Dalam falsafah hidup Jawa, berbakti kepada kedua orang tua dan para leluhur yang menurunkan adalah suatu ajaran yang diagungkan. Orang Jawa yang memahami hakekat hidup, tentunya akan sangat memahami apabila kesuksesan lahir dan batin tak akan bisa diraih apabila kita menjadi seorang anak atau generasi penerus yang durhaka kepada orang tua dan para leluhur yang menurunkannya. Ungkapan rasa berbakti, tidak hanya diucapkan dalam ikrar doa-doa puji-pujian yang ditujukan kepada leluhurnya. Lebih dari itu, harus ada langkah konkrit sebagaimana telah saya posting dalam thread terdahulu dengan judul “ Membangun Laku Prihatin yang Pener dan Pas” dan Hubungan Leluhur dengan Kembalinya Kejayaan Nusantara.
Salah satu wujud konkrit rasa berbakti tersebut adalah berupa sesaji, yang dimaksud sebagai persembahan atas segala rasa hormat dan rasa terimakasih tak terhingga kepada para leluhur yang telah wafat yang mana semasa hidupnya telah berjasa memberikan warisan ilmu, harta-benda, dan lingkungan alam yang terpelihara dengan baik sehingga masih dapat kita nikmati sampai saat ini dan memberikan manfaat untuk kebaikan hidup kita.
Berikut ini adalah beberapa contoh menu persembahan sebagai ungkapan rasa menghormati kepada leluhur. Masing-masing uborampe mempunyai ciri khas dan makna yang dalam. Tanpa memahami makna, rasanya persembahan sesaji akan terasa hambar dan mudah menimbulkan prasangka buruk, dianggap sesat, tak ada tuntunannya, dan syirik. Tetapi semua prasangka itu tentu datang dari hasil pemikiran yang tak cukup informasi untuk mengenal dan memahami apa makna hakekat di balik semua itu.
Kembang Telon
Kembang Telon adalah kumpulan bunga yang terdiri tiga macam bunga, yakni bunga mawar, bunga kantil dan bunga kenanga.
Telon berasal dari kata telu (tiga), dengan harapan agar meraih tiga kesempurnaan dan kemuliaan hidup (tri tunggal jaya sampurna) yaitu Sugih banda, sugih ngelmu, sugih kuasa (Kaya harta, Kaya ilmu, dan Kaya Posisi).
1- Kembang Mawar
Mawar adalah dari kata “ sabar ” yang memiliki arti agar kita selalu bisa dan mampu mengendalikan diri dengan kesabaran.
MAWAR (Mawi-Arsa) Dengan kehendak atau niat. Menghayati nilai-nilai luhur hendaknya dengan niat. Mawar, atauawar-awar ben tawar. Buatlah hati menjadi “tawar” alias tulus. Jadi niat tersebut harus berdasarkan ketulusan, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih (tapa ngrame) sekalipun pamrih mengharap-harap pahala. Pahala tetap saja “upah” yang diharapkan datang dari tuhan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan baik. Pamrih pahala ini tetap saja pamrih, berarti belum mencapai ketulusan yang tiada batas atau keadaan rasa tulus pada titik nihil, yakni duwe rasa, ora duwe rasa anduweni (punya rasa tidak punya rasa memiliki) sebagaimana ketulusan tuhan/kekuatan alam semesta dalam melimpahkan anugrah kepada seluruh makhluk. Pastilah tanpa pamrih.
A. Mawar Merah
Mawar merah melambangkan proses terjadinya atau lahirnya diri kita ke dunia fana. Yakni lambang dumadine jalma menungsa melalui langkah Triwikrama. Mawar merah melambangkan ibu. Ibu adalah tempat per-empu-an di dalam mana jiwa-raga kita diukir. Dalam bancakan weton dilambangkan juga berupa bubur merah (bubur manis gula jawa).
Mawar merah melambangkan proses terjadinya atau lahirnya diri kita ke dunia fana. Yakni lambang dumadine jalma menungsa melalui langkah Triwikrama. Mawar merah melambangkan ibu. Ibu adalah tempat per-empu-an di dalam mana jiwa-raga kita diukir. Dalam bancakan weton dilambangkan juga berupa bubur merah (bubur manis gula jawa).
B. Mawar Putih
Mawar putih adalah perlambang dari bapa yang meretas roh kita menjadi ada. Dalam lingkup makrokosmos, Bapanya adalah Bapa langit, Ibunya adalah Ibu Bumi. Bapanya jiwa bangsa Indonesia, Ibunya adalah nusantara Ibu Pertiwi. Keduanya mencetak “pancer” atau guru sejati kita. Maka, pancer kita adalahpancerku kang ana sa ngisore langit, lan pancerku kang ana sa nduwure bumi. Sang Bapa dalam bancakan weton dilambangkan pula berupa bubur putih (santan kelapa). Lalu kedua bubur merah dan putih, disilangkan, ditumpuk, dijejer, merupakan lambang dari percampuran raga antara Bapa dan Ibu. Percampuran ragawi yang diikat oleh rasa sejati, dan jiwa yang penuh cinta kasih yang mulia, sebagai pasangan hidup yang seiring dan sejalan. Perpaduan ini diharapkan menghasilkan bibit regenerasi yang berkwalitas unggul. Dalam jagad makro, keselarasan dan keharmonisan antara bumi dan langit menjadukan keseimbangan alam yang selalu melahirkan berkah agung, berupa ketentraman, kedamaian, kebahagiaan kepada seluruh penghuninya. Melahirkan suatu negeri yang tiada musibah dan bencana, subur makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.
Mawar putih adalah perlambang dari bapa yang meretas roh kita menjadi ada. Dalam lingkup makrokosmos, Bapanya adalah Bapa langit, Ibunya adalah Ibu Bumi. Bapanya jiwa bangsa Indonesia, Ibunya adalah nusantara Ibu Pertiwi. Keduanya mencetak “pancer” atau guru sejati kita. Maka, pancer kita adalahpancerku kang ana sa ngisore langit, lan pancerku kang ana sa nduwure bumi. Sang Bapa dalam bancakan weton dilambangkan pula berupa bubur putih (santan kelapa). Lalu kedua bubur merah dan putih, disilangkan, ditumpuk, dijejer, merupakan lambang dari percampuran raga antara Bapa dan Ibu. Percampuran ragawi yang diikat oleh rasa sejati, dan jiwa yang penuh cinta kasih yang mulia, sebagai pasangan hidup yang seiring dan sejalan. Perpaduan ini diharapkan menghasilkan bibit regenerasi yang berkwalitas unggul. Dalam jagad makro, keselarasan dan keharmonisan antara bumi dan langit menjadukan keseimbangan alam yang selalu melahirkan berkah agung, berupa ketentraman, kedamaian, kebahagiaan kepada seluruh penghuninya. Melahirkan suatu negeri yang tiada musibah dan bencana, subur makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.
2- Kembang Kantil
Kantil adalah bermakna “ eling ”, ingat akan sesama disekeliling kita, ingat akan keberadaan kita dan ingat akan apa yang kita percayai dan siapa yang telah menciptakan kita. Ingat kepada orang tua dan orang-orang tercinta kita.
Atau simbol pepeling bahwa untuk meraih ngelmuiku kalakone kanthi laku. Lekase kalawan kas, tegese kas iku nyantosani. Maksudnya, untuk meraih ilmu spiritual serta meraih kesuksesan lahir dan batin, setiap orang tidak cukup hanya dengan memohon-mohon doa. Kesadaran spiritual tak akan bisa dialami secara lahir dan batin tanpa adanya penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari (lakutama atau perilaku yang utama). Bunga kanthil berarti pula, adanya tali rasa, atau tansah kumanthil-kanthil, yang bermakna pula kasih sayang yang mendalam tiada terputus. Yakni curahan kasih sayang kepada seluruh makhluk, kepada kedua orang tuanya dan para leluhurnya.
Bukankah hidup ini pada dasarnya untuk saling memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh makhluk???.
Bukankah hidup ini pada dasarnya untuk saling memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh makhluk???.
Jika semua umat manusia bisa melakukan hal demikian tanpa terkotak-kotak ragam “kulit” agama, niscaya bumi ini akan damai, tenteram, dan sejahtera lahir dan batinnya. Tak ada lagi pertumpahan darah dan ribuan nyawa melayang gara-gara masing-masing umat manusia (yang sesungguhnya maha lemah) tetapi merasa dirinya disuruh tuhan yang Maha Kuasa. Tak ada lagi manusia yang mengklaim diri menjadi utusanNya untuk membela tuhan Yang Maha Kuasa. Yaah, mudah-mudahan untuk ke depan tuhan tak usah mengutus-utus manusia membela diriNya. Kalau memang kita percaya kemutlakan kekuasaan Tuhan, biarkan tuhan sendiri yang membela diriNya, biarkan tuhan yang menegakkan jalanNya untuk manusia, pasti bisa walau tanpa adanya peran manusia! Toh tuhan maha kuasa, pasti akan lebih aman, tenteram, damai. Tidak seperti halnya manusia yang suka pertumpahan darah !! Seumpama membersihkan lantai dengan menggunakan lap yang kotor.
3- Kembang Kenanga
Kenanga adalah bermakna “ tumengo ”, dalam arti kita harus bisa menengok ke kanan dan ke kiri, saling tolong menolong dengan sesama dan selalu bisa memaafkan.
Keneng-o Atau gapailah..! segala keluhuran yang telah dicapai oleh para pendahulu. Berarti generasi penerus seyogyanya mencontoh perilaku yang baik dan prestasi tinggi yang berhasil dicapai para leluhur semasa hidupnya.Kenanga, kenang-ening angga. Bermakna filosofis agar supaya anak turun selalu mengenang, semua “pusaka” warisan leluhur berupa benda-benda seni, tradisi, kesenian, kebudayaan, filsafat, dan ilmu spiritual yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom).
Begitulah pelajaran berharga yang kini sering dianggap remeh bagi yang merasa diri telah suci dan kaya pengetahuan. Di balik semua itu sungguh memuat nilai adiluhung sebagai “pusaka” warisan leluhur, nenek moyang kita, nenek moyang bangsa ini sebagai wujud sikapnya yang bijaksana dalam memahami jagad raya dan segala isinya. Doa tak hanya diucap dari mulut. Tetapi juga diwujudkan dalam bergai simbol dan lambang supaya hakekat pepeling/ajaran yang ada di dalamnya mudah diingat-ingat untuk selalu dihayati dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Ajaran adiluhung yang di dalamnya penuh arti, sarat dengan filsafat kehidupan. Kaya akan makna alegoris tentang moralitas dan spiritualitas dalam memahami jati diri alam semesta, jagad nusantara, serta jagad kecil yang ada dalam diri kita pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar