Translate

Kamis, 11 Juni 2015

Sejarah Majalengka dari Masa Kerajaan Talaga

Kabupaten Majalengka, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Majalengka. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di utara, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan di timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya di selatan, serta Kabupaten Sumedang di barat.
Kabupaten Majalengka terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Majalengka. Kantor Bupati terletak di Pendopo, selatan dari Alun-alun Majalengka berdekatan dengan Masjid Agung Al Imam.

Melacak jejak Kerajaan (Ketumenggungan) Talaga, juga sejarah Kabupaten Majalengka dan (sebelumnya) Kabupaten Maja. Tadinya masih ragu-ragu dengan keberadaan Kabupaten Maja dan Sindangkasih versus Majalengka. Dengan pelacakan itu, yakin seyakin-yakinnya (berdasarkan fakta sejarah) apa yang saya gali benar adanya, yakni bahwa Kabupaten Majalengka baru ada sejak adanya Kabupaten Maja (1819). Perubahan Kabupaten Maja menjadi Kabupaten Majalengka (1840) sekaligus pula mengukuhkan keyakinan tidak ada perubahan nama Kerajaan Sindangkasih menjadi Kerajaan Majalengka (zaman Pangeran Muhammad). Juga bahwa kota Majalengka baru ada sejak ibu kota Kabupaten Maja dipindahkan dari Maja ke bagian wilayah Sindangkasih, serempak dengan penamaan wilayah Sindangkasih tersebut (khusus yang jadi ibu kota) dengan nama Majalengka seperti nama kabupatennya.

Nama “maja lengka” berasal dari nama kuno yang dipakai (sinonim) untuk menyebut “maja pahit” atau “maja langu.” Maja lengka artinya maja pahit, buah maja yang pahit, karena ada juga buah maja yang manis (maja legi). Lengkit (leng dalam lengkap) artinya sama dengan pahit atau langu. Maja yang pahit itu berenuk (Crescentia cujete). Maja yang manis (maja legi atau maja batu atau Aegle marmelos) bisa dimakan dijadikan sirup, maja yang pahit (berenuk) tidak bisa dimakan, tapi biasa digunakan untuk obat malaria (sebelum kina ditemukan Junghuhn).

Dalam bahasa Sansekerta buah maja itu disebut  “bilva”, sementara pahit disebut “tikta” (lihat kamus Inggris-Sansekerta online). Kata “bilva”  itu berubah jadi “wilwa” dalam tuturan Indonesia-Jawa; majapahit = wilwatikta. Bilva= bael = buah dari Bengali, India. Bilva (bael) sendiri itu maja legi (buah maja yang manis).‎
Zaman Kerajaan  Talaga
Hasil temuan dan audiensi dengan berbagai tokoh termasuk keluarga keturunan Talaga yang tersebar di berbagai tempat di Jawa Barat serta barang-barang bersejarah yang tersimpan di Museum Talaga, Majalengka tidak bisa lepas dari sejarah Kerajaan Talaga di masa silam.

Kerajaan Talaga hingga saat ini belum dapat dipastikan letak keratonnya,berdiri dimana dan pertama kali dimana di bangunnya, masih belum jelas. Akan tetapi dari sebuah hikayat yang diperoleh penulis, kerajaan ini dibangun oleh Prabu Batara Gunung Picung putra Prabu Darma Rehe, saudara dekat Prabu Angga Larang yang mendirikan Kerajaan Pajajaran dan terkenal dengan nama Prabu Munding Sari.    

 Anda yang terlahir di abad ini tentu tidak akan mengenal Prabu Batara Gunung Picung,baik itu untuk mengabdi maupun hanya sekedar berguru kepandaian kepadanya. Tapi bila anda penasaran, berjalanlah sekitar 1 km ke arah selatan kota Talaga. Anda akan menjumpai sebuah bukit berbatu dengan nama Gunung Picung.  Di gunung ini terdapat beberapa makam,diantaranya makam Prabu Batara Gunung Picung yang berputrakan Sunan Cungkilak

Lalu Sunan Cungkilak berputrakan Sunan Benda dan bercucukan Sunan Ponggang Sang Romahyang .           Selanjutnya penerus Kerajaan Talaga setelah  Sunan Ponggang Sang Romahyang  dipegang putranya bernama Prabu Darma Suci yang berputra Begawan Resi Garasiang dan Prabu Darma Suci 2 atau lebih dikenal Sunan Talaga Manggung.     

Prabu Darma Suci 2 menampuk pimpinan kerajaan sekitar abad ke 13,karena kakaknya Begawan Garasiang lebih memilih menjadi seorang pandita daripada menjadi raja. Hingga saat ini di belahan selatan kota Majalengka, Jawa Barat di kaki Gunung Ciremai terdapat sebuah dusun bernama Dusun Garasiang Desa Giri Mulaya Kecamatan Banjaran.
Resi Garasiang dikaruniai seorang putri bernama Ratu Mayang Karuna. Ia menikah dengan putra  tua Prabu Munding Sari yaitu Prabu Guru Gantangan atau dengan nama lain Prabu Mundingsari Ageung.   

Dari hasil perkawinannya itu dikarunia seorang anak laki-laki, Raden Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Pucuk Umum Talaga

Sementara Prabu Darma Suci 2, adik kandung Resi Garasiang berputrakan Raden Panglurah dan Nyi Mas Simbar Kancana, orang-orang  kerajaan Galuh lebih senang menyebutnya Nyai mas Ratu Patuakan.      

Di sekitar puncak Gunung Ciremai, tepatnya di kawasan Pegunungan Gegerhalang terdapat beberapa makam yang belum dikenal, namun di kawasan tersebut terkesan ada tanda -  tanda bekas kehidupan di masa silam. Terutama di kawasan Gunung Pucuk antar lain terdapat nama Prabu Pucuk Umum. Wilayah ini berada di sebelah timur Situ Sangiang atau belahan selatan Gunung Ciremai perbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan.

Terhadap situs ini, pemerintah belum melakukan pendataan apalagi peneletian. Padahal, sangat diperlukan untuk mengungkap tentang keberadaan Kerajaan Talaga yang merupakan leluhur warga Majalengka. Di samping itu, juga merupakan aset budaya negara yang perlu dibuka dan dilestarikan.
Pemerintahan Batara Gunung Picung‎
Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi, Raja tersebut masih keturunan Ratu Galuh bertahta di Ciamis, beliau adalah putera V, juga ada hubungan darah dengan raja-raja di Pajajaran atau dikenal dengan Raja Siliwangi. Daerah kekuasaannya meliputi Talaga, Cikijing, Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan Majalengka.Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik, agam yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu.Pada masa pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang lebih 25 Km tepatnya Talaga - Salawangi di daerah Cakrabuana.Bidang Pembangunan lainnya, perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah Cikijing.Tampuk pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2 windu.Raja berputera 6 orang yaitu :- Sunan Cungkilak - Sunan Benda - Sunan Gombang - Ratu Panggongsong Ramahiyang- Prabu Darma Suci- Ratu Mayang Karuna Akhir pemerintahannya kemudian dilanjutkan oleh Prabu Darma Suci.

Pemerintahan Prabu Darma Suci
Disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam pemerintahan raja ini Agama Hindu berkembang dengan pesat (abad ke-XIII), nama beliau dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatera. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga, apakah kunjungan tamu-tamu merupakan hubungan keluarga saja tidak banyak diketahui.Peninggalan yang masih ada dari kerajaan ini antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi.Pada abad XIIX Masehi beliau wafat dengan meninggalkan 2 orang putera yakni:- Bagawan Garasiang - Sunan Talaga Manggung

Pemerintahan Sunan Talaga Manggung 
Tahta untuk sementara dipangku oleh Begawan Garasiang,.namun beliau sangat mementingkan Kehidupan Kepercayaan sehingga akhirnya tak lama kemudian tahta diserahkan kepada adiknya Sunan Talaga Manggung.Tak banyak yang diketahui pada masa pemerintahan raja ini selain kepindahan beliau dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.
Pemerintahan Sunan Talaga Manggung 
Sunan Talaga Manggung merupakan raja yang terkenal sampai sekarang karena sikap beliau yang adil dan bijaksana serta perhatian beliau terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian rakyat.Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya.Beliau berputera dua, yaitu :- Raden Pangrurah - Ratu Simbarkencana Raja wafat akibat penikaman yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang Gunung bernama Centangbarang. Kemudian Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga Manggung dengan beristrikan Ratu Simbarkencana. Tidak beberapa lama kemudian Ratu Simbarkencana membunuh Palembang Gunung atas petunjuk hulubalang Citrasinga dengan tusuk konde sewaktu tidur.Dengan meninggalnya Palembang Gunung, kemudian Ratu Simbarkencana menikah dengan turunan Panjalu bernama Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu dan dianugrahi 8 orang putera diantaranya yang terkenal sekali putera pertama Sunan Parung.

Pemerintahan Ratu Simbarkencana
Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam tampuk pemerintahannya Agama Islam menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya dibawa oleh para Santri dari Cirebon.juga diketahui bahwa tahta pemerintahan waktu itu dipindahkan ke suatu daerah disebelah Utara Talaga bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih.Ratu Simbarkencana setelah wafat digantikan oleh puteranya Sunan Parung.

Pemerintahan Sunan Parung
Pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja.Hal yang penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya Perwakilan Pemerintahan yang disebut Dalem, antara lain ditempatkan di daerah Kulur, Sindangkasih, Jerokaso Maja.Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung.

Pemerintahan Ratu Sunyalarang
Sebagai puteri tunggal beliau naik tahta menggantikan ayahandanya Sunan Parung dan menikah dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan Prabu Pucuk Umum.Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan pesat. Banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum memeluk Agama Islam. Agama Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka.Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama Islam. Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah beliau yang bernama Raden Munding Sari Ageung merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV.Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan.

Pemerintahan Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum
Dari pernikahan Raden Rangga Mantri dengan Ratu Parung (Ratu Sunyalarang) melahirkan 6 orang putera yaitu :- Prabu Haurkuning - Sunan Wanaperih - Dalem Lumaju Agung- Dalem Panuntun - Dalem Panaekan Akhir abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama Islam.Beliau sebelum wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di daerah-daerah kekuasaannya, seperti halnya :Sunan Wanaperih memegang tampuk pemerintahan di Walagsuji;Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja;Dalem Panuntun di Majalengka sedangkan putera pertamanya, Prabu Haurkuning, di Talaga yang selang kemudian di Ciamis. Kelak keturunan beliau banyak yang menjabat sebagai Bupati.Sedangkan dalem Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, sukamenak, nunuk Cibodas dan Kulur.Prabu Pucuk Umum dimakamkan di dekat Situ Sangiang Kecamatan Talaga.

Pemerintahan Sunan Wanaperih
Terkenal Sunan Wanaperih, di Talaga sebagai seorang Raja yang memeluk Agama Islam pun juga seluruh rakyat di negeri ini semua telah memeluk Agama Islam.Beliau berputera 6 orang, yaitu :- Dalem Cageur - Dalem Kulanata - Apun Surawijaya atau Sunan Kidul- Ratu Radeya - Ratu Putri - Dalem Wangsa Goparana Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Sarngsingan sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syech Abu Muchyi dari Pamijahan bernama Sayid Ibrahim Cipager.Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang Subang.  kelak keturunan beliau ada yang menjabat sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar I di Cikundul. Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji, tetapi beliau digantikan oleh puteranya Apun Surawijaya, maka pusat pemerintahan kembali ke Talaga. Putera Apun Surawijaya bernama Pangeran Ciburuy atau disebut juga Sunan Ciburuy atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Surawijaya menikah dengan putri Cirebon bernma Ratu Raja Kertadiningrat saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon.Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak yaitu - Dipati Suwarga-Mangunjaya - Jaya Wirya - Dipati Kusumayuda - Mangun Nagara - Ratu Tilarnagara Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning. Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Suwarga menikah dengan Putri Nunuk dan berputera 2 orang, yaitu :- Pangeran Dipati Wiranata- Pangeran Secadilaga atau pangeran Haji Pangeran Surawijaya wafat dan digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah itu diteruskan oleh puteranya Pangeran SecanataEyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon mengantikan Pangeran Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun 1962; pengaruh V.O.C. sudah terasa sekali. Hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal inilah terjadi penolakan sehingga terjadi perlawanan dari rakyat Talaga.Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol dan meriam.

Kerajaan Hindu Terakhir di Majalengka

Sekitar tahun 1480 (pertengahan abad XV) Masehi di Desa Sindangkasih 3 Km dari kota Majalengka ke selatan, bersemayam Ratu bernama Nyi Rambut Kasih keturunan Prabu Siliwangi, yang masih teguh memeluk Agama Hindu.
Ratu masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang, kesemuanya telah masuk agama Islam. Adanya ratu di daerah Majalengka adalah bermula untuk menemui saudaranya di daerah Talaga bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu memerintah di Talaga. Di perbatasan Majalengka – Talaga, ratu mendengar bahwa daerah tersebut sudah masuk Islam. Sehingga mengurungkan maksudnya dan menetaplah Ratu tersebut di Sindangkasih, dengan daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.
Pemerintahannya sangat baik, terutama masalah Pertanian diperhatikannya juga Pengairan dari Beledug-Cicuruj-Munjul dibuatnya secara teratur. Kira-kira tahun 1485 putera Raden Rangga Mantri yang bernama Dalem Panungtung diperintahkan menjadi Dalem di Majalengka, yang mana membawa akibat pemerintahan Nyi Rambut Kasih terjepit oleh pengaruh Agama Islam.
Kemudian lagi pada tahun 1489 utusan Cirebon, Pangeran Muhammad dan isterinya Siti Armilah atau Gedeng Badori diperintahkan untuk mendatangi Nyi Rambut kasih dengan maksud agar Ratu maupun Kerajaan Sindangkasih masuk Islam dan Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan ke Sultanan Cirebon. Nyi Rambut Kasih menolak, timbul pertempuran antara pasukan Sindangkasih dengan pasukan Kesultanan Cirebon. Kerajaan Sindangkasih menyerah dan masuk Islam sedangkan Nyi Rambut kasih tetap memeluk agama Hindu. Mulai saat inilah ada Candra Sangkala Sindangkasih Sugih Mukti tahun 1490.
Abad XVI Agama Islam Masuk Daerah Majalengka

Daerah-daerah yang masuk Daerah Kesultanan Cirebon, dan telah semuanya memeluk Agama Islam ialah Pemerintah Talaga, Maja, Majalengka. Penyebaran agama Islam di daerah Majalengka terutama didahului dengan masuknya para Bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar lain antaranya: Dalem Sukahurang atau Syech Abdul Jalil dan Dalem Penuntun Semua di Maja. Pangeran Suwarga di Talaga yang lainnya Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai Mas Lintangsari, Wiranggalaksana, Salamuddin, Putera Eyang Tirta, Nursalim, RH Brawinata, Ibrahim, Pangeran Karawelang, Pangeran Jakarta, Sunan Rachmat di Bantarujeg dan masih banyak lagi.
Tahun 1650 Majalengka masuk pengaruh Mataram karena Cirebon telah menjadi kekuasaan Mataram. Waktu itu Cirebon dipegang oleh Panembahan Ratu II atau Sunan Girilaya.

Pengaruh Sultan Agung Mataram Abad XVII

Tahun 1628 Tumenggung Bahureksa diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menyerang Batavia. Dengan bantuan pasukan-pasukan dari daerah-daerah manapun masalah logistiknya, juga pendirian logi-logi banyak didirikan di Jatiwangi, Jatitujuh dan Ligung.
Besar pengaruhnya Mataram terhadap daerah Majalengka, dimana pula banyak orang Mataram yang tidak sempat lagi ke asalnya, dan akhirnya menetap di Majalengka.

Abad ke-XVII merupakan juga bagian dari pada peristiwa pertempuran Rangga Gempol yang berusaha membendung pasukan Mataram ke wilayah Priangan. Hal ini perlu diketahui bahwa wilayah Priangan akan diserahkan kepada V.O.C. (tahun 1677). Pasukan Rangga Gempol mundur ke Indramayu dan Majalengka. Hubungan sejarah Sumedang yang menyatakan bahwa Geusan Ulun merupakan penurun para Bupati Sumedang. Majalengka waktu itu masuk kekuasaan Sunan Girilaya, katanya menyerahkan daerah Majalengka kepada Sunan tersebut sebagai pengganti Putri Harisbaya yang dibawa lari dari Keraton Cirebon ke Sumedang. Tahun 1684 Cirebon diserahkan Mataram kepada V.O.C. maka otomatis Majalengka masuk Daerah V.O.C.
Masa Penjajahan Belanda dan Penghapusan Kekuasaan Bupati Abad XVIII
Tahun 1705, seluruh Jawa Barat masuk kekuasaan Hindia Belanda, pada tahun 1706 pemerintah kolonial menetapkan Pangeran Aria Cirebon sebagai Gubernur untuk seluruh Priangan. Olehnya para Bupati diberikan wewenang untuk mengambil pajak dari rakyat, termasuk Majalengka bagi kepentingan upeti kepada pemerintah Belanda. Paksaan penanaman kopi di daerah Maja, Rajagaluh, Lemahsugih berakibat banyak rakyat jatuh kelaparan.

Majalengka pada Abad XIX

Tidak saja tanam paksa kopi, Pemerintah Hindia Belanda pun memaksa rakyat untuk menanam lada, tebu dan lain-lain tanaman yang laku di pasaran Eropa untuk pemerintah Kolonial tersebut. Berakibat fatal bertambah berat beban rakyat, sengsara maupun kelaparan terjadi dimana-mana.

Tahun 1805 pemberontakan Bagus Rangin dari Bantarjati menentang Belanda, pertempuran pecah dengan sengitnya di daerah Pangumbahan. Kekuatan 10.000 orang dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda.±Bagus Rangin 12 Juli 1812 sebagai Pahlawan Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala di Kali Cimanuk dekat Karangsambung. Waktu itu Gubernur Hindia Belanda Henrck Wiesel (tahun 1804-1808) kemudian dilanjutkan Herman Willem Daendels (tahun 1808-1811) dan tahun 1811-1816 kemudian Thomas ST, Raffles.

Pemerintah Baru di Majalengka

Dengan bisluit Gubernur Jendral tanggal 5 Januari tahun 1819 berdirilah Keresidenan Cirebon dengan Kabupaten Cirebon, Raja Cola, Bangawan Wetan, Maja dan Kuningan. Selanjutnya Kabupaten Maja atau Kabupaten Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka.
Kabupaten Majalengka sejak tahun 1819 sampai sekarang (tahun 2002) telah mengalami 22 kali masa pemerintahan yang dipimpin oleh Bupati/Kepala Daerah.

RIWAYAT MAJALENGKA SEPANJANG CERITERA

Di bawah ini diutarakan secara singkat beberapa ceritera tentang riwayat asal mula terjadinya “Majalengka”, pendirinya, serta makna atau kata “Majalengka” itu sendiri.
Arti kata dari sesuatu nama tempat atau orang, bagi orang barat adalah dipandang tidak penting. Meraka lazim mengatakan “What is an name”. Tetapi orang timur nama bukan sekedar nama. Nama dipandang memiliki arti, dasar dan tujuan tertentu.
Bung Karno Presiden Republik Indonesia pernah mengatakan: “In a name is everythings” dalam warna bersemayam aneka warna dan benda. Demikian pula “Majalengka” sebagai suatu nama dari suatu Daerah, sesuatu tempat, atau sesuatu kota. Nenek moyang atau para leluhur tidak akan demikian saja memberi nama tanpa dasar yang mendalam dan tanpa tujuan tertentu yang luhur bagi kelanjutan keturunannya.

Bagi orang timur tentang nama mempunyai “Latar Belakang” yang khas demikian pula dengan “Majalengka” itu.
POHON “MAJA” JADI “LANTARAN”
Alkisah diceritakan, bahwa kira-kira pada abad ke 15 Masehi berdirilah suatu kerajaan Hindu yang disebut SINDANGKASIH (kini hanya sebuah desa terlatak di sebelah tenggara ibu kota Majalengka jarak 3 Km di luar kota).
Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu cantik molek dan sangat sakti serta fanatik terhadap agama yang dipeluknya. Dari mana asalnya ratu itu tidak diceritakan. Namanya ialah RATU NYI RAMBUTKASIH (setegah orang mengatakan NYI AMBET KASIH). Berkat pemimpin ratu yang bijaksana dan sakti itu, maka kerajaan Sindangkasih menjadi suatu daerah yang aman-makmur, gemah-ripah loh-jinawi, tata-tentrem kertaraharja.
Rakyatnya hidup tentram damai dan aman sentosa, “rea ketan rea keton”. Demikian sejahtera dan bahagianya sehingga Sidangkasih dapat gelar Sugih Mukti yang berarti “karya serta Bahagia”.

Pengidupan rakyatnya sendiri dari bercocok tanam, terutama padi, sedang pakaiannya menenun sendiri dari hasil kapas tanamannya. Di lembah-lembah sungai subur ditanami tebu yang dibuat gula merah disamping gula dari pohon aren. Sebagian daerahnya terdiri dari hutan rimba yang membujur ke arah utara dan selatan. Konon kabarnya dalam hutan itu bukan pohon kayu jati yang banyak, akan tetapi penuh dengan pohon maja. Batangnya lurus-lurus dan tinggi-tinggi, tetapi daunnya kecil-kecil dan pahit mempunyai khasiat untuk mengobati penyakit demam. Buahnya mirip buah “Kawista”, tetapi kulitnya agak lunak, isinya kalu serasa dengan ubi jalar jenis “nikrum” yang dibakar (“dibubuy” Sunda).

Sementara itu antara 1552 – 1570 Cirebon telah diperintah oleh seorang Guru Besar Islam yaitu wali bernama SYARIF HIDAYATULLAH atau SUNAN GUNUNG JATI. Konon Cirebon pernah terserang penyakit demam yang sangat hebat dan banyak korban. Sunan Gunung Jati karena seorang Wali yang agung selalu waspada, telah mengutus puteranya yang bernama PANGERAN MUHAMMAD untuk pergi mencari pohon maja ke daerah Sindangkasih guna ramuan obat penyembuh bagi rakyatnya, sekaligus dalam rangka tugas menyebarkan agama Islam.
Pangeran Muhammad berangkat menuju Sindangkasih disertai isterinya bernama NYI SITI ARMILAH yang berasal dari Demak/Mataram yang diserahi pula tugas untuk membantu suaminya dan ikut menyebarkan agama Islam.
Nyi Rambutkasih sebagai ratu Sindangkasih yang “waspada permana tingal” telah mengetahui akan kedatangan utusan Sunan Gunung Jati itu.

Hatinya tidak ikhlas daerahnya diinjak oleh orang lain yang memeluk agama Islam. Konon kabarnya sebelum Pangeran Muhammad bertemu dengan Ratu Sindangkasih, hutan Sindangkasih yang asal mulanya penuh dengan pohon maja itu, telah “dicipta” berganti rupa, beralih menjadi raya yang sangat lebat tanpa sebatang pun masih tumbuh pohon maja yang berkhasiat itu.
Pangeran Muhammad beserta isterinya alangkah kecewa dan terkejutnya demi diketahuinya ketika tiba di Sindangkasih itu, pohon maja yang diperlukannya sudah tidak ada lagi. Maka pada saat itu dari Pangeran Muhammad keluarlah ucapan “Maja Langka” (bahasa jawa) artinya “Maja tidak ada”.

Dengan peristiwa itu, Pangeran Muhammad sangat perihatin dan berniat akan kembali ke Cirebon, sebelum maksudnya berhasil. Untuk itu Pangeran Muhammad pergi bertapa di kaki gunung sampai wafatnya, dan gunung itu kini bernama “Margatapa”.
Sebelum pergi bertapa, Pangeran Muhammad memberi amanat kepada isterinya (Nyi Siti Armilah), untuk terus berusaha menemukan pohon maja itu dan berusaha menaklukan Nyi Rambutkasih agar memeluk agama Islam.
Pada suatu ketika Nyi Siti Armilah, dapat bertemu dengan Nyi Rambutkasih, suatu pertemuan antara seorang pemeluk dan penyebar agama Islam dengan seorang pemeluk dan fanatik terhadap agama Hindu.
Nyi Rambutkasih tidak dapat menerima ajakan dan ajaran Nyi Siti Armilah untuk memeluk agama Islam. Nyi Siti Armilah berusaha keras untuk menginsafkan Nyi Rambutkasih sampai-sampai pada kalimat:
“Manusia itu pasti mati, kembali ke alam baqa, hidup di dunia ini ada batasnya”.
Nyi Rambutkasih dengan tegas membalas: “Aku seorang Ratu pelindung rakyat yang berkelakuan jujur dan baik, sebaliknya aku adalah Ratu yang tak pernah ragu-ragu untuk menghukum rakyatnya yang bertindak curang dan buruk. Dan karena itu aku tak akan mati dan tidak mau mati”.‎
“jika demikian halnya” jawaban Nyi Siti Armilah, “makhluk apakah gerangan namanya, yang tidak akan mati dan tidak mau mati ?”.
bersama dengan ucapan Nyi Siti Armilah ini, lenyaplah “diri (jasad) Nyi Rambutkasih Ratu Sindangkasih itu dari dunia fana ini tanpa meninggalkan bekas kuburannya (“ngahiang” Sunda).
Orang sekarang hanya mendapatkan beberapa “patilasan” bekas-bekas Nyi Rambutkasih semasa memerintah yang sampai sekarang masih dianggap “angker” seperti sumur “Sindangkasih”, sumur “Sunjaya”, sumur “Ciasih” dan batu-batu bekas bertapa yang terdapat dalam kota dan sekitarnya.

Nyi Siti Armilah selanjutnya terus menetap di Kerajaan Sindangkasih ini menyebarkan agama Islam sampai wafat dan jenzahnya dimakamkan dipinggir kali Citangkurak, dimana tumbuh pohon “BADORI” sesuai dengan amanatnya, dimana konon ditegaskan, bahwa dekat kuburannya itu dikemudian hari akan menjadi tempat tinggal Penguasa yang memerintah Majalengka, yang mengatur pemerintahan daerah maja yang langka itu.
Demikian makam Nyi Siti Armilah terletak dibelakang gedung Kabupaten Majalengka yang sekarang dan orang sering menamakan Embah Gendeng Badori.

Setelah peristiwa Nyi Rambutkasih “ngahiang” itu, maka banyak penyebar-penyebar agama Islam dari Daerah Cirebon dan Mataram datang ke daerah Kerajaan Sindangkasih yang telah berganti nama jadi Majalengka itu.
Yang terpenting diantaranya ialah: Embah Haji Salamodin, berasal dari Mataram yang diutus oleh Sunan Gunung Jati supaya menyebarkan agama Islam dan mendirikan Pesantren. Tempatnya di Babakanjawa dan dimakamkan di sini, Putera Sultan Agung, berasal dari Mataram salah seorang murid Sunan Gunung Jati yang mendapat gelar Dalem Panungtun/Panungtung, karena pada ketika itu berakhirlah riwayat Budha di Majalengka, dan karena beliaulah yang menuntunnya ke ajaran agama Islam. Dimakamkan di Girilawungan, Embah Wiranggalaksana, berasal dari Tubang dimakamkan di Samojaopat, Majalengka-kulon.
Ceritera “ngahiangnya” Nyi Rambutkasih ini demikian mendalamnya sehingga merupakan “legenda” bagi rakyat asli Majalengka, dan terhadap kesaktiannya seta “masih adanya” itu merupakan suatu mythos, suatu kepercayaan yang masih melekat dengan kuatnya.
Hal ini disebabkan karena sering terjadinya ada orang-orang yang “kawenehan” yaitu bertemu dengan mendadak tanpa diketahui lebih dahulu dari mana datangnya dan tidak mengenal sebelumnya dengan ujud seorang Wanita di malam hari yang menamakan dirinya Nyi Rambutkasih. Adakalanya orang-orang menjadi kesasar atau gila, atau sakit dan sebagainya. Yang menurut kepercayaan karena diganggu oleh roh Nyi Rambutkasih itu.

Dibalik itu, rakyat Majalengka mempunyai kepercayaan yang amat kuat, bahwa selama Nyi Rambutkasih “ngageugeuh” Majalengka, dan orang-orangnya tetap berlaku baik dan jujur maka Sindangkasih Sugih Mukti itu pasti akan teralami pula pada waktu-waktu yang mendatang. Kebalikannya jika tidak, maka Nyi Rambutkasih akan murka dan akan menimbulkan malapetaka. Wallohu, alam bisawab.

INGAT AKAN ASAL PERMULAN PENCEGAH PERANG SAUDARA

Menurut ceritera, pada waktu Kerajaan Galuh masih menganut agama Budha, konon putera Raja yang tertua telah masuk Islam dan menjadi murid Sunan Gunung Jati Cirebon. Putera Galuh itu menurut riwayat namanya SUNAN UNDUNG, telah diutus oleh Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam ke jurusan barat daya.
Diantara tugas itu telah termasuk kewajiban mengajak adiknya dikerajaan Galuh yang masih saja memeluk agama Budha.
Kedua saudara yang masing-masing berlainan agama itu telah bertemu di suatu tempat yang agak tinggi menyerupai gunung yang terletak di daerah hutan Sindangkasih yang kini disebut orang GIRILAWUNGAN yang berarti gunung tempat bertemu dan berhadapan-hadapan.‎

Putera Galuh itu masing-masing mempertahankan keyakinan akan kebenaran agama yang dipeluknya, sehingga pertarungan yang bagaimanakah kenyataannya? Tengah kedua saudara itu bertengkar, maka tiba-tiba mereka akan ingat akan “purwadaksina” ingat kepada asal permulaannya, bahwa mereka itu kedua-duanya adalah saudara, dan ingat akan adanya hubungan bathin kekeluargaan dan keturunan yang menjadikan mereka. Setelah mereka berdua ingat akan hal itu, maka perang saudara yang akan meletus itu, tidak sampai terjadi, kedua-duanya kembali damai. Mereka sadar tak ada manfaatnya mempertengkarkan agama.
Sambil berpisah mereka mengeluarkan kata-kata media lengka artinya “ditengah-tengah eling kepada asal permulaan”.
Demikian “madia-lengka” berubah dibunyikan menjadi Majalengka.
Wallahualam.
“”LANGKAH” SITI ARMILAH
Pada saat Pangeran Muhammad beserta isterinya Nyi Siti Armilah melaksanakan amanat Sunan Gunung Jati untuk mencari pohon maja di kerajaan Sindangkasih dan mengajak Nyi Ratu Rambutkasih untuk memeluk agama Islam, maka sebagian orang menceriterakan asal mula terjadinya Majalengka itu agak berlainan.
Pangeran Muhammad dan Siti Armilah telah sampai di daerah Hutan Sindangkasih yang penuh dengan pohon maja. Tempat mereka mula-mula menemukan pohon itu terletak di suatu daerah pegunungan yang sekarang disebut maja (ibukota kecamatan Maja). Nyi Siti Armilah mendapat amanat suaminya untuk langsung menundukkan Nyi Ratu Rambutkasih yang bertahta di Sindangkasih agar berganti memeluk agama Islam.
Untuk memudahkan perjalanan menempuh hutan rimba itu, Nyi Siti Armilah diberi ayam jantan oleh suaminya. Konon ayam jantan itu namanya Si Jalak Harupat. Kemana ayam jantan itu pergi, harus diikuti jejaknya sampai nanti berkokok.
Kokok ayam tadi akan menandakan bahwa tempat yang akan dituju telah tercapai. Demikianlah si Jalak Harupat dilepaskan dan jejaknya diikuti dengan langkah-langkah Nyi Siti Armilah. Akhirnya si Jalak Harupat berkokok tepat di stuatu tempat yang dituju yaitu tempat yang sekarang menjadi kota Majalengka.
Pada saat itulah Siti Armilah menamakan tempat yag dituju bukan Sindangkasih tetapi “Maja alengka” sebagai peringatan baginya yang mula-mula dari “maja melangkahkan kakinya sampai ditempat yang ditujunya”. Wallahualam
.
ANTARA “ADA DAN TIADA”
Ada pula ceritera orang yang meriwayatkan terjadinya Majalengka itu lain lagi. Pengaruh kekuasaan Sultan Agung Mataram ternyata meluas ke arah barat, maksudnya pulau Jawa sebelah barat. Tersebutlah seorang Sunan Jebug yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram ia tetap mempertahankan daerahnya (daerah Majalengka sekarang) bebas dari penguasaan Sultan Agung Mataram yang mengakibatkan timbulnya amarah Sultan. Sultan Agung Mataram segera mengirimkan 40 orang hulu balang merebut daerah Sunan Jebug melihat gelagat yang tidak enak ini Sunan Jebug bersepakat dengan senopatinya yang bernama Endang Capang untuk menghindari pertempuran dan pertumpahan darah.
Sebelum 40 orang hulu balang datang dari Mataram tiba di daerahnya, maka Sunan Jebug dan Endang Capang bersembunyi dan hanya meninggalkan patilasan saja. Begitulah ketika pasukan Hulubalang Mataram tiba di daerah ini maka tak seorang pun yang dapat menemukan dimana Sunan Jebug dan Senopati Endang Capang bersembunyi. Akhirnya seorang diantara hulubalang itu berseru: “Madia Langka”. Antara ada dan tiada. Dikatakan tiada memang tidak sampai ditemukan, dikatakan ada karena ada patilasan berkas-berkasnya. Demikianlah dari Madia Langka berubah menjadi Majalengka. Wallahualam.
NEGARA “TENGAH”
Pihak lain tidak mengutarakan asal mula terjadinya Majalengka. Tetapi hanya mengupas kata Majalengka setelah meninjau dari segi-segi tertentu. Rakyat pulau Jawa umumnya mengetahui bahwa dahulu kala orang menyebut “Buana Panca Tengah” yang dimaksudkan ialah Indonesia sekarang khususnya Pulau Jawa. Dihubungkannya dengan ceritera Ramayana dan Kerajaan Alengka yang diartikan “Negara”. Adapun “maja” diartikan “madia” bukan nama pohon tetapi “tengah”. Kenyataan “tengah” itu ditinjau dari segi-segi: Ilmu Bumi, letak daerah Majalengka ini di tengah-tengah antara pegunungan dan pedataran, Pemerintahan, terletak di tengah-tengah kekuasaan Islam (Cirebon/Mataram) dan Hindu/Budha (Galuh-Pajajaran), Ilmu Bangsa-Bangsa, rakyat daerah ini berada di tengah-tengah suku Jawa dan suku Sunda, Kebudayaan, Kebudayaannya sebagian pengaruh kebudayaan Jawa, lainnya kebudayaan Sunda.
Demikian katanya, Majalengka adalah “Negara Tengah”, dalam segala hal termasuk golongan “pertengahan”, tidak pernah menonjol dan meninggi luar biasa, dan sebaliknya pula belum pernah ketinggalan dan menurun sampai paling terbelakang. Dalam segala hal selalu “siger-tengah”.
Sesungguhnya masih terdapat beberapa buah lagi ceritera-ceritera yang meriwayatkan terjadinya Majalengka, demikian pula kupasan-kupasan mengenai tafsiran arti kata Majalengka dan nama-nama pendirinya pun berbeda-beda. Bolehlah mempercayainya, dan tiada larangan untuk menolaknya. Tetapi tiada perlu untuk dijadikan bahan pertengkaran, karena selama riwayat aslinya belum diketemukan dan diketahui umum, semua itu hanya sekedar pembantu sekedar panawar bagi mereka yang ingin mengetahui riwayat nama daerah tempat tumpah darahnya, sebelum memaklumi yang sebenarnya.
Dari ringkasan-ringkasan riwayat yang berbeda-beda itu dapat dikatakan bahwa, “Majalengka” adalah nama yang diwariskan nenek moyang sejak ratusan tahun yang lalu.
Suatu nama yang diberikan untuk menandai suatu daerah yang mengandung nilai-nilai lahir dan nilai-nilai bathin.
Begitu pula halnya dengan Sindangkasih yang mempunyai riwayat lebih luas daripada Majalengka, kedua macam nilai dan unsur lahir dan batin-pun dimilikinya.
Unsur lahir menunjukkan, sejak dulu kala, daerah ini memang masyhur akan kesuburan tanahnya dan kemakmuran rakyatnya.
Unsur batin menyatakan, bahwa nenek moyang pun adalah orang-orang yang memeluk agama menurut zamannya serta keyakinannya. Dalam mempertahankan keyakinan, ditempuhnya jalan yang bijaksana, menghindari perang saudara antara sesama ummat manusia.
Terletaklah tugas dan kewajiban di pundak para keturunannya untuk memelihara warisan nenek moyang ini dengan sebaik mungkin, agar supaya daerah ini dengan modal unsur lahir batin tadi dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat umumnya, sehingga dapat merasakan nikmatnya hidup bahagia dan sentosa dengan meratakan keadilan dan kemakmuran yang turun-temurun.‎

Keadaan alam Kota Majalengka
Geologi‎
Menurut keadaan geologi yang meliputi sebaran dan struktur batuan, terdapat beberapa batuan dan formasi batuan yaitu Aluvium seluas 17.162 Ha (14,25%), Pleistocene Sedimentary Facies seluas 13.716 Ha (13,39%), Miocene Sedimentary Facies seluas 23,48 Ha (19,50%), Undiferentionet Vulcanic Product seluas 51.650 Ha (42,89%), Pliocene Sedimentary Facies, seluas 3.870 Ha (3,22%), Liparite Dacite seluas 179 Ha (0,15%), Eosene seluas 78 Ha (0,006%), Old Quartenary Volkanik Product seluas 10.283 Ha (8,54%). Jenis-jenis tanah di Kabupaten Majalengka ada beberapa macam, secara umum jenis tanah terdiri atas Latosol, Podsolik, Grumosol, Aluvial, Regosol, Mediteran, dan asosianya. Jenis-jenis tanah tersebut memegang peranan penting dalam menentukan tingkat kesuburan tanah dalam menunjang keberhasilan sektor pertanian.

Morfologi‎
Keadaan morfologi dan fisiografi wilayah Kabupaten Majalengka sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian suatu daerah dengan daerah lainnya, dengan distribusi sebagai berikut :

Morfologi dataran rendah yang meliputi Kecamatan Kadipaten, Panyingkiran, Dawuan, Jatiwangi, Sumberjaya, Ligung, Jatitujuh, Kertajati, Cigasong, Majalengka, Leuwimunding dan Palasah. Kemiringan tanah di daerah ini antara 5%-8% dengan ketinggian antara 20-100 m di atas permukaan laut (dpl), kecuali di Kecamatan Majalengka tersebar beberapa perbukitan rendah dengan kemiringan antara 15%-25%.
Morfologi berbukit dan bergelombang meliputi Kecamatan Rajagaluh dan Sukahaji sebelah Selatan, Kecamatan Maja, sebagian Kecamatan Majalengka. Kemiringan tanah di daerah ini berkisar antara 15-40%, dengan ketinggian 300-700 m dpl.
Morfologi perbukitan terjal meliputi daerah sekitar Gunung Ciremai, sebagian kecil Kecamatan Rajagaluh, Argapura, Talaga, sebagian Kecamatan Sindangwangi, Cingambul, Banjaran, Bantarujeg dan Lemahsugih dan Kecamatan Cikijing bagian Utara. Kemiringan di daerah ini berkisar 25%-40% dengan ketinggian antara 400-2000 m di atas permukaan laut.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar