Pada Pemerintahan Sang Prabu Jayabaya di Kerajaan Kediri ditulislah Kitab Bharatayuda oleh dua Pujangga Keraton yaitu Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Biasanya Kitab apapun itu hanya ditulis oleh seorang Pujangga saja, namun kali ini oleh dua Pujangga Keraton. Apa sebabnya?
Di Pasewakan Agung Kerajaan Kediri Sang Prabu Jayabaya duduk di Singgasana gading dihadap para Nayaka Praja antara lain Patih, para Bupati, para Tumenggung dan seluruh Pejabat Istana yang memenuhi ruang pasewakan. Semua duduk dengan menundukkan kepala dan diam seribu bahasa sambil menunggu sabda Sang Prabu.
Setelah Sang Prabu berdialog dengan Patih dan para Bupati serta para Tumenggung dipangginyalah Mpu Sedah mendekat.
“Sedah, bocah bagus silakan maju ke depan. Jangan sungkan karena kamu abdi saya yang paling saya kasihi.”
“Mohon maaf Paduka, karena kami sudah berani ikut menghadap dalam pisowanan agung ini.”
“Apakah ada yang perlu kamu sampaikan kepada saya?”
“Mohon ampun Paduka, hamba merasa bingung dan tidak sanggup lagi untuk meneruskan menerjemahkan Kitab Bharatayuda.”
“Lho, apa yang menjadi penyebanya? Apakah kehabisan daun lontar? Kan tinggal minta saja ke perbendaharaan kraton.”
“Bukan masalah itu Sinuwun. Tapi hamba merasa berat untuk mengutarakannya.”
“Tidak apa-apa. Jangan sungkan-sungkan kalau memang itu untuk kelancaran penulisanmu.”
“Sendika Sinuwun, yang menyebabkan terhentinya tulisan hamba ketika hamba ingin menggambarkan kecantikan Dewi Setyawati saat akan berpisah dengan Prabu Salya untuk maju ke medan perang Kurusetra.”
“Apakah saudaramu Panuluh tidak bisa membantu kesulitanmu itu?”
“Adi Panuluh belum lama berkecimpung dalam kesusasteraan ini Sang Prabu. Hamba kawatir kalau kurang teliti bisa berakibat cacatnya penerjemahan tersebut.”
Prabu Jayabaya terdiam sejenak mengingat penulisan Kitab Bharatayuda itu sangat penting karena kitab itu menggambarkan kemenangan Prabu Jayabaya atas Kerajaan Daha.
“Jadi apa yang bisa melancarkan penulisan ini sehingga tidak terhenti?”
“Penerjemahan hamba bisa lancar kembali kalau diberikan contoh sebagai model Dewi Setyawati.”
“Baik Sedah. Lalu apakah ada wanita di Kerajaan Kediri ini yang mirip dengan Dewi Setyawati?”
“Sekali lagi mohon ampun Paduka, menurut pemikiran hamba hanya isteri Paduka Dewi Ambar yang mirip dengan Dewi Setyawati.”
Terhenyak Prabu Jayabaya mendengar penuturan Mpu Sedah tersebut, karena Dewi Ambar adalah selir Sang Prabu yang sangat cantik dan menjadi selir kesayanagan Sang Prabu.
Tetapi mengingat penerjemahan Kitab Bharatayuda itu sangat penting untuk pribadi Sang Prabu maka diijinkannya Dewi Ambar sebagai model untuk menggambarkan kecantikan Dewi Setyawati.
Mpu Sedah adalah pemuda yang tampan, perkasa dan cerdas sehingga dipanggil ke dalam Keraton untuk menerjemahkan Kitab Bharatayuda yang diambil dari Kitab Mahabharata dari India kedalam Bahasa Jawa Kuna.
Sesungguhnya Mpu Sedah yang tinggal di Desa Medang sudah menjalin asmara dan saling mencinta serta bersumpah setia sehidup semati dengan Dewi Ambar putri Akuwu Medang. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, karena kecantikan Dewi Ambar sudah terkenal di seluruh Kerajaan Kediri dan terdengar pula oleh Sang Prabu Jayabaya, akhirnya diambil selir oleh Sang Prabu.
Tidak seorangpun yang bisa dan berani menolak kehendak Sang Prabu, dan sesungguhnya Sang Prabu Jayabaya juga tidak tahu kalau Dewi Ambar sudah menjalin asmara dengan Mpu Sedah.
Pagi hari ketika matahari baru saja terbit sepanjang galah, datanglah kereta kerajaan dan berhenti di depan Kapujanggan tempat Mpu Sedah tinggal.
Dari dalam kereta turunlah seorang wanita yang sangat cantik mengagumkan bak Dewi turun dari Kahyangan. Ternyata Sang Dewi itu memang Dewi Ambar yang baru datang dari Keputren.
Sang Prabu Jayabaya mengijinkan Dewi Ambar untuk datang ke Kapujanggan pada pagi hari dan sorenya kembali ke Keputren.
“Hamba menghaturkan selamat datang di Kapujanggan ini Sang Putri.”
“Ah Kakang Sedah, mbok ya jangan begitu ta.”
“Lho sekarang Sang Dewi sudah menjadi selir Sang Prabu, tentu bahagia sekali berada disampingnya serta dikelilingi para dayang.”
“Kakang Sedah, meski kini aku menjadi selir Sang Prabu namun hatiku tetap milikmu.”
Betapa berbunga-bunga hati Mpu Sedah mendengar penuturan Sang Dewi yang ternyata masih mencintainya dengan tulus. Dipegangnya tangan Sang Dewi dan diremas-remas jarinya sebagai pengobat rindu karena sebenarnya Mpu Sedah sudah kehilangan harapan samasekali.
Penuturan Sang Dewi bagaikan air telaga yang bening menyejukkan batin Mpu Sedah yang sudah mengering.
Setiap hari Dewi Ambar datang dan pergi ke Kapujanggan tempat Mpu Sedah menulis lontar, sehingga karena begitu haus dan saling merindukan maka lupalah mereka akan kedudukan masing-masing dan terjadilah cinta terlarang.
Setelah tujuh hari Dewi Ambar berperan sebagi model gambaran kecantikan Dewi Setyawati maka seorang prajurit Kajineman atau prajurit sandi melihat kejadian yang tak diduganya dan dianggap sebagi pelanggaran kesusilaan yang berat. Segrea prajurit sandi tersebut melapor kepada Sang Prabu apa yang dilihatnya.
Bukan main gusar dan amarah Sang Prabu Jayabaya kepada Mpu Sedah yang sudah diberi kepercayaan begitu besar serta sangat disayanginya ternyata mengkhianati Sang Prabu.
Segera dipanggilnya Mpu Sedah dan Dewi Ambar dan selanjutnya keduanya dijatuhi hukuman mati atas perbuatannya. Pada waktu itu Sedah yang baru 25 tahun.
Meskipun terbukti bersalah, Sedah enggan berlutut apalagi memohon ampun. Sambil tersenyum di depan algojo pancung, Sedah berdiri dan mengatakan bahwa hati Dewi Ambar adalah miliknya. Yang dimiliki Jayabaya hanyalah tubuhnya. Sedah tewas tanpa penyesalan.
Selanjutnya, Mpu Panuluh yang sebelumnya nggak sanggup mengerjakan Barathayudha diperintahkan untuk mengerjakan bagian yang ditinggalkan Sedah. Jadi, bagian babak permulaan sampai tampilnya Prabu Salya ke medan perang merupakan karya Mpu Sedah, sementara sisanya adalah karya Mpu Panuluh. Pada 6 November 1157 karya ini selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar