Translate

Sabtu, 08 Agustus 2015

Sejarah Singkat Dan Perkembangan Ilmu Balaghoh

‎Sebuah ilmu tidaklah muncul sekaligus sempurna dalam satu masa. Ilmu mengalami fase sejarah dimana ia muncul, berkembang, dan maju, hingga bisa jadi mengalami kepunahan.

Ilmu balaghah sebagai salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab pun mengalami fase kemunculan, perkembangan, dan seterusnya. Ilmu bahasa Arab yang memiliki tiga cabang ini, yaitu ilmu ma’ani, bayan, dan badi’, tidaklah ada dari awal dalam sistematika seperti yang kita kenal sekarang ini. Dahulu, sama sekali tak dikenal istilah balaghah sebagai sebuah ilmu.

Istilah “’Ilm Al-Balaghah” terdiri atas dua kata, yaitu ‘ilm dan al-Balaghah. Kata “‘Ilm” dapat ditujukan sebagai nama suatu bidang tertentu. Kata “Ilm” juga diartikan sebagai materi-materi pembahasan dalam kajian suatu disiplin ilmu (al-Qadhaya allati tubhatsu fihi). Kata “ilm” juga dapat diartikan sebagai pemahaman yang dimiliki oleh seseorang tentang materi kajian dalam suatu bidang tertentu.‎

Sedangkan kata “al-Balaghah” didefinisikan oleh para ahli dalam bidang ini dengan definisi yang beragam, diantaranya adalah:

1. Menurut Ali jarim dan Musthafa Amin dalam Balaghatul Wadhihah:

أما البلاغة فهي تأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة لها في النفس أثر خلاب مع ملائمة كل كلام للموطن الذي يقال فيه والأشخاص الذين يخاطبون.

“Adapun Balaghah itu adalah mengungkapkan makna yang estetik dengan jelas mempergunakan ungkapan yang benar, berpengaruh dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimatnya dengan tempat diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan kecocokannya dengan pihak yang diajak bicara”.‎
1. Menurut Dr. Abdullah Syahhatah :

الحد الصحيح للبلاغة في الكلام هو أن يبلغ به المتكلم ما يريد من نفس السامع بإصابة موضع الإقناع من العقل والوجدان

“Definisi yang benar untuk term Balaghah dalam kalimat adalahkeberhasilan si pembicara dalam menyampaikan apa yang dikehendakinya ke dalam jiwa pendengar (penerima), dengan tepat mengena ke sasaran yang ditandai dengan kepuasan akal dan perasaannya”.‎

1. Menurut Khatib al-Qazwini yang dikutip oleh Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin :

البلاغة هي مطابقة الكلام لمقتضى الحال مع فصاحته

Balaghah adalah keserasian antara ungkapan dengan tuntutan situasi disamping ungkapan itu sendiri sudah fasih.‎

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa inti dari Balaghah adalah penyampaian suatu pesan dengan menggunakan ungkapan yang fasih, relevan antara lafal dengan kandungan maksudnya, tetap memperhatikan situasi dan kondisi pengungkapannya, menjaga kepentingan pihak penerima pesan, serta memiliki pengaruh yang signifikan dalam diri penerima pesan tersebut.

Ilmu Balaghah berarti suatu kajian yang berisi teori-teori dan materi-materi yang berkaitan dengan cara-cara penyampaian ungkapan yang bernilai Balaghah itu sendiri.‎

Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut Amin Al-Khuli meliputi tiga segi, yaitu: (1) Sejarah tentangmateri balaghah dan ketentuan-ketentuannya, meliputi masalah awal kemunculan, tahapan perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada akhirnya; (2) Kajian tentang tokoh-tokoh ilmu balaghah; (3) Kajian tentang khazanah tulisan atau karangan dalam ilmu balaghah. Ketiga segi di atas terkadang sulit dipisahkan satu per satu dalam kajian yang beruntun. Hal ini karena ketiganya saling berkaitan erat satu sama lain.

Pengetahuan tentang sisi sejarah balaghah perlu dipahami agar muncul kesadaran bahwa ilmu ini memang bukan benda mati yang yang tidak dapat diperbarui. Kesadaran inilah yang dapat menjamin perkembangan ilmu ini ea rah yang lebih maju, tidak mengalami kejumudan atau bahkan kepunahan. Kemajuan yang dimaksud di sini meliputi berbagai segi, entah dari segi pengajarannya yang lebih mudah, cakupan materi yang lebih luas, ataupun hasil penerapan dari ilmu itu sendiri yang memuaskan, atau bahkan munculnya ilmu baru dari ilmu yang telah ada.

Dalam tulisan ini, pembahasan akan lebih banyak pada sejarah tentang materi balaghah, tanpa banyak menyebutkan tokoh-tokoh maupun buku-buku karangan balaghah yang ada.

Al-Quran dan Munculnya Ilmu-Ilmu Bahasa Arab

Ilmu-ilmu bahasa Arab berkembang pesat tak lepas dari faktor turunnya Al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran sebagai kitab samawi pegangan umat Islam merupakan inspirator bagi para ahli bahasa Arab untuk mengkonsep berbagai macam pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjaga keasliannya, membantu memahaminya, dan menemukan sisi-sisi keindahannya.
Para pakar bahasa ketika menghendaki menafsirkan satu ayat atau menetapkan makna dari satu kata yang sulit dipahami, maka mereka mendatangkan syair jahiliy yang memuat kata tersebut beserta makna dan gaya bahasanya. Hal ini khususnya bagi tafsir yang banyak menggunakan pemaknaan secara bahasa, misal Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari (w. 538). Interaksi para pakar dengan syair dan produk kesusastraan (adab) lainnya inilah yang menjadikan mereka menulis berjilid-jilid buku tentang kumpulan syair, makna kosakata, khithobah, dan khazanah sastra lainnya. Mereka menulisnya salah satunya demi khidmah kepada Al-Quran.

Dari sinilah kemudian ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kata-kata muncul dan berkembang. Ilmu-ilmu ini lebih dari dua puluh macam, seperti nahwu, sharaf, isytiqaq, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudl, dan lain-lainnya.

Balaghah Pada Masa Pra-Kodifikasi

Secara historis istilah balaghah muncul belakangan setelah benih-benih ilmu ini telah muncul dengan berbagai istilahnya sendiri. Bahkan, sebelum ilmu-ilmu tersebut dikenal, esensinya telah mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Berbagai macam pengetahuan manusia, mulai dari ilmu, filsafat, seni, dan lainnya telah ada di akal dan lisan manusia dalam kehidupannya jauh sebelum diajarkan dan dikodifikasikan.

Tidak terkecuali ilmu balaghah, ilmu yang terkait ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.

Setiap bangsa pasti akan memilih yang bagus dari seni berbahasa mereka. Membedakan antara bahasa yang baik dan buruk telah menjadi kemampuan fitrah mereka sebagai pemilik bahasa tersebut. Mereka pun telah menggunakan berbagai macam gaya bahasa yang indah. Tak terkecuali bangsa Arab dan bahasa mereka.
Sebagaimana telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah satu faktor munculnya berbagai ilmu bahasa. Keindahan bahasa Al-Quran yang tak tertandingi menjadikannya sebagai puncak tertinggi dalam hal ketepatan dan keindahan berbahasa Arab.
Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling mengkritisi syair satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan mereka tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu balaghah.

Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan non-Arab seiring kemajuan peradaban Islam menjadikan perlu disusunnya sebuah ilmu pengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika terdapat kaidah ataupun pembanding. Hal ini penting terutama karena mereka punya keinginan besar untuk mengetahui kemukjizatan Al-Quran.

Tradisi sastra arab telah berakar jauh sebelum munculnya agama Islam di semenanjung Arab. Pada mulanya Islam dipahami melalui penggunaan bahasa arab yang literer. Namun pada masa perkembangan selanjutnya, sastra Islam sedikit demi sedikit dipengaruhi Alqur'an dan Hadits Nabi.
Tradisi sastra Islam, khususnya Arab, bahkan jauh sebelum lahirnya Islam. Walaupun sampai abad ketujuh hanya dikenal sastra lisan, berbentuk puisi, pribahasa dan pidato, tradisi lama ini tetap bertahan sampai sekarang. Lirik lisan untuk dinyanyikan pada umumnya berisi kisah kepahlawanan, kebanggaan suku dan keturunan, elegi (marasiin), cinta, dan pelampiasan balas dendam.

Dalam berbagai literature disebutkan bahwa disiplin ilmu balaghah merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang menjadi alat untuk menguak kemukjizatan Alqur'an. Sebagaimana diketahui bahwa Alqur'an dikenal dengan susunan kalimatnya yang indah, tertib, dan rapi. Kelebihan ini disinyalir kuat karena memang mukjizat nabi terakhir ini diturunkan di tengah-tengah komunitas pengagum sastra. Bahkan, pasar Ukadz merupakan tempat yang menjadi ajang jual-beli sastra di masa jahiliyah, sebelum nabi Muhammad datang membawa Islam.
Secara terminologi, balaghah adalah suatu disiplin ilmu yang berfungsi untuk mengetahui aturan-aturan dalam merangkai kata-kata ataupun kalimat yang indah dan fasih, tepat, dan sesuai dengan kondisi yang ada (muqtadla al-hal). 

Pasca Turunnya Al-Qur’an

Sebagaimana dilihat sebelumnya bahwa keberadaan Balaghah pasca turunnya al-Qur’an sudah demikian berkembang, lebih-lebih setelah turunnya al-Qur’an. Keindahan dan kelembutan berbahasa merupakan pokok kajian yang tak habis-habisnya, yang telah melahirkan banyak ungkapan-ungkapan yang indah dan bermakna dalam kepustakaan sastra, terutama setelah turunnya al-Qur’an yang merupakan salah satu inspirator dalam melahirkan keindahan dan kelembutan berbahasa tersebut.
Dalam tradisi Islam, al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber keindahan atau ke-balaghah-an bagi para penyair dan penulis prosa. Al-Qur’an, diakui oleh mereka sebagai puncak balagah dan merupakan model utama dalam rujukan penggubahan syai’r.
Kedudukan al-Qur’an begitu penting dan berpengaruh besar terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola tutur umat Islam. Seluruh umat sepakat bahwa salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan bahasanya yang tak tertandingi oleh ungkapan manapun. Gagasan tentang nilai keindahan dan keluhuran tradisi sastra al-Qur’an tidak hanya diakui dalam kesusastraan dan kebahasaan, namun hal tersebut telah menjadi doktrin agama yang mendasar. Otentisitas al-Qur’an didasarkan atas ajaran ketidakmungkinan al-Qur’an untuk dapat ditiru oleh siapapun, baik dari sisi kandungannya, maupun sisi keindahannya. Itulah konsep I’jaz al-Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang tak tertandingi. Tidak seorangpun manusia yang bisa membuat ungkapan-ungkapan yang serupa dengan al-Qur’an.

Bahkan sebagian pakar sastra mencoba dengan sadar dan seksama untuk menyamai bahkan melampaui keindahan al-Qur’an. Upaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk meladeni tantangan al-Qur’an yang begitu menggugah orang-orang yang memiliki keahlian dan keberanian di antara mereka, meski usaha tersebut tidak pernah berhasil. Tantangan al-Qur’an itu semakin menarik perhatian mereka disamping telah adanya rasa cinta terhadap keindahan dan ketinggian bahasa yang melekat kuat dalam jiwa mereka sejak masa pra turunnya al-Qur’an.
Sampai masa permulaan Islam ini keberadaan ilmu Balaghah sebagai suatu disiplin ilmu yang utuh seperti saat inibelum terkodifikasi, namun ia terus mengalami perkembangan sedikit demi sedikit. Diawali dengan kajian sastra terhadap beberapa sya’ir dan pidato-pidato orang Jahiliah, dilanjutkan dengan mengulas sya’ir dan sastra pada masa awal Islam, sampai kepada masa pemerintahan Daulah Umaiyah, ia terus mengalami perkembangan yang menggembirakan.‎

Perkembangan Balaghah dari Masa ke Masa

Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah adalah tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208), murid Al-Khalil (w. 170 H).Sedangkan ilmu ma’ani, maka tidak diketahui pasti orang pertama kali yangmenyusun tentang ilmu tersebut. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para ulama, terutama al-Jahidz (w. 255 H) dalam I’jazul Quran-nya.Adapun penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal, yang dianggap sebagai pelopor, adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far .[8]Dan Al-Jahizh dipandang sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam sejarah perkembangan ilmu Balaghah secara umum dan ilmu Bayan secara khusus, lewat karya tulisnya yang lain berjudul al-Bayan wa al-Tabyin
Ilmu Balaghah terusmengalami perkembangan sehingga mencapai banyak kemajuan ditandai dengan semakin utuhnya kajian-kajian didalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang disusun oleh Imam Abdul Qahir al-Jurjani. Kedua kitab tersebut adalah : Pertama,kitab Asrarul Balaghah yang berisi Ilmu Ma’ani yang merupakan bagian dari Balaghah.Kedua, kitab I’jazul Qur’an, yang berisi tentang keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan makna yang merupakan keistimewaan uslub Al-Qur’an yang menunjukkan kemukjizatannya.
Kemudian disusul dengan kemunculan Imam As-Sakaki yang semakin mematangkan keberadaan Ilmu Balaghah sebagai disiplin Ilmu. Beliau menyusun sebuah karya besar yang menguraikan ilmu tersebut disamping ilmu-ilmu pengetahuan bahasa Arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama ‎Miftahul ‘Ulum.
Sedangkan pembagian ilmu Balaghah ke dalam tiga istilah (Ilmu Ma’ani, Bayan, danBadi’) seperti yang dikenal sekarang dilakukan oleh Al-Khatib al-Qazwainy (w. 729 H) pada abad ke-VII H dalam karyanya yang bernama Talkhisul Miftah yang merupakan ringkasan dari kitab Miftahul ‘Ulum karya As-Sakaki.

Disipilin ilmu balaghah mulai dikenal pada masa dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, terjadi perdebatan yang sengit di kalangan para sastrawan dan para ahli bahasa dalam mengungkap mukjizat Alqur'an. Seperti disinggung dalam kitab al-Maqasid karya as-Syaikh Sa'duddin al-Taftazani, ketegangan ini menyebabkan terjadinya perpecahan dalam tubuh umat Islam. Sehingga mereka berinisiatif untuk mendirikan aliran sesuai dengan keinginannya sendiri.

Sebenarnya ketegangan ini ditimbulkan oleh salah satu pendapat Ibrahim al-Nidzam yang dianggap paling menyesatkan. Al-Nidzam mengatakan bahwa Alqur'an tidak memiliki kekuatan mukjizat berupa kefasihan dan kebalighannya. Bahkan, semua orang Arab pasti bisa membuat kalimat yang nilainya sama dengan bahasa yang digunakan Alqur'an.
Pendapat ini mengundang reaksi keras para pakar sastra dan ulama waktu itu. Di antaranya adalah al-Baqilany, Imam Haramain, dan Imam al-Fakhrurrazi. Mereka kemudian menulis sebuah risalah yang isinya menolak semua argumen Ibrahim al-Nidzam, dan mengungkap kebobrokan aliran yang dianut olehnya.

Sebagaimana yang tertera di dalam kitab 'Ulum al-Balaghah' karya Ahmad Mushthofa al-Maraghi, bahwa yang pertama kali memperkenalkan metode balaghah adalah Ubaidah Mu'ammar bin Mutsanna al-Rowiyah (w. 211 H.), salah satu murid Imam Kholil yang notabene pakar bahasa arab. Ubaidah menulis sebuah kitab tentang Ilmu Bayan (salah satu topic utama disiplin ilmu balaghah, selain Ma'aniy dan Badi') yang bernama Majaz Alqur'an.
Akan tetapi, sebenarnya yang lebih tersohor dalam menyusun kaidah-kaidah balaghah adalah Khalifah Abdullah bin Mu'taz bin Mutawakkil al-Abbasiy (w. 296 H). Dalam usahanya menyusun kaidah balaghah tersebut, beliau betul-betul mendalami dan menekuni dunia sastra (sya'ir), kemudian menyusun kitab bernama Al-Badi'. 

Dalam kitab tersebut beliau menguraikan tentang tujuh belas macam kaidah balaghah seperti Kinayah, Bayan, Isti'arah, dan Tauriyah. Dalam salah satu tulisannya beliau berkata, "Tak seorang pun sebelum aku yang pernah mengarang ilmu Badi', dan tidak seorang pun yang pernah menyusunnya selain aku. Bagi siapa saja yang ingin mempelajari karanganku, maka lakukanlah. Jika ada (di antara kalian) yang melihat kebaikan dalam karangan tersebut, maka itu perlu dicoba (dibuktikan)."

Sepeninggal beliau, pada periode selanjutnya perkembangan balaghah kian pesat dan signifikan. Hal ini dengan tersusunnya sebuah risalah bernama Naqdu Qudamah yang disusun oleh Qudamah bin Ja'far al-Baghdady (w. 310 H.). Kitab ini merupakan kelanjutan dari karangan Khalifah Abdullah al-Mu'taz al-Abbasiy, sekaligus menyempurnakan istilah-istilah yang dipakai di dalamnya. Kalau dalam kitab Al-Badi' Khalifah bin al-Mu'taz hanya mengenalkan tujuh belas istilah saja, maka imam Qudamah memperkenalkan beberapa kaidah-kaidah baru sehingga jumlah keseluruhan menjadi tiga puluh kaidah.

Tidak hanya sampai di situ saja, kedua kitab tersebut kemudian dipelajari lagi oleh imam Abu Hilal bin Abdillah al-'Askary (w. 395 H.). Dari pendalaman itu beliau akhirnya menyusun sebuah kitab bernama Al-Shina'ataini, yang disampaikan dengan dua kalimat, prosa dan sastra. Di dalamnya terdapat sebanyak 35 macam badi', serta membahas beberapa masalah yang berkaitan dengan balaghah seperti Fashahah, Balaghah, Ijaz, dan beberapa bab Naqdu al-Syi'ry (kritik sastra). Kitab inilah yang kemudian dianggap sebagai karangan pertama yang mengarah langsung pada tiga materi pokok ilmu balaghah berupa Ma'ani, Bayan, dan Badi' secara lengkap dan sempurna.
Abad kelima Hijriyah (atau abad kesepuluh dan kesebelas masehi) merupakan puncak dari kebangkitan ilmu balaghah. Hal itu bersamaan dengan maraknya diskusi filsafat, sastra juga kian subur lagi. Pendorongnya ialah kegairahan mengkaji sastra di kalangan ilmuwan dan filosof, dan munculnya berbagai teori sastra yang inspiratif bagi penciptaan. Di antara filosof dan ahli teori sastra terkemuka yang telah memberikan sumbangsih besar dalam teori dan kajian sastra adalah Abdul Qahir al-Jurjani, al-Baqillani, al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), Qudamah, dan lainnya. Dalam teori mereka disampaikan pentingnya imajinasi (takhyil) dalam penciptaan karya seni. Mereka juga menemukan bahwa kekuatan bahasa Alqur'an disebabkan banyaknya ayat-ayat yang menggunakan bahasa figuratif (majaz), citraan visual (tamtsil), pengucapan simbolik (mitsal), dan metafora (isti'arah). 

Sebagai kitab suci yang mengandung nilai sastra tinggi, tidak diragukan lagi bahwa Alqur'an memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kesusastraan. Lebih daripada itu, kitab ini mampu membangkitkan perkembangan ilmu bahasa. Di samping itu, Alqur'an mengandung rujukan yang melimpah untuk berbagai cabang ilmu, dan di dalam Alqur'an pula terdapat banyak kisah dengan cara penyajian yang khas dan menarik. Pola ini pula yang turut mempengaruhi corak naratif sastra Islam. Yang perlu diketahui adalah bahwa perkembangan sastra yang demikian pesat ini sepenuhnya disulut oleh pengaruh kitab suci Alqur'an. Walaupun bukan merupakan kitab sastra, tapi Ia memiliki nilai sastra yang sangat tinggi.

Kelebihan di bidang sastra inilah yang juga menjadi nilai lebih dari Alqur'an sekaligus menjadi mukjizat Alqur'an sepanjang masa. Konon, tak satupun orang-orang arab Jahiliyah yang mampu menandingi bahasa Alqur'an yang begitu indah dan menawan. Sayyidina Umar r.a. pun sampai menangis dan akhirnya masuk Islam setelah mendengar bacaan ayat suci Alqur'an. Tak heran jika kemudian Alqur'an menjadi rujukan dan bahan utama yang dibidik oleh ilmu balaghah.
Salah satu hal penting dan signifikan yang menandakan pembaharuan dalam sastra ialah dikaitkannya sastra dengan adab, terutama dalam pemerintahan Abbasiyah (750-1258 M.). Bahkan di masa kemudian sastra lebih identik dengan bahasa arab, dan seorang penulis karya sastra disebut al-Adib.

Masa Keemasan Balaghah dan Lahirnya Ulama Balaghah Terkemuka

Era keemasan ilmu Balaghag diawali dengan lahirnya seorang sastrawan terkemuka bernama Abu Bakar Abdul Qahir bin Abdurrahman al-Jurjani (w. 471 H.) yang dikenal dengan nama Abdul Qahir al-Jurjani. Beliau termasuk figur yang sangat perhatian terhadap ilmu balaghah. Dalam sejarah, beliaulah yang dikenal menguraikan semua kaidah balaghah satu persatu, mengajukan contoh yang mudah dimengerti dan menggunakan bahasa yang mudah dicerna. Hal itu tercermin dalam kitabnya yang bernama Asrar al-Balaghah dan Dalail al-I'jaz. Dalam penyampaiannya beliau memandang bahwa ilmu dan tindakan harus sama-sama berjalan. 

Oleh karena itu, contoh-contoh yang beliau kemukakan selalu berkaitan erat dengan hal-hal yang banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya agar pembaca lebih mudah mencerna kaidah-kaidah balaghah yang beliau sampaikan. Masalahnya, semua tema yang terdapat di dalam balaghah tidak akan mudah dicerna kecuali dengan memperbanyak contoh-contoh dan latihan. Maka contoh global itulah yang kemudian diolah dan dijelaskan sejelas mungkin, selain juga diperkuat dengan gambaran-gambaran particular yang makin memperjelas kandungan balaghah dalam satu redaksi atau ungkapan.

Walaupun pada masa sebelum itu ada beberapa cendekiawan yang telah memperkenalkan kaidah balaghah, seperti Imam al-Jahidz, Qudamah al-Katib, akan tetapi justru Abdul Qahir yang dianggap sebagai salah satu pelopor ilmu balaghah. Klaim tersebut bukanlah omong kosong belaka dan tanpa alasan. Penilaian ini berdasarkan kontribusi Abdul Qahir yang betul-betul membangkitkan ilmu balaghah. Apa yang beliau berikan, tidak pernah sekalipun berhasil disamai oleh periode-periode sebelum dan sesudah beliau. Beliau berhasil membangun ilmu balaghah menjadi disiplin ilmu pengetahuan yang dikenal masyarakat luas.
Setelah masa keemasan Abdul Qahir berlalu, muncullah al-Imam Jar al-Allah al-Zamakhsyari, yang dikenal dengan nama Imam Zamakhsyari (w. 538 H.). Beliau banyak menguak unsur-unsur balaghah yang terdapat dalam Alqur'an, mukjizatnya, maksud ayat, serta keistimewaan yang dimiliki ayat-ayat tertentu.

Pada masa berikutnya, muncullah seorang ulama balaghah terkenal yang kontribusinya juga tidak kalah penting, yaitu Abu Ya'kub Yusuf al-Sakaky atau dikenal dengan nama Imam Sakaky (w. 626 H.). Beliau menulis kitab berjudul Miftahul Ulum yang isinya menyempurnakan dan melengkapi karangan-karangan terdahulu, serta menjelaskan kekurangan yang terdapat sebelumnya, dan banyak meneliti (mengkritik) kaidah-kaidah balaghah yang dianggap tidak diperlukan. Hasil penelitian tersebut kemudian dituangkan dalam kitab tersebut dengan penyampaian yang sistematis, dan dikelompokkan dalam bab-bab tertentu dengan rapi, dan mengklasifikan beberapa kaidah yang terpisah satu sama lain.
Semua itu beliau lakukan karena beliau banyak mempelajari kitab-kitab mantiq dan filsafat. Tentu saja kitab ini memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan kitab-kitab sama yang ditulis pada masa-masa sebelumnya.

Keberadaan Imam Sakaky ini juga ditenggarai menjadi salah satu pendorong berkembangnya ilmu balaghah. Bahkan, sejarawan dan sosiolog terkemuka sekelas Ibnu Khaldun menyebutkan kalau Imam al-Sakaky yang menjadi pioner balaghah, bukan Abdul Qahir. Apalagi Imam al-Sakaky merupakan tokoh yang menjembatani antara Abdul Qahir, yang menggabungkan ilmu dan amal, dengan orang-orang kontemporer, yang memaksakan diri untuk mengkaji balaghah. Mereka menyamakan balaghah dengan ilmu-ilmu nazariyah (rasional), serta menafsiri kalimat-kalimatnya seperti mengkaji ilmu bahasa arab. 

Keadaan ini hampir membuat balaghah lebih mirip dengan teka-teki dan tebak-tebakan. Sehingga batasan dan kriteria ilmu balaghah hampir musnah dan hilang. Lebih parah lagi, kitab-kitab karangan Abdul Qahir mulai ditelantarkan, dan tidak lagi dipelajari. Barangkali inilah nasib sebuah ilmu pengetahuan jika dipelajari oleh orang-orang yang berada dalam masa kehancuran (penurunan) kelemahan. Dalam kasus ini, kitab Asror al-Balaghah-nya Abdul Qahir bisa disamakan dengan kitab Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun, atau Sultan Sulaiman dengan kitab Qawanin-nya.

Walaupun demikian, dalam pandangan Ahmad Mushthofa al-Maraghi, dibandingkan dengan Abdul Qahir, Imam al-Sakaky tak ubahnya hanya mem'bebek' pada Abdul Qahir. "ma kana al-sakaky illa 'iyalan 'ala abdil qahir," komentar beliau dalam kitab 'Ulum al-Balaghah-nya. Apalagi penggunaan redaksi dan penjelasan materi balaghah yang disampaikan oleh Imam al-Sakaky justru kurang tersusun rapi dan terkesan kacau. Mungkin kelebihan Imam al-Sakaky adalah karena beliau hidup setelah era Abdul Qahir, serta penyajian materi yang menggunakan sub bab yang lebih banyak dikenal. 

Tapi, lanjut al-Maraghi, seseorang yang hidup lebih dulu (Abdul Qahir) mempunyai kelebihn daripada orang yang hidup belakangan, karena dia dianggap sebagai pelopornya. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih dulu, Abdul Qahir atau Imam al-Sakaky, ilmu balaghah telah mencapai tingkatan tertinggi pada masa itu. Hanya saja, beberapa sejarawan ada juga yang menganggap bahwa yang pantas menjadi 'Bapak' ilmu balaghah adalah Imam al-Sakaky. Tentu saja, perbedaan pendapat dan kaidah balaghah yang seringkali berbenturan satu sama lain, selalu mewarnai pembahasan kaidah dan tema ilmu balaghah secara merata. 

Tokoh-tokoh Ilmu Balaghah dan Ilmu Ma’ani
 Ilmu ma’ani membahas bagaimana kita mengungkapkan sesuatu ide fikiran atau perasaan ke dalam bahasa yang sesuai dengan konteksnya. Tokoh pertama yang mengarang buku dalam bidang ilmu bayân adalah Abû Ubaidah dengan kitabnya Majâz Alquran. Beliau adalah murid al-Khalil. Dalam bidang ilmu ma’âni, kitab I’jâz Alquran yang dikarang oleh al-Jâhizh merupakan kitab pertama yang membahas masalah ini. Sedangkan kitab pertama dalam ilmu badî’ adalah karangan Ibn al-Mu’taz dan Qudâmah bin Ja’far. Pada fase berikutnya, munculah seorang ahli balâghah yang termashur,beliau adalah Abd al-Qâhir al-Jurzâni yang mengarang kitab Dalâil al-I‘jâz dalam ilmu ma’âni dan Asrâr al-Balâghah dalam ilmu bayân. Setelah itu muncullah Sakkâki yang mengarang kitab Miftah al-Ulûm yang mencakup segala masalah dalam ilmu balâghah. Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, masih banyak lagi tokoh yang mempunyai andil dalam pengembangan ilmu balâghah, yaitu:
1.      Hasan bin Tsabit, beliau seorang penyair Rasullullah saw. Orang Arab sepakat bahwa ia adalah seorang tokoh penyair dari kampung. Suatu pendapat menyatakan bahwa ia hidup selama 120 tahun; 60 tahun dalam masa Jahiliyah dan 60 tahun dalam masa keislaman. Ia meninggal pada tahun 54 H.
2.      Abu-Thayyib, beliau adalah Muhammad bin al-Husain seorang penyair kondang. Ia mendalami kata-kata bahasa Arab yang aneh. Syi’irnya sangat indah dan memiliki keistimewaan, bercorak filosofis, banyak kata-kata kiasannya dan beliau mampu menguraikan rahasia jiwa. Ia dilahirkan di Kufah, tepatnya di sebuah tempat bernama Kindah pada tahun 303 H, dan wafat tahun 354 H.
3.       Umru’ al-Qais, ia tokoh penyair Jahiliyah yang merintis pembagian bab-bab dan macam-macam syi’ir. Ia dilahirkan pada tahun 130 sebelum Hijriyah. Nenek moyangnya adalah para raja dan bangsawan Kindah. Ia wafat pada tahun 80 sebelum Hijriyah. Syi’ir-syi’irnya yang pernah tergantung di Ka’bah sangat masyhur.
4.       Abu Tammam (Habib bin Aus Ath-Tha’i), ia seorang penyair yang masyhur, satu-satunya orang yang mendalam pengetahuannya tentang maâni, fashahah al-syâir, dan banyak hafalannya. Ia wafat di Mosul pada tahun 231 Hijriyah.
5.       Jarir bin Athiyah al-Tamimi, ia seorang di antara tiga penyair terkemuka pada masa pemerintahan Bani Umayah. Mereka adalah al-Akhthal, Jarir, dan al- Farazdaq. Dalam beberapa segi ia melebihi kedua rekannya. Dia wafat pada tahun 110 H.
6.       Al-Buhturi, ia seorang penyair Bani Abasiyah yang profesional. Ketika Abu al- ‘A’la al-Ma’arri ditanya tentang al-Buhtury dia berkata, “Siapakah yang ahli syi’ir di antara tiga orang ini, Abu Tammam, al-Buhturi, ataukah al- Mutanabbi?” Ia menjawab, “Abu Tamam dan al-Mutanabbi keduanya adalah para pilosof; sedangkan yang penyair adalah al-Buhturi”. Dia lahir di Manbaj dan wafat di sana pada tahun 284 H.”
7.       Saif al-Daulah, ia adalah Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Hamdan, raja Halab yang sangat cinta syi’ir. Lahir tahun 303, wafat tahun 356.
8.      Ibnu Waki’, ia seorang penyair ulung dari Baghdad. Lahir di Mesir dan wafat di sana pada tahun 393 H.
9.       Ibn Khayyath, ia seorang penyair dari Damaskus. Ia telah menjelajahi beberapa negara dan banyak mendapatkan pujian dari masyarakat yang mengenalnya. Ia sangat masyhur, karena karya-karyanya khususnya pada buku-buku syi’ir yang sangat populer. Ia wafat pada tahun 517 H.
10.   Al-Ma’arri, ia adalah Abu al-‘Ala’ al-Ma’arri. Dia seorang sastrawan, pilosof dan penyair masyhur, lahir di Ma’arrah (kota kecil di Syam). Matanya buta karena sakit cacar ketika berusia empat tahun. Dia meninggal di Ma’arrah pada tahun 449 H.
11.  Ibn Ta’awidzi, ia adalah penyair dan sastrawan Sibth bin at-Ta’awidzi. Wafat di Baghdad pada tahun 584 H, dan sebelumnya buta selama lima tahun.
12.  Abu Fath Kusyajin, ia seorang penyair profesional dan terbilang sebagai pakar sastra. Ia cukup lama menetap di Mesir dan berhasil mengharumkan negeri itu. Dia wafat pada tahun 330 H.
13.  Ibn Khafajah, ia seorang penyair dari Andalus. Ia tidak mengharapkan kemurahan para raja sekalipun mereka menyukai sastra dan para sastrawan. Ia wafat pada tahun 533 H.
14.  Muslim bin al-Walid, ia dijuluki dengan Shari’ al-Ghawani. Ia seorang penyair profesional dari dinasti Abbasiyah. Ia adalah orang yang pertama kali menggantungkan syi’irnya kepada Badî’. Dia wafat pada tahun 208 H.
15.  Abu al-‘Atahiyah, ia adalah Ishaq bin Ismail bin al-Qasim, lahir di Kufah pada tahun 130 H. Syi’irnya mudah di pahami, padat dan tidak banyak mengada-ada. Kebanyakan syi’irnya tentang zuhud dan peribahasa. Dia wafat pada tahun 211 H.
16.  1Ibn Nabih, ia seorang penyair dan penulis dari Mesir. Ia memuji Ayyubiyyin dan menangani sebuah karya sastra berbentuk prosa buat Raja al-Asyraf Musa. Ia pindah ke Mishshibin dan wafat di sana pada tahun 619 H.
17.  Basysyar bin Burd, ia seorang penyair masyhur. Para periwayat menilainya sebagai seorang penyair yang modern lagi indah. Ia penyair dua zaman, Bani Umayah dan Bani Abasiyah. Dia wafat pada tahun 167 H.
18.  Al-Nabighah Al-Dzubyani, ia adalah seorang penyair Jahiliyah. Ia dinamai Nabighah karena kejeniusannya dalam bidang syi’ir. Ia dinilai oleh Abd al- Malik bin Marwan sebagai seorang Arab yang paling mahir bersyi’ir. Ia adalah penyair khusus Raja Nu’man Ibn al-Mundzir. Di zaman Jahiliyah, ia mempunyai kemah merah khusus untuknya di pasar tahunan Ukash. Para penyair lain berdatangan kepadanya, lalu mereka mendendangkan syi’irsyi’irnya untuk ia nilai. Ia wafat sebelum kerasulan Muhammad saw.
19.  Abu al-Hasan al-Anbari, ia seorang penyair kondang yang hidup di Baghdad. Ia wafat pada tahun 328 H. Ia terkenal dengan ratapannya kepada Abu Thahirbin Baqiyah, patih ‘Izz al-Daulah, ketika ia dihukum mati dan tubuhnyadisalib. Maratsi-nya (ratapannya) itu merupakan maratsi yang paling jarangmengenai orang yang mati disalib. Karena ketinggiannya, Izzud Daulahsendiri memerintahkan agar dia disalib. Dan seandainya ia sendiri yangdisalib, lalu dibuatkan maratsi tersebut untuknya.
20.  Syarif Ridha, ia adalah Abu al-Hasan Muhammad yang nasabnya sampaikepada Husain bin Ali as. Ia seorang yang berwibawa dan menjaga kesuciandirinya. Ia disebut sebagai tokoh syi’ir Quraisy karena orang yang pintar di antara mereka tidak banyak karyanya, dan orang yang banyak karyanya tidak pintar, sedangkan ia menguasai keduanya. Ia lahir di Baghdad dan wafat di sana pada tahun 406 H.
21.  Said bin Hasyim al-Khalidi, ia seorang penyair keturunan Abdul Qais. Kekuatan hafalannya sangat mengagumkan. Ia banyak menulis buku-buku sastra dan syi’ir. Ia wafat pada tahun 400 H.
22.  Antarah, ia adalah seorang penyair periode pertama. Ibunya berkebangsaan Ethiopia. Ia terkenal berani dan menonjol. Ia wafat tujuh tahun sebelum kerasulan Muhammad. Ibnu Syuhaid al-Andalusi, ia dari keturunan Syahid al-Asyja’i. Ia seorang pemuka Andalus dalam ilmu sastra. Ia dapat bersyi’ir dengan indah dan karya tulisnya bagus. Ia wafat di Kordova, tempat kelahirannya pada tahun 426 H. Al-Abyuwardi, ia adalah seorang penyair yang fasîh, ahli riwayat, dan ahli nasab. Karya-karyanya dalam bidang bahasa tiada duanya. Ia wafat di Ishbahan pada tahun 558 H. Abiyuwardi adalah nama kota kecil di Khurasan.
23.  Ibnu Sinan al-Kahfaji, ia adalah seorang penyair dan sastrawan yang berpendirian syi’ah. Ia diangkat menjadi wali pada salah satu benteng di Halab oleh Raja Mahmud bin Saleh, tetapi ia memberontak terhadap raja. Akhirnya ia mati diracun pada tahun 466 H.
24.  Ibnu Nubatah Al-Sa’di, ia adalah Abu Nashr Abd al-Aziz, seorang penyair ulung yang sangat lihai dalam merangkai dan memilih kata. Ia wafat pada tahun 405 H.‎

Mukjizat Alqur'an Menurut Balaghah

Alqur'an merupakan satu-satunya kitab samawi yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa tidak seorang pun yang mampu menandinginya, meskipun seluruh manusia dan jin berkumpul untuk melakukan hal itu. Bahkan, mereka tidak akan mampu sekalipun untuk menyusun, misalnya, sepuluh surat saja, atau malah satu surat pendek sekalipun yang hanya mencakup satu baris saja.
Oleh karena itu, Alqur'an menantang seluruh umat manusia untuk melakukan hal itu. Dan banyak sekali ayat-ayat Alqur'an yang menekankan tantangan tersebut. Sesungguhnya ketidakmampuan mereka untuk mendatangkan hal yang sama dan memenuhi tantangan tersebut merupakan bukti atas kebenaran kitab suci itu dan risalah Nabi Muhammad saw. dari Allah swt.

Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Alqur'an telah membuktikan pengakuannya sebagai mukjizat. Sebagaimana Rasul saw., pembawa kitab ini, tersebut telah menyampaikannya kepada umat manusia sebagai mukjizat yang abadi dan bukti yang kuat atas kenabiannya hingga akhir masa. 
Hari ini – setelah 14 abad berlalu – bahana suara Ilahi itu masih terus menggema di tengah umat manusia melalui media-media informasi dan sarana-sarana komunikasi, baik dari kawan maupun lawan. Itu semua merupakan hujjah (argumentasi) atas mereka. 

Dari sisi lain, nabi Islam, Muhammmad saw. – sejak hari pertama dakwahnya – senantiasa menghadapi musuh-musuh Islam dan para pendengki yang sangat keras. Mereka telah mengerahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk memerangi agama Islam. Setelah putus asa lantaran ancaman dan tipu dayanya tidak berpengaruh sama sekali, mereka berusaha melakukan pembunuhan dan pengkhianatan. Akan tetapi, usaha jahat itu pun mengalami kegagalan berkat inayah (pertolongan) Allah swt. dengan cara menghijrahkan Nabi saw. ke Madinah secara rahasia pada malam hari. 
Setelah hijrah, Rasul saw. menghabiskan sisa-sisa umurnya yang mulia dengan melakukan berbagai peperangan melawan kaum musyrikin dan antek-antek mereka dari kaum Yahudi. Semenjak beliau wafat hingga hari ini, orang-orang munafik dari dalam dan musuh-musuh Islam dari luar senantiasa berusaha memadamkan cahaya Ilahi ini. Mereka telah mengerahkan segenap kekuatan dalam rangka ini. Seandainya mereka mampu menciptakan sebuah kitab sepadan Alqur'an, pasti mereka akan melakukannya, tanpa ragu sedikitpun.
Di zaman modern sekarang ini, kekuatan adidaya dunia (Amerika dan sekutunya) melihat bahwa Islam adalah musuh terbesar yang sanggup mengancam kekuasaan arogan mereka. Maka itu, mereka senantiasa berusaha memerangi Islam dengan segala kekuatan dan sarana yang mereka miliki berupa materi, strategi, politik, dan informasi. Seandainya mereka mampu menjawab tantangan Alqur'an, dan sanggup menulis satu baris saja yang menandingi satu surat pendek darinya, pasti mereka sudah melakukannya dan menyebarkannya melalui media informasi dunia. Karena memang cara semacam itu (menyebarkan informasi ke seluruh dunia) merupakan usaha yang paling mudah dan paling efektif dalam menghadapi Islam dan menahan perluasannya. 

Atas dasar uraian di atas, setiap manusia berakal yang mempunyai kesadaran yang cukup merasa yakin – setelah memperhatikan hal-hal tersebut – bahwa Alqur'an merupakan kitab samawi yang istimewa, yang tidak mungkin ditiru atau dipalsukan, dan tidak mungkin pula bagi setiap individu atau kelompok manapun untuk menciptakan kitab yang sepadan dengannya, sekalipun mereka mengerahkan seluruh kekuatan dan telah menjalani pendidikan dan pelatihan khsusus.

Artinya, kitab suci itu memiliki ciri-ciri kemukjizatan yang luar biasa, tidak bisa ditiru dan dipalsukan, dan diturunkan sebagai bukti atas kebenaran kenabian seseorang. Tampak jelas bahwa Alqur'an merupakan bukti yang paling akurat dan kuat atas kebenaran klaim Muhammad saw sebagai nabi Allah. Sedangkan agama Islam yang suci adalah hak dan karunia Ilahi yang paling besar bagi umat Islam. Alqur'an diturunkan sebagai mukjizat abadi hingga akhir masa, yang kandungannya merupakan bukti atas kebenarannya. Begitu sederhananya argumentasi ini hingga dapat dipahami oleh setiap orang dan dapat diterima tanpa mempelajarinya secara khusus.

Manfaat mempelajari Ilmu Balaghah
Posisi ilmu Balaghah dalam tatanan kelompok ilmu-ilmu Arab persis seperti posisi ruh dari jasad. Keberadaan ilmu Balaghah dan kaidah-kaidah yang tertuang didalamnya sangat urgen. Urgensitas tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah :
1.  Ilmu Balaghah merupakan perangkat media yang dapat menghantarkan seseorang kepada pengetahuan tentang ke-I’jaz-an al-Qur’an;
2.   Ilmu Balaghah merupakan salah satu instrument yang dapat membantu seorang yang bergelut dengan diskursus al-Qur’an terutama mufassir dalam memahami kandungan isi al-Qur’an dan pesan-pesan yang tertuang didalamnya. 

Hal ini diperjelas oleh pernyataan al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf yang artinya:
 “Sesungguhnya ilmu yang paling sarat dengan noktah-noktah rahasia yang rumit di tempuh, paling padat dengan kandungan rahasia yang pelik, yang membuat watak dan otak manusia kewalahan untuk memahaminya adalah ilmu tafsir, yakni ilmu yang sangat sulit untuk dijangkau dan diselidiki oleh orang yang berstatus alim sekalipun. Dan tidak akan mampu untuk menyelam kekedalaman hakekat pemahaman tersebut kecuali seseorang yang memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam dua spesifik ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan.

Dari kajian terhadap literatur yang ada, terkait balaghah, maka ia memiliki sejarah tersendiri, mulai dari benihnya, munculnya, hingga perkembangannya.
Sebelum muncul sebagai sebuah ilmu, esensi balaghah telah mendarah daging dalam penggunaan bahasa Arab baik dalam puisi maupun prosa. Dalam masa ini kemudian Al-Quran turun dengan kemukjizatan sehingga mengalahkan selainnya dalam hal ketepatan dan keindahan bahasanya.
Ilmu balaghah dengan pembagiannya yang tiga mulai muncul dan dikenal pada masa abbasiy kedua, yaitu abad ketiga dan keempat hijriyah. Pada masa ini, balaghah masih belum jelas bentuknya. Kemunculan ini disertai dengan disusunnya kitab dengan tema tersebut.
Kemudian, ilmu ini berkembang mulai abad kelima dengan cirri khasnya yang mulai bersinggungan dengan I’jazul Quran sehingga memunculkan dua aliran balaghah, yaitu aliran sastra dan kalam. Keduanya berbeda dalam perspektif terhadap balaghah. Aliran balaghah kalam lebih banyak berpegang kepada analogi dan logika filsafat dalam mengukur baik tidaknya bahasa sedangkan aliran sastra lebih mengedepankan daya seni dan daya tangkap keindahan.
Ilmu balaghah yang terus berkembang dan sampai kepada kita saat adalah yang lebih bercorak kalamiyyah, memiliki banyak batasan kata dan definisi-definisi.
Demikianlah, dan ilmu ini tidak menutup kemungkinan untuk terus berubah menuju lebih baik atau bahkan mengalami kemunduran. Hal ini tergantung kepada para pemegang ilmu ini, apakah akan membiarkannya terdiam ataukah akan membawanya menuju kemajuan.

1 komentar:

  1. Kalo boleh tau menurut khatib al qazwini itu di buku apa ya? Taun berapa dan halaman berapa?

    BalasHapus