Kita akan temui perbedaan pada Idul Fitri 2023 dan penetapan 1 Syawal 1444 H. Kalau kami mau katakan, pasti akan terjadi perbedaan (bukan hanya potensi berbeda) karena saat ini Kemenag RI pun memutuskan hari raya dengan hasil hisab walaupun sebelumnya diadakan rukyatul hilal. Sehingga hari raya pada Idul Fitri 2023 akan berbeda sebagaimana berikut ini:
Jumat, 21 April 2023 dipilih oleh kalangan Muhammadiyah.
Sabtu, 22 April 2023 dipilih oleh pemerintah, NU, dan Persatuan Islam (Persis).
Metode Rukyat
Metode rukyat adalah metode menetapkan awal bulan hijriah dengan cara melihat langsung kemunculan hilal di ufuk Barat pada saat maghrib tanggal 29 bulan Hijriah. Bila hilal terlihat, maka mulai maghrib malam tersebut suda h masuk tanggal 1 bulan baru, tetapi bila hilal tidak terlihat, maka umur bulan yang sedang berlangsung di istikmal (digenapkan) 30 hari, dan tanggal 1 bulan barunya ditetapkan pada maghrib hari berikutnya.
Sebagai contoh, untuk penetapan Idul Fitri 1 Syawal 1444 H, pengguna metode rukyat seperti NU akan melakukan rukyat terlebih dahulu pada maghrib Kamis, 29 Ramadhan 1444 H/ 20 April 2023. Setelah dilakukan rukyat, maka tanggal 1 Syawal 1444 H baru bisa di-itsbat (ditetapkan). Bila saat rukyat hilal terlihat, maka 1 Syawal 1444 H akan ditetapkan Jum’at, 21 April 2023, bila hilal tidak terlihat maka 1 Syawal 1444 H akan ditetapkan Sabtu, 22 April 2023.
Namun demikian, NU kini telah mengadopsi kriteria baru MABIMS (Neo MABIMS) yaitu tinggi hilal minimal 3° dan jarak elongasi minimal 6,4°.
Dengan demikian, kemungkinan besar yang berpaham rukyat seperti NU akan menetapkan 1 Syawal 1444 H bertepatan dengan Sabtu, 22 April 2023.
Metode Hisab
Metode hisab adalah metode menetapkan awal bulan hijriah dengan cara menghitung posisi hilal saat maghrib tanggal 29 hijriah. Bila hilal secara hisab sudah memenuhi kriteria tertentu, maka mulai maghrib malam tersebut ditetapkan tanggal 1 bulan baru, tetapi bila secara hisab hilal belum memenuhi kriteria tertentu, maka bulan yang berlangsung di istikmal (digenapkan) 30 hari, dan tanggal 1 bulan baru ditetapkan pada maghrib hari berikutnya.
Adapun kriteria hisab yang digunakan untuk menetapkan tanggal 1 bulan hijriah di Indonesia di antaranya:
1. Wujudul Hilal
Kriteria wujudul hilal menetapkan awal bulan hijriah berdasarkan dua parameter, yaitu bila saat maghrib tanggal 29 bulan hijriah: (1) Telah terjadi ijtimak, dan (2) Posisi hilal sudah ada di atas ufuk lebih dari 0°, maka mulai maghrib malam tersebut sudah masuk tanggal 1 bulan baru hijriah, tetapi apabila saat maghrib belum memenuhi kriteria di atas maka tanggal 1 bulan baru hijriah ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Sebagai contoh, pada Kamis, 29 Ramadhan 1444 H/20 April 2023, ijtimak geosentris sudah terjadi -bahkan bersamaan dengan terjadinya gerhana Matahari- yaitu pada jam 11:12:27 WIB. Kemudian tinggi Bulan saat Matahari terbenam di Indonesia antara 0° 44′ 26″ s/d 2° 21′ 38″.
Data hisab di atas menunjukkan bahwa secara hisab wujudul hilal, hilal sudah muncul, sebab syaratnya sudah terpenuhi, yaitu ijtimak terjadi sebelum maghrib dan posisi Bulan sudah positif di atas ufuk. Hingga menurut hisab wujudul hilal seperti yang digunakan oleh Muhamadiyah, 1 Syawal 1444 H ditetapkan bertepatan dengan Jum’at, 21 April 2023.
2. Imkan Rukyat
Dalam menetapkan awal bulan hijriah, hisab imkanur rukyah mempertimbangkan posisi hilal terendah yang pernah terlihat pada saat maghrib tanggal 29 hijriah. Artinya pengalaman keterlihatan hilal pertama kali dijadikan acuan dalam penentuan awal bulan hijriahnya.
Kriteria Imaknur Rukyah ini banyak ragam dan acuan parameternya. Namun, yang terakhir (tahun 2022) digunakan oleh negara-negara anggota MABIMS (Menteri Agama Brunai, Indonesia, Malaysia dan Singapura) juga digunakan oleh PERSIS dalam 10 tahun terakhir ini hanya 2 parameter saja, yaitu bila saat maghrib tanggal 29 hijriah: (1) Tinggi hilal minimal 3°, dan (2) Jarak elongasi minimal 6,4°, maka mulai maghrib malam tersebut ditetapkan sudah masuk tanggal 1 bulan baru. Namun, apabila belum mencapai kriteria di atas, tanggal 1 bulan baru jatuh pada maghrib malam berikutnya.
Sebagai contoh, pada Kamis, 29 Ramadhan 1444 H/20 April 2023, ijtimak geosentris sudah terjadi -bahkan bersamaan dengan terjadinya gerhana Matahari- yaitu pada jam 11:12:27 WIB. Kemudian tinggi Bulan saat Matahari terbenam di Indonesia antara 0° 44′ 26″ s/d 2° 21′ 38″, Elongasi Matahari dan Bulan antara 2° 19′ 17″ s/d 4° 0′ 42″.
Apabila mengacu kepada kriteria baru MABIMS (Neo MABIMS) di atas maka parameter posisi Bulan akhir Ramadhan 1444 H, belum masuk kedua-duanya. Tinggi hilalnya kurang dari 3°, yaitu maksimal cuma 2° 21′ 38″, dan jarak elongasinya kurang dari 6,4° (6° 24′), yaitu maksimal cuma 4° 0′ 42″.
Pendapat Kami: Puasa dan Berhari Raya Ikut Pemerintah
Kalau kami sendiri lebih cenderung berpuasa dan berhari raya itu ikut pemerintah RI, karena alasan:
Pertama: Kriteria imkanur rukyat ditujukan agar kompatibel dengan hasil rukyat, sedangkan rukyatul hilal inilah yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Hilal adalah fenomena ketampakan yang terkait dengan penentuan awal bulan qamariyah. Hilal bukanlah objek benda.”
Adapun dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melihat hilal, bukan sekadar hilal itu muncul. Jika hilal telah muncul, tetapi belum terlihat, tetap belum dianggap sebagai masuknya awal bulan.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1906 dan Muslim, no. 1080).
Dalam hadits lain disebutkan,
لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الِهلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
“Janganlah kalian biasa hingga melihat hilal. Janganlah kalian berbuka hingga melihat hilal. Jika hilal itu tertutup awan, maka genapkanlah bulan menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, no. 1906, 1907 dan Muslim, no. 1080)
Kedua: Kita diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa bersama-sama pemerintah dan termasuk bentuk taat pada pemerintah dalam hal yang makruf.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani).
Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini berkata,
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ
“Para ulama menafsirkan bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya bersama al jama’ah dan mayoritas manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi adalah berpuasa dengan pemerintah (ulil amri), bukan dengan ormas atau golongan tertentu.
Disebutkan dalam Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibnu Majah,
أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة
“Hadits ini bermakna bahwa perkara penetapan puasa (atau hari raya) bukan urusan individu atau perorangan namun urusan penguasa dan al jama’ah (pemerintah). Wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah mereka. Oleh karenanya jika ada yang melihat hilal lantas pemerintah menolak persaksiannya, maka tidak bisa pendapatnya dipakai dan wajib baginya mengikuti pemerintah kaum muslimin.”
Ketiga: Jika imam (pemimpin) keliru, ia yang menanggung.
Coba perhatikan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُصَلُّونَ لَكُمْ ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ ، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Jika shalat para imam itu benar, maka pahalanya bagi mereka dan untuk kalian. Jika shalat mereka salah, kalian dapat pahala dan mereka dapat dosa.” (HR. Bukhari, no. 694).
Keempat: Pemerintah yang berhak memutuskan (meng-itsbat).
Dalam kitab fikih disebutkan bahwa penetapan berpuasa dan berhari raya adalah menempuh cara: (1) melihat hilal, (2) bersaksi di hadapan qadhi (penguasa, hakim), (3) itsbat (penetapan) dari penguasa. Lihat bahasan Imam Zainuddin Al-Malibari dalam Fath Al-Mu’iin, hlm. 291.
Pernyataan ulama fikih didukung oleh dua dalil berikut ini.
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2342. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا”
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– kembali bertanya. Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun memerintah, “Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 691 dan Ibnu Majah no. 1652. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata bahwa Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menshahihkannya, tetapi An Nasai lebih cenderung pada pendapat bahwa riwayat tersebut mursal).
Moga Jalan Menuju Surga
Taat pada pemerintah kita kata Nabi adalah jalan menuju surga. Dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah saat haji wada’ dan mengucapkan,
اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ
“Bertakwalah pada Allah Rabb kalian, laksanakanlah shalat limat waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat dari harta kalian, taatilah penguasa yang mengatur urusan kalian, maka kalian akan memasuki surga Rabb kalian.” (HR. Tirmidzi, no. 616 dan Ahmad, 5:262. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih, Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini).
Akhirul Kalam
Tulisan ini tidaklah ingin membantah pendapat lain yang tidak sejalan dengan pemerintah. Tulisan ini bertujuan agar para pembaca tidak bingung saat berhari raya Idul Fitri 2023 ini karena jelas potensi berbeda itu ada, antara Jumat dan Sabtu.
Dari mengetahui hal ini, semoga jauh-jauh hari kita sudah bersiap-siap ingin berhari raya ikut siapa, memilih Jumat ataukah Sabtu, memilih shalat Id di mana, memilih khatib Id untuk hari apa, hingga memutuskan kapan mau mudik.
Wallohu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar