Translate

Minggu, 27 Mei 2018

Hukum Makmum Memisahkan Diri Dari Jama'ah

Semua ulama fiqih sepakat bahwa jika kita sholat berjama'ah mengikut imam (yakni menjadi makmum) maka wajib bagi kita untuk berniat mengikuti imam atau berniat sholat berjama'ah atau berniat menjadi makmum ketika bertakbiratul ihram.

Maka jika kita sholat berjama'ah namun berniat sholat munfarid (sholat sendirian), maka sholat tersebut tidak terhitung sebagai sholat berjama'ah, melainkan termasuk sholat munfarid. Hal ini berdasar kepada makna umum dari hadits berikut:

ٍعَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung kepada niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai kepada apa ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Tentang niat mufaroqoh (memisahkan diri) seorang makmum dari imam lalu dia menyelesaikan shalatnya sendirian baik karena adanya uzur atau tidak maka ini boleh meskipun makruh menurut para ulama Syafi’i karena ia memisahkan diri dari berjama’ah yang merupakan kewajiban atau sunnah yang muakkad. Sedangkan menurut para ulama Hambali bahwa mufaroqoh dibolehkan jika terdapat uzur. Sedangkan jika tidak terdapat uzur didalamnya maka dalam hal ini terdapat dua riwayat, pertama : shalat orang yang mufaraqoh itu tidak sah, pendapat inilah yang benar. Kedua : shalatnya sah.

Sayyid Sabiq berkata :

يجوز لمن دخل الصلاة مَعَ اْلامَامِ ان يخرج منها بنية المفارقة ويتمها وحده إذا أطال اْلامَامِ الصلاة. ويلحق بهذه الصورة حدوث مرض او خوف ضياع مال أو تلفه أو فوات رفقة أو حصول غلبة نوم, ونحو ذلك. لما روه الجماعة عن جابر قال :
كان معاذُ يصلِّى مَعَ رسولِ اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم صلاة ُالعشاءِ ثم يرجعُ إلى قومه فَيَؤُمُّهُمْ, فَأَخَّرَ النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم العشاءَ فصلَّى معهُ ثم رجع إلى قومه فقرأ سورةَ البقرةِ فَتَأَخَّرَ رجلٌ فصلَّى وَحْدَهُ فقيل له : نَافَقْتَ يَافٌلَانُ, قال : ما نَافَقْتُ, ولكنَّ لَاَتِيَنَّ رسولَ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم فَأُخْبِرُهُ, فأتى النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم فَذَكَرَلَهُ ذلك فقال : "أَفَتَانٌ أَنْتَ يا معاذُ... أَفَتَانٌ أَنْتَ يا معاذُ...إقرأْ سورةَ كذا وكذا"

Seorang yang semula bermakmum kepada seorang imam, ia boleh memisakan diri dari imam tersebut dengan niat berpisah lalu hendaklah ia menyempurnakan sendiri rukun-rukun shalat yang masih tertinggal. Misalnya, apabila imam terlampau panjang membaca ayat dalam shalatnya, ia boleh bertindak demikian. Dalam hal ini termasuk pula seorang makmum yang tiba-tiba merasa sakit, takut hilang atau rusaknya sesuatu yang dimiliki, takut tertinggal dari rombongan, terasa mengantuk atau sebab-sebab lain yang mendesak. Ini berdasarkan hadits dari Jabir.
Jabir bin Abdullah al-Anshari berkata, "Mu'adz bin Jabal pernah shalat isya bersama Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam. Setelah itu dia pulang dan mengimami kaumnya shalat itu. Pada suatu malam Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam mengundurkan shalat isya, tetapi Muadz tetap mengerjakan shalat bersama Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam. Setelah itu Muadz kembali pulang kepada kaumnya lalu mengerjakan shalat bersama mereka dengan membaca surah al-Baqarah. Tiba-tiba ada seorang yang mundur dan mengerjakan shalat sendirian. Setelah orang-orang selesai mengerjakan shalat, ada diantara mereka yang berkata kepada yang memisahkan diri tadi, ’Hai Fulan, Sesungguhnya engkau ini orang munafik.' Orang itu berkata, ’Bukan, aku bukan munafik! Hal ini akan aku laporkan kepada Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam’. Benarlah iapun menghadap Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam. Ahirnya Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda, ’Apakah engkau tukang fitnah hai Muadz? Apakah engkau tukang fitnah hai Muadz? Baca saja surat ini atau itu’” (HR. Jama’ah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 351; lihat Musnad Syafi’i 1, hal. 226]

Para ulama Syafi’i mengecualikan pada shalat jum’at…

Diantara perkara-perkara yang dikatakan uzur seperti : panjanganya bacaan imam, meninggalkan salah satu sunnah shalat seperti tasyahhud awal, qunut—maka dirinya boleh mufaroqoh dengan mengerjakan sunnah itu—atau sakit, khawatir dirinya diserang rasa ngantuk, terdapat sesuatu yang merusak shalatnya, takut hartanya hilang atau rusak, ketinggalan rombongan, atau terdapat orang yang meninggalkan shaff lalu tidak ada orang menggantikannya untuk berdiri disampingnya.

Dalil mereka adalah apa yang disebutkan didalam hadits,

Dari Anas bin Malik, ia menuturkan,

كان معاذُ بنُ جبلٍ يَؤُمُّ قومهُ فدخل حرامٌ وهو يريدُ أن يَسْقِيَ نَخْلَهُ فدخل المسجدَ لِيُصَلِّيَ مع القومِ فلما رأى معاذًا طَوَّلَ تَجَوَّزَ في صلاته وَلَحِقَ بِنَخْلِهِ يَسْقِيْهِ فلما قضى معاذُ الصلاةَ قيل له ذلك قال‏:‏ إنه لَمُنَافِقٌ أَيَعْجَلُ عن الصلاةِ من أَجْلِ سَقْيِ نَخْلَهُ قال‏:‏ فَجَاءَ حرامٌ إلى النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم ومعاذٌ عِنْدَهُ فقال‏:‏ يا نبي اللَّه إني أَرَدْتُ أن أَسْقِيَ نَخْلًا لي فَدَخَلْتُ الْمسجدَ لِأُصَلِّيَ مع القومِ فلما طَوَّلَ تَجَوَّزَ في صلاتي وَلَحِقْتُ بِنَخْلِيْ أَسْقِيْهِ فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ فَأَقْبَلَ النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم على معاذٍ فقال‏:‏ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ؟ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ؟ لا تُطَوَّلْ بِهِمْ اقرأ بسبح اسم ربك الأعلى والشمس وضحاها وَنَحْوِهِمَا‏

“Adalah Muadz ibn jabal mengimami kaumnya, dimana si Haram yang bermaksud hendak menyiram pohon kurmanya, lebih dahulu masuk masjid bersama-sama kaumnya. Setelah ia melihat Mu’adz memanjangkan bacaannya, maka iapun mempercepat shalatnya dan mendatangi pohon kurmanya untuk menyiramnya. Setelah Mu’adz selesai mengerjakan shalatnya, halnya si Haram itu disampaikan kepadanya. Maka Mu’adzpun berkata bahwa ia seorang munafik “Adakah ia mempercepat shalat hanya karena akan menyiram pohon kurmanya?”.
Anas melanjutkan, “Maka si Harampun menghadap Nabi saw dan ketika itu Muadzpun berada di dekat Nabi. Maka Haram berkata, “Wahai Nabi Allah, aku bermaksud hendak menyiram pohon kurmaku, maka aku masuk masjid untuk shalat berjamaah. Setelah kujumpai Mu’adz yang menjadi imam memanjangkan bacaan Qur’annya, aku lalu mempercepat shalatku dan setelah selesai aku menengok pohon kurmaku untuk menyiramnya. Tiba-tiba Muadz itu menuduh aku seorang munafik. Maka Nabi lalu memandang kepada Muadz seraya sabdanya, “Adakah engkau menjadi tukang fitnah? Adakah engkau menjadi tukang fitnah? Janganlah kamu perpanjang membaca surat Qur’an di waktu menjadi imam orang banyak. Bacalah surat “Sabbihisma rabbikal a’la-“ dan “Wasy syamsi Wadhuha-ha-“ atau surat yang sesamanya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnadnya, bab Baqiy Musnad al-Muksirin, no. 11799 dengan sanad hadis berkualitas sahih.

Dari Buraidah Al-Aslami :

‏‏أن معاذ بن جبل صلى بأصحابه العشاء فقرأ فيها اقتربت الساعة فقام رجل من قبل أن يفرغ فصلى وذهب فقال له معاذ قولًا شديدًا فأتى النبي صلى اللَّه عليه وسلم فاعتذر إليه وقال‏:‏ إني كنت أعمل في نخل وخفت على الماء فقال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يعني لمعاذ‏:‏ صلِ بالشمس وضحاها ونحوها من السور‏

Bahwasanya Muadz bin Jabbal mengimami shalat Isya bagi para sahabatnya, lalu ia membaca iqtarabatis sana’ah (Surah Al-Qomar), kemudian seorang laki-laki keluar sebelum selesai lalu shalat (sendiri) kemudian pergi. (Mengetahui hal ini) Muadz mengatakan perkataan yang kasar mengenainya. Lalu laki-laki itu menemui Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam dan menyampaikan alas an kepada beliau, ia mengatakan, “Sesungguhnya aku bekerja di kebun kurma, dan aku khawatir terhadap airnya” Maka Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam berkata (kepada Muadz) : ‘Shalatlah dengan membaca Wasy syamsi Wadhuha-ha dan surah-surah yang setara dengan itu’” (HR. Ahmad dengan sanad sahih).

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
Di dalam Al-Fath, Al-Hafidz Ibnu hajar menilai kuatnya hadits Buraidah, namun ia mengatakan, “Ini riwayat yang janggal”. Untuk memadukannya adalah dengan memperkirakan bahwa peristiwanya tidak hanya sekali, atau jika tidak mungkin disimpulkan dari kedua hadits itu, maka dengan menilai bahwa hadits yang terdapat di dalam Ash-Shahihain lebih kuat.
[Nailul Authar 1, hal. 736].

Para ulama Hanafi mengatakan bahwa boleh seorang makmum melakukan salam sebelum imam meski hal itu makruh, akan tetapi mereka tidak mempebolehkan melakukan mufaroqoh. Sedang para ulama Maliki mengatakan barangsiapa yang bermakmum dengan seorang imam maka tidak boleh baginya melakukan mufaroqoh. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II 1227).

Jadi mufaroqoh yang anda lakukan ketika terdapat uzur termasuk bacaan imam yang tidak baik dalam al Fatihah diperbolehkan menurut madzhab Syafi’i dan Hambali. Meskipun hal itu diperbolehkan akan tetapi apabila dilakukan terus menerus tentunya akan menjadi perhatian para makmum lain yang ada di sekitar anda bisa jadi diantara mereka terdapat orang-orang awam yang tidak memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat secara baik sehingga dikhawatirkan memunculkan fitnah karena ketidaktahuan mereka.

Untuk itu ada baiknya anda mengingatkan permasalahan ini kepada imam tersebut dengan cara yang penuh hikmah dan bijaksana serta sebisa mungkin dilakukan secara sembunyi antara anda dan dirinya saja dan meminta agar yang bersangkutan memperbaiki bacaannya atau jika tidak bisa agar menyerahkan keimamannya kepada orang yang lebih baik bacaannya.

Jika nasehat atau peringatan yang anda sampaikan kepadanya tidaklah diterima atau dijalaninya sehingga orang itu tetap saja bersikukuh untuk menjadi imam shalat-shalat fardhu di masjid anda sementara kualitas bacaannya masih tidak baik (buruk) maka hendaklah anda mencari masjid lain sekitar rumah anda yang bacaan imamnya baik meski hal itu menjadikan berkurangnya jumlah makmum di masjid tempat anda. Dikarenakan sahnya shalat seseorang didalam shalat berjama’ah dipengaruhi juga oleh kualitas bacaan imam. Oleh karena itu setiap orang bertanggung jawab untuk menentukan siapa imam shalatnya sehingga shalatnya menjadi sah.

Akan tetapi apabila di sekitar rumah anda tidak ada masjid selainnya atau ada namun jaraknya cukup jauh untuk ditempuh maka diperbolehkan bagi anda untuk tetap bermakmum kepada imam di masjid anda yang buruk bacaannya itu dikarenakan keterpaksaan.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar