Tanpa jasa dari Mbah Kawak mungkin Kabupaten Trenggalek tak akan jadi sebuah kabupaten yang kita lihat dan rasakan seperti saat ini, yang semakin lama semakin maju dengan perkembangannya, entah dari segi pembangunan maupun pendidikan.
Beliau merupakan orang yang babat alas (Hutan) Trenggalek pertama kali. Mbah Kawak Joyo Lengkoro menurut penuturan lisan yang berkembang dimasayarakat adalah seorang tokoh penyiar Agama Islam di Trenggalek. Diyakini oleh masyarakat bahwa makam tersebut merupakan makam muslim tertua yang ada di Trenggalek. Mbah Kawak Joyo Lengkoro juga tekenal dengan nama Mbah Galek. Dinamanakan Mbah Galek karena beliau sebagai sesepuh dan salah satunya orang yang pertama kali menjadikan tanah Trenggalek dapat dihuni oleh manusia.
Mbah Kawak atau Eyang Kawak diyakini masyarakat Trenggalek sebagai tokoh yang membuka kawasan Trenggalek yang dulunya masih dikenal dengan Trenggalih atau terange ing galih (terangnya hati).
Menurut Miskun juru kunci generasi ke 6 Makam Mbah Kawak, Eyang Kawak atau erat dikenal Mbah Kawak ini merupakan tokoh syiar Agama Islam pertama di Trenggalek. Eyang Kawak sendiri konon katanya dari Majapahit sedangkan Eyang Putri masih keturunan kerajaan.
Banyak peziarah menyakini Mbah Kawak ini sebagai Abdul Hamid, ada juga yang menyebut Jaya Lengkoro atau Raden Joyo Lengkoro dan masih banyak nama lainnya.
Alkisah
Ki Ageng Galek merupakan seorang bangsawan dari kerajaan Majapahit, anak dari Prabu Brawijaya V Kerta Bumi saudara dari Batoro Katong Ponorogo. Beliau mendapat Lungguh Perdikan Mbagong, kemudian disebut Ki Ageng Galek. HIdup awal abad ke-15 atau 1419 M. Kala itu Raja Majapahit memberi tugas kepada Mbah Kawak untuk ngopeni (merawat) seorang putri Kerajaaan Majapahit yang bernama Dewi Roro Amiswati atau Amisayu. Saat itu Dewi Roro Amiswati menderita penyakit kulit, sehingga diasingkan kedaerah yang berada dipesisir selatan pulau Jawa.
Ada sumber lain yang mengatakan bahwa sebenarnya Dewi Roro Amiswati berada di Trenggalek bukan karena dia menderita penyakit kulit, namun dikarenan beliau seorang putri yang memeluk Agama Islam. Sementara pada saat itu Kerajaan Majapahit masih menganut Agama Hindu. Ini semua hanyalah cerita tutur dari masyarakat dan sampai saat ini tutur lisan masih dijadikan pedoman untuk menyakini hal tersebut.
Ki Ageng Galek merupakan seorang bangsawan dari kerajaan Majapahit, anak dari Prabu Brawijaya V Kerta Bumi saudara dari Batoro Katong Ponorogo. Beliau mendapat Lungguh Perdikan Mbagong, kemudian disebut Ki Ageng Galek. HIdup awal abad ke-15 atau 1419 M. Kala itu Raja Majapahit memberi tugas kepada Mbah Kawak untuk ngopeni (merawat) seorang putri Kerajaaan Majapahit yang bernama Dewi Roro Amiswati atau Amisayu. Saat itu Dewi Roro Amiswati menderita penyakit kulit, sehingga diasingkan kedaerah yang berada dipesisir selatan pulau Jawa.
Ada sumber lain yang mengatakan bahwa sebenarnya Dewi Roro Amiswati berada di Trenggalek bukan karena dia menderita penyakit kulit, namun dikarenan beliau seorang putri yang memeluk Agama Islam. Sementara pada saat itu Kerajaan Majapahit masih menganut Agama Hindu. Ini semua hanyalah cerita tutur dari masyarakat dan sampai saat ini tutur lisan masih dijadikan pedoman untuk menyakini hal tersebut.
Kembali lagi ketopik pembahasan, setelah Dewi Roro Amiswati diasingkan, beliau diasuh oleh Ki Ageng Galek/Mbah Kawak. Saat Dewi Roro Amiswati menderita sakit, beliau diobati oleh murid dari Ki Ageng Galek yang bernama Minak Srobo dari Kesultanan Demak yang tak lain adalah seorang penyiar Agama Islam yang bermukim di daerah Mbagong (saat ini menjadi Dukuh Mbagong Kelurahan Ngantru Kabupaten Trenggalek). Singkat cerita, Minak Srobo berhasil menyebuhkan penyakit yang diderita oleh Dewi Roro Amiswati.
Karena telah berhasil menyembukan penyakit sang Dewi, oleh Ki Ageng Galek mereka berdua (Ki Menak Srobo dan Dewi Roro Amiswati) dinikahkan. Setelah menikah beberapa waktu kemudian Dewi Roro Amiswati hamil. Ketika kandungan menginjak usia 7 bulan, Minak Srobo meninggalkan Dewi Roro Amiswati Karena ada tugas dari Kesultanan Demak. Akhirnya Sang Dewi diasuh kembali oleh Ki Ageng Galek hingga melahirkan seorang bayi. Sesuai dengan permintaan Minak Srobo apabila anaknya lahir maka harus diberi nama Minak Sopal.
Setelah Minak Srobo selesai menjalankan tugas dari Kesultanan Demak, Minak Sopal hidup bersamanya hingga usia dewasa. Hingga akhirnya Minak Sopal diangkat menjadi Adipati Islam pertama di Trenggalek oleh Sultan Demak Bintoro. Minak Sopal diangkat berdasarkan usulan dari Adipati Batoro Katong yang merupakan Bupati Ponorogo kurang lebih sekitar tahun 1482 M.
Ki Ageng Galek pada saat berada di Trenggalek diikuti oleh 7 orang anaknya yaitu Ki Surohandoko (sekarang dikenal dengan daerah Desa Surondakan). Petilasan Ki Surohandoko berupa alat penampungan air yang terletak disebelah Timur Desa Surondakan. Ki Joyonegoro, Ki Sasuto, Ki Dobongso/KI Sabdobongso, Ki Redimenggolo dan, Ki Tirto Amerto/Ki Sastro, KI Singomenggolo. Saat ini petilasanya menjadi Dukuh Singomenggalan, Desa Sumbergedong.
Pada saat melakukan syiar Agama Islam di Trenggalek, Ki Ageng Galek juga dibantu oleh 4 santrinya yakni Ki Proto Kusumo( saat ini makamnya berada di Desa Sumberdadi, Kecamatan Trenggalek, Ki Tunggul Mendung/Tugu Waseso( Makamnya berada di tengah Alun-Alun Trenggalek)Ki Sabuk Alu (Makamnya berada di Desa Prambon, Kecamatan Tugu), Ki Bancolono atau yang lebih terkenal dengan nama Bupati Kelir ( Makamnya berada kawasan Pantai Damas, Kecamatan Watulimo).
Letak makam Mbah Kawak berada di tengah kawasan pemakaman umum Desa Ngantru. Tepatnya berada di lereng gunung Jaas, kawasan Hutan kota Kabupaten Trenggalek. Jangan lupa jaga kebersihan serta sopan santun, karena sejatinya kita manusia hidup berdampingan dengan bangsa jin. “Tutur kata harus selalu dijaga agar tidak menyakiti siapapun”,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar