Kabupaten Rembang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Rembang. Kabupaten ini berbatasan dengan Teluk Rembang (Laut Jawa) di utara, Kabupaten Tuban (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Blora di selatan, serta Kabupaten Pati di barat.
Makam pahlawan pergerakan emansipasi wanita Indonesia, R. A. Kartini, terdapat di Kabupaten Rembang, yakni di jalur Rembang-Blora (Mantingan).
Asal usul Nama Rembang
Dahulu kala ada seorang saudagar kaya yang bernama Dampo Awang. Dia berasal dari Negara Cina. Dia ingin pergi kesuatu tempat untuk mengajarkan ajaran Kong Hu Cu dengan cara mengarungi samudera bersama para pengawal setianya. Suatu hari dia sampai di tanah jawa bagian timur.
Dampo Awang sangat senang akan daerah itu sehingga dia bermaksud untuk berlabuh disana dan menetap sambil mengembangkan ajaran yang dibawanya. Suatu saat Dampo Awang bertemu dengan Sunan Bonang, Sunan Bonang adalah salah satu dari 9 wali yang menyebarkan agama islam di tanah jawa.
Pada saat pertemuan pertama kali itu, Dampo Awang sudah memperlihatkan sikap kurang baik pada Sunan Bonang. Dampo Awang takut jika ajaran yang selama ini dia ajarkan akan hilang dan digantikan dengan ajaran agama islam. Perlu diketahui bahwa Dampo Awang sudah terbiasa dengan orang awam di jawa sehingga dia dapat berbahasa dengan baik.Saat Sunan Bonang mau mendirikan Salat Ashar. Dampo Awang berfikir untuk mecelekai Sunan Bonang. Dia menyuruh pengawalnya untuk menaruh racun ke air putih dalam kendi yang berada diatas meja. Setelah selesai shalat Sunan Bonang menuju ke meja makan. Dampo Awang mengira bahwa Sunan Bonang akan meminum air dalam kendi tersebut.
Tetapi dugaan Dampo Awang keliru, sebenarnya Sunan Bonang mau mengaji. Hari demi hari telah berlalu, setiap waktu shalat Sunan Bonang mengumandangkan adzan dan shalat, setelah shalat Sunan Bonang mengaji diteras rumahnya. Setiap orang – orang yang lewat di depan rumahnya dan mendengar suara Sunan Bonang saat mengaji dan adzan menjadi kagum akan ayat – ayat alllah. Kemudian banyak penduduk menjadi pemeluk agama islam. Lama – kelamaan pengikut sunan semakin banyak.
Tidak lama kemudian Dampo Awang mendengar peristiwa tersebut dia sangat marah karena pengikutnya semakin berkurang lalu Dampo Awang mengirim pengawalnya untuk menjemput Sunan Bonang . Mula – mula Sunan Bonang menolak tetapi karena dia merasa kasihan akan pengawal – pengawal Dampo Awang, jika Sunan Bonang tidak ikut mereka akan dihukum pancung. Akhirnya Sunan Bonang bersedia untuk datang ke kediaman Dampo Awang.
Saat Sunan Bonang tiba di kediaman Dampo Awang, Dampo Awang menyambutnya dengan ramah. Namun dibelakang dari keramahan tersebut Dampo Awang telah merencanakan sesuatu. Dampo Awang menyuguhi Sunan Bonang dengan buah – buahan segar, makanan enak, minuman lezat, dll. Sunan Bonang tidak menaruh curiga sedikitpun kepada Dampo Awang, padahal Dampo Awang berniat mencelakainya. Saat ditengah perjamuan, tiba – tiba Dampo Awang meminta agar Sunan Bonang meninggalkan daerah itu. Tetapi Sunan Bonang menolak karena dia sudah berniat untuk mengajarkan agama islam di daerah itu.
Dampo Awang sangat marah mendengar ucapan Sunan Bonang yang baru saja diucapkannya tadi. Lalu Dampo Awang menyuruh pengawalnya untuk menyerang Sunan Bonang tetapi dengan waktu yang sangat singkat Sunan Bonang dapat mengalahkan pengawal – pengawal Dampo Awang. Dampo Awang tidak terima akan kekalahannya. Dia kembali ke negaranya untuk menyusun stategi dan kekuataan baru.
Setelah beberapa tahun Dampo Awang kembali lagi ke tanah jawa sambil membawa pasukan yang lebih banyak dari sebelumnya. Pada saat sampai di tanah jawa dia sangat kaget sekali karena semua penduduk didaerah itu sudah menganut agama islam. Dampo Awang marah lalu mencari Sunan Bonang. Dampo Awang tidak bisa menahan amarahnya ketika dia sudah bertemu dengan Sunan Bonang sehingga dia langsung menyerang Sunan Bonang lebih dulu tetapi dengan singkat Sunan bisa mengalahkan Dampo Awang dan pengawalnya.
Kemudian Dampo Awang diikat didalam kapalnya setelah itu Sunan Bonang menendang kapalnya sehingga seluruh bagian kapal tersebar kemana – mana. Setelah itu sebagian kapal terapung di laut. Dampo Awang menyebutnya “ Kerem ( Tenggelam ) “ sedangkan Sunan Bonang menyebutnya “ Kemambang ( Terapung ) “. Kemudian lama – kelamaan masyarakat mengucapkan Rembang yang berasal dari kata Kerem dan Kemambang.
Akhirnya di daerah itu dinamakan Rembang yang sekarang menjadi salah satu Kabupaten yang ada di Jawa Tengah.Jangkarnya sekarang ada di Taman Kartini sedangkan Layar kapal berada dibatu atau biasanya sering disebut “ Watu Layar “ dan kapalnya dikabarkan menjadi Gunung Bugel yang ada di kecamatan Pancur karena bentuknya menyerupai sebuah kapal besar dan diatas Gunung ada sebuah makam konon disana merupakan makam Dampo Awang.
Perlu diingat asal – usul kota rembang banyak versinya sehingga tidak setiap orang mengetahui asal – usul kota Rembang yang sama versinya.
Perjuangan Raden Panji
(Asal-usul Desa Gedug, Karangasem, Ngatoko, Telogo, Tapaan, Kasingan)
Pada tahun 1440-1490 Kadipaten Lasem diperintahkan oleh Prabu Santi Puspo. Prabu Santi Puspo anak Prabu Santi Bodro. Prabu Santi Bodro anak Prabu Bodro Nolo dengan Puteri Cempo. Prabu Bodro Nolo anak Prabu Wijoyo Bodro. Prabu Wijoyo Bodro anak Prabu Bodro Wardono. Prabu Bodro Wardono anak Dewi Indu/ Dewi Purnomo Wulan/ Prabu Puteri Maharani dengan Rajasa Wardana. Dewi Indu adalah saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk Wilotikto. Dewi Indu pernah menjadi ratu di Kadipaten Lasem. Jadi Prabu Santi Puspo masih keturunan raja-raja Majapahit.
Pada masa pemerintahan Prabu Santi Puspo, Kadipaten Lasem mencapai keadilan dan kemakmuran. Rakyat hidup serba kecukupan tidak kurang suatu apapun. Prabu Santi Puspo seorang dermawan, suka memberi pertolongan kepada yang membutuhkan. Pada suatu saat Prabu Santi Puspo berangan-angan ingin memperluas wilayah kadipatennya. Keinginan beliau sangat kuat, maka dipanggillah Raden Panji Singopatoko untuk melaksanakan tugas membuka hutan atau babat alas di sebelah selatan Desa Kabongan terus ke selatan.
Pada hari yang ditentukan, berangkatlah Raden Panji Singopatoko melaksanakan tugas. Raden Panji Singopatoko dibantu beberapa orang pilihan yang loyal kepada pemerintah Kadipaten Lasem dan didampingi oleh dua orang prajurit yaitu Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo. Rombongan dibagi menjadi dua kelompok. Sebelah barat dipimpin oleh Ki Suro Gino, sedang sebelah timur oleh Ki Suro Gendogo.
Ketika mereka mulai membuka hutan, banyak sekali rintangan diantaranya adalah gangguan yang dibuat oleh orang-orang yang tidak senang kepada pemerintah Prabu Santi Puspo. Banyak prajurit yang terserang penyakit. Gangguan itu juga datang dari binatang buas dan hewan berbisa. Gangguan dan rintangan itu dihadapi oleh Raden Panji Singipatoko dan prajurit-prajuritnya yang dipimpin Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo dengan tabah serta tekad dan semangat yang menyala-nyala, meski banyak yang menjadi korban. Akhirnya semua rintangan dapat diatasi dan pekerjaan terselesaikan dengan memuaskan. Hutan yang dibuka itu menjadi desa yang sekarang disebut Desa Kunir dan Desa Sulang.
Raden Panji Singopatoko beserta rombongan meneruskan tugasnya membuka hutan lagi, dari Sulang menuju ke barat daya. Dalam perjalanannya itu Raden Panji pun telah siap siaga untuk menyerang dan membunuh harimau itu. Keduanya terlibat dalam pergumulan yang seru. Raden Panji Singopatoko tidak mau surut walau selangkah, terus maju pantang menyerah. Raden Panji Singopatoko adalah seorang yang sakti mandraguna. Akhirnya harimau itu lari dan tidak berhasil dibunuh oleh Raden Panji beserta teman-temannya.
Raden panji Singopatoko beserta rombongannya merasa sangat lelah setelah bertempur melawan harimau. Kemudian mereka beristirahat dan membuat rumah untuk tempat peristirahatan. Di sela-sela istirahatnya, Raden Panji berfikir memikirkan pelaksanaan tugasnya itu. Sebenarnya beliau merasa belum dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, beliau kecewa. Karena sebagai orang yang dipercaya oleh Prabu Santi Puspo untuk menjadi pemimpin atau' "gegedug" (istilah zaman kerajaan) mestinya harus dapat menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang zaman dahulu apabila menghadapi atau mengalami suatu masalah atau kejadian yang mengesankan dan penting, maka diabadikan dengan suatu simbul atau ditengarai dengan tanda-tanda yang dapat dikenang sepanjang masa. Oleh karena itu, untuk mengenang apa yang sedang dipikirkan oleh Raden Panji Singopatoko itu, beliau berkata, "Besuk kalau ada ramainya zaman dan tempat ini menjadi desa, aku beri nama Desa "Gedug". Maka jadilah desa itu disebut Desa Gedug,sekarang disebut Desa Sumbermulyo.
Setelah beberapa saat mereka beristirahat, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke selatan untuk membuka hutan. Pengalaman membuka hutan yang kemarin ternyata terulang disini. Banyak rintangan dan gangguan yang dihadapi. Diantara mereka ada yang meninggal karena terserang penyakit. Ada yang digigit binatang buas atau binatang berbisa.
Raden Panji Singopatoko beserta rombongan bekerja dengan giat membuka hutan. Setelah lama bekerja, mereka merasa lelah, lalu beristirahat di bawah pohon asam yang besar. Ketika badan mereka sudah terasa segar, dan hilang kelelahannya serta tenaga mereka telah pulih kembali. Raden Panji bangkit sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu beliau berkata, " Karena setelah kita beristirahat di tempat ini badan kita terasa segar sekali dan disini tumbuh banyak pohon asam, maka kalau besuk ada ramainya zaman, dan tempat ini menjadi desa aku beri nama Desa Karangasem."
Dari Karangasem, Raden Panji Singopatoko melanjutkan tugasnya membuka hutan ke arah tenggara di sebuah hutan yang masih banyak harimaunya. Pada suatu hari, Ki Suro Gendogo menemukan goa yang cukup dalam. Di atas goa ada seekor harimau betina. Ketika Ki Suro Gendogo mendekati goa, harimau itu diam saja, tidak menyerang dan juga tidak pergi. Ki Suro Gendogo lalu berfikir dan berkata dalam hati,
"Ada apa dengan harimau ini?".
Lalu Ki Suro Gendogo melihat ke dalam goa. Ternyata di dalam goa ada seekor anak harimau yang jatuh ke dalam goa dan tidak dapat naik. Ki Suro Gendogo berkata kepada harimau betina yang ada diatas goa itu, "Aku mau menolong anakmu, tetapi anakmu aku minta dan akan aku pelihara dengan baik." Akhirnya anak harimau itu diambil oleh Ki Suro Gendogo. Oleh karena itu Ki Suro Gendogo menjadi terkenal kemana-mana karena memelihara anak harimau itu. Setiap hari Jum'at, induk harimau itu datang ke rumah Ki Suro Gendogo untuk memberi makan anaknya. Pagi harinya pasti di luar rumah ada hewan yang mati, misalnya kijang, kera dan sebagainya, karena dimangsa induk harimau itu. Desa tempat Ki Suro Gendogo itu menjadi daerah yang ramai tumbuh menjadi pedukuhan, dan oleh Raden Panji Singopatoko diberi nama Dukuh Ngatoko.
Setiap ada orang yang berniat jahat di Dukuh Ngatoko, tiba-tiba didatangi seekor harimau. Sehingga niat jahatnya gagal. Setiap Raden Panji Singopatoko memberi bimbingan dan nasehat serta tuntunan kepada Panji Singopatoko, sehingga penduduk Ngatoko taat dan setia kepada Raden Panji Singopatoko. Di bawah pimpinan Raden Panji, penduduk Ngatoko hidup dengan aman, damai, tentram, dan sejahtera atas berkah Allah SWT.
Raden Panji Singopatoko juga tidak lupa mengajak rakyatnya untuk menjalankan ajaran Agama Islam. Ki Suro Gendogo dan Ki Suro Gino tinggal di Dukuh Ngatoko. Ki Suro Gendogo di Ngatoko Timur, sedang Ki Suro Gino tinggal di Ngatoko Barat. Demikianlah kehidupan masyarakat Ngatoko terus berjalan dengan tentram dan damai. Dan Raden Panji Singopatoko akhirnya menjadi Kyai Ageng Ngatoko dan terkenal dengan sebutan KYAI ABDUL RAHMAN
Pada suatu saat Raden Panji Singopatoko menginginkan suatu kehidupan yang lebih tentram. Sejalan dengan usianya yang sudah mulai udzur, beliau ingin mengurangi keterlibatannya dalam hiruk pikuknya kehidupan duniawi ini. Beliau ingin bertapa di atas gunung atau punthuk di dekat mata air atau telaga, guna merenungi dan tafakur tentang hakekat hidup dan kehidupan serta lebih bertaqqarub kepada Allah SWT.
Di sekitar tempat Kyai Abdul Rahman bertapa, sekarang menjadi perkampungan yang ramai, banyak orang yang bermukim di sini. Oleh Raden Panji Singopatoko atau Kyai Abdul Rahman, kawasan itu diberi nama Dukuh Telogo yang sekarang masuk di wilayah Desa Karangasem, Kecamatan Bulu.
Di dekat tempat pertapaan itu dibangun sebuah masjid lengkap dengan kolahnya. Sampai sekarang bekas kolah tersebut masih dapat dilihat berupa batu merah yang masih tersusun dengan baik. Daerah ini tidak pernah kekurangan air karena ada telaga yang bagus sumbernya, bahkan sumber air telaga ini disalurkan dengan pipa besar untuk memenuhi kebutuhan penduduk Desa Telogo dan Karangasem.
Prabu Santi Puspo (Adipati Lasem), merasa berhutang budi kepada Raden Panji Singopatoko, karena berkat perjuangan Raden Panji Singopatoko wilayah Kadipaten Lasem bertambah luas, dan keadaannya aman dan tentram. Sebagai balas budi Prabu Santi Puspo atas jasa-jasa raden Panji Singopatoko beliau ingin mengambil Raden Panji Singopatoko sebagai adik iparnya. Raden Panji dinikahkan dengan adik Prabu Santi Puspo yang bernama Dewi Sulanjari. Maka dipanggillah Raden Singopatoko menghadap Sang Prabu.
Setelah Raden Panji menghadap Sang Prabu, maka Sang Prabu menyampaikan maksudnya. Raden Panji tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan Sang Prabu. Kecuali hanya menerima saja tawaran Sang Prabu. Akhirnya Raden Panji Singopatoko menikah dengan adik Prabu Santi Puspo yaitu Dewi Sulanjari. Pernikahannya dilaksanakan di rumah Raden Panji Singopatoko di Desa Gedug (Sumbermulyo). Pada tahun 1472 Raden Panji Singopatoko dipanggil lagi oleh Prabu Santi Puspo untuk menerima tugas baru yaitu membuka hutan di sebelah barat daya Dukuh Kabongan. Raden Panji Singopatoko segera melaksanakan tugasnya tersebut dan dibantu para prajurit yang lain.
Berbulan-bulan lamanya Raden Panji Singopatoko membuka hutan ini. Akhirnya berhasil dibuka dan tumbuh menjadi sebuah desa. Oleh Raden Panji Singopatoko diberi nama Desa Kasingan. Raden Panji Singopatoko memang seorang pemimpin yang arif bijaksana.
Beliau mencintai masyarakatnya, demikian juga masyarakatnya mencintai dan mentaati pemimpinnya. Rakyat hidup rukun, damai, tentram dan sejahtera. Atas pembinaan dan kepemimpinan Raden Panji Singopatoko, rakyat yang tinggal di daerah-daerah yang telah dibuka oleh Raden Panji Singopatoko dapat disatukan yang jumlahnya mencapai seribu orang. Oleh karena Raden Panji Singopatoko dapat mempersatukan orang-orang lebih dari seribu maka beliau dianugerahi oleh Prabu Santi Puspo, Adipati Lasem jabatan sebagai penewu pada tahun 1485.
Pada tahun 1492 Raden Panji Singopatoko alias Kyai Ageng Ngatoko alias Kyai Abdul Rahman, wafat. Sebelum wafat, beliau telah berpesan kepada keluarganya, kalau beliau meninggal supaya dimakamkan didekat masjid atau Tapakan Telogo Desa Karangasem yaitu Punthuk dekat Desa Watu Lintang, sebelah barat daya Goa Watu Gilang.
Setelah Raden Panji Singopatoko wafat, jabatan Penewu digantikan oleh putera beliau yang bernama Raden Panji Singonagoro. Sebagai penghargaan dan penghormatan masyarakat Dukuh Telogo dan masyarakat Desa Karangasem kepada Raden Panji Singopatoko alias Kyai Abdul Rahman, setiap tanggal 12 Bakda Maulud masyarakat menyelenggarakan peringatan wafat beliau atau haul bertempat di makam Kyai abdul Rahman di Tapaan Dukuh Telogo Desa Karangasem.
Kesimpulan
Dari cerita di atas sampailah kita kepada kesimpulan dari beberapa alternatif tentang sejarah asal-usul Desa Gedug, Karangasem, Ngatoko, Telogo, Tapaan, Kasingan. Adanya fakta-fakta sejarah seperti pembentukan pemukiman awal yang kemudian tumbuh menjadi kota, adanya tokoh penguasa daerah dan adanya wilayah kekuasaan.
Sedangkan dulu ternyata pusat kabupaten Rembang atau malah mungkin sebelum terbentuk kabupaten Rembang pusatnya berada di Lasem atau lebih tepatnya kadipaten Lasem, tapi seiring berjalannya waktu akhirnya sekarang berpindah ke kota Rembang sendiri dan jarak antara Lasem dengan kota Rembang kurang lebih 20 KM.
Berdasarkan sumber di atas penguasa pada saat itu yang tinggal di Kadipaten Lasem masih keturunan kerajaan Majapahit mulai dari Prabu Santi Puspo anak Prabu Santi Bodro. Prabu Santi Bodro anak Prabu Bodro Nolo dengan Puteri Cempo. Prabu Bodro Nolo anak Prabu Wijoyo Bodro. Prabu Wijoyo Bodro anak Prabu Bodro Wardono. Prabu Bodro Wardono anak Dewi Indu/ Dewi Purnomo Wulan/ Prabu Puteri Maharani dengan Rajasa Wardana. Dewi Indu adalah saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk Wilotikto. Dewi Indu pernah menjadi ratu di Kadipaten Lasem. Jadi Prabu Santi Puspo masih keturunan raja-raja Majapahit. Menurut sumber lain juga mengatakan bahwa kabupaten Rembang keseluruhannya dulu juga daerah kekuasaan Majapahit yang terkenal sangat luas.
Pariwisata
Wana Wisata Kartini Mantingan
Tempat Rekreasi wanawisata yang dikelola oleh Perum Perhutani ini terletak di desa Mantingan Kecamatan Bulu Rembang, berdekatan dengan Makam R.A. Kartini. Fasilitasnya:
Konservasi tanaman
Kolam renang
Bumi Perkemahan
Koleksi satwa
Arena olahraga
Bumi Perkemahan Karangsari Park
Terletak di Desa Karangsari. Bumi Perkemahan ini pernah digunakan untuk menggelar Jambore Daerah Gerakan Pramuka Kwarda Jawa Tengah pada tahun 2007.
Sumber Semen
Merupakan hutan wisata yang dikelola oleh Perum Perhutani yang terletak di Kecamatan Sale Rembang. Tempat wisata yang terletak di tengah-tengah hutan lindung ini mempunyai fasilitas antara lain:
Pemandian/Kolam renang
Taman bermain anak
Bumi Perkemahan
Puncak Argopuro
Merupakan puncak tertinggi di Gunung Lasem dengan ketinggian 806 meter diatas permukaan laut. Tempat ini banyak dikunjungi oleh para pecinta alam dan penyuka kegiatan outdoor dari Rembang, Pati, Tuban dan lainnya. Jalur pendakian yang sering dilalui adalah melalui Nyode Pancur.
Pasujudan Sunan Bonang
Konon merupakan tempat berdakwah Sunan Bonang. Dan di tempat ini pulalah Sunan Bonang dimakamkan sebelum akhirnya mayatnya dicuri dan dipindah ke Tuban oleh murid beliau. Lokasinya terletak di Desa Bonang Kecamatan Lasem, tepat di atas bukit di sisi jalan Pantura. Setiap bulan Dzulqaidah diadakan acara haul.
Obyek-obyek lainnya di sini adalah:
Batu bekas tempat bersujud Sunan Bonang
Bekas kediaman Sunan Bonang
Joran Pancing milik Sunan Bonang
Makam-makam kuno lainnya
Bukit Kajar dan sejarah nya
Konong merupakan sebuah Kadipaten yang dipimpin oleh Rasemi pada masa kerajaan Majapahit.
Desa Kajar terletak di lereng Gunung Kajar, salah satu bagian dari Pegunungan Lasem. Dari kota tua Lasem atau jalan pantai utara Lasem, desa dengan sumber air yang melimpah itu berjarak sekitar 7 kilometer ke arah selatan.
Desa Kajar mempunyai empat peninggalan Kerajaan Majapahit. Peninggalan itu berupa batu tapak kaki Raja Majapahit yang dikenal dengan watu tapak, goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar. Peninggalan itu tidak mengumpul di satu tempat, tetapi tersebar di sejumlah titik Gunung Kajar.
Kisah di balik peninggalan itu tidak terlepas dari sejarah Kadipaten Lasem pada masa Kerajaan Majapahit. Berdasarkan laporan ”Rekonstruksi Sejarah Kadipaten Lasem” garapan MSI Kabupaten Rembang, Kadipaten Lasem muncul setelah Tribuwana Wijayatunggadewi membentuk Dewan Pertimbangan Agung atau Bathara Sapta Prabu pada 1351.
Salah satu anggota Dewan Pertimbangan Agung adalah Dyah Duhitendu Dewi, adik kandung Hayam Wuruk. Setelah menikah dengan anggota Dewan Pertimbangan Agung yang lain, Rajasawardana, Dewi Indu tinggal dan menjadi penguasa di Lasem dengan gelar Putri Indu Dewi Purnamawulan, yang kemudian dikenal sebagai Bhre Lasem.
Dalam Nagarakertagama kisah Dewi Indu dan Rajasawardana tercatat di terjemahan Negarakertagama Pupuh V dan VI. Dalam Pupuh V Ayat 1 disebutkan, ”Adinda Baginda raja di Wilwatikta: Puteri jelita, bersemayam di Lasem Puteri jelita Daha, cantik ternama Indudewi Puteri Wijayarajasa”.
Begitu pula dalam Pupuh VI Ayat 1, ”Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun Bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya Raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala”.
Dalam pupuh yang sama pada Ayat 3 disebutkan, ”Bhre Lasem Menurunkan puteri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di Wirabumi Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana Bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra”.
Desa Kajar, merupakan salah satu daerah terpenting Kerajaan Majapahit. Desa Kajar merupakan tempat memberikan pengetahuan serta ajaran agama dan moral kepada para pejabat, panglima, dan prajurit Kerajaan Majapahit.
”Kajar merupakan kependekan dari ’ka’ yang berarti kaweruh (pengetahuan) dan ’jar’ yang berarti ajaran,”
Bukan hal yang mengherankan jika pada 1354 Hayam Wuruk berkunjung ke Lasem dan Desa Kajar. Untuk mengenang kunjungan itu sekaligus sebagai prasasti tanda daerah kekuasaan Majapahit, Bhre Lasem membuat ukiran telapak kaki Hayam Wuruk di sebuah batu andesit di lereng Gunung Kajar.
Hingga kini, ukiran telapak kaki itu masih ada dan warga Desa Kajar meyakini ukiran itu sebagai bekas telapak kaki Hayam Wuruk. Warga kerap menyebut batu telapak kaki itu sebagai watu tapak.
Peninggalan-peninggalan lain Majapahit, seperti goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar, juga menunjukkan peran penting Desa Kajar selama Majapahit berkuasa. Goa tinatah merupakan dua goa yang terletak di Gunung Kajar.
Goa pertama merupakan tempat menyepi pejabat atau panglima Majapahit. Goa itu hanya muat untuk satu orang. Goa kedua merupakan tempat para prajurit yang dibawa pejabat atau panglima Majapahit itu berjaga-jaga. Goa kedua itu dapat memuat sekitar 15 orang.
Setelah menyepi selama beberapa waktu di goa tinatah, pejabat atau panglima Majapahit itu disucikan dengan air Kajar. Dia duduk di sebongkah batu yang mirip kursi. Warga kerap menyebut kursi itu sebagai kursi kajar.
Selain itu, untuk menghargai Desa Kajar sebagai tempat yang membawa kesuburan bagi daerah lain karena banyak sumber mata air, Bhre Lasem membuat lingga berhuruf palawa di dekat lingga pada zaman batu dan salah satu mata air Kajar.
”Lantaran tidak terawat, huruf palawa di lingga itu sulit dibaca lagi. Begitu pula peninggalan-peninggalan Majapahit lain, misalnya kajar kursi, juga tidak terperhatikan. Batu itu tidak lagi menyerupai kursi karena telah hancur sebagian.
Terima kasih sangat membantu����boleh tahu sumbernya dari mana??
BalasHapusada yg update?
BalasHapus