Translate

Selasa, 01 Agustus 2017

Mitos Gunung Lanang Kulon Progo

Selama ini, Gunung Lanang populer sebagai tempat berburu wahyu. Setiap bulan Suro ritual berskala besar digelar disertai pagelaran wayang. Tetapi, ada misteri lain terkait asal mula gunung ini, yang nyaris tertutup oleh berbagai mitos lain.

Gunung Lanang terletak di kawasan Pantai Congot, Kulonprogo. Gunung ini terkenal sebagai tempatnya para pelaku tirakat yang memburu pangkat dan derajat. Bahkan, wahyu keprabon. Tetapi, realitas Gunung Lanang ini membuat orang bertanda tanya. Pasalnya, berbagai bangunan yang ada di komplek petilasan Gunung Lanang ini diberi nama-nama berbau Hindu. Misalnya, Astana Jingga, Badraloka Mandira, Candi Wisuda Panitisan dan Tirta Kencana. Kecuali itu, di komplek Tirta Kencana juga didapati sebuah prasasti Ajisaka, terbuat dari semen berbentuk mirip sebuah pohon dengan dahan dan batangnya penuh aksara Jawa.

Nama-nama berbau Hindu yang disematkan pada sejumlah bagian komplek Gunung Lanang, memiliki arti yang sungguh menggugah daya tarik mistis seseorang. Astana Jingga artinya sebuah tempat yang memancarkan sinar kuning kemerahan. Badraloka Mandira berarti sebuah bangunan dari batu bata yang memancarkan sinar keagungan. Sedangkan kata ‘Lanang’ diartikan sebagai lelaki, yang merujuk pada keyakinan bahwa Gunung Lanang tersebut merupakan petilasan seorang bangsawan dari Mataram Kuno.

Melihat nama-nama bercirikan Hindu dan maknanya, serta keyakinan sejumlah orang yang mengatakan Gunung Lanang sebagai petilasan bangsawan Mataram Kuno, tentu akan terhenyak jika kemudian melihat langsung petilasan ini. Sebab, segala nama dan ciri-ciri Mataram Kuno sebagaimana diyakini itu sungguh terasa bagai mitos yang dipaksakan. Sebab, tak ada satu pun ciri peninggalan zaman Mataram Kuno yang bisa didapatkan di tempat ini. Mengapa nama-nama itu disematkan, dikenal luas dan bagaimana sesungguhnya riwayat Gunung Lanang?

Gunung lanang terletak diantara pantai Glagah dan Pantai Conggot, tepatnya 4 km dari pos retribusi tempat wisata Pantai Glagah yakni dusun Bayeman, Kelurahan Sindutan, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jalan yang dapat diakses sama dengan jalan menuju wisata Pantai Glagah dan Pantai Congot melewati jalan yang menyusuri Pantai.

Gunung lanang bukan sebuah Gunung yang menjulang tinggi namun hanya sebuah bukit yang dikelilingi oleh pepohonan khas pingir laut yang tinggi menjulang, seluas kurang lebih 500 m2. Tempat ini dulu merupakan tempat bertapa seorang laki-laki (dalam bahasa jawa disebut lanang ) bangsawan dari kerajaan Mataram kuno, sehingga tempat ini di namakan Gunung Lanang . Dipuncaknya terdapat pelataran yang dinamakan Astana Jingga atau Badraloka Mandira. Astana Jingga berarti Memancarkan Sinar warna kuning kemerahan, sedangkan Badraloka Mandira berarti sebuah bangunan terbuat dari bata yang memancarkan keagungan. Nama ini diberikan karena jika seseorang yang tirakat atau melakukan ritual ditempat ini berharap akan mendapatkan berkah.Dan apabila menghadap ke selatan maka akan tampak lautan dengan riak-riak gelombang yang semakin menambah mistis tempat ini. Tempat inilah yang sering digunakan untuk melakukan ritual-ritual tertentu.

Gunung Lanang sebenarnya hanya sebuah bukit kecil di kawasan dusun Bayeman, Sindutan, Temon Kulonprogo, Jogjakarta. Pada puncaknya, didapati sebuah bangunan mirip monumen yang diberi nama Sasana Sukma. Puncak ini merupakan tempat dilakukannya berbagai ritual. Sebelum masuk ke puncak itu, di bawahnya terdapat bangunan terbuka yang terdiri dari empat trap. Tempat ini disebut Candi Wisuda Panitisan.

Di sebelah barat Gunung Lanang, terdapat komplek bangunan Purna Graha atau Graha Kencana dan Tirta Kencana. Purna Graha merupakan tempat ritual khusus yang keberadaannya selalu terkunci untuk melindungi benda-benda yang dianggap berharga seperti pusaka. Tirta Kencana merupakan tempat air suci yang terbagi dalam dua bilik. Kedua bilik diberi genthong besar sebagai tempat menampung air suci. Dua bilik itu diberi nama Nawangwulan dan Nawangsih. Dua nama bidadari zaman Joko Tarub ini semakin membuyarkan kesan mistis zaman Mataram Kuno. Misteri apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua ciri fisik Gunung Lanang ini?

Prawiro Suwito  juru kunci Gunung Lanang yang masih sangat bugar kesehatannya, mengatakan kepada posmo, Gunung Lanang ini sudah dikenal sejak zaman Jepang. Di kala itu, Gunung Lanang adalah sebuah pasar yang ramai pada malam Selasa dan Jumat Kliwon. Bersamaan dengan itu, Gunung Lanang juga sudah dikenal keramat. Prawiro tak bisa menjelaskan bagaimana kemudian nama-nama Hindu itu disematkan di berbagai bagian komplek Gunung Lanang. Prawiro hanya menerima saja setiap bentuk sumbangan dari pelaku tirakat, yang hendak membangun kawasan Gunung Lanang berdasarkan wangsit.

Juru kunci Gunung Lanang, menurut Prawiro, sudah berganti selama empat generasi. Prawiro sendiri sudah 15 tahun menjadi juru kunci di gunung itu. Menurutnya, juru kunci diwariskan secara turun-temurun. Tak seorang pun kuat menjadi juru kunci jika bukan dari garis keturunan juru kunci. Masyarakat setempat meyakini, Gunung Lanang adalah pengayomnya. Apa yang terungkap dari penuturan jujur Prawiro Suwito tentang riwayat Gunung Lanang ini, ternyata semakin membuat ciri-ciri Hindu sebagaimana tampak pada nama-nama bagian komplek gunung tersebut menjadi samar. Pasalnya, Prawiro justru mengemukakan fakta tutur yang sungguh lain dari mitos Gunung Lanang yang selama ini dikenal sebagai petilasan bertapa bangsawan Mataram Kuno.

Tempat ini sudah banyak dikunjungi dan rata rata mereka bermaksud untuk mendapatkan berkah kelancaran karir atau usaha kebanyakan mereka dari kota kota besar di Indonesia, ada yang dari Jakarta, Bandung, Semarang dan lain sebagainya.  Dan setiap tahun setiap tanggal 1 suro pada penanggalan jawa ditempat ini pasti diadakan ritual yang dinamakan Ruwatan Agung Tumapaking Laku Suci oleh penganut Kejawen yang diikuti tidak hanya warga sekitar namun dari luar kota juga turut ambil bagian.

Prosesi Ruwatan ini dimulai dengan laku sesuci yakni membasuh muka dengan air sumur Tirto kencono yang terdapat di sekitar petilasan ini, kemudian dengan melantunkan Kidung Pambuko atau doa di Sasono Jiwo untuk melakukan persiapan batin agar selama prosesi mendapatkan perlindungan-Nya. Setalah lelaku sesuci selesai dilakukan maka para peserta menuju sasana Sukma dan Sasana Indra yang ada di puncak Gunung Lanang atau pelataran Astana Jingga. Disini para peserta melakukan semedi dalam keheningan dan menyerahkan kepada Yang Maha Kuasa. Setelah itu cukup dalam bersemedi para peserta kembali ke sasono jiwo untuk berdoa kembali dengan kidung Penutup sebagai ungkapan rasa syukur telah menyelesaikan ritual tersebut, dan biasanya pada pagi harinya akan dilaksanakan labuhan atau melarung hasil ruwatan berupa potongan kuku dan rambut para peserta ke Laut.

Bukan berarti yang berkunjung ke tempat ini untuk melakukan ritual tersebut namun ada juga yang sekedar melihat petilasan tersebut sebagai bagian budaya yang perlu dimengerti dan dipahami sebagai kearifan local dan kekayaan budaya bangsa kita. Dan ini bisa menjadi alternatif setelah mengunjungi pantai Glagah ataupun Pantai Congot, karena untuk menikmati petilasan tersebut sudah tidak dipungut biaya lagi karena sudah termasuk dalam retribusi Pantai Glagah.

5 komentar:

  1. Aq pinjam uang bp utk usaha dana talangan blh tdk banyak cmn 1 M aj sy taruh jaminan. Sertifikar hak milik lyasnya 1032 M2 bgmn pa sulaiman....??? Bs bp hub sy di 085287454664.....

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum,,semisal bapak sualaiman bersedia menyumbangkan sedikit rejeki pada masyarakat kami,,kami ucapkan alhmdulilah..sumbangan akan digunakan untuk renovasi masjid.sekian terima kasih mohon maaf sebelumnya.ini noe hp saya 082242772881

    BalasHapus
  3. Di sana tempat ibadahnya agama hindu bukan agama lain

    BalasHapus