Translate

Selasa, 16 Februari 2016

Penjelasan Tentang Kunci Masuk Surga

Rasululullah shallallahu 'alaihi wasallam bercerita,

“سَأَلَ مُوسَى رَبَّهُ: مَا أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً؟ قَالَ: هُوَ رَجُلٌ يَجِىءُ بَعْدَ مَا أُدْخِلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ فَيُقَالُ لَهُ: ادْخُلِ الْجَنَّةَ. فَيَقُولُ: أَىْ رَبِّ كَيْفَ وَقَدْ نَزَلَ النَّاسُ مَنَازِلَهُمْ وَأَخَذُوا أَخَذَاتِهِمْ؟ فَيُقَالُ لَهُ: أَتَرْضَى أَنْ يَكُونَ لَكَ مِثْلُ مُلْكِ مَلِكٍ مِنْ مُلُوكِ الدُّنْيَا؟ فَيَقُولُ: رَضِيتُ رَبِّ. فَيَقُولُ: لَكَ ذَلِكَ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ. فَقَالَ فِى الْخَامِسَةِ: رَضِيتُ رَبِّ. فَيَقُولُ: هَذَا لَكَ وَعَشَرَةُ أَمْثَالِهِ وَلَكَ مَا اشْتَهَتْ نَفْسُكَ وَلَذَّتْ عَيْنُكَ. فَيَقُولُ: رَضِيتُ رَبِّ…”.

“(Suatu saat) Nabi Musa bertanya kepada Allah, ”Bagaimanakah keadaan penghuni surga yang paling rendah derajatnya?”. Allah menjawab, “Seorang yang datang (ke surga) setelah seluruh penghuni surga dimasukkan ke dalamnya, lantas dikatakan padanya, “Masuklah ke surga!”. “Bagaimana mungkin aku masuk ke dalamnya wahai Rabbi, padahal seluruh penghuni surga telah menempati tempatnya masing-masing dan mendapatkan bagian mereka” jawabnya. Allah berfirman, “Relakah engkau jika diberi kekayaan seperti raja-raja di dunia?”. “Saya rela wahai Rabbi” jawabnya. Allah kembali berfirman, “Engkau akan Kukaruniai kekayaan seperti itu, ditambah seperti itu lagi, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu dan ditambah seperti itu lagi”. Kelima kalinya orang itu menyahut, “Aku rela dengan itu wahai Rabbi”. Allah kembali berfirman, “Itulah bagianmu ditambah sepuluh kali lipat darinya, plus semua yang engkau mauim serta apa yang indah di pandangan matamu”. Orang tadi berkata, “Aku rela wahai Rabbi”…”. HR. Muslim (I/176 no 312) dari al-Mughîrah bin Syu’bah radhiyallahu ’anhu.

Seorang muslim yang mendengar hadits di atas atau yang semisal, ia akan semakin merindukan untuk meraih kemenangan masuk ke surga Allah kelak. Bagaimana tidak? Sedangkan orang yang paling rendah derajatnya di surga saja sedemikian mewah kenikmatan yang akan didapatkan di surga, lantas bagaimana dengan derajat yang di atasnya? Bagaimana pula dengan orang yang menempati derajat tertinggi di surga? Pendek kata mereka akan mendapatkan kenikmatan yang disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an,

“فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ”.

“Seseorang tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka; yaitu (bermacam-macam kenikmatan) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. QS. As-Sajadah: 17.

Namun anehnya ternyata masih banyak di antara kaum muslimin yang tidak ingin masuk surga, sebagaimana telah disinggung oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam haditsnya,

“كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى” قَالُوا: “يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى؟” قَالَ: “مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى”.
“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan (untuk masuk surga)?”. Beliau menjawab, “Barang siapa yang taat padaku maka ia akan masuk surga, dan barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia telah enggan (untuk masuk surga)”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu.

Jadi tidak setiap yang mendambakan surga, kelak akan mendapatkannya; karena surga memiliki kunci untuk memasukinya; barang siapa yang berhasil meraihnya di dunia; niscaya ia akan merasakan manisnya kenikmatan surga kelak di akhirat, sebaliknya barang siapa yang gagal merengkuhnya; maka ia akan tenggelam dalam kesengsaraan siksaan neraka.

Setiap muslim tentu menginginkan untuk masuk ke dalam surga dan selamat dari api neraka, untuk itu marilah kita memperhatikan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berikut ini,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang akhir ucapannya (sebelum mati) adalah kalimat Laa ilaaha illallah maka dia akan masuk surga.” [HR. Abu Daud dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Shahihul Jami’: 11425]

Kunci surga adalah kalimat Laa ilaaha illallah. Ibarat sebuah rumah, surga memiliki pintu yang harus dibuka dengan sebuah kunci, itulah kalimat Laa ilaaha illallah. Akan tetapi, kenyataannya tidak semua orang yang memiliki kunci tersebut mampu membuka pintu surga, dikarenakan kunci mereka tidak bergerigi.

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya,

وَقِيلَ لِوَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَلَيْسَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلاَّ لَهُ أَسْنَانٌ فَإِنْ جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ وَإِلاَّ لَمْ يُفْتَحْ لَكَ

“Dan pernah dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah Laa ilaaha illallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab, “Benar, akan tetapi tidak ada sebuah kunci kecuali memiliki gerigi, maka apabila engkau datang dengan kunci bergerigi akan dibukakan pintu surga untukmu, jika tidak maka tidak akan dibukakan untukmu”.”

Oleh karena itu, penting sekali bagi setiap hamba untuk memahami kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dengan baik dan mengamalkannya. Sebab tidak ada manfaatnya sama sekali jika seseorang hanya mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, meskipun dia berzikir dengannya seribu kali setiap hari, tanpa memahami dan mengamalkannya, inilah yang dimaksud memiliki kunci tanpa gerigi.

Makna Syahadat

Kata syahadat (الشهادة) yang biasa diterjemahkan dengan “persaksian” berasal dari kata (شهد) secara bahasa maknanya adalah,

أن يخبر بما رأى وأن يقر بما علم

“Seorang yang mengabarkan apa yang dia lihat dan menetapkan (meyakini) apa yang dia ketahui.” [Al-Mu’jamul Washit, 1/497]

Adapun maknanya secara syari’at, berkata Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah,

من شهد أن لا إله إلا الله أى من تكلم بها عارفا لمعناها عاملا بمقتضاها باطنا وظاهرا فلابد فى الشهادتين من العلم واليقين والعمل بمدلولها

“Seorang yang bersyahadat Laa ilaaha illallah adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan mengetahui maknanya, mengamalkan konsekuensinya secara batin dan lahir. Maka harus ada dalam dua kalimat syahadat; ilmu, yakin dan mengamalkan kandungannya.” [Fathul Majid, hal. 65-66]

Dari penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa syahadat Laa ilaaha illallah yang benar apabila terpenuhi 4 syarat:

1)      Ilmu tentang Laa ilaaha illallah

2)      Yakin terhadap benarnya Laa ilaaha illallah

3)      Mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah

4)      Mengamalkan makna Laa ilaaha illallah

Adapun sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallah tanpa memahami maknanya, atau tanpa meyakini dan mengamalkannya maka ulama seluruhnya sepakat (ijma’) bahwa syahadat tersebut tidak ada manfaatnya sama sekali. Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,

أما النطق بها من غير معرفة لمعناها ولا يقين ولا عمل بما تقتضيه : من البراءة من الشرك وإخلاص القول والعمل قول القلب واللسان وعمل القلب والجوارح فغير نافع بالإجماع

“Adapun sekedar mengucapkan syahadat tanpa memahami maknanya, tidak pula meyakini dan mengamalkan konsekuensinya, yaitu berlepas diri dari syirik dan mengikhlaskan ucapan dan perbuatan, baik ucapan hati dan lisan, maupun amalan hati dan lisan (jika tidak dipersembahkan hanya bagi Allah) maka ucapan tersebut tidak bermanfaat berdasarkan kesepakatan ulama.” [Fathul Majid, hal. 66]

Makna Laa ilaaha illallah

Seluruh dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta keterangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa makna laa ilaaha illallah adalah,

لا معبودَ حقٌّ إلا الله

“Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah.”

Artinya, segala sesuatu yang disembah oleh manusia selain Allah ta’ala adalah sesembahan yang salah (batil), karena tidak ada sesembahan yang benar (haq) kecuali Allah tabaraka wa ta’ala. Sebagaimana telah Allah ta’ala tegaskan dalam Al-Qur’an,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ

“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah sesembahan yang benar dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain dari Allah adalah salah.” [Al-Hajj: 62 dan Luqman: 30]

Rukun Laa ilaaha illallah

Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa kalimat Laa ilaaha illallah mencakup dua rukun, yaitu:

~  An-Nafyu (penafikan) yang terdapat dalam kalimat Laa ilaaha, yang bermakna menafikan atau menganggap salah semua sesembahan selain Allah ta’ala.

~  Al-Itsbat (penetapan) yang terdapat dalam kalimat illallah, yang bermakna menetapkan atau meyakini bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah ta’ala.

Seorang hamba belum dianggap sebagai muslim sebelum dia mengamalkan dua rukun ini. Andaikan ada seorang hamba yang beribadah kepada Allah ta’ala; melakukan sholat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya, namun dia tidak meyakini bahwa Allah ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dan selain-Nya adalah salah maka dia bukan muslim atau menjadi murtad karena tidak mengamalkan kalimat Laa ilaaha illallah yang merupakan pintu untuk masuk ke dalam Islam.

Kedua rukun ini terdapat dalam banyak ayat, diantaranya firman Allah ta’ala,

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

“Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh dengan ikatan yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” [Al-Baqarah: 256]

Firman Allah ta’ala, “Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah)” adalah penafikan seluruh sesembahan selain Allah ta’ala. Adapun firman-Nya, “Dan hanya beriman kepada Allah” adalah penetapan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar.

Syarat Laa ilaaha illallah

Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa syarat Laa ilaaha illallah itu ada delapan, barangsiapa yang tidak mengamalkan salah satu darinya maka dia belum mengamalkan kalimat Laa ilaaha illallah, yaitu:

Syarat Pertama: Ilmu, yaitu memahami makna dan rukun Laa ilaaha illallah secara benar.Maksudnya adalah menafikan peribadahan (penghambaan) kepada selain Allah dan menetapkan bahwa Allah satu-satunya yang patut diibadahi dengan benar serta menghilangkan sifat kejahilan (bodoh) terhadap makna ini.
 Allah ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ اللَّه

“Maka berimulah bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” [Muhammad: 19]‎

Begitu juga Allah Ta’ala berfirman,
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui dengan benar (laa ilaha illallah) dan mereka meyakini(nya).” (QS. Az Zukhruf : 86)
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar [39] : 9)
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir [35] : 28)
Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّة

“Barangsiapa mati dalam keadaan berilmu bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” [HR. Muslim dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu]
Jika seseorang tidak memahami makna kalimat Laa ilaaha illallah maka tidak bermanfaat syahadat yang diucapkannya.

Syarat Kedua: Yakin, yakni meyakini kebenaran makna dan rukun kalimat Laa ilaaha illallah tanpa meragukannya sedikitpun. 

Maksudnya adalah seseorang harus meyakini kalimat ini seyakin-yakinnya tanpa boleh ada keraguan sama sekali. Yakin adalah ilmu yang sempurna.
Allah Ta’ala memberikan syarat benarnya keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan sifat tidak ada keragu-raguan. 
Allah ta’ala berfirman,‎

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” [Al-Hujurat: 15]
Apabila seseorang ragu-ragu dalam keimanannya, maka termasuklah dia dalam orang-orang munafik –wal ‘iyadzu billah [semoga Allah melindungi kita dari sifat semacam ini]. Allah Ta’ala mengatakan kepada orang-orang munafik tersebut,

إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.”(QS. At Taubah : 45)
Dalam beberapa hadits, Allah mengatakan bahwa orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan masuk surga dengan syarat yakin dan tanpa ada keraguan.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]‎

Dari Abu Hurairah juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فَيُحْجَبَ عَنِ الْجَنَّةِ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Seorang hamba yang bertemu Allah dengan keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu, Allah tidak akan menghalanginya untuk masuk surga.” (HR. Muslim no. 148)
Syarat Ketiga: Menerima (Al-Qobul), yaitu menerima dengan sepenuh hati konsekuensi kalimat Laa ilaaha illallah berupa penetapan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar dan selain-Nya adalah salah, tidak boleh menolak sedikitpun, baik dengan hati, lisan maupun perbuatan. Menolak kalimat Laa ilaaha illallah adalah sifat kaum musyrikin. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ

“Kaum musyrikin itu apabila di katakan kepada mereka: (Ucapkanlah) Laa ilaaha illallah, mereka menyombongkan diri seraya berkata: Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini?” [As-Shaffat: 35-36]

Maksudnya adalah seseorang menerima kalimat tauhid ini dengan hati dan lisan, tanpa menolaknya.
Allah telah mengisahkan kebinasaan orang-orang sebelum kita dikarenakan menolak kalimat ini. 
Lihatlah pada firman Allah Ta’ala,
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (25)‎

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”.(Rasul itu) berkata: “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS. Az Zukhruf [43] : 23-25)

Dalam kitab shohih dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
« مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ » .
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti air hujan lebat yang turun ke tanah. Di antara tanah itu ada yang subur yang dapat menyimpan air dan menumbuhkan rerumputan. Juga ada tanah yang tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman), namun dapat menahan air. Lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia (melalui tanah tadi, pen); mereka bisa meminumnya, memberikan minum (pada hewan ternaknya, pen) dan bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Tanah lainnya yang mendapatkan hujan adalah tanah kosong, tidak dapat menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman). Itulah permisalan orang yang memahami agama Allah dan apa yang aku bawa (petunjuk dan ilmu, pen) bermanfaat baginya yaitu dia belajar dan mengajarkannya.  Permisalan lainnya adalah permisalah orang yang menolak (petunjuk dan ilmu tadi, pen) dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari no. 79 dan Muslim no. 2093. Lihat juga Syarh An Nawawi, 7/483 dan Fathul Bari , 1/130)
Syarat Keempat: Tunduk dan Patuh (Al-Inqiyad), yaitu dengan mengamalkan makna dan rukun Laa ilaaha illallah, hanya beribadah kepada Allah ta’ala dan menjauhi segala sesembahan selain-Nya, disertai dengan mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya (tunduk) kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” [Luqman: 22]
Yang dimaksudkan dengan ‘telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh’ adalah telah berpegang dengan laa ilaha illallah.
Dalam ayat ini, Allah mempersyaratkan untuk berserah diri (patuh) pada syari’at Allah dan inilah yang disebut muwahhid (orang yang bertauhid) yang berbuatihsan (kebaikan). Maka barangsiapa tidak berserah diri kepada Allah maka dia bukanlah orang yang berbuat ihsan sehingga dia bukanlah orang yang berpegang teguh dengan buhul tali yang kuat yaitu kalimat laa ilaha illallah. 
Inilah makna firman Allah pada ayat selanjutnya,
وَمَنْ كَفَرَ فَلَا يَحْزُنْكَ كُفْرُهُ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (23) نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ إِلَى عَذَابٍ غَلِيظٍ (24)

“Dan barangsiapa kafir (tidak patuh) maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. Luqman [31] : 23-24).
(Jadi perbedaan qobul (menerima, syarat ketiga) dengan inqiyad (patuh, syarat keempat) adalah sebagai berikut. Qobul itu terkait dengan hati dan lisan. Sedangkan inqiyad terkait denganketundukkan anggota badan,ed).

Syarat Kelima: Jujur dan benar (Ash-Shidqu), yaitu jujur dan benar dalam beriman terhadap Laa ilaaha illallah, tanpa mengandung kedustaan sedikitpun dalam hati. Kedustaan dalam keimanan adalah sifat orang-orang munafik. 

Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang munafik -karena kedustaan mereka- pada firman-Nya,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)

“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian ,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit , lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al Baqarah [2] : 8-10).
Begitu juga pada firman-Nya,‎
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” [Al-Munafiqun: 1]
Untuk mendapatkan keselamatan dari api neraka tidak hanya cukup dengan mengucapkan kalimat tauhid tersebut, tetapi juga harus disertai dengan pembenaran (kejujuran) dalam hati. Maka semata-mata diucapkan tanpa disertai dengan kejujuran dalam hati, tidaklah bermanfaat.
Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” [HR. Al-Bukhari dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu]
Syarat Keenam: Ikhlas, yaitu benar-benar ikhlas dari dalam hatinya semata-mata karena Allah ta’ala, bukan karena maksud dan tujuan lainnya. 
Maksudnya adalah seseorang harus membersihkan amal -dengan benarnya niat- dari segala macam kotoran syirik.
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah ketaatan (baca: ibadah) yang ikhlas (bersih dari syirik).” (QS. Az Zumar [39] : 3)
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta’atan kepada-Nyadalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah [98] : 5)
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَهُ الدِّينَ أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang ikhlas (bersih dari syirik).” [Az-Zumar: 2-3]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاََ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

“Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau dirinya.” [HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Juga sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam,

فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّه

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu]

Syarat Ketujuh: Mencintai (Al-Mahabbah), yaitu mencintai kalimat tauhid dan konsekuensinya berupa pemurnian ibadah kepada Allah ta’ala dan pengingkaran terhadap penghambaan kepada selain-Nya. Memurnikan cinta kepada Allah ta’ala adalah bagian dari tauhid. Allah ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan diantara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang dia cintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah diatas segala-galanya).” [Al-Baqarah: 165]

Dalam ayat ini, Allah mengabarkan bahwa orang-orang mukmin sangat cinta kepada Allah. Hal ini dikarenakan mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam cinta ibadah. Sedangkan orang-orang musyrik mencintai sesembahan-sesembahan mereka sebagaimana mereka mencintai Allah. Tanda kecintaan seseorang kepada Allah adalah mendahulukan kecintaan kepada-Nya walaupun menyelisihi hawa nafsunya dan juga membenci apa yang dibenci Allah walaupun dia condong padanya. Sebagai bentuk cinta pada Allah adalah mencintai wali Allah dan Rasul-Nya serta membenci musuhnya, juga mengikuti Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam, mencocoki jalan hidupnya dan menerima petunjuknya.
Syarat Kedelapan: Pengingkaran (Al-Kufran) terhadap semua sesembahan selain Allah ta’ala, yaitu menyalahkan semua sesembahan selain Allah ta’ala, tidak mempercayainya dan tidak pula menyembahnya, karena sesembahan yang benar dan patut diibadahi hanyalah Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh dengan ikatan yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah), yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah: 256]

Namun di kehidupan ini Kita Dituntut untuk memahami kunci Surga dalam Bentuk ibadah sehari-hari.
Kunc-kunci ini telah Allah subhanahu wa ta’ala isyaratkan dalam surat al-‘Ashr:

“وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ”.

Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang (1) beriman, (2) beramal shalih, (3) saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan (4) saling nasehat menasehati dalam kesabaran”. QS. Al-‘Ashr: 1-3.

Sedemikian agungnya surat ini, sampai-sampai Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas para hamba-Nya melainkan hanya surat ini; niscaya itu telah cukup”‎.‎

Berikut penjabaran ringkas, masing-masing dari empat kunci tersebut di atas:

1. Kunci Pertama: Ilmu:

Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu agama, yaitu ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam.

Ilmu yang dibutuhkan oleh seorang insan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama, wajib hukumnya untuk dicari oleh setiap muslim dan muslimah, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dalam sabdanya,

“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ”
“Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim”.HR. Ibnu Majah dari Anas bin Mâlik, ‎

Di antara beragam disiplin mata ilmu agama, yang seharusnya mendapatkan prioritas pertama dan utama untuk dipelajari dan didalami terlebih dahulu oleh setiap muslim adalah: ilmu tauhid. Karena itulah pondasi Islam dan inti dakwah seluruh rasul dan nabi. Allah ta’ala berfirman,

“وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ”.

Artinya: “Dan telah Kami utus seorang rasul di setiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut”. QS. An-Nahl: 36.

2. Kunci Kedua: Amal:

‘Perjalanan suci’ seorang hamba setelah memiliki ilmu belum usai, namun masih ada ‘fase sakral’ yang menantinya; yaitu mengamalkan ilmu yang telah ia miliki tersebut. Ilmu hanyalah sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal.

Demikianlah urutan yang ideal antara dua hal ini; ilmu dan amal. Sebelum seorang beramal ia harus memiliki ilmu tentang amalan yang akan ia kerjakan, begitupula jika kita telah memiliki ilmu, kita harus mengamalkan ilmu tersebut.

Seorang yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya akan dicap menyerupai orang-orang Yahudi, dan mereka merupakan golongan yang dimurkai oleh Allah ta’ala, sebaliknya orang-orang yang beramal namun tidak berlandaskan ilmu, mereka akan dicap menyerupai orang-orang Nasrani, dan merupakan golongan yang tersesat. Dua golongan ini Allah singgung dalam ayat terakhir surat al-Fatihah:

“اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ”.

Artinya: “Tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus. Yaitu jalan golongan yang engkau karuniai kenikmatan atas mereka, bukan (jalannya) golongan yang dimurkai ataupun golongan yang tersesat“. QS. Al-Fatihah: 6-7.

عَن مُعَاذ بن جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ: قُلتُ يَا رَسُولَ الله أَخبِرنِي بِعَمَلٍ يُدخِلُني الجَنَّةَ وَيُبَاعدني منٍ النار قَالَ: (لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللهَ لاَتُشْرِكُ بِهِ شَيْئَا، وَتُقِيْمُ الصَّلاة، وَتُؤتِي الزَّكَاة، وَتَصُومُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ البَيْتَ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الخَيرِ: الصَّومُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الـمَاءُ النَّارَ، وَصَلاةُ الرَّجُلِ فِي جَوفِ اللَّيْلِ ثُمَّ تَلا : (تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ) حَتَّى بَلَغَ: (يَعْلَمُون) [السجدة : ١٧-١٦] ثُمَّ قَالَ: أَلا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ ؟ قُلْتُ: بَلَى يَارَسُولَ اللهِ، قَالَ: رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلامُ وَعَمُودُهُ الصَّلاةُ و ذروَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ ثُمَّ قَالَ: أَلا أُخبِرُكَ بِملاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ:بَلَى يَارَسُولَ اللهِ. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ يَانَبِيَّ اللهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَامُعَاذُ. وَهَل يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِم أَو قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِم إِلاَّ حَصَائِدُ أَلسِنَتِهِم) رواه والتِّرمِذِي وقال: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu, dia berkata, Wahai Rasulullah, beritahukan saya tentang perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari neraka. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, namun itu ringan bagi mereka yang dimudahkan Allah Taala, (Amal itu adalah): beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadan dan pergi haji. Kemudian beliau berkata, Maukah aku beritahu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah tameng, sedekah akan mematikan (menghapus) kesalahan sebagaimana air mematikan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam. Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya). Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka beribadah kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan penuh harap, dan mereka menyedekahkan sebagian rezeki yang Kami berikan. Tiada satu pun jiwa yang mengetahui nikmat penyejuk hati yang disembunyikan sebagai balasan atas amal yang telah mereka lakukan. (QS. As-Sajdah: 16-17). Kemudian beliau bersabda, Maukah aku beritahu pokok dari segala perkara, tiangnya dan puncaknya? Aku menjawab, Tentu, wahai Nabi Allah. Beliau bersabda, Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad. Kemudian beliau bertanya, Maukah aku beritahu sesuatu (yang jika kalian laksanakan) maka kalian dapat memiliki semua itu? Saya berkata, Tentu, wahai Rasulullah. Maka Rasulullah memegang lisannya lalu bersabda, Jagalah ini. Saya berkata, Wahai Nabi Allah, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita bicarakan? Beliau bersabda, Bagaimana kamu ini! Bukankah seseorang tersungkur ke dalam neraka disebabkan buah ucapan lisan-lisan mereka? (Riwayat at-Turmudzi, dan dia berkata, Haditsnya hasan shahih.)

3. Kunci Ketiga: Dakwah:

Setelah seorang hamba membekali dirinya dengan ilmu dan amal, dia memiliki kewajiban untuk ‘melihat’ kanan dan kirinya, peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Kepedulian itu ia apresiasikan dengan bentuk ‘menularkan’ dan mendakwahkan ilmu yang telah ia raih dan ia amalkan kepada orang lain.

Inilah fase ketiga yang seharusnya dititi oleh seorang muslim, setelah ia melewati dua fase di atas. Dia berusaha untuk mengajarkan ilmu yang ia miliki kepada orang lain, terutama keluarganya terlebih dahulu, dalam rangka meneladani metode dakwah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam yang Allah ceritakan dalam firman-Nya,

“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.

Artinya: “Dan berilah peringatan (terlebih dahulu) kepada keluarga terdekatmu”. QS. Asy-Syu’arâ': 214.

Tidak sepantasnya seorang da’i menyibukkan dirinya untuk mendakwahi orang lain di mana-mana lalu ‘menterlantarkan’ keluarganya sendiri; sebab sebelum ia ‘mengurusi’ orang lain, ia memiliki kewajiban untuk ‘mengurusi’ keluarganya terlebih dahulu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً”.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”. QS. At-Tahrîm: 6.

Dalam berdakwah terhadap keluarga maupun kepada orang lain, kita dituntut untuk senantiasa mengedepankan sikap hikmah, dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala,

“ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ”.

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan jalan yang baik”.QS. An-Nahl: 125.

Inilah kunci ketiga yang akan mengantarkan seorang hamba ke surga. Namun seseorang tidak dibenarkan untuk langsung meloncat ke fase ketiga ini (yakni dakwah) tanpa melalui dua fase sebelumnya (yakni ilmu dan amal); karena jika demikian halnya ia akan menjadi seorang yang sesat dan menyesatkan ataupun menjadi seorang yang amat dibenci oleh Allah ta’ala.

Mereka yang berdakwah tanpa ilmu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam sifati dalam sabdanya sebagai  orang yang sesat dan menyesatkan,

“إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا؛ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا”‎

“Sesungguhnya Allah tidak melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan cara mencabut ilmu tersebut dari para hamba-Nya, namun Allah akan melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan meninggalnya para ulama; hingga jika tidak tersisa seorang ulamapun, para manusia menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai panutan, mereka menjadi rujukan lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga sesat dan menyesatkan“. HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ’anhuma, dengan redaksi Bukhari.

Sedangkan mereka yang berdakwah kemudian tidak mengamalkan apa yang didakwahkannya, Allah ta’ala cela dalam firman-Nya,

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ”.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika laian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. QS. Ash-Shaff: 2-3.

4. Kunci Keempat: Sabar:

Kesabaran dibutuhkan oleh setiap muslim ketika ia mencari ilmu, mengamalkannya dan mendakwahkannya; karena tiga fase ini susah dan berat.

Proses pencarian ilmu membutuhkan semangat ’empat lima’ dan kesungguhan, sebagaima disitir oleh Yahya bin Abi Katsir :, “Ilmu tidak akan didapat dengan santai-santai”.

Pengamalan ilmu juga membutuhkan kesabaran, karena hal itu merupakan salah satu jalan yang utama yang mengantarkan seorang hamba ke surga, dan jalan menuju ke surga diliputi dengan hal-hal yang tidak disukai oleh nafsu. Dalam hadits shahih disebutkan,

“حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ”.

“(Jalan menuju ke) surga diliputi dengan hal-hal yang dibenci (nafsu), sedangkan (jalan menuju ke) neraka diliputi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu”.HR. Muslim dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ’anhu.

Tidak ketinggalan, dakwah juga membutuhkan kesabaran, karena itu merupakan jalan yang dititi para rasul dan nabi.

Sa’ad radhiyallahu ’anhu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya? Beliau shallallahu ’alaihi wasallam menjawab, “Para nabi lalu mereka yang memiliki keutamaan yang tinggi, lalu yang di bawah mereka…”. HR. Tirmidzi dan beliau berkata, “Hasan shahih”, ‎‎

Takhtimah

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah menyayangimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali ‘Imran :31)
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ

“Barangsiapa yang mentaati Rasul sesungguhnya ia telah mentaati Allah “ (QS. An Nisa: 80)
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّا حُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا  ‎عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan sejelas-jelasnya” (QS. An Nur: 54)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ‎وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (QS. Al Hasyr:7)
Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangat banyak. Maka wajib bagi setiap orang yang mau berpikir dan bagi setiap muslim untuk mentauhidkan Alah dan komitmen di atas ajaran agama Islam, mentatai rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mentaati perintah beliau, menjauhi apa yang beliau larang. Itu semua merupakan sebab masuk ke dalam surga dan jalan menuju surga. Adapun barangsiapa menolak untuk melakukkannya maka orang tersebut telah enggan untuk masuk surga.
Iman dan Amal Shalih Kunci Utama ?
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan" [QS. An-Nahl : 32].
أَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ جَنَّاتُ الْمَأْوَى نُزُلا بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka bagi mereka surga-surga tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang telah mereka kerjakan” [QS. As-Sajdah : 19].
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan” [QS. Az-Zukhruf : 72].
Baa’ dalam kalimat ‘bimaa kuntum ta’maluun/bimaa kaanuu ya’maluun’ adalah ‎baa’ sababiyyah, yang menunjukkan bahwa amal-amal shaalih menjadi sebab pelakunya masuk ke dalam surga. Orang-orang yang Allah matikan mereka dalam keadaan merugi, berharap diberi kesempatan hidup kembali untuk beramal kebaaikan yang dengannya ia dapat masuk ke dalam surga.
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ * لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shaleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan” [QS. Al-Mukminuun : 99-100].
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ

“‎Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal shalih, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin" [QS. As-Sajdah : 12].
Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangatlah banyak. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat sering bersabda tentang amal-amal shalih yang dapat menyebabkan pelakunya masuk ke dalam surga. Diantaranya:

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، " أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ، قَالَ: مَا لَهُ، مَا لَهُ، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَبٌ مَا لَهُ تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ "

Dari Abu Ayyuub radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Beritahukanlah kepadaku satu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga”. Seseorang berkata : “Apa yang ia miliki, apa yang ia miliki ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Agaknya yang ia tanyakan penting baginya. Amal yang dapat memasukkanmu ke dalam surga adalah engkau beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1396 & 5982 & 5983 dan Muslim no. 13].
عَنْ أَبِي مُوسَى أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ "

Dari Abu Muusaa : Bahwasannya Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang shalat pada dua waktu dingin (Shubuh dan ‘Ashar), niscaya masuk surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 574 dan Muslim no. 635].
Kemudian, timbul kemusykilan dengan adanya beberapa hadits yang menyatakan amalan tidak menyebabkan seseorang masuk ke dalam surga, diantaranya:

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ "

Dari Jaabir, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada seorang pun di antara kalian yang amalannya memasukkannya ke dalam surga dan melindunginya dari neraka. Tidak juga aku, kecuali dengan rahmat dari Allah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2817].

Maka seyogyanya dalam menjalankan amal ibadah sebagai Bentuk Keimanan hendaklah hanya mengharapkan Rohmat dan Ridho dari Alloh Subhanahu Wata'ala. 

Semoga Allah ta’ala melimpahkan Rahmat serta taufiq-Nya kepada kita semua untuk bisa meraih kunci kunci Surga, Amiin 
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

1 komentar:

  1. DULUNYA AKU TIDAK PERCAYA SAMA BANTUAN DARI
    PERAMAL TOGEL,TAPI SEKARANG AKU SUDAH PERCAYA
    KARENA SAYA SUDA MEMBUKTIKA SENDIRI.KARNA ANGKA
    YG DIBERIKAN 4D BENAR2 TEMBUS 100% ALHAMBUHLILLAH
    DPT 450 JUTA.DAN SAYA SELAKU PEMAIN TOGEL,DAN KEPERCAYAAN
    ITU ADALAH SUATU KEMENANGAN DAN SAAT SKRAG SY TEMUKAN
    ORANG YG BISA MENGELUARKAN ANGKA2 GAIB YAITU AKI ALIH
    JIKA ANDA YAKIN DAN PERCAYA NAMANYA ANGKA GOIB ANDA BISA
    HUBUNGI LANSUNG AKI ALIH DI NOMOR INI [[[ 0823 1366 9888 ]]] SAYA
    SUDAH BUKTIKAN SENDIRI ANGKA GOIBNYA DEMIH ALLAH DEMI TUHAN.


    KLIK DISINI 4d 5d 6d



























    DULUNYA AKU TIDAK PERCAYA SAMA BANTUAN DARI
    PERAMAL TOGEL,TAPI SEKARANG AKU SUDAH PERCAYA
    KARENA SAYA SUDA MEMBUKTIKA SENDIRI.KARNA ANGKA
    YG DIBERIKAN 4D BENAR2 TEMBUS 100% ALHAMBUHLILLAH
    DPT 450 JUTA.DAN SAYA SELAKU PEMAIN TOGEL,DAN KEPERCAYAAN
    ITU ADALAH SUATU KEMENANGAN DAN SAAT SKRAG SY TEMUKAN
    ORANG YG BISA MENGELUARKAN ANGKA2 GAIB YAITU AKI ALIH
    JIKA ANDA YAKIN DAN PERCAYA NAMANYA ANGKA GOIB ANDA BISA
    HUBUNGI LANSUNG AKI ALIH DI NOMOR INI [[[ 0823 1366 9888 ]]] SAYA
    SUDAH BUKTIKAN SENDIRI ANGKA GOIBNYA DEMIH ALLAH DEMI TUHAN.


    KLIK DISINI 4d 5d 6d





    BalasHapus