Zakat menurut syara’ ialah pemberian yang wajib diberikan dari sekumpulan harta tertentu, pada waktu tertentu kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya.
Dalam al-Fiqh al-Islami Adilatuh karya Wahbah al-Zuhayly memaparkan definisi zakat yang berbeda dari empat madzhab, namun dari definisi para imam madzhab memiliki esensi yang tetap sama.
Madzhab Maliki, dalam madzhab Maliki zakat adalah mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang mencapai nishab,kepada orang yang berhak menerimanya, kepemilikan penuh yang sudah mencapai satu tahun (haul) dan bukan barang tambang dan barang pertanian.
Madzhab Hanafi, mendefinisikan zakat dengan “Menjadikan sebagian harta yang khusus (tertentu) dari harta yang khusus (tertentu) sebagai milik orang yang khusus (tertentu), yang ditentukan oleh syariat karena Allah SWT”.
Madzhab Syafi’i, mengartikan zakat sebagai sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara yang khusus.
Madzhab Hambali, zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu untuk kelompok tertentu pula.
Meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang berbeda akan tetapi pada prinsipnya tetap sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula.
Dalam Al-Quran ada beberapa istilah yang digunakan untuk zakat yaitu shadaqah dan infaq. Shadaqah adalah pemberian dari seorang muslim secara sukarela dan ikhlas tanpa dibatasi waktu dan jumlah ( haul dan nisab) sebagai Haul mempunyai dua pengertian, pertama ialah jangka waktu satu tahunsebagai salah satu syarat untuk beberapa jeniskekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kedua, upacara memperingati ulang tahun wafatnya seorang tokoh agama Islam dengan menziarahi kuburnya. Jadi istilah haul yang berhubungan dengan hal di atas adalah haul dengan pengertian yang pertama.
kebaikan dengan mengharap ridha Allah Swt. Infaq adalah memberikan rizki kepada orang lain berdasarkan ikhlas dan karena Allah Swt. Perbedaan antara zakat, shadaqah dan infaq dinilai dari hukum dan waktu pengeluarannya yaitu bahwa zakat ada batasan dan musiman sedangkan shadaqah dan infaq diberikan bisa terus menerus tanpa batas bergantung keadaan. Namun jika di pandang dari segi hukum antara zakat, shadaqah dan infaq berbeda.
Zakat secara umum terbagi menjadi dua bagian. pertama zakat harta atau biasa disebut zakat mal yaitu zakat yang dikeluarkan atas harta yang dimiliki seseorang atau lembaga dengan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan secara hukum syara’. Kedua adalah zakat nafs atau zakat fitrah yaitu zakat yang diberikan berkenaan dengan telah selesai mengerjakan puasa.
Zakat fitrah terdiri dari dua kata, yaitu zakat dan fitrah. Zakat fitrah ialah zakat yang wajib dikeluarkan setiap muslim disebabkan berakhirnya puasa pada bulan ramadhan. zakat fitrah hanyalah istilah yang ada di Indonesia dalam menyebut zakatul fithri, adapun dalam kajian fiqih klasik zakat fitrah disebut zakatul fithri. Arti al-fithri adalah berbuka puasa, dengan demikian zakatul fithri adalah zakat yang wajib dikeluarkan bertepatan dengan hari raya berbuka puasa.
Secara istilah, yang dimaksud zakat fitrah adalah :
Artinya : “Zakat yang wajib karena berbukanya di bulan ramadhan”.
Menurut Hasan Ayyub zakat fitrah dan sedekah fitrah itu mempunyai arti yang sama, karena zakat atau sedekah tersebut dikeluarkan setelah selesai dari melaksanakan puasa Ramadhan.
Banyak orang menyebutnya dengan zakat fithrah. Yang benar adalah zakat fithri atau shadaqah fithri, sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits. Makna zakat fithri atau shadaqah fithri adalah shadaqah yang wajib ditunaikan dengan sebab fithri (berbuka) dari puasa Ramadhan.
HIKMAH ZAKAT FITHRI
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam hadits :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
“Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah”.
HUKUM ZAKAT FITHRI
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim. Sebagian ulama beranggapan, kewajiban zakat fithri telah mansukh, tetapi dalil yang mereka gunakan tidak shahih dan sharih (jelas).
Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya Ijma’ ulama tentang kewajiban zakat fithri ini. Beliau rahimahullah berkata,”Telah bersepakat semua ahli ilmu yang kami menghafal darinya bahwa shadaqah fithri wajib. Maka kemudian menjadi sebuah ketetapan bahwa zakat fithri hukumnya wajib, tidak mansukh.
SIAPA YANG WAJIB MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI?
Syarat Wajib Zakat Fitrah
Islam, artinya orang yang tidak beragama Islam tidak wajib membayar zakat kecuali menzakati budak dan kerabatnya yang muslim. Merdeka (bukan budak). Menemui sebagian waktu dari bulan Ramadhan serta menemui waktu terbenamnya matahari dengan sempurna di akhir bulan Ramadahan atau malam hari raya idul fitri. Memiliki kelebihan dari nafaqahnya sendiri dan orang-orang yang wajib dinafaqahi di malam hari raya idul fitri dan siang harinya.
Berkaitan dengan syarat wajib yang ke 3, maka apabila ada seorang muslim yang meninggal dunia setelah matahari tenggelam pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam idul fitri), maka dia tetap mempunyai kewajiban membayar zakat fitrah, bagi penanggung jawab nafaqahnya wajib mengeluarkannya. Lain halnya apabila ia meninggal dunia sebelum matahari terbenam pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka tidak wajib membayar zakat fitrah.
Adapun seorang bayi yang lahir sebelum matahari tenggelam pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia wajib dibayarkan zakat fitrahnya oleh orang tuanya. Namun apabila ia lahir sesudah tenggelam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia tidak wajib membayar zakat fitrah. (penanggung jawab nafaqah tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah).
Demikian juga dengan laki-laki yang menikah sesudah terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam idul fitri) dia tidak berkewajiban untuk membayarkan zakat fitrah untuk istrinya. Akan tetapi kewajiban membayar zakat fitrahnya adalah menjadi kewajiban orang tuanya atau kewajiban dirinya sendiri.
Selanjutnya berkaitan dengan syarat wajib yang ke 4, maka apabila ada seseorang muslim yang tidak mempunyai kelebihan makanan pada malam hari raya dan siang harinya, maka gugurlah kewajibannya membayar zakat fitrah, baik zakat fitrah untuk dirinya maupun keluarga yang menjadi tanggungannya (man talzamuhu nafaqatuhu). Seseorang misalnya saja hanya mampu untuk mengeluarkan setengah sha’ saja, maka wajib mengeluarkan setegah sha’. Dan apabila ada seseorang yang hanya mempunya beberapa sha’ sementara orang menjadi tanggungan zakatnya banyak, maka agar mendahulukan zakat untuk dirinya sendiri, kemudian istrinya, anaknya yang masih kecil, ayah, ibunya, anaknya yang sudah besar dan terakhir budaknya.
Adapun kewajiban atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, karena hal ini telah diwajibkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
“Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua dari kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri itu ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)”.
Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.[al Baqarah/2:286].
Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan makanan pokok bagi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah untuk satu malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah memiliki kecukupan, sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ سَهْلِ ابْنِ الْحَنْظَلِيَّةِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ النَّارِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ- فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَمَا الْغِنَى الَّذِي لَا تَنْبَغِي مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ- قَالَ: ((قَدْرُ مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبْعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ-
“Dari Sahl Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki apa yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia memperbanyak dari api neraka,” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “(memperbanyak) dari bara Jahannam”- Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang mencukupinya?” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “Apakah kecukupan yang dengan itu tidak pantas meminta-minta?” Beliau bersabda,“Seukuran yang mencukupinya waktu pagi dan waktu sore,” -an Nufaili mengatakan di tempat yang lain: “Dia memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari dan semalam” atau “semalam dan sehari”. [HR Abu Dawud, no. 1629]
Adapun Hanafiyah berpendapat, ukuran kemampuan itu ialah, memiliki nishab zakat uang atau senilai dengannya dan lebih dari kebutuhan tempat tinggalnya. Dengan dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَصَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى
“Tidak ada shadaqah kecuali dari kelebihan kebutuhan”.
Tetapi pendapat ini lemah, karena:
1. Kewajiban zakat fithri tidak disyaratkan kondisi kaya seperti pada zakat maal.
2. Zakat fithri tidak bertambah nilainya dengan bertambahnya harta, seperti kaffarah (penebus kesalahan), sehingga nishab tidak menjadi ukuran.
3. Hadits mereka (Hanafiyah) tidak dapat dijadikan dalil, karena kita berpendapat bahwa orang yang tidak mampu, ia tidak wajib mengeluarkan zakat fithri, dan ukuran kemampuan adalah sebagaimana telah dijelaskan. Wallahu a’lam.
