Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (lahir di Gowa,Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town,Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa ("tuan guru penyelamat kita dari Gowa") oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.
Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Muhammad Yusuf, suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.
Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniridan mendalami tarekat Qadiriyah.
Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi.
Syaikh Yusuf adalah seorang ilmuwan, sufi, penulis, dan komandan pertempuran abad ke-17, Beliau adalah Tuanta’ Salama’ ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Ketika Kesultanan Gowa mengalami kalah perang terhadap Belanda, Syekh Yusuf pindah keBanten dan diangkat menjadi mufti di sana. Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, dan Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.
Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilangka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.
Pada masa hidupnya sampai sekarang, Syekh Yusuf al-Makassari dikenal pada empat negeri, yaitu Kesultanan Banten (Jawa Barat), Tanah Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan), Caylon (Srilanka) dan Cape Town (Afrika Selatan). Beliau adalah peletak dasar kehadiran komunitas Muslim di Caylon dan Afrika Selatan. Malah beliau dianggap sebagai bapak pada beberapa kumpulan masyarakat Islam di Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan paham adanya perbedaan kulit dan etnis. Bagi warga Cape Town, Dia tidak hanya diakui sebagai ulama, namun juga pejuang bagi rakyat Afrika Selatan. Daerah tempat tinggal Syekh Yusuf di Cape Town diberi nama sebagai kawasan Macassar untuk menghormati tempat asalnya. Syekh Yusuf al-Makassari telah menjadi kebanggaan Islam pada masa kini. Beliau bukan lagi sekedar milik orang Bugis di Sulawesi Selatan, atau milik masyarakat Islam di Afrika Selatan dan Ceylon, tetapi beliau telah tercatat sebagai pejuang kemanusiaan oleh Nelson Mandella (Presiden Afrika Selatan) pada tahun 1994, dan sebagai pahlawan Nasional dan pejuang kemerdekaan oleh Soeharto (Presiden RI) bulan November 1995. Penghargaan yang diberikan kepadanya karena perjuangan beliau semasa hidupnya, baik sebagai seorang pejuang atau mujahid dakwah maupun sebagai ulama atau tokoh cendekiawan Islam. Beliau selama hidupnya dianggap duri dalam daging oleh penjajah barat di Nusantara.
Menurut Lontara warisan kerajaan Kembar Gowa dan Tallo masa kelahiran Syekh Yusuf adalah pada 3 Juli 1628 M, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Riwayat atas penetapan tanggal tersebut telah menjadi riwayat tradisi lisan masyarakat di Sulawesi Selatan sehingga semua kajian yang berkenaan dengan masalah itu sudah menjadi kesepakatan. Ini berarti masa lahir beliau setelah dua puluh tahun pengislaman kerajaan kembar Gowa dan Tallo oleh seorang ulama dari Minangkabau, Sumatera Barat, yaitu Abdul Makmur Khatib Tunggal yang digelari dengan Datuk ri Bandang, Sebagai manusia biasa, ia dilahirkan ke persada bumi ini melalui seorang ayah dan seorang ibu. Dalam “Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, dinyatakan dengan jelas bahwa ayahnya bernama Gallarang Moncongloe, saudara seibu dengan Raja Gowa Sultan Alauddin Imanga‘rang’ Daeng Marabbia, Raja Gowa yang paling awal masuk Islam dan menetapkannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1603 M. Sedang ibunya bernama Aminah binti Dampang Ko’mara, seorang keturunan bangsawan dari Kerajaan Tallo, kerajaan kembar dengan Kerajaan Gowa.
Syekh Yusuf meninggal pada tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73 tahun. banyak versi yang diyakini sebagai makam beliau selain di Macassar Faure (Afsel), Lakiung-Gowa, Banten, Palembang, Srilanka dan talango-Madura. Tapi makam Syekh Yusuf yang sebenarnya ada di Lakiung ujar sejarawan Prof. Anhari Gonggong. (Ia dimakamkan di Lakiung pada hari Selasa, 12 Zulhidjah 1116 H.) Masih menjadi pertanyaan besar, di mana sesungguhnya jenazah Syekh Yusuf dimakamkan. Di masing-masing makam tersebut, masyarakat sekitar sangat meyakini jenazah Syekh Yusuf berada di makam setempat.
Seorang ulama besar tidak mungkin lahir dengan sendirinya, tanpa melalui tempaan-tempaan yang berat. Termasuk tempaan dalam mencari ilmu. Mengetahui guru-gurunya juga sebagai pemetaan jaringan ulama dan corak paham kegamaan yang dikembangkannya. Begitu juga dengan Syekh Yusuf :
Sejak agama Islam menjadi pengangan masyarakat di tanah Bugis, sistem pendidikan awal kepada anak-anak mereka adalah menyampaikan ayat-ayat al-Quran al-Karim melalui cara tradisional dalam pengajaran baca tulis al-Quran. Maka Syekh Yusuf al-Makassari pun tidak lepas dengan sistem itu. Sejak kecil beliau mulai diajarkan hidup secara Islam.
Beliau dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya sejak dini. Sebagai seorang putera keluarga bangsawan dia berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat bagus dengan belajar kepada ulama-ulama ternama pada zamannya, termasuk berkesempatan menimba ilmu di pusat-pusat pendidikan ternama pada zamannya.
Salah satu pusat pendidikan keagamaan yang bagus pada waktu itu berada di Cikoang, yang saat itu merupakan perkampungan para guru-guru agama. Mereka adalah keluarga-keluarga sayyid Arab yang diyakini sebagai keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW. Pada usia 15 tahun Muhammad Yusuf belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana yaitu Syeikh Jalaludin al-Aidit, selain itu beliau mendapatkan pendidikan mengenai bacaan al-Quran melalui seorang guru mengaji yang bernama Daeng ri Tasammang hingga khatam al-Qur’an.
Setelah fasih membaca al-Quran, beliau dibawa oleh orang tuanya ke pondok Pesantren Bontoala untuk menuntut ilmu-ilmu Islam dan ilmu alat, seperti Nahw, sarf, Balaghah, dan Mantiq. Pondok atau pusat pendidikan Bontoala yang didirikan pada tahun 1634, pada masa itu dipimpin oleh seorang ulama yang berasal dari Yaman yang bernama Syed Ba’Alawy bin Abdullah, yang dikenal sebagai al-Allamah Tahir.
Setelah beliau menamatkan pelajarannya di pondok pesantren Bontoala, gurunya Syed Ba’ Alawy menyarankan kepadanya agar terus melanjutkan pengajian di pondok Cikoang. Ada beberapa tahun lamanya Syekh Yusuf belajar di pondok Cikoang di bawah bimbingan dan asuhan Syekh Jalaluddin. Karena kecemerlangan dan kecerdesan otaknya dalam mengikuti pengajian, akhirnya beliau disarankan oleh gurunya untuk meneruskan pelajarannya di Jazirah Arabia. Walaupun hidup di lingkungan istana, namun semangat untuk menuntut ilmu tidak padam oleh tawaran-tawaran kehidupan enak ala istana. Di usia yang masih tergolong remaja (18 tahun), beliau berencana menuntut ilmu ke Makkah.
Sebelum niatan itu terwujud, ada satu adat saat itu yang “harus dipenuhi” oleh Syekh Yusuf sebagai bagian dari keluarga kerajaan, yaitu supaya membekali diri dengan berguru kepada “Para Paku Bumi” di 3 gunung (G. Latimojong wilayah kerajaan Luwu, G. Balusaraung wilayah kerajaan Bone, G. Bawakaraeng wilayah kerajaan Gowa) sebagai puncak 3 kerajaan yang memiliki ciri khas dan tradisi budaya tersendiri.
Tepat pada tanggal 22 September 1644 diusia 18 tahun Yusuf muda berangkat menumpang kapal melayu, dengan tujuan menuntut ilmu-ilmu Islam di Jazirah Arabiah terutama di Mekah dan Madinah sebagai pusat pendidikan Islam pada masa itu. Oleh karena jalan pelayaran niaga pada waktu itu mesti melalui laut Jawa dan transit di Banten,Dalam persinggahan inilah ia berkenalan dengan ulama dan tokoh agama serta orang-orang besar di Banten, Disini dia bersahabat dengan Pangeran Surya anak dari Sultan Mufahir Mahmud Abdul Kadir, Sultan kerajaan Banten pada masa itu.
Kemudian dia berangkat ke Aceh dan berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri salah seorang penasihat Sultonah Shofiyatuddin, raja perempuan Aceh. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Yang lahir di Ranir Gujarat India, setelah dari Aceh lalu beliau melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah untuk melaksanakan ibadah Haji sekaligus berguru dengan ulama disana.
Negeri Yaman adalah persinggahan beliau pertama dan berguru kepada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandy. Lalu ke kota Zubaid berguru kepada Syekh Maulana Sayed Ali al-Baalawiyah Gurunya yang kedua ini adalah seorang muhaddits dan tokoh sufi, dan beliau lebih dikenal sebagai ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah di negeri Yaman pada zamannya.
Musim haji pun tiba maka beliau berangkat ke Mekkah. Setelah menunaikan ibadah Haji maka beliau berangkat ke Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Sekaligus meneruskan pengajiannya di sana. Beliau berguru kepada Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani. dan Hassan al-Ajamiy.
Dari situ Yusuf muda masih melakukan perjalanan studinya ke Negeri Syam (Damaskus) kepada Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi seorang tokoh dakwah dan ulama Sufi serta pakar hadits yang amat masyhur di zamannya, disini Syekh Yusuf mendapatkan predikat “Summa Cum Laude” bergelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. tercatat juga bahwa beliau mempelajari tarekat Dasuqiyah, Syaziliyah, Hasytiah, Rifaiyah, al-Idrusiyah, Suhrawardiyah, Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah, Makhduniyah.
Disini terkesan beliau memiliki pengetahuan yang tinggi. Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).
Untuk melengkapi pengalamannya, beliau melanjutkan perjalanan ke Istambul (Turki). Selepas beliau menimba banyak pengalaman di Istambul, beliau cenderung kembali ke Mekah dan tinggal beberapa lama di sana. Di samping tujuan beribadah juga untuk mengkaji ulang ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya selama dalam pengajian. Pada masa inilah beliau gunakan kesempatan mengajar kepada pelajar-pelajar yang berasal dari Nusantara dan memberi pengajian umum di masjid al-Haram pada musim haji kepada jamaah haji, terutama mereka yang berasal dari tanah Bugis (Sulawesi Selatan).
Di antara murid-murid beliau yang mendapat kepercayaan mengajarkan ilmu-ilmu yang diterimanya di Mekah ialah Abu al-Fath Abdul Basir al-Darir (Tuang Rappang), Abdul Hamid Karaeng Karunrung dan Abdul Kadir Majeneng. Mereka adalah berasal dari Sulawesi Selatan, dan mereka inilah yang menghidup suburkan tarekat Khalwatiyyah Syekh Yusuf di tanah Bugis.
Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi. Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia. Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan. Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri.
Pemikiran tasawuf yang ia kembangkan menegaskan peran tasawuf yang besar dalam pembentukan karakter keberagamaan Islam di nusantara. Beberapa ajarannya, yaitu Makna Tasawuf Hubungannya dengan Akidah, Konsep Tauhid dan Wahdatul Wujud,Konsep Ma’rifat dan Haqiqat, Makna Zikrullah, Wujud Tuhan dan Bayang-Bayang, Karamah, Mu’jizat dan Istidraj, dan Al-Insan al-Kamil, memberikan pengaruh besar dalam keberagamaan umat Islam di Nusantara.
Syekh Yusuf adalah ulama yang produktif menulis, kitab-kitab yang ditulisnya merupakan prasasti ilmu bagi generasi setelahnya. Setidaknya, terdapat 7 karya penting dari beliau, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf seorang Ulama, Sufi dan Pejuang menyebutkan 7 kitab tersebut adalah: (1) Kaifiyat al-munghi Wal Istbat (2) Safinat an-Najat (3) Hablu al-warid li Sa’adat al-Murid (4) al-Barakat as-Sailaniyah (5) an-Nafhati as-Sailaniyah (6) Mathalib as-Salikin (7) Risalat Ghayah al-Ikhtisar.
Berbeda dengan Abu Hamid, Nabilah Lubis dalam Syekh Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari menemukan sedikitnya 25 kitab karangannya yang di tulis era Banten dan Ceylon. Terlepas dari perdebatan berapa jumlah pasti karya Syekh Yusuf, yang pasti masih banyak yang tersisa dari Syekh Yusuf, baik berupa semangat perjuangannya menumpas kedzaliman, maupun belantara ilmu yang masih tercecer. Tinggal bagaimana kita saja, apakah kita bersedia mengais untuk memunguti keutamaan, kearifan, keteladanan, dan ilmu-ilmu dari beliau. Atau malah kita melupakan dengan menggusur bangunan makamnya karena dipenuhi oleh dampak yang dinilai kurang baik dan diganti dengan Mall atau hotel, seperti yang dilakukan oleh Saudi terhadap tempat bersejarah yang terdapat di Makkah.
Syekh Yusuf adalah seorang tokoh besar yang memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban Islam di Nusantara. Keluasan ilmu yang beliau peroleh melalui kontak ilmu pengetahuan dengan pusat-pusat keilmuan Islam telah membentuk pribadinya sebagai pemikir dan penulis muslim. Pemikirannya yang brilian adalah sebuah warisan emas bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.
Konsep-Konsep Tasawuf Syekh Yusuf al-Makassari
Makna Tasawuf dan Hubungannya dengan Akidah.
Syekh Yusuf al-Makassari dalam kajiannya tidak membedakan antara perkataan tasawuf dan suluk. Beliau menyatakan bahwa istilah tasawuf merujuk kepada kaedah pengalaman syariah semata-mata. Suluk pada hakikatnya adalah merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui pengalaman syariah Islam, yaitu ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Walau bagaimanapun istilah tasawuf biasa juga digunakan merujuk kepada hasil dari pada amal ibadah seseorang hamba. Pandangan ini sesuai dengan makna tasawuf yang dikemukakan oleh al-Sya’rani dalam al-Tabaqat al-Kubra yang berbunyi sebagai berikut:
والتصوف إ نما هو زبدة عمل العبد بأ حكام الشر يعة
Tasawuf adalah hasil amalan hamba terhadap hukum-hukum syari’ah.
Definisi tasawuf yang digunakan oleh Syekh Yusuf, di antaranya sebagai berikut:
الجد فى السلوك إ لى ملك الملوك .
“ Bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah Malik al-Muluk”. Di samping itu, definisi lain yang sering juga diungkapkan oleh beliau dalam tulisannya, ialah:
التصوف هو تجر بد القصد إ لى الله تعالى و آ خره هو التخلق با خلا قه سبحا نه وتعال
Tasawuf ialah pemurnian qadas (niat) semata-mata kapada Allah, dan natijahnya ialah mengamalkan akhlak dengan akhlak Allah SWT. Juga ditemukan definisi lain lagi, seperti berikut:
أ ول التصوف علم و أوسطه عمل و آخره مو هب
“Awal tasawuf adalah ilmu, pertengahannya amalan, dan akhirnya ialah pemberian”.
Dari definisi-definisi yang disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf bagi Syekh Yusuf al-Makassari adalah merupakan amalan yang sungguh-sungguh dalam menjalani al-suluk, yaitu usaha mendekatkan diri kepada Allah semata-mata mengharapkan rida-Nya. Dengan demikian, seorang hamba Allah dapat mencapai tarap yang mulia dengan memiliki sifat terpuji yang diridahi oleh Allah SWT melalui suluk atau tasawuf.
Dalam upaya menjalankan pengajaran dan dakwah Islam melalui tasawuf, Syekh Yusuf selalu mengaitkan tasawufnya dengan aqidah Islamiah. Pesan ajaran beliau dalam berbagai tulisannya, terutama dalam al-Nafhah al-Saylaniyyah, Zubdat al-Asrar dan Habi al-Warid, selalu dikaitkan perlunya seorang hamba yang memulai suluknya dengan mengesahkan aqidahnya. Maksudnya yang paling utama diperlukan dalam menjalani amalan tasawuf (suluk) adalah asas aqidah yang sahih. Jika aqidah itu benar dan kuat, maka amalan tasawuf akan berjalan sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Akan tetapi jika aqidah rapuh dan tidak benar, jelas akan merusak amalan selanjutnya, karena asas aqidah yang tidak benar menjadikan seorang salik bisa terperangkap dalam ajaran sesat dengan tidak disadari.
Akidah yang benar, menurut pandangan Syekh Yusuf adalah akidah yang berdasarkan kepada ittiba’ al-Rasûl. Artinya apa yang patut diyakini oleh hamba terhadap Allah adalah sebagaimana yang telah termaktub dalam al-Quran dan al-Sunnah. Keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari qiyamat dan qada dan qadar-Nya, mestilah didasarkan kepada kedua rujukan dasar tersebut. Selain al-Quran dan al-Sunnah, tiada jalan untuk menjadikannya sebagai landasan aqidah yang benar.
Dalam risalah al-Futuhat al-Ilahiyyah, Syekh Yusuf memperincikan rukun tasawuf kepada sepuluh perkara, yaitu:
Pertama : tahrid al-Tauhid, yang bermaksud memurnikan ketauhidan kepada Allah, dengan memahami makna keesaan Allah mengikuti kandunagn surat al-Ikhlas. Di samping itu, dalam meyakini keesaan Allah, mesti dijauhi dari sifat tasybîh dan tajsîm.
Kedua : Faham al-Sima’i, yang bermaksud memahami tata cara menyimak petunjuk dan bimbingan Syekh mursyid dalam menjalani pendekatan diri kapada Allah yang menuju pada tuntutan Islam yang benar.
Ketiga : Husn al-‘Ishra, yang bermaksud memperbaiki hubungan silaturrahim dalam pergaulan (muasarah).
Keempat : Ithar al-Ithar, yang bermaksud mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri demi mewujudkan persaudaraan yang kukuh.
Kelima : Tark al-Ikhtiyar, yaitu bermaksud berserah diri kepada Allah tanpa i’timad kepada ikhtiar sendiri.
Keenam : Sur’at al-Wujd, yang bermaksud memahami secara pantas suara hati nurani (wujudan) yang seiring kehendak al-Haq (Allah).
Ketujuh : al-Kahf ‘an al-Khawâtir, yang bermaksud mampu membedakan yang benar dan yang salah.
Kedelapan : Kathrat al-Safar, yang bermaksud melakukan perjalanan untuk mengambil i’tibar dan melatih ketahanan jiwa.
Kesembilan : Tark al-Iktisab, yang bermaksud tidak mengandalkan usahanya sendiri, akan tetapi ia lebih bertawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa setelah ia berusaha.
Kesepuluh : Tahrîm al-Iddihâr, yang bermaksud tidak mengandalkan pada amal yang telah dilakukannya melainkan tumpuan harapannya hanyalah kepada Allah.
Konsep Tauhid dan Wahdat al-Wujud
Adapun konsep Syekh Yusuf tentang Tauhid al-Ilah, telah dirumuskan dalam risalah al-Nafhah, yaitu:
إ نه تعالى هو المو صوف بأ ية : ليس كمثله شى ء وسورة الأ خلاص.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala disifati dengan ayat al-Quran surat al-Shura ayat II, yang bermaksud: Tiada suatu apapun yang menyerupai-Nya.
Dari pernyataan beliau di atas, jelas bahwa konsep Tauhid beliau tidak lepas dari konsep tauhid Ahl al- Sunnah Wa al- Jamaah yang menetapkan zat dan sifat bagi Allah, sebagaimana yang termaktub dalam al-Quranul Karim. Malah beliau menegaskan bahwa ayat-ayat di atas adalah merupakan dasar Tauhid yang sebenarnya yang mesti dipegangi dan diyakini. Beliau menyebutnya sebagai Um al-I’tiqâdât (induk dari keimanan).
Menurut Syekh Yusuf unsur-unsur ketauhidan yang mesti diyakini sebagai orang yang menjalani suluk (pendekatan diri) di antaranya adalah:
Pertama : Tauhid al-Ahad, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud qadim (wujud tidak berpermulaan), qadim binafsih ( berdiri dengan sendirinya ), muqawwim lighairih (mengadakan selainnya). Sesungguhnya Allah tiada bermula wujud-Nya dan tiada ujung-Nya, tiada serupa dengan-Nya, Dia adalah Maha Tunggal, tumpuan pengharapan, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak satupun yang menyerupai-Nya.
Kedua : Tauhid al-Af’al, ialah meyakini bahwa sesungguhnya Allah, Dialah pencipta segala sesuatunya, Dialah yang memberi daya dan kekuatan dalam melaksanakan semua urusan, apa yang dikehendaki oleh manusia tidak akan mungkin terjadi kecuali atas kemauan Allah jua, semua yang diinginkan oleh Allah pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan mungkin terjadi.
Ketiga : Tauhid al-ma’iyyah, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah senantiasa bersama hamba-Nya di manapun ia berada.
Keempat : Tauhid al-Ihatah, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah meliputi segala sesuatu
Konsep Ma’rifah dan Haqiqah
Dalam konsep ma’rifah dan haqiqah, beliau selalu menghubungkannya dengan dua istilah lain, yaitu syariah dan tariqah yang selalu disinggung secara bersamaan.
Beliau menguraikan keempat istilah itu dan kedudukannya masing-masing. Syariah ditafsirkan sebagai teori (nazariyyah), yaitu ilmu tentang tata cara melakukan ibadah kepada Allah mengikuti syariat Islam yang telah dikaji secara mendalam oleh ulama fiqh (fuqaha). Sementara tariqah ialah pelaksanaan (tatbiq) amal ibadah (syariah Islamiyyah) dengan penuh keikhlasan mengikuti bimbingan seorang mursyid yang dianggap berpengalaman dan memiliki ilmu yang luas tentang syariat Islam. Adapun haqiqah , Syekh Yusuf menafsrkan sebagai suatu sikap yang sangat dalam (mauqif batiniy) ketika beribadah dengan bermusyahadah kepada al-Ma’bud (Allah). Sementara ma’rifah adalah suatu anugerah Ilahi (‘ata Ilahi) yang langsung dirasakan oleh mereka yang telah menjalani suluk mengikuti petunjuk syariah Islam dengan penuh keikhlasan dan sikap ihsan.
Makna Zikrullah
Menurut Syekh Yusuf ibadah zikir itu adalah wujud kesempurnaan ittiba (mengikuti) Nabi Muhammad SAW. Dan amat dianjurkan bagi mereka yang menjalani suluk (pendekatan diri) kepada Allah.
Menurut Syekh Yusuf, zikir ada tiga macam,
(1) “la Ilaha Illa Allah”, dinamakan zikir orang-orang awam atau disebut pula zikir lisan atau lidah; “
(2) Allah-Allah”, zikir orang-orang khawas atau disebut zikir qalb atau hati; dan
(3) “Huwa-Huwa”, yang dinamakan zikir khas al-khawas atau zikir sirr atau rahasia.
Wujud Tuhan dan Bayang-Bayang.
Menurut Syekh Yusuf, apa saja yang ada selain Allah sebenarnya tidak ada. Wujud selain Allah hanyalah sebagai bayangan wujud yang berdiri dan memberi wujud bagi yang lain. Yang demikian itu adalah wujud al-Haq. Ia menggambarkan bahwa bayang-bayang seseorang itu bukan terwujud dengan sendirinya melainkan wujud karena adanya orang itu sendiri. Yang ada itu adalah orangnya saja, sekalipun bayangan itu terlihat dengan mata.
Karamah, Mu’jizat dan Istidraj.
Tentang karamah dan mu’jizat atau hal-hal yang luar biasa yang terjadi atas diri hamba (orang awam) dinamakan istidraj bukan keramah; apabila terjadi atas diri seorang saleh yang melaksanakan syariat berlebih-lebih, maka dinamakanlah karamah sebagai karunia dari Allah dan bila terjadi atas diri seorang nabi, dinamakan mu’jizat, akan tetapi bila terjadi sebelum kenabian dinamakan irhas.
Al-Insan al-Kamil
Manusia sempurna menurut Syekh Yusuf adalah manusia yang mengenal Allah dan sampai ke maqam makrifat, bukanlah manusia biasa atau binatang yang berbentuk manusia. Manusia sempurna yang ingat pada Allah dalam segala urusannya kapanpun dan di manapun ia berada, segala kehendaknya untuk Allah dan selalu disisi-Nya. Manusia sempurna itulah yang dipilih Tuhan untuk menampakkan diri-Nya, lalu diberikan-Nya berbagai macam sifat-Nya kepada manusia tersebut, seolah-olah hamba tersebut setelah berakhlak dengan akhlakullah, menjadi Dia dan menjadi Khalifah-Nya di bumi dan menyerupai-Nya, karena Allah telah menciptakan Adam untuk menjadikannya khalifatullah di bumi. Manusia macam inilah yang menjadi rahasia-Nya.
“Semoga kita bisa mengambil teladan dari beliau.Syekh Yusuf al-Makassar (3 juli 1628-23 mei 1699)”
Syekh Yusuf yang lahir tanggal 3 juli 1628M di di Gowa Sulawesi Selatan dan wafat 23 mei 1699M di Sandvliet Cape Town, adalah seorang tokoh besar yang memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban Islam di Nusantara. Keluasan ilmu yang beliau peroleh melalui kontak ilmu pengetahuan dengan pusat-pusat keilmuan Islam telah membentuk pribadinya sebagai pemikir dan penulis muslim. Pemikirannya yang brilian adalah sebuah warisan emas bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.
Pemikiran tasawuf yang ia kembangkan menegaskan peran tasawuf yang besar dalam pembentukan karakter keberagamaan Islam di nusantara. Beberapa ajarannya, yaitu Makna Tasawuf Hubungannya dengan Akidah, Konsep Tauhid dan Wahdatul Wujud,Konsep Ma’rifat dan Haqiqat, Makna Zikrullah, Wujud Tuhan dan Bayang-Bayang, Karamah, Mu’jizat dan Istidraj, dan Al-Insan al-Kamil, memberikan pengaruh besar dalam keberagamaan umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar