عن أبي هريرة عَن رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ قَالَ: سَيَكُوْنُ فىِ آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتىِ يُحَدِّثُوْنَكُمْ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَ لاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَ إِيَّاهُمْ
Dari Abu Hurairah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau bersabda, “Akan ada sekelompok orang dari umatku di akhir zaman yang menceritakan (hadits) kepada kalian yang tidak pernah didengar oleh kalian dan bapak-bapak kalian. Waspadalah kalian terhadap mereka”. [HR Muslim: 6]
Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar, bahkan bisa kafir.
Imam Adz Dzahabi dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran. Adapun perkara yang dibahas kali ini adalah untuk bentuk dusta selain itu.”
Beberapa dalil yang dibawakan oleh Imam Adz Dzahabi adalah sebagai berikut.
Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).
Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ
“Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir)
Imam Dzahabi juga membawakan hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berkata atas namaku padahal aku sendiri tidak mengatakannya, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.”
Dalam hadits lainnya disebutkan pula,
يُطْبَعُ الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلاَلِ كُلِّهَا إِلاَّ الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ
“Seorang mukmin memiliki tabiat yang baik kecuali khianat dan dusta.” (HR. Ahmad 5: 252. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dhoif)
Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَوَى عَنِّى حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya).” (HR. Muslim dalam muqoddimah kitab shahihnya pada Bab “Wajibnya meriwayatkan dari orang yang tsiqoh -terpercaya-, juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 39. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Setelah membawakan hadits-hadits di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Dengan ini menjadi jelas dan teranglah bahwa meriwayatkan hadits maudhu’ -dari perowi pendusta- (hadits palsu) tidaklah dibolehkan.” (Lihat kitab Al Kabair karya Imam Adz Dzahabi)
Adapun hadits,
مَنْ كَذِبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka siapkan tempatnya itu di neraka”.
Hadits ini adalah mutawatir (yakni hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu shahabat). [HR al-Bukhoriy: 107 dari Zubair, 110, 7197 dari Abu Hurairah,Muslim: 3, at-Turmudziy: 2257, 2659 dari Ibnu Mas’ud, 2661 dari Anas, 2669 dari Ibnu Amr, Ibnu Majah: 30 dari Ibnu Mas’ud, 32 dari Anas, 33 dari Jabir, 36 dari Zubair, 37 dari Abu Sa’id, Abu Dawud: 3651 dari Zubair, dan Ahmad: II/ 159, 171, 214 dari Ibnu Amr, IV/ 47 dari Salamah bin al-Akwa’, I/ 389, 401, 402, 405, 436 dari Ibnu Mas’ud, II/ 410, 413, 469, 519 dari Abu Hurairah, III/ 39, 44, 56 dari Abu Sa’id, III/ 98, 113, 116, 166, 173, 176, 203, 223, 278, 279, 280 dari Anas. [Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6519].
Hadist palsu menyebabkan banyak bermunculan amalan-amalan yang bukan datang dari Allah dan Rasulnya beredar ditengah-tengah umat Islam. timbulnya ajaran syirik, khurafat, bid’ah, dsb.
Diantara golongan pemalsu hadist :
1. Kaum Zindiq Yakni mereka yang berpura-pura Islam tetapi sesungguhnya mereka adalah kafir dan munafiq. Mereka sangat hasad dan benci terhadap Islam dan bertujuan merusak Agama ini dari dalamnya
2. Kaum pengikut hawa nafsu. Mereka mengajak manusia mengikutinya ke dalam : Ta’ashub, madzhabiyah, firqahnya, qabilahnya, imamnya dll.
3. Kaum yang bertujuan baik menurut persangkaan mereka. Mereka buat hadits-hadits palsu tentang nasehat-nasehat dan lain-lain.
4. Al Qashshaas (Tukang cerita) Mereka memalsukan hadits dan memasukkannya kedalam cerita-cerita yang mereka buat.
5. Kaum penjilat penguasa yang mengharapkan kedudukan.
Berpegang dengan zhahirnya, yaitu hukum bunuh terhadap orang yang sengaja berdusta atas Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka ini ada yang berpendapat kafirnya dengan sebab itu. Ini pendapat sekelompok Ulama, di antaranya Abu Muhammad al-Juwaini.
Ibnu ‘Aqîl menyatakan dari gurunya, Abul Fadhl al-Hamdani, yang berkata, “Para pembuat bid’ah dalam agama Islam, para pendusta dan pembuat hadits palsu, lebih berbahaya daripada orang-orang mulhid (ateis). Karena orang-orang mulhid berniat merusak agama dari luar, sedangkan mereka ini berniat merusak agama dari dalam. Maka mereka ini seperti penduduk kota yang berusaha melakukan kerusakan keadaan-keadaan kota, sedangkan orang-orang mulhid seperti orang-orang yang mengepung dari luar. Orang-orang yang berada di dalam akan membukakan pintu benteng, sehingga mereka lebih buruk terhadap agama Islam daripada orang-orang yang bukan pemeluknya.”
Penjelasannya adalah berdusta atas Nabi merupakan bentuk berdusta atas nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Oleh karena itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ
Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain
Karena perkara yang diperintahkan oleh Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam juga diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla , wajib untuk diikuti sebagaimana wajibnya mengikuti perintah Allâh Azza wa Jalla.
Dan perkara yang diberitakan oleh Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam wajib diyakini seperti wajibnya meyakini perkara yang diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa mendustakan berita dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam atau tidak mau meyakini perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , maka dia seperti orang yang mendustakan berita dari Allâh Azza wa Jalla atau tidak mau meyakini perintah Allâh Azza wa Jalla . Dan telah diketahui bahwa barangsiapa berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , dengan mengatakan bahwa dirinya utusan Allâh Azza wa Jalla , atau Nabi-Nya, atau dia memberitakan suatu berita dari Allâh Azza wa Jalla padahal dia bohong sebagaimana Musailamah, al-‘Ansi, dan para nabi palsu lainnya, maka dia kafir, halal darahnya.
Demikian juga orang yang sengaja berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam , karena kedudukan berdusta atas Allâh sama dengan mendustakan-Nya. Oleh karenanya, Allâh menggabungkan keduanya dengan firmanNya:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ
Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allâh atau mendustakan al-haq (kebenaran) tatkala al-haq itu datang kepadanya? [Al-‘Ankabût/29: 68]
Bahkan kemungkinan berdusta atas nama Allâh lebih besar dosanya daripada mendustakan berita-Nya. Oleh karena itu, Allâh lebih mendahulukannya. Sebagaimana orang yang jujur berbicara tentang Allâh Azza wa Jalla lebih tinggi derajatnya daripada orang yang membenarkan berita-Nya. Maka jika orang yang berdusta seperti orang yang mendustakan, atau bahkan lebih besar, dan orang yang berdusta Allâh seperti orang yang mendustakan beritaNya, maka orang yang berdusta atas nama Rasul sama seperti orang yang mendustakannya, karena perbuatan mendustakan sama dusta. Karena mendustakan beritanya sama dengan menyataan bahwa dia tidak benar dalam beritanya, dan itu sama saja dengan menganggap agama Allâh itu bathil. Tidak ada beda antara mendustakannya dalam satu berita atau dalam dalam seluruh berita. Dan dia menjadi kafir karena hal itu memuat pembatalan terhadap risalah dan agama Allâh. Sedangkan orang yang berdusta atas nama-Nya, dengan sengaja telah memasukkan ke dalam agama Allâh suatu perkara yang bukan dari agama Islam, dan dia menganggap bahwa wajib bagi umat ini membenarkan berita tersebut dan melaksanakannya, karena itu merupakan bagian agama Allâh, padahal dia tahu itu bukan bagian dari agama Allâh. Menambahkan (sesuatu) ke dalam agama sama hukumnya dengan mengurangi (sesuatu) darinya. Dan tidak ada bedanya orang yang mendustakan satu ayat al-Qur’ân, atau sengaja menambahkan satu kalimat yang dia katakan sebagai surat dari al-Qur’ân.
Demikian juga, sesungguhnya sengaja berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla merupakan perbuatan memperolok-olok dan merendahkan Allâh Azza wa Jalla . Karena dia mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla memerintahkan perkara-perkara yang tidak pernah diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla , atau bahkan ada kemungkinan tidak boleh diperintahkan. Ini berarti menyemat sifat bodoh atau tidak tahu kepada Allâh Azza wa Jalla . Atau dia memberitakan perkara-perkara dusta, ini berarti menisbatkan dusta kepada Allâh Azza wa Jalla , dan ini merupakan kekafiran yang nyata.
Demikian juga seandainya dia mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan puasa satu bulan selain pada bulan Ramadhan, atau mewajibkan shalat keenam, dan semacamnya, atau bahwa Allâh mengharamkan roti dan daging dan lain sebagainya. Jika dia tahu dan sadar dengan perbuatan dustanya, maka dia menjadi kafir berdasarkan kesepakatan (Ulama).
Maka barangsiapa mengatakan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan sesuatu yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wajibkan, atau Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan sesuatu yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak haramkan, maka dia telah berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana dia telah berdusta atas Nabi sejak awalnya, ditambah lagi dia mengatakan dengan terang-terangan bahwa Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkannya, atau Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan fatwa dan berkata, padahal dia tidak mengatakannya dengan ijtihad dan istimbath.
Intinya barangsiapa sengaja berdusta secara nyata atas nama Allâh Azza wa Jalla , maka dia seperti orang yang sengaja mendustakan Allâh Azza wa Jalla , atau bahkan keadaannya lebih buruk. Dan jelas bahwa orang yang berdusta atas nama seseorang yang wajib untuk diagungkan, maka dia itu meremehkannya dan merendahkan kehormatannya.
Demikian juga orang yang berdusta atas nama seseorang, dia pasti memberikan citra buruk kepadanya dan merendahkannya…
Adapun orang yang meriwayatkan sebuah hadits dan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka ini haram (hukumnya) sebagaimana telah shahih bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Barangsiapa menceritakan sebuah hadits dariku, padahal dia tahu bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari para pendusta
Tetapi dia tidak kafir, kecuali dia memasukkan di dalam riwayatnya sesuatu yang menyebabkan kekafiran. Karena dia jujur saat mengatakan bahwa gurunya telah menceritakan hadits itu kepadanya, tetapi karena dia mengetahui bahwa gurunya berdusta dalam hadits tersebut maka dia tidak halal meriwayatkannya. Sehingga kedudukannya seperti bersaksi atas pernyataan atau persaksian atau perjanjian, sedangkan dia mengetahui bahwa hal itu batil. Persaksian tersebut haram hukumnya, tetapi bukan persaksian palsu”.
Wahai saudara-saudara muslimku, berdasarkan beberapa riwayat hadits di atas, dapat dipahami bahwa,
1]. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengisyaratkan bahwa sepeninggalnya nanti akan ada orang-orang yang suka berkata atas nama Beliau padahal Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sendiri tidak pernah mengatakannya.
Maka tak heran di masa sekarang ini banyak diantara umat yang mengaku-ngaku ustadz/ah, dai/ah, aa/ mamah dan yang semisalnya yang gemar mengatakan, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda/ berkata/ menyuruh/ melarang/ menganjurkan/ menyontohkan, melakukan ini dan itu, dan sebagainya”, padahal tidak ada satupun dalil hadits yang menjadi rujukannya. Kalau toh ada, hadits itu ternyata (di dalam ilmu hadits) dikategorikan sebagai hadits dlo’if (lemah) atau maudlu” (palsu).
2]. Ada perintah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam agar waspada dari banyak menyampaikan hadits dari Beliau.
Artinya setiap muslim ketika akan menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maka hendaklah ia berusaha mencari tahu dulu (dari para ahli hadits) akan derajat hadits tersebut apakah termasuk hadits shahih atau tidak. Maksudnya hadits itu benar-benar dari Beliau atau hanya mengada-ada??
Mengapa???.
Jika nama kita saja dicatut oleh seseorang untuk keuntungan diri dan kelompoknya, tentu kita akan marah dan bahkan kalau perlu akan menuntutnya ke meja hijau. Lalu bagaimana jika nama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dicatut. Tidakkah kita marah..??
Lalu kenapa kepada para ahli hadits??? Kalau kita ingin memperbaiki apa yang ada pada kita saja kita harus datang kepada orang yang memang ahlinya. Mobil/ motor rusak, kita akan datang pada montir, rumah/ bangunan rusak, kita akan datang pada ahli bangunan, kita/ diantara keluarga kita ada yang sakit maka kita akan datang pada dokter spesialis, begitu seterusnya. Tiap-tiap sesuatu itu harus kepada ahlinya. Jadi untuk mengetahui akan keshahihan suatu hadits, ya tentu kita harus datang kepada ahlinya yaitu ahli hadits..
Sebagai umat yang berpendidikan dan berakhlak mulia, maka kita harus profesialisme yaitu mengembalikan sesuatu perkara itu kepada ahli/ profesinya. Kita tentu akan menghargai orang yang bekerja dan berbicara sesuai dengan keahliannya.
3]. Seseorang dikatakan berdusta jika ia selalu berbicara atau menyampaikan segala sesuatu yang didengar.
Di masa sekarang ini, banyak dari kaum muslimin yang suka menyampaikan ucapan-ucapan yang dianggap dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, padahal ia cuma dengar-dengar saja dari ustadz fulan dan fulan. Ia tidak mau tahu atau memang enggan mencari tahu akan keberadaan hadits tersebut. Coba jika ia bertanya kepada sang ustadz yang menyampaikan hadits tersebut akan keberadaan dan derajatnya tentu itu lebih baik untuk menguatkan keyakinannya. Sehingga ia dapat kembali menyampaikan hadits tersebut kepada keluarga atau kawannya dengan tenang tanpa keraguan.
Sebab bila ia gemar menyampaikan sesuatu yang ia dengar (tanpa mau mengetahui sumbernya) maka ia dicap oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai seorang “pendusta”.
4]. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengancam setiap orang yang berkata atas namanya padahal Beliau tidak pernah mengatakannya dengan mendapatkan tempat/ rumah di NERAKA. Apalagi dengan sengaja ia berdusta atas nama Beliau Shallallahu alaihi wa sallam.
Maksudnya jika ada orang yang karena kebodohannya berkata tentang sesuatu pada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apakah berupa ucapan ataupun perbuatan (hadits). Padahal perkataannya (yang dikutipnya) itu bukan sabda/ perbuatan Beliau karena hadits tersebut adalah hadits lemah atau palsu maka ia kelak akan masuk ke dalam neraka.
Maka bagaimana dengan orang yang sengaja berdusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, yaitu ia tahu hadits itu lemah/ palsu tetapi ia tetap menyampaikannya dan mengatakan kepada umat Islam sebagai sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
5]. Banyak mudlarat yang dapat ditimbulkan oleh hadits lemah dan palsu itu. Diantaranya; berbohong atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, menyebabkan terjadinya banyak tambahan dalam agama, khususnya di dalam perkara-perkara bid’ah, menyebabkan banyaknya terjadi perselisihan, perpecahan, pertikaian dan permusuhan dalam agama padahal Islam telah menganjurkan persatuan dan perdamaian, banyak di antara umat Islam yang lebih mengenal dan menghafal hadits-hadits lemah dan palsu daripada hadits-hadits shahih dan ayat-ayat alqur’an dan masih banyak lainnya.
6]. Terdapat larangan dari menyampaikan hadits lemah/ palsu. Hal ini dikarenakan untuk menjaga kemurnian agama dari campur tangan manusia di dalam menegakkan Islam. Sebab diantara keberadaannya hadits lemah dan palsu itu dikarenakan campur tangan manusia yang lemah agamanya untuk membela keyakinannya yang keliru, fanatik golongan, ingin dekat dengan para penguasa di saat itu, sengaja merusak Islam dan sebagainya. Jika setiap orang apalagi para ustadz itu dapat dengan bebasnya menyampaikan sesuatu perkara agama sesuai dengan akal logika atau hawa nafsunya tanpa dalil yang menyertainya niscaya agama kita akan rusak sebagaimana telah rusaknya agama-agama terdahulu. Kalau toh berdalil, sayangnya dalil hadits-hadits itu juga dalam keadaan cacat lantaran dikategorikan sebagai hadits lemah atau palsu. Na’udzu billah….
Wahai saudaraku, marilah kita muliakan Nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dengan cara membaca, mempelajari, memahami, menghafal, mengamalkan dan menyebarluaskan hadits-haditsnya yang telah tsabit dari Beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Milikilah buku-buku hadits dan yang berkenaan dengannya sebagaimana kita mempunyai kitab suci alqur’an. Jangan hanya mendengar tanpa mau mengetahui sumber haditsnya dan jangan cuma menyampaikan tanpa mau menyebutkan asal dan derajat haditsnya…
Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan lain bagi kita dari sisi lain yang selama ini kita pahami dan yakini. Karena terkadang kita tidak akan melihat keberadaan kita di posisi yang mana, apakah di posisi yang salah atau benar?, jika kita tidak melihat kedudukan lainnya dan bersikap obyektif di dalam menilai kebenaran yang hakiki.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar