Translate

Rabu, 10 Juni 2015

Sejarah di Pulau Bawean Gresik

Bawean adalah sebuah pulau yang terletak di Laut Jawa, sekitar 80 Mil atau 120 kilometer sebelah utara Gresik. Secara administratif sejak tahun 1974, pulau ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur di‎mana tahun sebelumnya sejak pemerintahan kolonial pulau Bawean masuk dalam wilayah Kabupaten Surabaya. Belanda (VOC) masuk pertama kali ke Pulau ini pada tahun 1743.‎

Bawean memiliki 2 kecamatan yaituSangkapura dan Tambak. Jumlah penduduknya sekitar 70.000 j‎iwa yang merupakan pembauran beberapa suku yang berasal dari pulau Jawa, Madura, Kalimantan ‎Sulawesi dan Sumatera termasuk budaya dan bahasanya. Penduduk Bawean kebanyakan memiliki mata pencaharian sebagai nelayan atau petani selain juga menjadi pekerja diMalaysia dan Singapura, sebagian besar di antara mereka telah mempunyai status penduduk tetap di negara tersebut, selain di kedua negara itu penduduk bawean juga menetap di Australia d‎an Vietnam. E‎tnis mayoritas penduduk Bawean adalah Suku Bawean, dan suku-suku lain misalnya Suku Jawa, Madura, Bugis,Mandar,Mandailing,Banjar. ‎danPalembang.

Bahasa pertuturan mereka adalah bahasa Bawean. Bukannya bahasa Madura seperti yg dimaklumkan sebelum ini. Di Malaysia dan Singapura, penyebutan suku ini berubah menjadi Boyan. Mereka menyebut diri mereka orang Boyan, m‎aksudnya orang Bawean.‎

Tokoh yang berasal dari Pulau Bawean yaitu Pahlawan Nasional Harun Thohir, Yahya Zaini, Syekh Zainuddin dan beberapa lagi yang keturunan bawean seperti Noh Alam Shah, Mahali Jasuli. ‎Datuk Aziz Sattar.‎

Kata Bawean berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti ada sinar matahari. Menurut legenda, sekitar tahun 1350 s‎ekelompok pelaut dari Kerajaan Majapahitterjebak badai di Laut Jawa dan akhirnya terdampar di Pulau Bawean pada saat matahari terbit.

Nama BAWEAN muncul pada abad ke 13, nama ini di berikan oleh Prajurit Majapahit (salah satu kerajaan terbesar di nusantara) yang berlabuh di bawean setelah kapalnya terkena badai dan menyebutnya BAWEAN yang di bahasa sansakerta berarti matahari terbit. Berdasarkan manuskrip yang ada di sangkapura, pulau bawean ini sebelumnya dikenal dengan sebutan Pulau Majdi karena bentuknya bundar seperti uang logam.

sebelum islam masuk ke pulau bawean, masyarakat bawean menganut paham animisme ( penyembah roh dan kekuatan gaib), hal ini bisa di telusuri dari cerita adu kesaktian antara Maulana Omar Mas’od VS Raja Babileono। Raja babileono seorang penyihir animisme yang sakti mandraguna

Namun berkat pertolongan Allah SWT Omar Mas’od bisa mengalahkan raja babileono।Ada juga yang menyebut BAWEAN = babi jadian, babian ===> ini hanyalah masalah pronounciation, karena bahasa bawean mendapat unsur pengaruh dari bahasa madura dimana huruf W dibaca menjadi B। terkenal cerita bahwa Raja Babileono adalah seorang raja yang gemar memelihara babi dan mempunyai ternak babi yang banyak sekali
sehingga raja Babileono dikenal juga dengan sebutan Raja Babi। pada masyarakat animisme memelihara babi sudah menjadi biasa, bahkan hewan babi itu juga disembelih dijadikan makanan । seperti pada masyarakat Dayak di Borneo yang masih memelihara.‎

Dalam kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa pulau ini bernama Buwun sedangkan dalam catatan Serat Praniti Wakya Jangka Jaya Baya penduduk Bawean bermula pada tahun 8 Saka dimana sebelumnya pulau ini tidak berpenghuni, Pemerintah Koloni Belanda dan Eropa pada abad 18 menamakan pulau ini dengan sebutan Lubeck,Baviaan,Bovian,Lobok Awal abad ke-16 tepatnya pada tahun 1501 agama Islam masuk ke Bawean yang dibawa oleh Sayyid Maulana Ahmad Sidik atau yang dikenal dengan nama Maulana Umar Mas'ud atau Pangeran Perigi sekaligus menjalankan tata pemerintahan di Pulau Bawean selanjutnya Pulau Bawean di pimpin oleh keturunan Umar Masud seperti Purbonegoro, Cokrokusumo dan seterusnya hingga yang terakhir Raden Ahmad Pashai. Pada tahun 1870-1879 Pulau Bawean menjadi Asistent Resident Afdeeling dibawah Resident Soerabaya pada masa inilah Pulau Bawean di bagi menjadi dua kecamatan yaitu kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak yang di pimpin oleh seorang Wedana dengan Wedana terakhir bernama Mas Adi Koesoema ( 1899-1903).


Bawean merupakan pulau kecil yang dikelilingi oleh pulau-pulau lain yang lebih kecil seperti Pulau Gili Barat, Pulau Gili Timur, Pulau Noko, Pulau Selayar, Pulau Nusa. Di Pulau Bawean terdapat dua Kecamatan, 30 desa dan sekitar 143 dusun (kampung). Dua kecamatan itu adalah Kecamatan Sangkapura yang terdiri dari 17 desa iaitu Pulangasih Sungairujing, Terta, Dissallam, Desa Sawahmulya, Kota Kusuma, Sungaiteluk, Patar Selamat, Gunung Teguh, Baliktetus, Daun, Kebun Teluk Dalam, Sidogedung Batu, Lebak, Pudakit Timur, Pudakit Barat, Komalasa, Suwari dan Deka-Tagung.
Kecamatan Tambak pula meliputi Desa Tambak, Teluk Jati, Dedawang(dhedhebeng), Gelam, Sokaoneng, Sukalila, Kalompang Ghubuk, Pakalongan, Tanjunguri, Grejek, Paromaan, Diponggo, Kepuh Teluk dan Kepuh Legundi.

Kesenian Bawean
Senjata tradisional orang Bawean adalah pedang. Pedang digunakan oleh Raja Bawean pada zaman dahulu seperti yang ada di Desa Kumalasa, dan Pendekar Pokolan menggunakan pedang dan pisau sebagai senjatanya. Pada zaman sekarang terkenal juga dengan Celurit kerana ada pengaruh dari Madura, bukan hanya di Bawean tapi di Jawa Timur celurit menjadi senjata khas. Seni pertahanan diri orang bawean adalah dinamakan ''POKOLAN",merupakan salah satu aliran pencak silat di nusantara. Pencak Silat yang ada di Jawa Timur dan Madura berasal dari pokolan Bawean. Pokolan Bawean seolah-olah seperti Silat Cekak Ustaz Hanafi di Malaysia tapi pokolan Bawean lebih mematikan, teknik pukulan tangan dengan cara menekuk jari tangan (orang bawean menyebutnya'Nyotok'/ 'Sotok'). Tidak digenggam seperti karate. Ini berfungsi untuk mematahkan tulang rusuk lawan. Pokolan Bawean kini berkembang di Singapore (Pencak Pokolan Bawean). Kesenian tradisional Bawean umumnya terpengaruh budaya Melayu dan Islam. Sebut saja seni balas pantun yang akrab di sebut Mandiling oleh orang Bawean ada juga Budaya khas orang Bawean yaitu"Makabin-kabin", ini adalah pernikahan adat orang Bawean yang dirayakan 7 hari 7 malam.

Islam Di Pulau Bawean
Bukan Maulana umar Mas'ud yang pertama menyebarkan Islam ke Bawean, ada Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim) yang lebih dulu menyebarkan Islam di Pulau Majedi (Bawean), kemudian ada Waliyah Zainab bersama suaminya Pangeran Seda Laut. Kemudian barulah Maulana Umar Mas'ud. Pada permulaan abad ke XVI (kira-kira tahun 1501 Masehi) datanglah ke Pulau Bawean seorang bernama Maulana Umar Mas'ud (nama asalnya adalah Pangeran Perigi). Beliau adalah cucu dari Sunan Derajat (Sayid Zainal Alim), iaitu anak yang kedua dari Susuhunan Mojoagung (Putera Sayid Zainal Alim yang tertua). Maulana Umar Mas'ud datang ke Pulau Bawean dari Pulau Madura. Beliau datang ke Madura bersama saudaranya yang bernama Pangeran Sekara. Pangeran Sekara ini menetap di Madura serta beristeri di sana ( di Arosbaya), sedangkan Pangiran Perigi (Maulana Umar Mas'ud) keluar dari Madura menuju ke arah utara sehingga sampai di Pulau Bawean dan mendarat di sebuah desa yang sekarang bernama Kumalasa. Konon menurut cerita, beliau datang ke Bawean dari Madura dengan menaiki seekor ikan. Pada mulanya setelah tiba di Pulau Bawean, Maulana Umar Mas'ud tidak langsung mengajarkan dan menyiarkan agama Islam, tetapi pertama yang beliau lakukan ialah bergaul dengan penduduk setempat dengan ramah tamah sehingga dalam pergaulan itu sudah tidak ada perasaan bahawa beliau adalah orang asing. Pergaulan beliau dengan orang-orang sekitar dusun yang beliau tumpang sangat erat sekali, sehingga semua orang yang beliau kenal menaruh kepercayaan kepada beliau. Apa lagi di dusun itu sudah lebih dahulu datang seorang muslim, namun kedatangannya tidak bermaksud dan tidak berfungsi sebagai mubaligh.
Tidak berapa lama kemudian Maulana Umar Mas'ud mendapat berita bahawa Pulau Bawean diperintah oleh seorang Raja yang menganut faham animisme. Raja itu sangat dipatuhi oleh rakyatnya sehingga rakyatnya pun mengikut kepercayaan yang dianuti Rajanya. Setelah Maulana Umar Mas'ud mendengar berita yang demikian itu, maka berangkatlah beliau menuju dusun Panagi, tempat kedudukan Raja Babileono memerintah. Maksud beliau mengunjungi Raja itu ialah akan mencari kebenaran berita yang diperolehinya. Dan apabila memang benar demikian, beliau akan mengajak dan menyeru Raja tersebut kepada Agama Islam. Kerana beliau berkeyakinan, apabila Raja itu nanti mahu memeluk Agama Islam, maka semua rakyatnya akan mengikuti pula. Al-kisah, setelah Maulana Umar Mas'ud tiba di Dusun Panagi dan berjumpa dengan Raja Babileono, benarlah berita yang beliau peroleh, bahwa Raja itu berkepercayaan Animisme.
Dalam pertemuan itu Maulana Umar Mas'ud dengan penuh kebijaksanaan mengajak dan menyuruh Raja memeluk Agama Islam. Ajakan dan seruan beliau ditolak oleh Raja dan sampai berulang-ulang Maulana Umar Mas'ud menyatakan maksudnya itu tetapi selalu ditolak oleh Raja. Akhirnya Raja Babileono mengajukan tentangan kepada Maulana Umar Mas'ud, bahawa beliau harus mengadu sakti dan kekuatan dengan Raja serta dengan syarat, bahawa siapa yang kalah harus tunduk dan patuh kepada yang menang. Tantangan dan syarat tersebut diterima oleh Maulana Umar Mas'ud. Kemudian ditentukan waktunya serta tempat diselenggarakannya adu sakti dan kekuatan itu. Pada waktu yang telah ditentukan maka berkumpullah semua pembantu Raja Babileono beserta rakyatnya yang ingin menyaksikan adu sakti dan kekuatan tersebut di sebuah lapangan yang sudah ditentukan pula. Raja dan Maulana Umar Mas'ud juga sudah berada di tengah-tengah lapangan. 

Sebagaimana lazimnya dengan keadaan kehidupan pemimpin-pemimpin masa dulu, demikian pula halnya dengan apa yang terjadi antara Raja Babileono dengan Maulana Umar Mas'ud. Adu sakti dan kekuatan yang terjadi antara keduanya berjalan demikian: Dengan kesaktian dan kekuatan ilmu batinnya, Raja Babileono merebahkan pohon kayu yang sangat besar tanpa alat dan bantuan sesiapapun. Raja mempersilakan Maulana Umar Mas'ud supaya menegakkan kembali pohon kayu yang sudah rebah itu. Semua yang hadir menunggu apa yang akan dilakukan oleh Maulana Umar Mas'ud dalam usahanya menegakkan kembali pohon itu. Maulana Umar Mas'ud berjalan dengan tenang menghampiri dan mendekati pohon besar yang tumbang itu dan menyapu sebahagian batang pohon tersebut dengan tangannya kemudian pohon itu bergerak dan tegak kembali seperti sediakala. Sekarang sampai giliran Maulana Umar Mas'ud. Beliau mengambil dan menghela seekor kerbau ke tengah-tengah lapangan. Kerbau itu beliau rebahkan dengan tongkat yang dibawanya. Setelah itu beliau mempersilakan Raja Babileono mengangkat dan membangunkan kerbau tersebut. Raja Babileono menghampirinya dan kemudian berusaha mengangkat dan membangunkannya. 

Usaha Raja sia-sia belaka. Berbagai cara dan kekuatan yang dia dilakukan, namun usahanya itu tidak membawa hasil sama sekali. Raja dipersilakan meminta bantuan para pembantunya oleh Maulana Umar Mas'ud untuk mengangkat dan membangunkan kerbau itu, tetapi usaha bantuan itu pun sia-sia juga. Akhirnya karena Raja Babileono sudah tidak berdaya lagi untuk mengangkat dan membangunkan kerbau tersebut sekali pun sudah dibantu pula oleh para pembantunya, maka Maulana Umar Mas'ud datang menghampiri kerbau itu dan dengan tongkatnya beliau mengangkat dan membangunkannya. Gemparlah keadaan sekitar tempat adu sakti dan kekuatan tersebut, kerana kekalahan yang diderita oleh Raja Babileono. 

Melihat kejadian semacam itu Raja Babileono tidak dapat menahan marah dan rasa malu akan kekalahannya dan ditambah pula harus tunduk dan patuh kepada Maulana Umar Mas'ud, sebagaimana persyaratan yang sudah dibuat, maka Raja Babileono menghunus pedangnya menyerang Maulana Umar Mas'ud. Tetapi dengan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, Maulana Umar Mas'ud dengan cepat dan tangkas menepis serangan itu, sehingga karena kerasnya tangkisan dan pukulan tongkat Maulana Umar Mas'ud yang mengenai pedang Raja, maka pedang itu berbalik. mengenai diri Raja Babileono sendiri. Beliau pun akhirnya meninggal dunia. Mayat Raja Babileono kemudian dibuang orang ke dalam laut. Dan dari situlah Maulana Umar Mas'ud menyebarkan Islam.
Makam Maulana Umar Mas'ud terletak tepat di Belakang Masjid Baiturrahman (Alun-alun) Kecamatan Sangkapura Bawean, dan nama beliau juga diabadikan menjadi sebuah nama Yayasan di Pulau Bawean.‎

Pemakaman Bersejarah di Bawean

Di pulau Bawean diyakini terdapat 99 gunung. Dari gunung sebanyak itu terdapat banyak sekali petilasan dan makam bersejarah.‎

Diantara makam-makam tersebut seperti makam Maulana Umar Masud, makam panjang di Tinggen, makam Purbonegoro, makam Waliyah Zainab, makam Jujuk Campa, makam Cokrokusumo dan makam-makam lain.
Jika makam-makam bersejarah tersebut dikelola dengan baik akan memberikan mamfaat baik secara batin (spiritual) maupun secara zahir (ekonomi).
Hal-hal teknis untuk mengelolah makam tersebut seperti perawatan makam, dirikan suatu bangunan yang unik atau mihrab di atasnya seperti makam-makam parawali lainnya. Disamping itu, tentu harus memberikan penerangan akan sejarah setiap tokohnya.
Pemberian catatan atau informasi tentang perjalanan hidup sang tokoh semasa hidupnya kepada para pengunjung. Selain itu, menyediakan tempat yang agak luas yang memungkinkan pengunjung bisa melakukan tirakat di sekitar makam tersebut.
Jika tempatnya indah bersih dan menarik serta ditunjang oleh pancaran sirr makam wali tersebut maka masyarakat umum, para pecinta spiritual dan ahli kebatinan akan berdatangan dari segala penjuru negeri.

Kubur Mas Bawang
Kubur Mas Bawang secara administratif terletak di Desa Teluk Dalam Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean. Kubur tokoh ini berada di tengah pekuburan umum Desa Teluk Dalam yang terletak di sisi Utara lapangan sepak bola.
Kubur atau makam tokoh ini nampak menonjol ditengah pekuburan umum. Pemberian bangunan berupa cungkup beratap seng yang menaungi kubur tokoh Mas Bawang dan kubur pendamping lainnya merupakan pembeda dari makam kebanyakan. Cungkup kubur tersebut tidak memiliki dinding pada keempat sisinya.
Di bagian luar cungkup terdapat pagar batu berbahan batu kali. Batu kali itu tertata meninggi hingga satu meter. Uniknya, dinding itu tidak menggunakan semen sebagai perekatnya. Pagar batu tersebut berdenah empat persegi panjang dengan lebar 5 M, panjang 13 M dengan tinggi 1 M.
Yang juga menarik dari kompleks kubur Mas Bawang ini adalah ditemukannya batu-batu nisan berbentuk gada dan berbagai hiasan di sekitar kubur tokoh.

Makam Jirat
Makam tokoh ini menjadi satu dengan empat makam lainnya. Letaknya di dalam cungkup. Makam Jirat tersebut juga menggunakan bahan batu kali yang tidak dibentuk dan di tata meninggi tanpa perekat.
Areal di dalam jirat tersebut lebih tinggi di bandingkan lantai halaman di dalam kompleks pagar. Jirat tersebut berdenah empat persegi panjang dengan memiliki ukuran panjang 323 cm dan lebar 173 cm dengan tinggi dari halaman kubur 24 cm.

Makam Embhe Rambheje
Secara administratif berada di wilayah Dusun Suwaritimur, Desa Suwari, Kecamatan Sangkapura. Letak makam tokoh ini di halaman belakang Masjid Suwari Timur yang dikelilingi desa. Untuk menuju ke lokasi kubur ini dari jalan lingkar Bawean yang melalui Desa Suwari, masuk melalui jalan desa yang telah diperkeras dengan beton cor sejauh 30 meter melalui desa. Diujung jalan masuk kita akan sampai ke Masjid Suwari Timur.
Makam Embhe Rambheje dikelilingi kuburan masyarakat Dusun Suwari Timur. Namun pekuburan ini saat ini telah tidak dipergunakan lagi. Makam Embhe Rambheje akan terlihat mencolok ditengah kuburan lainnya. Fitur sebagai pembeda dengan makam lainnya adalah ada pagar batu yang melingkari kubur ini.
Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Suwari, tokoh Embhe Rambheje adalah merupakan tokoh pembawa Agama Islam di desa tersebut. Melalui peran tokoh ini masyarakat Suwari akhirnya menjadi pemeluk Agama Islam. Sebagai tokoh yang mengajarkan syariat Islam, Embhe Rambheje juga mendirikan masjid Suwari Timur yang kini berada dalam satu kompleks dengan makam beliau.

Makam Kuna di Tambak
Makam atau Kubur kuna yang dimaksud di sini terletak ditepi jalan lingkar Bawean yang berhimpit dengan garis pantai. Secara administratif lokasi makam ini termasuk dalam wilayah administrasi Desa Pekalongan Kecamatan Tambak. Makam kuna ini berada di tengah pekuburan umum Dusun Tunjung Desa Pekalongan.
Saat ini makam kuna ini telah diberi bangunan cungkup dengan menggunakan kontruksi beton dengan atap asbes tanpa dinding yang merupakan bangunan baru. Jirat kuburnyapun telah ditinggikan dengan batako dengan lapisan semen. 
Keberadaan kubur kuna ini di Bawean baru ramai di bicarakan orang sejak tahun 1995-an. Menurut keterangan masyarakat sekitar, pada awalnya masyarakat sekitar dan Bawean pada umumnya kurang memperhatikan keberadaan kuburan tersebut. Namun seiring dengan semakin banyaknya peziarah yang datang dari Jawa ke makam tersebut, maka mulai berkembanglah cerita tentang keberadaan kuburan tokoh tersebut.
Berdasarkan keterangan peziarah dari Jawa yang kami temui di lokasi kuburan ini, menyatakan bahwa kuburan tersebut merupakan kuburan tokoh Sunan Bonang, salah seorang dari wali songo yang ada di tanah Jawa.
Menurut peziarah tersebut Sunan Bonang meninggal dan dikuburkan dilokasi ini dalam upaya beliau menyiarkan Agama Islam. Namun setelah diketahui oleh para santri dan pengikutnya yang berada di Tuban, mereka bermaksud untuk memindahkan kuburan Sunan Bonang dari lokasi di Bawean ke Kota Tuban.
Dalam upaya tersebut santri dan pengikut dari Tuban, tidak sepenuh niatan mereka berhasil dilaksanakan, karena yang berhasil dipindahkan hanyalah kain kafannya saja. Sedangkan jasadnya tidak bisa dipindahkan dari Bawean. Namun sebagian peziarah dari Jawa yang datang ke Bawean menyebutkan bahwa kubur Sunan Bonang memang di Bawean. Namun kubur tersebut bukan yang berada di Kecamatan Tambak ini. Melainkan berada di Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura yang di Bawean dikenal dengan Jujuk Tampo.
Peninggalan arkeologi yang menarik disekitar kuburan di Bawean ini adalah ada 4 buah nisan bergaya bentuk gada dan 2 buah berbentuk pipih yang menggunakan bahan batu andesit. Meskipun kuburan tersebut hanya dikenal sebagai kuburan para santri tokoh utama di kompleks ini, gaya bentuk nisannya merupakan peninggalan arkeologi yang cukup langkah khususnya wilayah Bawean yang masih wilayah Kabupaten Gresik itu.

Kubur KH Fahruddin
Kubur tokoh ini di pekuburan umum Dusun Pakalongan Temor Desa Pakalongan Kecamatan Tambak. Kubur ini tidak memiliki bangunan cungkup.
Tidak seperti umumnya kuburan Islam, pada kubur tokoh ini tidak ditemukan unsur nisan yang biasanya didirikan dalam struktur jirat yang mengelilinginya. Pada kubur ini hanya ditemukan struktur jirat yang menggunakan bahan fosil karang.
Pada bagian kepala dan kaki kuburan, bentukan jiratnya meninggi dengan pola bangun setengah lingkaran menyerupai gunungan.

Makam KH Khatib
Makam KH Khatib berada di tengah pekuburan umum Desa Pakalongan Kecamatan Tambak. Makam ini tidak memiliki bangunan cungkup dan terkesan tidak berbeda dengan kuburan umumnya yang ada ditempat tersebut. Jirat dan nisan kuburnya telah direhab oleh pihak keluarga yang kini dilapisi dengan keramik modern.
Berdasarkan cerita tutur yang ada di masyarakat Bawean, tokoh ini merupakan orang pertama yang membawa dan mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama 'di Pulau Bawean.
Beberapa kalangan dari pemimpin wilayah NU Jawa Timur menyatakan bahwa KH Khatib merupakan salah seorang kyai yang masa hidupnya sejaman dengan KH Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang. Bersama Hasyim Asy’ari, beliau aktif sebagai salah seorang perintis pendiri Nahdlatul Ulama '.

Makam Waliyah Zainab
Makam ini terletak di Desa Diponggo Kecamatan Tambak Pulau Bawean, di kaki bukit yang jaraknya dari pantai sekitar 350 M. Kubur ini di halaman belakang masjid Desa Diponggo yang konon katanya masjid ini didirikan oleh Waliyah Zainab.
Cungkup kubur ini telah direhab oleh masyarakat setempat yang saat ini berdinding tembok dengan kontruksi beton cor beratap genteng. Jirat kubur sebagai unsur yang masih merupakan peninggalan arkeologi, menggunakan bahan batu kapur Gresik yang dibentuk persegi empat.
Jirat kubur ini bentuknya mengesankan adanya kesamaan dengan beberapa jirat kubur yang ada di Gresik meskipun dalam bentuk dan ornamen yang jauh lebih sederhana.
Tokoh Waliyah Zainab menurut cerita yang berkembang di Bawean adalah merupakan istri kedua dari Sunan Giri yang bernama Dewi Wardah. Dewi Wardah merupakan putri Sunan Bungkul di Surabaya yang diperistri berkat penemuan buah delima oleh Sunan Giri dalam sebuah sayembara.
Namun Dewi Wardah merasa kurang bahagia menjadi istri kedua dari Sunan Giri, sehingga ia memilih untuk menetap di Bawean sebagai kader penyiar Agama Islam.

Kubur Jujuk Tampo
Kubur ini terletak di Dusun Tampo Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean Kabupaten Gresik. Kubur tokoh yang bernama Jujuk Tampo ini berada diatas sebuah struktur batu alam yang ditata sedemikian rupa berbentuk meninggi dengan 3 buah teras undakan. Pada setiap inti undakan memiliki bidang datar yang cukup luas, di teras ketiga teratas ditemukan dua buah kuburan dengan dua pasang nisan yang salah satunya dikenal dengan kubur Jujuk Tampo.
Hingga saat ini tidak ditemukan data yang bisa menerangkan tentang identitas sang tokoh yang dikubur ditempat tersebut secara valid. Keterangan warga setempat hanya menceritakan tentang kejadian proses meninggalnya sang tokoh Jujuk Tampo. Meninggalnya tokoh Jujuk Tampo adalah akibat dibunuh oleh orang dari Desa Patar Selamat yang menuduh Jujuk Tampo sebagai pencuri sapi milik warga Patar Selamat yang hilang. Karena tuduhan tersebut tidak terbukti kebenarannya, seluruh warga Patar Selamat dikutuk agar tidak berziarah ke kuburan beliau. Bila ada warga Patar Selamat yang melanggar sumpah tersebut, maka di Bawean akan terjadi hujan deras dalam beberapa hari.
Tidak adanya data arkeologi dan sejarah yang bisa menjelaskan tokoh yang dikubur dengan julukan Jujuk Tampo tersebut telah pula melahirkan cerita baru yang menghubungkan Jujuk Tampo dengan Laksamana Ceng Hoo? Saya sendiri tidak menemukan data tentang hubungan diantara keduanya setelah saya baca buku yang baru terbit di tahun 2008 ini. Bukankah intuisi tidak termasuk dalam metodologi ilmu.

Makam Mbhe Ghuste
Makam Mbeh Ghuste berada di punggung bukit yang termasuk dalam wilayah Desa Komalasa Kecamatan Sangkapura. Kubur tersebut merupakan kuburan tunggal yang disekelilingnya berupa semak belukar. Untuk menuju lokasi kuburan tokoh ini dari jalan Desa Komalasa yang telah bisa dilalui kendaraan bermotor, kita masih harus berjalan kaki melalui jalan setapak yang terjal berbatu ditengah semak belukar yang tinggi.
Makam Mbeh Ghuste tidak memiliki bangunan cungkup. Sebagai penanda keberadaan kuburan ini. Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Desa Komalasa, Mbeh Ghuste dikenal sebagai salah seorang kader Agama Islam yang awal di Desa Komalasa Pulau Bawean. Selain itu tokoh ini dikenal sebagai seorang tabib yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengobati penyakit. Konon lebih dari 41 macam penyakit yang bisa diobati oleh tokoh ini. Namun keterangan lebih jauh tentang asal dan masa hidup tokoh tersebut tidak ditemukan dalam cerita tutur maupun data sejarah.

Makam Mbhe Rato
Kubur ini berada di pekuburan umum Desa Dheun yang terlentak di tepi jalan lingkar Pulau Bawean. Keletakan tersebut menjadikan kuburan ini sangat mudah untuk di kunjungi. Secara administratif kubur ini termasuk dalam wilayah Dusun Dheuneler, Desa Dheun Kecamatan Sangkapura.
Berdasarkan cerota tutur yang berkembang di masyarakat Dheun, disebutkan bahwa tokoh Mbhe Rato saat hidupnya merupakan pemimpin atau penguasa lokal yang sekarang seperti kepala desa di wilayah Dheun.

Makam Jujuk Neisela
Makam Jujuk Neisela ini berada di lokasi yang hingga kini masih sangat sulit untuk didatangi. Keletakan kubur ini yang berada di punggung gunung dengan akses jalan yang hanya berupa jalan setapak pencari rumput yang sangat jarang di lalui, menyebabkan kesulitan untuk menenukan lokasi kubur ditengah rimbun semak-semak. Secara administratif kubur ini termasuk dalam wilayah Dusun Bhelibhekeler, Desa Balikterus Kecamatan Sangkapura, yang keletakan desanya berada dibagian tengah Pulau Bawean yang berbukit-bukit. Makam ini tanpa dilengkapi dengan bangunan cungkup.
Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Bawean, khususnya di Desa Balikterus, menyebutkan bahwa tokoh Jujuk Neisela merupakan salah seorang khadam atau pembatu Waliyah Zainab atawa Dewi Wardah yang meninggal dalam perjalanan pengungsi sebelum akhirnya Waliyah Zainab menetap di Desa Diponggo.

Makam Purbonegoro
Letak makam Purbonegoro berada di kaki bukit Malokok yang termasuk dalam wilayah Desa Gunungteguh Kecamatan Sangkapura. Lokasi kuburan Purbonegoro merupakan pekuburan umum untuk masyarakat sekitar lokasi dan lokasi penguburan bagi mereka yang masih memiliki hubungan darah atau keturunan Purbonegoro.
Untuk menuju kelokasi kuburan ini cukup mudah karena keletakannya yang masih berada dalam kawasan kota Kecamatan Sangkapura.
Halaman cungkup kubur Purbonegoro yang merupakan kaki bukit Malokok dibuat berundak lima. Setiap undakan diberi dinding talud yang menggunakan batu koral yang dibentuk persegi empat panjang tanpa diberi perekat. Empat dinding talud terbawa, saat ini hampir seluruh bagiannya sudah tertimbun tanah. Sedangkan dinding talud teratas yang sekaligus terhubung dengan pagar, hingga kini masih dapat teramati walaupun pada banyak bagiannya telah runtuh.
Kondisi bangunan cungkup tersebut dalam kondisi rusak berat. Didalam bangunan cungkup pertama tersebut terdapat 2 buah bangunan cungkup kedua dan 7 buah kuburan. Cungkup kedua yang berada didepan pintu masuk cungkup pertama merupakan cungkup kedua kubur Purbonegoro. Kedua cungkup kubur tersebut menggunakan bahan kontruksi kayu yang meskipun kini dalam kondisi rusak berat dan fragmentaris, namun masih menampakkan kemegahan bentuk dan hiasannya.
Begitupula dengan jirat dan nisan kubur yang lainnya, juga menggunakan bahan kayu dengan pola hias yang kompleks yang kini dalam kondisi rusak berat. jirat kubur Purbonegoro menggunakan bahan kayu dengan pola hias suluran bunga teratai yang memenuhi hampir seluruh bidang badan jirat yang berundak dua.
Nisan ini memiliki hiasan antefik pada keempat sudut pinggangnya. Sisi pinggir nisan diberi hiasan suluran tumbuhan yang mengelilingi bingkai persegi lima. Di dalam bingkai segi lima sisi dalam nisan terdapat kaligrafi yang menyebutkan wafatnya Panembahan Adi pada hari senin, Tanggal 11 Jumadil Akhir Tahun Alif. Sedangkan pada sisi luar nisan di dalam bingkai segi lima diberi hiasan suluran tumbuhan yang memenuhi bidang. Nisan ini memiliki ukuran lebar 23 cm, tebal 17 cm, tinggi 47 cm dengan jarak antar nisan sejauh 122 cm.
Berdasarkan data lisan dan sejarah yang ada di Bawean, Purbonegoro merupakan keturunan Umar Mas'ud yang menjadi penguasa ke-enam dengan gelar pangeran yang pemerintahannya berlangsung antara tahun 1720-1747 M. Data sejarah dan lisan tersebut berbeda dengan inskripsi yang tertulis di nisan.


Makam Syech Maulana Umar Mas'ud
Tokoh Umar Mas'ud yang dalam tradisi lisan dan tulis masyarakat Bawean dikenal sebagai penyebar Agama Islam di Bawean, terletak di dalam kompleks Masjid Jamik Sangkapura yang konon masjid tersebut didirikan oleh Umar Mas'ud. Secara administratif kubur ini termasuk kedalam wilayah Desa Kotakusuma Kecamatan Sangkapura yang menempati lokasi di sisi Barat Alon-alon kota Kecamatan Sangkapura.
Kubur Umar Mas'ud berada di sisi belakang kompleks Masjid Jamik dengan pagar pembatas yang menyatu dengan pagar masjid. Sebuah cungkup yang telah direnovasi dan kini cungkup tersebut berdinding tembok semen baru menaungi dua buah kuburan, yakni kubur Umar Mas'ud beserta istrinya.
Nisan kuburan yang kini terpasang pada jirat merupakan nisan baru yang menggunakan bahan kayu jati. Sedangkan dua pasang nisan asli dari dua buah kuburan tokoh ini masih tersimpan di dalam bangunan cungkup dalam kondisi utuh dan baik.
Tokoh Umar Mas'ud dalam sejarah Paulau Bawean dikenal sebagai tokoh penyiar agama Islam yang datang ke Bawean dan mengalahkan penguasa Bawean dikala itu yang bergelar Raja Babi sebagai raja Kerajaan Lubek dalam sebuah duel. Setelah berhasil mengalahkan Raja Babi yang seketika itu meninggal dunia, Umar Mas'ud mengangkat dirinya sebagai penguasa Pulau Bawean dan memindahkan pusat kekuasaan dan pemerintahannya dari Panagih di Desa Lebak ke Bengko Dhelem yang kini berada di Dusun Dejebheta Desa Sawahmulya.
Dimasa pemerintahannya ini Umar Mas'ud mendirikan Kota Sangkapura dengan konsepsi kota Islam Jawa yang diadaptasi dengan kondisi geografis setempat. Bentuk adaptasi konsepsi tata kota Islam Jawa tersebut nampak dari penempatan keraton pusat pemerintahan yang di Bawean dikenal dengan Bengko Dhelem di sisi Utara Alon-alon dan pasar di sisi Selatan Alon-alon. Sedangkan masjid Jamik tetap berada di sisi Barat dari Alon-alon.
Pemerintahan Umar Mas'ud di gantikan oleh anak keturunannya pada saat beliau wafat pada tahun 1630M yang kehilangan kedaulatannya sehubungan dengan naiknya kembali kekuatan pemerintah di tanah Jawa pasca Majapahit.

Makam Cokrokusumo
Menurut wilayahnya, makam Cokrokusumo masuk dalam Desa Sungaiteluk Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean. Lokasi makam ini berada ditepi persimpangan jalan kecamatan yang telah beraspal, sehingga kuburan ini cukup mudah untuk di kunjungi. Kubur Cokrokusumo yang bagi masyarakat Sangkapura juga dikenal dengan nama Congkop Naghesare, dikelilingi oleh kompleks pekuburan besar yang terpisahkan oleh jalan kecamatan yang melintas ditengahnya.
Di dalam bangunan cungkup kubur ini terdapat beberapa kuburan tua. Tiga buah kuburan dari tokoh utama yang ada di dalam cungkup kubur ini diberi bangunan cungkup kedua. Cungkup kubur Cokrokusumo berada di bagian tengah yang diapit oleh dua cungkup lainnya.
Kaligrafi yang tertulis pada bagian sisi dalam nisan, memiliki isi yang berbeda antara nisan kepala dan nisan kaki. Kaligrafi pada nisan kepala berisi wafatnya Kanjeng Rahadian Tumenggung Purba Negara pada tanggal 29 Ramadhan 1235. Sedangkan pada nisan kaki menyebutkan wafatnya Kanjeng Rahadian Tumenggung Panji Cokrokusumo pada tanggal 29 Ramadhan 1285 Hijriyah.
Berdasarkan data sejarah yang ada di Pulau Bawean, tokoh Cokrokusumo merupakan keturunan Umar Mas'ud yang kemudian bertahta pada Bawean pada Tahun 1747 sampai 1789 M. ia kemudian menjadi penguasa ke lima sejak Pulau Bawean direbut oleh Umar Mas'ud yang sekaligus menjadi penyiar Agama Islam di Pulau Bawean  setelah mengambil alih kekuasaan dari raja animisme.


Riwayat terjadi nya Danau Kastoba
Danau Kastoba Merupakan Danau yang  Terletak di Desa Paromaan Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik Jawatimur yang berada di puncak ketinggian dan berada di tengah-tengah Pulau Putri Bawean. Dengan prasarana jalan setapak dan melewati keindahan rimbunan pohon-pohon raksasa berumur ratusan tahun.di tempat ini terdapat spesies satwa langka aneka serangga yang takkan mungkin sama jenisnya dengan serangga di pelosok negeri, sehingga lokasi ini mempunyai daya tarik luar biasa dan sulit dibandingkan dengan obyek wisata lainnya dan merupakan kenyamanan tersendiri bagi para pecinta alam.

Alkisah, pada zaman dahulu, Pulau Bawean masih bernama Pulau Majeti. Di tengah-tengah Pulau Majeti terdapat pohon besar dan anggun, tetapi rindang sehingga kalau seseorang berdiri di bawahnya akan dapat menjangkau sebagian daun pohon tersebut. Kala itu Pulau Majeti diperintah oleh Ratu jin yang berwibawa. Semua mahluk di daerah kekuasaanya tunduk kepadanya, baik mahluk halus maupun mahluk kasar.

Ratu jin di Pulau Majeti sangat termashur dan dikenal oleh Ratu-Ratu jin yang lain di Nusantara, ini karena di daerah kekuasaan Ratu Jin Majeti terdapat “pohon sakti” yg tdk dimiliki oleh ratu jin lain di mana pun di kepulauan Nusantara ini. Yang tiada lain adalah pohon besar dan rindang ditengah Pulau Majeti itu.

Karenanya dalam waktu tertentu, Ratu jin selalu mengubah kebijaksanaanya demi menyelamatkan pohon tersebut. Ratu juga ingin sekali melestarikan pohon kebanggaanya itu. Maka dipanggillah beberapa jin pengawal kerajaan. “wahai pengawalku!” “Ya Ratu!” “Coba kau jemput burung gagak jantan yg sedang berada di Pantai Ria,Desa Dekat Agung dan burung gagak betina yg ada di Pantai Mayangkara, Desa Ponggo!” “Hamba laksanakan Ratu!.” Demikian jawab pengawal kerajaan sembari menundukkan tubuhnya dan terus berangkat untuk memanggil ke dua burung gagak tersebut.

Setelah keduanya datang menghadap Ratu, maka sang Sang Ratu jin berkata… “Hai, Gagak! kamu berdua akan mendapat tugas baru yg berat, tetapi sangat mulia! bersediakah engkau?” “Dengan senang hati, Ratu” sembah kedua gagk itu. “Bagus. Memang hanya engkaulah yg dpt mlksanakan amanat ini. Apalagi selama ini kalian telah mengerjakan tugas-tugas kerajaan dengan sangat baik n berhasil” “Tugas gerangan apakah itu, Ratu?” tanya kedua gagak itu. “Begini. Engkau berdua sudah waktunya untuk mengetahui keadaan ini, karena engkau telah menjadi pegawai kerajaan berjabatan tinggi. Tapi, sebelumnya saya ingatkan janganlah kalian membocorkan “rahasia kerajaan” ini.” titah Ratu penuh harap, kemudian melanjutkan. “Kerajaan kita mempunyai pohon istimewa yg terdapat ditengah-tengah pulau ini.

Berkat pohon itulah kerajaan kita termashur dan disegani oleh kerajaan lainya. Segala bagian pohon itu amat berguna bagi kehidupan!” “oh ya?” sambung kedua gagak itu. “Akarnya, batangnya, dan rantingnya sebagai tumbal bencana alam, dan bahaya lain. Sehelai daunnya saja, bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan sgt ampuh daya sembuhnya. Bunganya juga dapat untuk kekebalan pemiliknya” “Hai, sakti amat!” “Nah, kewajibanmu sekarang adalah menjaga pohon itu serta bagianya. Berjagalah dengan disiplin atas segala gangguan dan ancaman,baik dari luar atau dari dalam kerajaan. waspadalah selalu ke udara,ke laut atau ke darat.

Jika ada mahluk asing yg mencurigakan, segeralah hubungi dan lapor pd penjaga istana” Kedua pohon gagak itu tidak menjawab, hanya memperhatikan dengan seksama instruksi-instruksi Ratunya. Betapa berat tugas yg dipikulnya. Namun mereka cukup bangga karena mendapat kepercayaan dan kehormatan dari Tuannya.

Hingga pada suatu hari, burung gagak menjumpai seorang pemuda buta yang sedang tertatih-tatih dan berusaha mencari obat demi kesembuhan kesua matanya. Melihat hal yang demikian sang gagak merasa iba dan kasihan kepada pemuda tersebut dan melanggar janji mereka kepada ratu jin.

“wahai pemuda buta, ambil daun pohon besar ini dan usapkan ke kedua matamu yang buta. Maka kau akan dapat melihat lagi”, kata gagak kepada pemuda buta tersebut. Akhirnya pemuda itu mnuruti perinah si gagak dan pemuda itu langsung sembuh, kedua matanya dapat melihat secara normal.

Ratu jin mendengar berita tersebut kemudian marah lalu mencabut pohon besar dan sakti yang berada di tengah-tengah Pulau bawean itu. Bekas dari cabutan pohon besar itulah kemudian menjadi sumber dan membentuk danau. Hingga saat ini danau itu masih asri, rindang dan tentunya masih ada kesan mistisnya. Danau itu terkenal dengan nama Danau Kastoba. ‎

5 komentar:

  1. ASSALAMU'ALAIKUM...
    bolehkah saya share sebagian artikel ini di blog sya khusus yang berkaitan dengan pulau bawean

    BalasHapus
  2. ijin share untuk anak cucu kita

    BalasHapus
  3. trims atas ulasannya bisa menambah refrensi kami untuk mengembangkan www.beritabawean.com

    BalasHapus
  4. Segenap Manajemen Bolavita Mengucapkan Selamat Merayakan Tahun Baru Imlek 2570

    Kongzili Semoga Di Tahun Babi Tanah Diberikan Rejeki Lebih Banyak
    Dibandingkan Tahun Sebelumnya

    WA : +62812-2222-995

    BalasHapus
  5. Saya dari malaysia dari suku bawean...bapa saya asal usulnye dari pulau bawean...saya mencari makam guru mati disihir itu kakek saya...kata bapa saya...belom pernah sampai lagi ke pulau bawean...inshaallah saya ingin cari keturunan saya

    BalasHapus