti pada 1428-1453. Aji Iram Sakti dan Aji Gurinda yang merupakan saudara tersebut, sepakat menikahkan kedua keturunannya untuk melanjutkan dinasti kerajaan Tidung. Adu Idang, anak perempuan Aji Iram Sakti dinikahkan dengan Aji Baran Sakti anak dari Aji Gurinda.
Sebagai menantu, Aji Baran Sakti memulai kejayaannya memimpin kerajaan Tidung pada 1453-1473. Selanjutnya, kerajaan Tidung dipimpin anak dari keturunan Adu Idang dan Aji Baran Sakti, yakni Datu Mansang pada tahun 1473-1522.
Kepemimpinan Datu Mansang berpindah ke anaknya, yakni Abang Lemanak pada 1522-1542. Abang Lemanak yang sepanjang hidupnya hanya memiliki satu anak perempuan yang bernama Ikenaway, menikah dengan Abdur Rasid.
“Karena Abang Lemanak meninggal, tidak mungkin Ikenaway menjadi raja karena seorang wanita. Diangkatlah menantu raja menggantikan seorang raja, maka jadilah Abdur Rasid seorang raja Tidung penerus Abang Lemanak,”
Abdur Rasid yang di masa itu disebut Datu Raja Laut, menjadi raja Tidung sejak 1542-1557. Sejak Abdur Rasid memimpin kerajaan Tidung, banyak perkembangan dan kemajuan suku Tidung. Hingga, ia dengan tegasnya memindahkan kembali kerajaan Tidung ke Pulau Tarakan. Pemindahan kekuasaan kerajaan Tidung kuno ke Tarakan tersebut merupakan awal mula Dinasti Tengara terbentuk.
Kerajaan Dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertakhta lebih kurang mulai pada tahun 1557-1571 berlokasi di daerah Pamusian wilayah Tarakan Timur.
Raja-raja dari Dinasti Tengara
Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet (1557-1571)
Amiril Pengiran Dipati I (1571-1613)
Amiril Pengiran Singa Laoet (1613-1650)
Amiril Pengiran Maharajalila I (1650-1695)
Amiril Pengiran Maharajalila II (1695-1731)
Amiril Pengiran Dipati II (1731-1765)
Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782)
Amiril Pengiran Maharajalila III (1782-1817)
Amiril Tadjoeddin (1817-1844)
Amiril Pengiran Djamaloel Kiram (1844-1867)
Ratoe Intan Doera/Datoe Maoelana (1867-1896), Datoe Jaring gelar Datoe Maoelana menjadikan putera Sultan Bulungan Muhammad Kaharuddin (II)
Datoe Benar (1896-1916)
Amiril Pengiran Dipati I (1571-1613)
Amiril Pengiran Singa Laoet (1613-1650)
Amiril Pengiran Maharajalila I (1650-1695)
Amiril Pengiran Maharajalila II (1695-1731)
Amiril Pengiran Dipati II (1731-1765)
Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782)
Amiril Pengiran Maharajalila III (1782-1817)
Amiril Tadjoeddin (1817-1844)
Amiril Pengiran Djamaloel Kiram (1844-1867)
Ratoe Intan Doera/Datoe Maoelana (1867-1896), Datoe Jaring gelar Datoe Maoelana menjadikan putera Sultan Bulungan Muhammad Kaharuddin (II)
Datoe Benar (1896-1916)
Pernikahan antara Raja Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet dengan Ikenawai Gelar Ratu Ulam Sari dikaruniai dua orang anak putera dan seorang puteri (meninggal sebelum dewasa). Kedua putera tersebut bernama Dipati Anum dan Wira Kelana (. Ketika Raja Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet wafat, Dipati Anum diangkat menjadi raja bergelar Amiril Pengiran Dipati I, sedangkan Wira Kelana diangkat menjadi raja muda.
Raja Amiril Pengiran Dipati I memerintah Kerajaan Tidung antara tahun 1571-1613 (. Pada masa pemerintahan Raja Amiril Pengiran Dipati I, Kerajaan Sulu memisahkan diri dengan mengangkat seorang raja bernama Datoe Mering, adik dari Raja Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet. Selama memerintah, Raja Amiril Pengiran Dipati I menikah dengan Mayang Sari, puteri Pengiran Sukmana dari daerah Sebawang (kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sesayap). Lewat pernikahan ini, Raja Amiril Pengiran Dipati I dikaruniai seorang putera bernama Pengiran Singa Laoet, dan 3 orang puteri yang masing-masing diberi nama Mayang Sari, Sukma Sari, dan Kumala Sari.
Masa kepemimpinan Raja Amiril Pengiran Dipati I berakhir ketika beliau wafat dan digantikan oleh puteranya, Pengiran Singa Laoet Gelar Amiril Pengiran Singa Laoet. Beliau memerintah Kerajaan Tidung antara tahun 1613-1650. Setelah Amiril Pengiran Singa Laoet wafat, beliau digantikan oleh puteranya yang kemudian bergelar Amiril Pengiran Maharajalila I. Pemerintahan Amiril Pengiran Maharajalila I bertahan selama 45 tahun (1650-1695).
Pemimpin Kerajaan Tidung berikutnya Pengiran Mustafa yang merupakan putera dari Amiril Pengiran Maharajalila I. Beliau naik tahta pada tahun 1695 dan bergelar Amiril Pengiran Maharajalila II. Selama berkuasa, Amiril Pengiran Maharajalila mempunyai 2 istri. Istri pertama bernama Siti Nurlaila, puteri dari Pengiran Prabu Sakti bin Pengiran Besar Pendekar Laoet dari daerah Sesayap. Lewat pernikahan pertama ini lahir beberapa anak, yaitu Pengiran Dipati, Pengiran Maharajadinda Bertanduk, Pengiran Lukmanul Hakim, Pengiran Jafarudin dan Siti Nurbaya. Istri kedua Amiril Pengiran Maharajalila II bernama Puteri Radja Kayan yang berasal dari daerah Pimping. Lewat pernikahan ini mereka dikaruniai seorang putera yang bernama Pengiran Surya.
Masa pemerintahan Amiril Pengiran Maharajalila II berakhir pada tahun 1731. Beliau mangkat karena dibunuh oleh pamannya yang bernama Wira Amir karena bermaksud untuk menguasai tahta Kerajaan Tidung. Wira Amir berdalih bahwa kematian Amiril Pengiran Maharajalila II disebakan oleh suatu kecelakaan. Dalih dari Wira Amir tidak dapat diterima oleh para anggota kerajaan lainnya. Gelombang penentangan terhadap Wira Amir muncul dan memaksa Wira Amir untuk pergi dari Kerajaan Tidung. Wira Amir melarikan diri ke daerah Baratan dan meminta perlindungan kepada Kerajaan Berau. Sebagai penerus tahta Kerajaan Tidung berikutnya, para anggota kerajaan menunjuk Pengiran Dipati, anak sulung hasil pernikahan Amiril Pengiran II dengan istri pertama, Siti Nurlaila. Pengiran Dipati naik tahta dan bergelar Amiril Pengiran Dipati II.
Masa pemerintahan Amiril Pengiran Dipati II berlangsung antara tahun 1731-1765. Ketika memerintah, Amiril Pengiran Dipati II berusaha membuat perhitungan dengan Wira Amir atas kematian sang ayah, Amiril Pengiran Maharajalila II dengan cara menyerbu ke Baratan. Ketika rencana penyerbuan ke Baratan dikemukakan oleh Amiril Pengiran Dipati II, para kerabat kerajaan sebagian besar menolak rencana tersebut. Akan tetapi, tampaknya keputusan Amiril Pengiran Dipati II sudah bulat untuk melancarkan balasan kepada Wira Amir di Baratan. Maka dikirimlah pasukan ke Baratan untuk menyerbu Wira Amir. Dalam suatu pertempuran, Amiril Pengiran Dipati II terluka sehingga upaya penyerbuan ke Baratan gagal. Merasa malu karena sejak awal rencana penyerbuan tidak didukung kerabat kerajaan lainnya, Amiril Pengiran Dipati II memutuskan untuk tidak kembali ke Kerajaan Tidung dan pergi ke Sungai Simasulem, suatu daerah di dekat Serudung (perbatasan antara Sabah dengan Indonesia). Di tempat ini Amiril Pengiran Dipati II wafat dan dimakamkan.
Sepeninggal Amiril Pengiran Dipati II yang memutuskan untuk tidak kembali ke Kerajaan Tidung, para kerabat kerajaan kemudian bermufakat untuk mengangkat raja. Atas dasar pertimbangan dari pihak keluarga, maka diangkatlah Pengiran Maharajadinda Bertanduk, anak kedua dari pernikahan antara Amiril Pengiran Maharajalila II dengan Siti Nurlaila. Pengiran Maharajadinda Bertanduk tak lain adalah adik kandung dari Amiril Pengiran Dipati II. Pengiran Maharajadinda Bertanduk ditabalkan menjadi raja dan bergelar Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782).
Pengganti raja di Kerajaan Tidung berikutnya adalah Amiril Pengiran Maharajalila III (1782-1817). Beliau menikah dengan Aji Intan gelar Pengiran Kesuma dan dikaruniai beberapa anak, yaitu Aji Intan (Selma), Datoe Mancang (Semudang), Datoe Syahbuddin, dan Datoe Maharajalila (yang kemudian menjadi Sultan Bulungan bergelar Sultan Muhammad Kaharuddin II). Masa pemerintahan Amiril Pengiran Maharajalila III berakhir ketika beliau wafat dan digantikan oleh adiknya yang bernama Pengiran Amir Tadjoeddin.
Ketika Pengiran Amir Tadjoeddin naik tahta dan bergelar Amiril Pengiran Amir Tadjoeddin (1817-1844), terjadi pemutusan hubungan dengan Kesultanan Bulungan yang notabene merupakan kerajaan sekutu di Kalimantan Timur. Pemutusan tersebut diawali ketika Kesultanan Bulungan takluk kepada Belanda ketika diperintah oleh Amiril Kaharuddin Sultan Muhammad atau Sultan Muhammad Kaharuddin II (1817-1862). Akibat dari penaklukan tersebut, Belanda mengikat Kesultanan Bulungan dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 27 September 1834 dan 12 Nopember 1850 di Banjarmasin. Salah satu dari isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa Kesultanan Bulungan patuh (tunduk) kepada Belanda dan pihak Belanda akan mengamankan Kerajaan Bulungan dalam wilayah sekitar Sungai Kayan dan Sungai Bahau. Sebagai langkah pengawasan, Belanda membangun Wilayah Kerja Pengawasan di Tanjung Selor (ibukota Kabupaten Bulungan sekarang).
Sikap Kesultanan Bulungan yang harus tunduk kepada Belanda membuat beberapa kerajaan sekutu, seperti Suku Dayak Kenyah dan Tidung menjadi kecewa. Perbedaan sikap dan cara pandang dengan pihak Kesultanan Bulungan menjadikan Suku Dayak Kenyah dan Tidung tidak lagi mengakui Kesultanan Bulungan.
Sikap Kerajaan Tidung akhirnya agak melunak ketika kerajaan ini diperintah oleh Amiril Pengiran Djamaloel Kiram (1844-1867), putera dari Pengiran Amir Tadjoeddin. Untuk mengukuhkan kembali hubungan Bulungan-Tidung, puteri dari Amiril Pengiran Djamaloel Kiram yang bernama Ratu Intan Doera menikah dengan Datoe Jaring gelar Datoe Maoelana, putera Sultan Bulungan, Muhammad Kaharuddin II dari Salimbatu. Ketika Amiril Pengiran Djamaloel Kiram wafat, tahta Kerajaan Tidung tidak diserahkan ke puteranya melainkan kepada menantunya, yaitu Datoe Maoelana dan bergelar Datoe Maoelana Amir Bahar.
Pernikahan Datoe Maoelana Amir Bahar dengan Ratu Intan Doera dikaruniai enam orang anak yaitu Datoe Adil, Datoe Djamaloel, Datoe Ranik, Datoe Ali, Ratu Intan, dan Dayang Ranik. Selain menikah dengan Ratu Intan Doera, Datoe Maoelana Amir Bahar juga menikah dengan istri kedua dan dikaruniai lima orang anak, yaitu Datoe Merulan, Datoe Amai, Dayang Sumbun, Si Pantang, dan Si Tinggal.
Ketika Datoe Maoelana Amir Bahar wafat, tahta Kerajaan Tidung diserahkan kepada Datoe Adil, putera sulung hasil pernikahan antara Datoe Maoelana Amir Bahar dengan Ratu Intan Doera. Datoe Adil memerintah di Kerajaan Tidung antara tahun 1896-1916. Jika dirunut dari garis keturunan, Datoe Adil sebenarnya juga berhak atas tahta di Kesultanan Bulungan. Garis keturunan Sultan Bulungan didapatkan dari sang ayah, Datoe Maoelana Amir Bahar yang merupakan putera dari Sultan Bulungan, Muhammad Kaharuddin II dari Salimbatu.
Ketika Datoe Adil memerintah, Pemerintah Hindia Belanda menemukan sumber minyak bumi di Tarakan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengekspoitasi tambang minyak ini melalui Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM).
Sehubungan dengan wilayah pertambangan yang termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Tidung, maka Kerajaan Tidung mendapatkan royalti yang sangat besar atas eksploitasi tambang minyak bumi. Melimpahnya hasil tambang ternyata menimbulkan keresahan (kecemburuan) di kalangan kerabat Kesultanan Bulungan yang merasa masih satu keturunan dengan Datoe Adil, namun tidak mendapatkan keuntungan dari penambangan minyak. Atas dasar inilah, maka ditempuh beberapa cara untuk menyingkirkan Datoe Adil beserta para penerusnya dari Kerajaan Tidung.
Celah untuk menyingkirkan Datoe Adil dan penerus tahta Kerajaan Tidung akhirnya didapatkan oleh para kerabat di Kesultanan Bulungan. Mereka menyatakan kepada Pemerintah Hindia Belanda bahwa sejak dulu keluarga Kerajaan Tidung senantiasa berseberangan sikap (menentang) dengan kebijakan dari Pemerintah Hindia Belanda.
Pernyataan tersebut merujuk kepada sikap Pengiran Amir Tadjoeddin (1817-1844) yang memutuskan hubungan dengan Kesultanan Bulungan sehubungan dengan penaklukan Kesultanan Bulungan oleh Belanda.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan dalih bahwa Kerajaan Tidung tidak pernah menyetorkan pajak kepada Pemerintah Hindia Belanda. Belanda menganggap pernyataan dari Kesultanan Bulungan sebagai sebuah alasan yang cukup masuk akal untuk menangkap Datoe Adil karena dua alasan, yaitu sikap menentang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dan tidak membayar pajak. Akhirnya Belanda menangkap Datoe Adil, Datoe Djamaloel, dan Aji Maoelana kemudian mengasingkan ketiganya. Datoe Adil dan Aji Maoelana diasingkan ke Manado, sedangkan Datoe Djamaloel ke Makassar pada tahun 1916.
Mulai saat pengasingan diberlakukan kepada Datoe Adil dan kedua pewaris tahta Kerajaan Tidung tersebut, maka berakhir pula riwayat Dinasti Tengara beserta Kerajaan Tidung (Kerajaan Tarakan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar