عن أبي هريرة رضي الله عنه أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال : ليست السّنة بأن لا تُمطَروا ولكن السّنة أن تُمطروا وتُمطروا ولا تُنبت الأرض شيئا – رواه مسلم
“Diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Bukanlah kemarau yang sesungguhnya (al-sanah) adalah bahwa kalian tidak diberi hujan, melainkan kemarau yang sesungguhnya adalah kalian diberi hujan, kemudian lagi-lagi diberi hujan, tetapi tidak tumbuh apapun di bumi’” (HR. Muslim)
Hadits ini mengangkat tentang kekeringan dan musibah kemarau yang akan melanda manusia di akhir zaman yang katastrofik dan penuh krisis ekologis. Imam Muslim meletakkan hadits ini di bab “tanda-tanda kiamat dan fitnah” dalam kitabnya “Shahih Muslim”. Namun, hadits ini mengandung pelajaran lingkungan hidup yang penting, di samping memberi alamat “tanda-tanda zaman” yang benar akan terjadi, karena keluar dari pengetahuan kenabian.
Tanda kemunculan Dajjal akan didahului dengan peristiwa kemarau panjang. Bumi akan mengalami kekeringan selama tiga tahun. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam:
عن أبي أمامة أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال “إن قبل خروج الدجال ثلاث سنوات شداد، يصيب الناس فيها جوع شديد، يأمر الله السماء في السنة الأولى أن تحبس ثلث مطرها، ويأمر الأرض أن تحبس ثلث نباتها، ثم يأمر السماء في السنة الثانية فتحبس ثلثي مطرها، ويأمر الأرض فتحبس ثلثي نباتها، ثم يأمر السماء في السنة الثالثة فتحبس مطرها كله، فلا تقطر قطرة، ويأمر الأرض فتحبس نباتها كله، فلا تنبت خضراء، فلا يبقى ذات ظلف إلا هلكت؛ إلا ما شاء الله ، قيل: فما يعيش الناس في ذلك الزمان؟ قال: التهليل والتكبير، والتحميد، ويجزئ ذلك عليهم مجزأة الطعام” وصححه الألباني في صحيح الجامع.
Artinya: "Sesungguhnya sebelum keluarnya Dajjal adalah tempo waktu tiga tahun yang sangat sulit, pada waktu itu manusia akan di timpa oleh kelaparan yang sangat. Allah memerintahkan kepada langit pada tahun pertamadarinya untuk menahan 1/3 dari hujannya dan memerintahkan kepada bumi untuk menahan 1/3 dari tanamannya. Kemudian Allah memerintahkan kepada langit pada tahun kedua darinya agar menahan 2/3 dari hujannya dan memerintahkan bumi untuk menahan 2/3 dari tanamannya. Kemudian pada tahun ketiga darinya Allah memerintahkan kepada langit untuk menahan semua air hujannya, sehingga ia tidak meneteskan setitik airpun dan memerintahkan bumi agar menahan seluruh tanamannya, maka setelah itu tidak tumbuh satu tanaman hijau pun dan semua binatang berkuku akan mati kecuali yang tidak di kehendaki Allah. Para Sahabat bertanya: "Dengan apa manusia akan hidup pada masa itu?" Beliau menjawab: "Tahlil, Takbir, Tasbih dan Tahmid akan sama artinya bagi mereka dengan makanan." (HR Ibnu Majah, Al-Hakim. Lihat Ash-Shahihah)
Pada masa itu bumi kering kerontang, semua pepohonan meranggas dan langit bersih tidak bermendung sehingga banyak manusia dan binatang mati kelaparan.
Bahkan banyak tanah yang berubah menjadi merah seperti merahnya batu bata dan tembaga. Manusia pun dalam keputus-asaan karena tida bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Saat menghadapi masa-masa sulit itu, Rasulullah SAW menganjurkan orang-orang mukmin untuk bersabar, bertawakkal, bertaubat dan memperbanyak bacaan berikut:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
Subhanallahi, walhamdulillahi, wa laa ilaha illallahu, wallahu Akbar.
Para pengamat lingkungan hidup menyebut kekeringan terjadi karena dua faktor, alamiah dan sosial. Faktor alamiah adalah musim kemarau yang terlalu lama, di mana tidak turun hujan dalam jangka waktu lama, sehingga mengakibatkan kehabisan cadangan air tanah. Faktor ini cukup menimbulkan dampak kekeringan pada tanah dan hilangnya kesuburan (tandus). Namun, lebih banyak ternyata kekeringan terjadi karena faktor sosial, sehingga alam tidak satu-satunya dapat dipersalahkan.
Di antara faktor-faktor sosial itu adalah:
1- Minimnya resapan air karena minimnya pohon. Faktor ini didorong oleh tidak adanya penghijauan atau rusaknya areal hijau oleh eksploitasi.
2) Pemanfaatan air yang berlebihan sehingga menguras habis cadangan air tanah. Ini didorong oleh eksploitasi sumber-sumber air untuk kepentingan industri atau privatisasi. Termasuk dalam kategori ini, misalnya, pemanfaatan air untuk kepentingan industri Panas Bumi (Geothermal) yang tekniknya (disebut “fracking”) membutuhkan jutaan liter air untuk sekali injeksi, dan otomatis menguras cadangan air suatu wilayah.
3) Tandusnya sumber-sumber air, seperti sumur dan lain-lain, akibat sirkulasi air yang terganggu. Ini turut didorong oleh perusakan sumber-sumber air atau lapisan-lapisan bumi yang mengandung serapan air, seperti bentang karst. Eksploitasi karst atau gunung kapur untuk bahan baku semen atau produk tambang lain, turut menyumbang kekeringan atau potensi kekeringan.
Rasulullah memberikan isyarat tentang faktor sosial yang melatarbelakangi suatu bencana kekeringan dengan hadits di atas. Bencana kekeringan bukan terutama karena faktor minimnya hujan, tapi bumi yang tidak lagi mampu menumbuhkan tanaman, meski turun hujan berkali-kali. Bagaimana bisa terjadi? Ya, ketika tanah benar-benar kehilangan fungsinya sebagai resapan air hujan, dan ini akibat eksploitasi. Tapi ada juga faktor lain. Ketandusan tanah tak melulu soal hujan, tapi juga penurunan kualitas tanah sehingga tak lagi subur. Ini disebabkan oleh penggunaan pupuk kimiawi secara terus-menerus. Pengalaman Indonesia dengan “Revolusi Hijau”-nya rezim Soeharto kini menuai “hasil”: kualitas tanah yang terus memburuk akibat toksin kimiawi. Petani dibuat tergantung, membeli pupuk buatan korporasi, diasingkan dari benih ciptaannya sendiri. Siklus ini kini mulai disadari oleh para petani, yang mulai melawan dengan menggencarkan penggunaan pupuk organik.
Islam mengajarkan bahwa air hujan merupakan suatu rahmat, karenanya umat Islam diperintahkan untuk shalat mohon hujan (istisqa’) ketika terjadi bencana kekeringan. Namun dalam suasana ketika krisis ekologis mencapai batas ekstrem, air hujan pun belum tentu mampu menjadi solusi bencana suatu wilayah. Air itu bahkan dapat menjadi petaka (banjir). Rahmat dapat berubah seketika menjadi bencana (bala’). Ulah para penguasa yang mengizinkan konsesi-konsesi eksploitatif atas sumber-sumber air (penggundulan gunung, penambangan karst, penambangan sungai dan wilayah sempadan air, dst.) memberi kontribusi besar dalam mempercepat meluasnya bencana. Para penguasa semacam itu – dan para pemodal di baliknya – adalah bencana itu sendiri. “Wal ‘iyadzu billaah”.
(Risalah ini dipersembahkan untuk ribuan rakyat Indonesia yang hari-hari ini menghadapi kekeringan di Jawa Tengah, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, NTB, NTT dan lain-lain.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar