Membicarakan shalat kafarat pastinya tak lepas dari sabda Nabi Muhammad yang berbunyi sebagai berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من فاتة صلاة فى عمرة ولم يحصها فليقم فى اخر جمعة من رمضان ويصلى اربع ركعات بتشهد واحد يقرا فى كل ركعة فاتحة الكتاب وسورة القدر خمسة عشر مرة وسورة الكوثر خمسة عشر مرة
Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa yang selama hidupnya pernah meninggalkan shalat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka shalatlah di hari Jum’at terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1 kali tasyahud, dan setiap rakaat membaca 1 kali surat al Fatihah kemudian surat al Qadar 15 kali dan surat al Kautsar 15 kali.”
Selain itu terdapat redaksi lain dari perkataan Khalifah Abu Bakar as Sidiq yang berbunyi sebagai berikut:
قال ابو بكر سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول هذة الصلاة كفارة اربعمائة سنة حتى قال على كرم الله وجهه هي كفارة الف سنة قالوا يا رسول الله صلى الله عليه وسلم ابن ادم يعيش ستين سنة او مائة سنة فلمن تكون الصلاة الزائدة قال تكون لإبوية و زوجتة و لإولادة فأقاربة و اهل البلد.
Khalifah Abu Bakar as Sidiq berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah SAW, beliau bersabda shalat tersebut sebagai kafarat (pengganti) shalat 400 tahun. Dan menurut Sayidina Ali ibn Abi Thalib shalat tersebut sebagai kafarat 1000 tahun. Maka bertanyalah para sahabat: “Umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya?”. Rasulullah SAW menjawab, “Untuk kedua orang tuanya, untuk istrinya, untuk anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang dilingkungannya.”
Hadis di atas ternyata adalah hadis maudhu’, yakni sebuah hadis yang disandarkan pada Nabi dengan kebohongan dan sebenarnya tidak ada keterkaitan sanad dengan Nabi. Selain itu pada hakikatnya itu bukanlah hadis. Hanya saja penyebutannya sebagai hadis memandang anggapan dari perawinya.
Setelah melakukan search dari beberapa kitab, kami menemukan diantara hadis ini dalam al-Fawaid al-Majmu’ah fii al-Ahadits al-Maudhu’ah karya Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani (TW 1250H) yang di tahqiq oleh Abdurrahman bin Yahya al-Ma’mali al-Yamani, cetakan Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, Bairut – Libanon nomor 115, beliau memberikan keterangan sebagai berikut
115 - حديث: "مَنْ صَلَّى فِي آخِرِ جُمُعَةٍ مِنْ رَمَضَانَ الْخَمْسَ الصَّلَوَاتِ الْمَفْرُوضَةَ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ قَضَتْ عَنْهُ مَا أَخَلَّ بِهِ مِنْ صَلاةِ سُنَّتِهِ.
هَذَا: مَوْضُوعٌ لا إِشْكَالَ فِيهِ وَلَمْ أَجِدْهُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْكُتُبِ الَّتِي جَمَعَ مُصَنِّفُوهَا فِيهَا الأَحَادِيثَ الْمَوْضُوعَةَ وَلَكِنَّهُ اشْتَهَرَ عِنْدَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْمُتَفَقِّهَةِ بِمَدِينَةِ صَنْعَاءَ فِي عَصْرِنَا هَذَا وَصَارَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ وَلا أَدْرِي مَنْ وَضَعَهُ لَهُمْ.
Tidak di ragukan lagi, bahwa hadis ini adalah hadis maudhu (palsu). Dan tidak aku temukan sedikitpun dalam kitab yang menghimpun hadis-hadis palsu. Akan tetapi hadis ini masyhur dikalangan orang-orang yang mengaku ahli fikih di kota Sana’a di masa kami ini. Dan pada akhirnya banyak dari mereka yang melakulannya. Aku tidak tahu siapa yang memalsukannya.” (al-Fawaid al-Majmu’ah juz 1 halaman 54)
Ketika amalan ibadah bersumber dari hadis maudhu’, maka menurut para ulama hukumnya tidak boleh mengerjakan amalan tersebut. Berbeda ketika amalan yang bersumber dari hadis dha’if (lemah) maka masih diperbolehkan mengamalkan hanya sebatas fadhailul amal (keutamaan-keutamaan amal). Dalam kitab al Adzkar karya al Imam Nawawi hal 14 dikatakan, sebagai berikut:
“Sebaiknya seseorang yang mengetahui keutamaan-keutamaan amal (fadhoilul amal) melakukan hal tersebut walaupun hanya sekali saja agar termasuk dikatakan golongan amal tersebut. Dan tidak dianjurkan untuk meninggalkan amal tersebut, akan tetapi berusaha melakukan dengan semampunya, karena berdasarkan hadis Nabi SAW.”
Menurut golongan ulama hadis, ahli fikih dan ulama lainnya mengatakan: “Boleh dan disunnahkan melakukan amal yang bersumber dari hadis dhoif selama bukan hadis maudhu’ (hadis palsu).”
Bahaya Menyebarkan Berita Dusta atas Nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Seiring dengan semaraknya sarana informasi, manusia begitu mudah menyebarkan apapun yanng dia dengar. Termasuk hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita sangat yakin, maksud mereka baik, memotivasi masyarakat untuk beramal. Namun jangan sampai ini menjadi alasan untuk melakukan menyebarkan kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Mughirah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku, tidak seperti berdusta atas nama orang lain. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari 1291 & Muslim 5)
Demikian pula ketika kita mendapat berita atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diragukan keabsahannya, jangan disebarkan. Karena itu terhitung berdusta. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَوَى عَنِّى حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya).”
(HR. Muslim dalam muqoddimah kitab shahihnya pada Bab “Wajibnya meriwayatkan dari orang yang tsiqoh -terpercaya-, juga Ibnu Majah 39. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar