Setiap daerah di Jawa rata-rata memiliki Keris pusaka yang menjadi identitas dari daerahnya masing-masing dan memiliki ciri khas tersendiri.
Contohnya sepasang Keris legendaris dari Pekalongan, yaitu Keris Suratman - Guminah yang memiliki ciri khas pamor ketip dan bilahnya yang tajam sehingga mampu menancap pada koin logam.
Selain Pekalongan yang memiliki Keris lokal Suratman - Guminah yang sangat legendaris, ada juga Keris lokal yang berasal dari Batang - Jawa Tengah, yaitu Keris Kukon.
Keris Kukon adalah sebutan untuk Keris yang pada bagian sor-sorannya terdapat guratan seperti bekas ditekan dengan kuku jempol sehingga disebut Kukon (di kuku). Keris ini merupakan Keris asli dari daerah Batang, tepatnya desa Wonobodro.
Untuk dhapurnya sendiri kebanyakan Keris Kukon berdhapur Brojol dengan gonjo iras dan ukuran bilahnya tergolong pendek (Patrem).
Meskipun bentuknya sangat sederhana, namun Keris Kukon memiliki makna filosofi yang sangat dalam sebagai tuntunan hidup.
“Kukon” memiliki makna “kudu kuat lelaku supayo kelakon”, yang artinya: harus kuat tirakat supaya tercapai apa yang menjadi tujuan atau cita-cita.
Dengan lelaku (tirakat) kita bisa mencapai sesuatu yang mungkin terlihat mustahil, seperti halnya Keris Kukon karena logikanya kuku tidak akan bisa melukai besi, namun dengan laku spiritual dan keyakinan yang kuat nyatanya hal itu bisa dilakukan oleh sang Empu pembuatnya.
Keris Kukon mengandung pesan agar kita selalu optimis dan yakin bahwa segala sesuatu bisa dicapai, tentunya dengan selalu mengandalkan TUHAN, yaitu dengan cara lelaku untuk mendapatkan ridho-NYA, karena jika TUHAN telah berkehendak maka apapun bisa terjadi.
Keris Kukon tangguh Wonobodro lebih difungsikan sebagai Keris tayuhan yang lebih mementingkan isi daripada fisiknya. Oleh karena itulah, meskipun wijudnya sangat sederhana, namun Keris ini memancarkan aura wingit yang sangat kental.
Keris Kukon tangguh Wonobodro dipercaya memiliki tuah untuk kesaktian dan dapat membantu mempermudah pemiliknya untuk mencapai harapan dan cita-citanya.
Keris tangguh Wonobodro memang tidak ada dalam pakem dan tidak begitu dikenal dikalangan pecinta Tosan Aji. Tapi bagi para pecinta Tosan Aji didaerah Batang dan Pekalongan, Keris ini cukup diminati karena termasuk Keris yang langka dan biasanya disimpan sebagai Keris tayuhan.
Wonobodro adalah sebuah desa di Kecamatan Blado - Kabupaten Batang yang terkenal sebagai petilasan Syekh Maulana Maghribi. Nama Wonobodro juga memiliki arti yang berkaitan dengan sejarah tempat tersebut.
Wonobodro terdiri dari kata “Wono” yang berarti “hutan” dan “Bodro” yang berarti “usaha untuk mencapai tataran kemuliaan hidup”. Jadi Wonobodro secara harfiah dapat di artikan “hutan tempat orang-orang melakukan laku tertentu untuk mencapai tataran kemuliaan hidup”.
Kemuliaan hidup (Kamulyan) merupakan bagian dari budaya masyarakat Jawa dalam menyikapi kehidupan ditengah masyarakat umum.
Pada jaman dahulu, orang-orang yang di anggap mulia (mulyo) hidupnya adalah para pemangku jabatan/kekuasaan yang mendapatkan penghormatan tinggi dari masyarakat.
Untuk mencapai kedudukan yang tinggi (mulia), seperti Raja, Pejabat Kerajaan, Adipati, Lurah, Guru Spiritual, dan sebagainya, maka orang Jawa akan melakukan laku (tindakan) tertentu yang disebut “tirakat”, misalnya dengan melakukan puasa, mengurangi makan/minum, mengurangi tidur, mengurangi kesenangan, mengasingkan diri ditempat-tempat sunyi seperti didalam goa, gunung, hutan atau bahkan bertapa selama kurun waktu tertentu.
Hal itu dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta agar apa yang dicita-citakan dapat terwujud.
Berdasarkan namanya, kemungkinan Wonobodro dahulu merupakan kawasan hutan yang sering dijadikan sebagai tempat untuk melakukan “bebadran”.
Wonobodro sering dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah, bukan hanya dari wilayah Batang dan sekitarnya saja tapi juga dari luar kota bahkan dari luar pulau juga banyak yang datang ketempat ini untuk berziarah atau untuk ngalap berkah, terutama pada bulan Suro.
Di desa Wonobodro terdapat areal pemakaman kuno yang menurut cerita turun-temurun dari penduduk setempat adalah pesarean (pemakaman) para Aulia pengikut Syeh Maulana Maghribi.
Berbeda dengan situs Ujung Negoro yang hanya merupakan petilasan Syeh Maulana Maghribi, situs Wonobodro bukan hanya sekedar petilasan, melainkan tempat pemakaman. Artinya, para pengikut Syekh Maulana Maghribi tidak hanya sekedar beristirahat dalam perjalanan dakwahnya, tapi juga bermukim hingga wafat di tempat ini.
Di area pesarean Wonobodro juga tidak hanya terdapat satu makam saja, tapi ada banyak makam, jadi kemungkinan dahulu tempat tersebut merupakan sebuah komplek pemakaman. Penduduk setempat menyebutnya komplek makam Aulia Wonobodro.
Hampir sepanjang tahun banyak peziarah dari berbagai wilayah di tanah air berdatangan ke komplek pesarean Wonobodro, sehingga kemudian oleh pemerintah desa Wonobodro di adakan haul tahunan yang diselenggarakan setiap bulan Muharram sekitar tanggal 11 sampai 13.
Pemerintah Kabupaten Batang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga memasukkan Komplek Makam Aulia Wonobodro sebagai salah satu tempat wisata ziarah andalan di Kabupaten Batang.
Keberadaan Komplek Makam Aulia Wonobodro membuktikan bahwa dakwah Islam di Nusantara pada waktu itu, khususnya di Jawa Tengah tidak terlepas dari peran para aulia pengikut Syekh Maulana Maghribi.
Mohon sertakan link sumbernya om. Terima kasih
BalasHapus