Kabupaten Ngawi adalah sebuah kabupaten di bagian barat Provinsi Jawa Timur, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Kata Ngawi berasal dari “Awi”, yang berarti bambu. Hal ini karena, berdasarkan pendapat penduduk wilayah ini, wilayah Ngawi banyak terdapat pohon bambu.
Kota yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah ini, memiliki potensi pariwisata yang cukup beragam. Salah satunya adalah objek wisata Gunung Liliran yang jaraknya kurang lebih 47 kilometer dari kota Ngawi (Kecamatan Ngawi). Wilayah ini tepatnya terletak di Desa Ketanggung, Kecamatan Sine. Gunung Liliran merupakan objek wisata alam dan spiritual. Gunung Liliran memiliki latar belakang alam pegunungan yang sangat indah. Sejauh jangkauan pandang akan nampak hamparan sawah hijau dan sungai yang meliuk kearah utara menuju Bengawan Solo. Selain alamnya yang menarik, di tempat ini juga digunakan sebagai ritual setiap tanggal 1 Muharram (1 Syuro, menurut penanggalan Jawa).
Selain itu, tempat ini banyak dikunjungi, dalam sejarahnya Joko Budug mampu menyembuhkan sang putri namun kemudian ia dibunuh oleh patih raja. Sebelum meninggal ia bersumpah hanya mau dikuburkan apabila telah dinikahkan dengan sang putri. Sang putri yang berduka melarikan diri dari istana, dan akhirnya menghembuskan nafas di gunung Liliran. Akhirnya sepasang kekasih tersebut dimakamkan di gunung Liliran. Sejak saat itulah masyarakat menganggap tempat ini sebagai tempat keramat mengingat latar belakang sejarahnya.
Joko Budug nama lengkapnya adalah Raden Haryo Bangsal Putra Raja Majapahit.
Pada suatu ketika Joko Budug / R. Haryo Bangsal pergi dari rumah sampailah di desa Bayem Taman Daerah Sine Ngawi mampir ke rumah Mbok Rondo Dadapan sampai beberapa waktu.
KISAH JOKO BUDUG DAN PUTRI KEMUNING
Pada suatu zaman di daerah Ngawi, Jawa Timur, terdapat seorang raja bernama Prabu Aryo Seto yang bertahta di Kerajaan Ringin Anom. Prabu Aryo Seto adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Ia mempunyai seorang putri yang sangat cantik bernama Putri Kemuning. Menurut penduduk daerah Sine, Ngawi, tubuh sang Putri sangat harum seperti Bunga Kemuning. Suatu hari, Putri Kemuning tiba‐tiba terserang penyakit aneh. Tubuhnya yang semula berbau harum, tiba‐tiba mengeluarkan bau yang tidak enak. Melihat kondisi putrinya itu, Prabu Aryo(ayah Putri Kemuning) menjadi sedih karena khawatir tak seorang pun pangeran atau pemuda yang mau menikahi putrinya itu.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Prabu Aryo, seperti memberikan putrinya obat‐obatan tradisional berupa Daun Kemangi dan Beluntas. Namun penyakit anaknya belum juga sembuh. Kemudian, Prabu Aryo mengundang seluruh tabib yang ada di negerinya. Namun tidak ada seorang pun yang mampu menyembuhkan sang Putri. Akibatnya, perasaan Prabu Aryo Seto semakin resah. Ia sering duduk melamun seorang diri memikirkan nasib malang yang menimpa putri semata wayangnya. Suatu ketika, tiba‐tiba terlintas dalam pikirannya untuk melakukan semedi dan meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar penyakit langka yang menimpa putrinya dapat disembuhkan.
Pada saat tengah malam, Sang Prabu dengan tekad kuat dan hati yang suci melakukan semedi di dalam sebuah ruang tertutup di dalam istana. Pada saat ia larut dalam semedi, tiba‐tiba terdengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya. “Dengarlah, wahai Prabu Aryo Seto! Satu‐satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit putrimu adalah Daun Sirna Ganda. Daun itu hanya tumbuh di dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh seekor ular naga sakti dan selalu menyemburkan api dari mulutnya,” demikian pesan yang disampaikan oleh suara gaib itu.
Keesokan harinya, Prabu Aryo Seto segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di alun‐alun untuk mengadakan sayembara:
“Wahai, seluruh rakyatku! Kalian semua tentu sudah mengetahui tentang penyakit putriku. Setelah semalam bersemedi, aku mendapatkan petunjuk bahwa putriku dapat disembuhkan dengan daun sirna ganda yang tumbuh di gua di kaki Gunung Arga Dumadi. Barang siapa yang dapat mempersembahkan daun itu untuk putriku, jika ia laki‐laki akan kunikahkan dengan putriku. Namun, jika ia perempuan, ia akan kuangkat menjadi anakku,”
Mendengar pengumuman itu, seluruh rakyat Kerajaan Ringin Anom menjadi gempar. Berita tentang sayembara itu pun tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Banyak warga yang tidak berani mengikuti sayembara tersebut karena mereka semua tahu bahwa gua itu dijaga oleh seekor naga yang sakti dan sangat ganas. Bahkan, sudah banyak warga yang menjadi korban keganasan naga itu. Meskipun demikian, banyak pula warga yang memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut karena tergiur oleh hadiah yang dijanjikan oleh Sang Prabu. Setiap orang pasti akan senang jika menjadi menantu atau pun anak angkat raja. Salah seorang pemuda yang ingin sekali mengikuti sayembara tersebut adalah Jaka Budug.
Jaka Budug adalah pemuda miskin yang tinggal di sebuah gubuk reyot bersama ibunya di sebuah desa terpencil di dalam wilayah Kerajaan Ringin Anom. Ia dipanggil “Jaka Budug” karena mempunyai penyakit langka, yaitu seluruh tubuhnya dipenuhi oleh Penyakit Budug(Gudig). Penyakit aneh itu sudah dideritanya sejak masih kecil. Meskipun demikian, Jaka Budug adalah seorang pemuda yang sakti. Ia sangat mahir dan gesit memainkan keris pusaka yang diwarisi dari almarhum ayahnya. Dengan kesaktiannya itu, ia ingin sekali menolong sang Putri. Selain itu menurut pendapat warga setempat, Jaka Budug adalah keturunan dari raja Majapahit pada masa kemundurannya.
Karena keadaan pada dirinya, Jaka Budug pun malu untuk menemui raja dan berkumpul dengan para peserta sayembara. Sementara itu, para peserta sayembara telah berkumpul di kaki Gunung Arga Dumadi untuk menguji kesaktian mereka. Sejak hari pertama hingga hari keenam sayembara itu dilangsungkan, belum satu pun peserta yang mampu mengalahkan naga sakti itu. Jaka Budug pun semakin gelisah mendengar kabar itu.
Pada hari ketujuh, Jaka Budug dengan tekadnya yang kuat memberanikan diri datang menghadap kepada Sang Prabu. Di hadapan Prabu Aryo Seto, ia memohon izin untuk ikut dalam sayembara itu. “Ampun, Baginda! Izinkan hamba untuk mengikuti sayembara ini untuk meringankan beban Sang Putri,” pinta Jaka Budug. Prabu Aryo Seto tidak menjawab. Ia terdiam sejenak sambil memperhatikan Jaka Budug yang tubuhnya dipenuhi bintik‐bintik merah. “Siapa kamu hai, anak muda? Dengan apa kamu bisa mengalahkan naga sakti itu?” tanya Sang Prabu. “Hamba Jaka Budug, Baginda. Hamba akan mengalahkan naga itu dengan keris pusaka hamba ini,” jawab Jaka Budug seraya menunjukkan keris pusakanya kepada Sang Prabu.
Pada awalnya, Prabu Aryo Seto ragu‐ragu dengan kemampuan Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menunjukkan keris pusakanya dan tekad yang kuat, akhirnya Sang Prabu menyetujuinya. “Baiklah, Jaka Budug! Karena tekadmu yang kuat, maka keinginanmu kuterima. Semoga kamu berhasil!” ucap Sang Prabu. Jaka Budug pun berangkat ke Gunung Arga Dumadi dengan tekad membara. Ia harus mengalahkan naga itu dan membawa pulang daun sirna ganda. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah ia di kaki gunung Arga Dumadi. Dari kejauhan, ia melihat semburan‐semburan api yang keluar dari mulut naga sakti penghuni gua. Ia sudah tidak sabar ingin membinasakan naga itu dengan keris pusakanya. Jaka Budug melangkah perlahan mendekati naga itu dengan sangat hati‐hati. Begitu ia mendekat, tiba‐tiba naga itu menyerangnya dengan semburan api. Jaka Budug pun segera melompat mundur untuk menghindari serangan itu. Naga itu terus bertubi‐tubi menyerang sehingga Jaka Budug terlihat sedikit kewalahan. Lama‐kelamaan, kesabaran Jaka Budug pun habis.
Ketika naga itu lengah, Jaka Budug segera menghujamkan kerisnya ke perut naga itu. Darah segar pun memancar dari tubuh naga itu dan mengenai tangan Jaka Budug. Sungguh ajaib, tangan Jaka Budug yang terkena darah sang naga itu seketika menjadi halus dan bersih dari Penyakit Budug(Gudig). Melihat keajaiban itu, Jaka Budug semakin bersemangat ingin membinasakan naga itu. Dengan gesitnya, ia kembali menusukkan kerisnya ke leher naga itu hingga darah memancar dengan derasnya. Beberapa saat kemudian, naga sakti itu pun tewas seketika. Jaka Budug segera mengambil darah naga itu lalu mengusapkan ke seluruh badannya yang terkena penyakit budug. Akibtanya, seluruh badannya menjadi bersih dan halus serta tidak ada sedikit pun bintik‐bintik merah yang tersisa. Kini, Jaka Budug berubah menjadi pemuda yang sangat tampan.
Setelah memetik beberapa lembar Daun Sirna Ganda di dalam gua, Jaka Budug segera pulang ke istana dengan perasaan gembira. Setelah tiba di istana, Prabu Aryo Seto tercengang ketika melihat Jaka Budug yang kini kulitnya menjadi bersih dan wajahnya tampan. Prabu Aryo hampir tidak percaya jika pemuda di hadapannya itu Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menceritakan semua peristiwa yang dialaminya di kaki Gunung Arga Dumadi, Prabu Aryo percaya dan terkagum‐kagum. Jaka Budug kemudian mempersembahkan Daun Sirna Ganda yang diperolehnya kepada Sang Prabu. Lalu, Putri Kemuning kembali sehat setelah memakan Daun Sirna Ganda itu.
Setelah itu, tubuh Sang Putri kembali berbau harum seperti Bunga Kemuning. Setelah peristiwa itu, Prabu Aryo Seto pun menetapkan Jaka Budug sebagai pemenang sayembara tersebut. Sesuai dengan janjinya, Sang Prabu segera akan menikahkan Jaka Budug dengan putrinya, Putri Kemuning. Kemudian, Prabu Aryo Seto memerintahkan Patih kerajaan untuk menjemput dan memandikan Jaka Budug. Karena Sang Patih memiliki pendengaran yang tuli, maka ia mengira bahwa raja memerintahkannya untuk membunuh Jaka Budug. Setelah menjemput Jaka Budug, dalam perjalanan Sang Patih pun membunuh dan menghabisi Jaka Budug di Sendang Gampingan.
Setelah kematiannya, Jaka Budug dibuatkan lubang kubur sepanjang orang biasa. Namun, jasadnya tidak muat jika dimasukkan kedalam lubang kuburan. Akhirnya, para penggali kubur pun menambah penjangnya hingga mencapai 11 meter. Menurut penduduk sekitar, hal ini terjadi karena adanya pelanggaran terhadap janji raja yang akan menikahkan Putri Kemuning kepada Jaka Budug. Akibatnya, Putri Kemuning pun juga melarikan diri dari istana dan melakukan aksi bunuh diri di Gunung Liliran. Setelah adanya kejadian itu, kedua calon suami istri ini pun dimakamkan di tempat yang sama yaitu di Gunung Liliran, Dukuh Gamping, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi.
Sampai sekarang Makam Joko Budug yang berada di Gamping, Gunung Liliran banyak dikunjungi oleh peziarah dari berbagai kalangan masyarakat. Hal itu dilakukan terutama pada malam Jum’at Legi dan bulan Suro. Mereka beranggapan bahwa makam ini mampu memberikan sebuah keberkahan kepada seseorang yang berdoa di atasnya.
Kisah Jaka Budug bukan hanya kisah percintaan biasa. Hal ini karena kisah ini merupakan sebuah perjalanan yang menceritakan kisah laki-laki dan perempuan yang sangat tragis dan penuh pembelajaran. Selain itu, beberapa tokoh luar biasa juga melatar belakangi mitos terjadinya beberapa tempat di Ngawi terutama di daerah Kecamatan Sine dan sekitarnya.
Dalam kisah ini juga mengandung nilai-nilai filsafat sosial, ritual mistis dan hubungan etik, serta masalah-masalah pikiran pokok manusia yang sulit di temukan jawabannya hingga sekarang. Selain itu, kisah ini juga melebihi segala kisah sejarah yang terdapat di kota Ngawi. Bagi masyarakat Sine dan sekitarnya, kisah ini merupakan hikayat terbesar, yang akan terus di ceritakan dari mulut ke mulut hingga mencapai klimaks dalam kisah kesalah-fahaman yang menakjubkan.
test
BalasHapus