BAGAIMANA DENGAN JANIN?
Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah orang tuanya juga wajib mengeluarkan zakat fithri baginya?
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya zakat fithri atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun janin, menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak kecil”.
Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen Universitas Imam Muhammad bin Su’ud- berkata: “Zakat fithri wajib atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang tua, dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai mengeluarkan zakat fithri bagi janin yang berada di dalam perut ibunya”.
Penyerahan Zakat Fitrah
Zakat di golongkan sebagai praktek ibadah yang wajib dilakukan dengan segera (‘ala al-faur), hal tersebut ditandai dengan memungkinkannya mengeluarkan zakat (tamakun) yakni dengan wujudnya harta yang dizakati dan hadirnya orang-orang yang berhak menerima zakat. Kewajiban yang ditanggung oleh seorang muslim dalam mengeluarkan zakat segera (‘ala al-faur) maka berkonsekuensi terhadap hukum keharaman untuk mengakhirkan pengeluaran zakat fitrah. Penundaan atau mengakhirkan zakat setelah memungkinkan untuk diserahkan (tamakun), maka ia berdosa dan mewajibkan menggantinya (dhoman) jika terjadi kerusakan pada harta yang dizakati. Namun apabila ada udzur dalam penundaan tersebut semisal menanti kerabat, tetangga, orang yang lebih membutuhkan dan sebagainya, maka ia tidak berdosa tetapi wajib menggantinya (dhoman).
Sedangkan waktu melaksanakan atau mengeluarkan zakat fitrah terbagi menjadi 5 yakni:
Waktu jawaz: mulai awal puasa Ramadhan (ta’jil) sampai awal bulan syawal, dan tidak boleh mengeluarkan zakat sebelum awal puasa Ramadhan.
Waktu wajib: mulai terbenamnya matahari akhir Ramadhan (menemui sebagian Ramadhan) sampai 1 syawal (menemui sebagian syawal).
Waktu sunnat: setelah fajar dan sebelum di laksanakan shalat hari raya Idul fitri.
Waktu makruh : setelah pelaksanaan shalat idul fitri sampai tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal. Zakat fitrah yang di keluarkan setelah shalat hari raya hukumnya makruh, jika tidak ada udzur. Namun apabila mengakhirkannya terdapat udzur, semisal menanti kerabat dekat, tetangga, orang yang lebih utama atau orang yang lebih membutuhkan, maka hukumnya tidak makruh.
Waktu haram: setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal (malam 2 syawal). Apabila seseorang mengakhirkan pelaksanaan zakat fitrah sehingga keluar dari tanggal 1 Syawal maka hukumnya haram jika tanpa adanya udzur, dan status zakat fitrah yang dikeluarkan adalah qadha’ dengan segera (qadha’ ‘ala al-faur). Namun jika pengakhiran tersebut karena adanya udzur, semisal menunggu hartanya yang tidak ada di tempat, atau menunggu orang yang berhak menerima zakat maka hukumnya tidak haram.
Dalam menyerahkan zakat ada 2 syarat yang harus di ketahui :
1. Niat di dalam hati, lebih utama lagi disertai dengan ucapan.
Berkaitan dengan niat dalam zakat maka tanpa menyebutkan kata fardhu sudah sah, karena zakat yang di keluarkan itu sudah pasti fardhu hukumnya, berbeda dengan ibadah shalat. Namun yang paling utama adalah menyebutkan kata fardhu..
Penyerahan zakat boleh dilakukan oleh sendiri, melalui wakil atau diserahkan kepada Imam (amil). Penyerahan zakat kepada Imam (amil) itu lebih baik daripada diserahkan kepada wakil, jika Imam (amil) terjadi penyelewengan dalam pengurusan atau pengelolaan zakat, maka lebih baik diserahkan sendiri atau lewat wakil. Sedangkan penyerahan zakat yang dilakukan sendiri itu lebih baik daripada lewat wakil.
Zakat yang diserahkan melalui wakil, menurut pendapat yang ashah niat dari yang mewakilkan sudah mencukupi, namun yang lebih utama wakil pun juga niat ketika menyerahkan zakat tersebut, kecuali jika penyerahan zakat dan niatnya diwakilkan kepada wakil maka sudah cukup dengan niatnya wakil saja. Adapun zakat yang diserahkan melalui Imam (amil) maka niatnya cukup dilakukan di saat penyerahan kepada Imam (amil), sekalipun amil tidak niat saat menyerahkan zakat kepada yang berhak menerima.
An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menjelaskan bahwa praktek kewajiban ibadah yang berhubungan dengan Allah (haqqullah) itu pada hakikatnya tidak boleh diwakilkan kecuali dalam pembayaran zakat, pelaksanaan ibadah haji dan penyembelihan qurban. Berkaitan dengan pembayaran atau penyerahan zakat kepada yang berhak menerima, maka bagi yang berzakat (muzaki) boleh melakukannya sendiri atau di salurkan melalui wakil (Imam/amil). Diperbolehkannya mewakilkan zakat tersebut karena zakat merupakan ibadah yang menyerupai dengan pembayaran hutang untuk dibayarkan kepada yang berhak sebagai penunjang kebutuhannya.
Selanjutnya, berkaitan dengan kewajiban mengeluaran zakat fitrah yang memungkinkan dilakukan oleh orang lain baik itu dilakukan oleh orang yang menjadi tanggungjawab nafaqah, atau wakil yang sudah mendapat izin dari yang berzakat, maka dalam niat zakatnya ada beberapa macam, berikut ini contohnya:
a) Zakat fitrah untuk diri sendiri : niat dilakukan oleh pelaku dari zakat tersebut.
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِىْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya sendiri, Fardhu karena Allah Ta’ala.
b) Zakat untuk orang yang menjadi tanggungjawab nafaqahnya: niat dilakukan oleh pelaku tanpa harus mendapatkan izin dari orang yang dizakati (tanggung jawab nafaqah) semisal seorang suami yang mengeluarkan zakat atas nama istri, anaknya dan lain-lain. Dalam hal ini pelaku zakat diperbolehkan memberikan makanan yang akan dizakati agar melakukan niat sendiri.
- Niat zakat fitrah untuk anak laki-laki atau perempuan
نوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ وَلَدِيْ… / بِنْتِيْ… فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya (sebut namanya) / anak perempuan saya (sebut namanya), Fardhu karena Allah Ta’ala.
- Niat zakat fitrah untuk istri
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ زَوْجَتِيْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas istri saya, Fardhu karena Allah Ta’ala.
- Niat zakat fitrah untuk diri sendiri dan untuk semua orang yang menjadi tanggung jawab nafaqahnya
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِّىْ وَعَنْ جَمِيْعِ مَا يَلْزَمُنِىْ نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat atas diri saya dan atas semua yang saya diwajibkan memberi nafaqah pada mereka secara syari’at, fardhu karena Allah Ta’ala.
- Niat zakat fitrah untuk orang yang ia wakili
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ (…..) فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas…. (sebut nama orangnya), Fardhu karena Allah Ta’ala.
2. Memberikan kepada yang berhak menerima zakat (mustahiqquzzakat).
Dalam madzhab Syafi’i, zakat haruslah diberikan kepada semua orang yang berhak menerima zakat secara merata, hal itu apabila memang jumlah orang yang berhak menerima terbatas dan harta zakatnya mencukupi. Apabila tidak demikian maka diperbolehkan memberikan atau menyerahkan kepada minimal tiga orang dari setiap golongan yang berhak menerima zakat, jika dari setiap golongan tidak ada, maka diberikan kepada golongan yang ada.
Menurut Ibn Hajar, sebagaimana dikutip Abu Bakar Syatha: bahwa menurut Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik, diperbolehkan menyerahkan zakat kepada satu golongan saja. Demikian inilah yang juga telah difatwahkan oleh Imam Ibn Ujail, dan juga telah difatwahkan oleh sebagian ulama Syafi’iyyah. Pendapat ini boleh diikuti, karena pada masa sekarang akan kesulitan untuk meratakan ke seluruh golongan yang berhak menerima zakat. Demikian juga dalam hal taqlid kepada mereka dalam hal diperbolehkannya memindah zakat atau naqluzzakat.
Berikut ini adalah doa yang di sunnatkan untuk di baca:
- Do’a saat menerima zakat.
أجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ, , وَاجْعَلْهُ لَكَ طَهُوْرًا وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ
Artinya: Mudah-mudahan Allah memberi pahala atas Apa yang engkau berikan, dan Menjadikannya sebagai pembersih bagimu. Dan memberikan berkah atas apa yang masih ada di tanganmu.
- Do’a sesudah memberikan zakat:
ربنا تقبل منا انك انت السميع العليم
Artinya: Ya Tuhan kami, terimalah amal kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Penerima Zakat
Muzakki adalah orang yang menyerahkan zakatnya, sementara Mustahiq Zakat Yaitu orang-orang yang berhak menerima zakat. Mustahiq zakat itu harta ada delapan ashnaf sesuai dalam firman Allah Q.S. At-Taubah ayat 60 :
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَـٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَـٰكِينِ وَٱلۡعَـٰمِلِينَ عَلَيۡہَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُہُمۡ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَـٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةً۬ مِّنَ
ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَڪِيمٌ۬
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk [memerdekakan] budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. At-Taubah: 60).
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang berhak menerima zakat fithri.
1. Delapan golongan sebagaimana zakat maal.
Ini merupakan pendapat Hanafiyah, pendapat Syafi’iyyah yang masyhur, dan pendapat Hanabilah.
2. Delapan golongan penerima zakat maal, tetapi diutamakan orang-orang miskin.
Asy Syaukani rahimahullah berkata,”Adapun tempat pembagian shadaqah fithri adalah tempat pembagian zakat (maal), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya dengan zakat. Seperti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Barangsiapa membayarnya sebelum shalat, maka itu merupakan zakat yang diterima,’ dan perkataan Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan zakat fithri. Kedua hadits itu telah dijelaskan. Tetapi sepantasnya didahulukan orang-orang faqir, karena perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencukupi mereka pada hari (raya) tersebut. Kemudian jika masih lebih, dibagikan kepada yang lain.”
Perkataan asy Syaukani rahimahullah ini, juga dikatakan oleh Shiqdiq Hasan Khan al Qinauji rahimahullah.
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,”Tempat pembagian shadaqah fithri adalah, seperti tempat pembagian zakat-zakat yang umum. Tetapi, orang-orang faqir dan miskin lebih berhak terhadapnya daripada bagian-bagian yang lain. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Cukupilah mereka dari minta-minta pada hari (raya) ini!’ Maka zakat fithri tidaklah diberikan kepada selain orang-orang faqir, kecuali jika mereka tidak ada, atau kefaikran mereka ringan, atau besarnya kebutuhan bagian-bagian yang berhak menerima zakat selain mereka”.
3. Hanya orang miskin.
Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka, muslim, yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang mengurusinya, atau menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan kepada mujahid (orang yang berperang), tidak dibelikan alat (perang) untuknya, tidak diberikan kepada para mu’allaf, tidak diberikan kepada ibnu sabil, kecuali jika dia miskin di tempatnya, maka ia diberi karena sifatnya miskin, tetapi dia tidak diberi apa yang menyampaikannya menuju kotanya, tidak dibelikan budak dari zakat fithri itu, dan tidak diberikan kepada orang gharim.
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (2/44), Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi dalam al Wajiz (halaman 231), dan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari di dalam Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan [halaman 105-106].
Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang zakat fithri:
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin”. [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain].
2. Zakat fithri termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa), sehingga wujudnya makanan yang diberikan kepada orang yang berhak, yaitu orang miskin, wallahu a’lam.
3. Adapun pendapat yang menyatakan zakat fitrah untuk delapan golongan sebagaimana zakat mal, karena zakat fithri atau shadaqah fithri termasuk keumuman firman Allah Azza wa Jalla :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan. -at Taubah/9 ayat 60-), maka pendapat ini dibantah, bahwa ayat ini khusus untuk zakat mal, dilihat dari rangkaian ayat sebelumnya dan sesudahnya.
Kemudian juga, tidak ada ulama yang berpegang dengan keumuman ayat ini, sehingga seluruh jenis shadaqah hanyalah hak delapan golongan ini. Jika pembagian zakat fithri seperti zakat mal, boleh dibagi untuk delapan golongan, maka bagian tiap-tiap golongan akan menjadi sedikit. Tidak akan mencukupi bagi gharim (orang yang menanggung hutang), atau musafir, atau fii sabilillah, atau lainnya. Sehingga tidak sesuai dengan hikmah disyari’atkannya zakat. Wallahu ‘alam.
PANITIA ZAKAT FITHRI?
Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu adanya orang-orang yang mengurusi zakat fithri. Berikut adalah penjelasan di antara keterangan yang menunjukkan hal ini.
1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewakilkan Abu Hurairah menjaga zakat fithri. [HR Bukhari, no. 3275].
2. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986]. Mereka adalah para pegawai yang ditunjuk oleh imam atau pemimpin. Tetapi mereka tidak mendapatkan bagian zakat fithri dengan sebab mengurus ini, kecuali sebagai orang miskin, sebagaimana telah kami jelaskan di atas.
Problematika Zakat
Zakat Fitrah Kepada Kyai, Masjid dan Sebagainya
Berikut ini penulis sajikan pembahasan tentang berbagai makna sabilillah menurut beberapa ulama yang kemudian menjadi landasan diperbolehkannya memberikan zakat kepada kyai, masjid, pondok, madrasah dan sebagainya.
Sabilillah, pada dasarnya adalah orang yang berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji. Mereka mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebutuhan dirinya dan keluarganya selama berangkat, pulang dan mukim, sekalipun dia termasuk orang kaya. Apabila tidak jadi berperang maka dia harus mengembalikan zakat yang telah dia terima, demikian pula harus mengembalikan kelebihannya setelah berperang.
Perbedaan pandangan tentang pemberian zakat fitrah kepada selain golongan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an menjadi permasalahan yang pelik, di sisi lain praktek tersebut sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat kita. Seperti dalam permasalahan mentasarufkan zakat kepada masjid, madrasah, pondok pesantren, panti asuhan, guru ngaji atau kyai, yayasan sosial atau keagamaan dan yang lainnya. Hal tersebut pada hakikatnya tidak terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan fuqaha (ahli fiqh) dalam memaknai kata sabilillah dalam al-Qur’an (at-Taubah :30).
Imam Syihabuddin al-Qasthalani misalnya berpendapat bahwa Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang yang bersuka rela dalam berjihad walaupun mereka itu kaya, karena untuk membantu mereka dalam berjihad. Termasuk ahli sabilillah adalah para penuntut ilmu atau pelajar yang mempelajari ilmu syara', orang-orang yang mencari kebenaran, orang yang menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang ahli memberi nasehat, memberi bimbingan dan orang yang membela agama yang lurus.
Imam Kasani memaknai sabililah dengan semua jalan ibadah, termasuk pula orang-orang yang berjuang dalam ketaatan kepada Allah, dan menegakkan kebaikan dengan catatan apabila memang membutuhkan pembagian zakat, karena makna sabilillah mencakup semua sektor kebaikan. Sebagian ulama Hanafiyah juga ada yang memaknai sabilillah adalah orang-orang yang mencari ilmu walaupun kaya.Imam al-Qaffal menukil dari sebagian ahli fiqih, bahwa mereka memperbolehkan mentasarufkan zakat kepada segala sektor kebaikan (wujuh al-Khair) seperti mengkafani mayat, membangun pertahanan, membangun masjid dan sebagainya, karena kata-kata sabilillah dalam Al-Qur'an (at-Taubah:60) itu mencakup umum (semuanya).
Zakat Fitrah dengan Uang
Konsep dasar dalam mengeluarkan zakat fitrah adalah dengan makanan pokok di setiap daerah, bukan dengan uang seharga makanan tersebut (qimah).
Dalam kajian fiqh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang diwarnai perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’. Menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibn Mundzir bahwa mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tidak diperbolehkan. Hal ini berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Hanifah yang mengatakan boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (seharga) makanan tersebut. Sementara Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur tidak memperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat.
Menurut Imam Abu Hanifah, mengeluarkan zakat fitrah dengan uang itu lebih efektif, karena dengan uang, penerima zakat akan mendapatkan kemudahan dalam mewujudkan keinginanannya, dan yang terpenting lagi kata Imam Abu Hanifah bahwa tujuan dari yang wajib dari membayar atau mengeluarkan zakat adalah memberi kecukupan bagi para orang yang membutuhkan (ighna’ al-fuqara’).
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam al-Bulqini dari kalangan ulama Syafi’iyyah dan beberapa ulama yang lain, cenderung membenarkan pendapat yang difatwahkan oleh Imam Abu Hanifah berkaitan dengan bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (seharga makanan). Dan ternyata pendapat para ulama-ulama ini boleh diikuti atau taqlid, mengingat kapasitas mereka diakui sebagai ulama ahli tarjih dan ahli takhrij.
Golongan Yang Tidak Berhak Menerima Zakat
Golongan orang yang tidak berhak menerima zakat ada lima, yakni:
Orang kaya. Yaitu orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.
Budak atau hamba sahaya selain budak mukatab.
Keturunan dari bani Hasyim dan bani Muthalib.
Orang kafir.
Orang yang menjadi tanggungan nafaqahnya. Artinya tidak boleh memberikan zakat kepadanya atas nama fakir miskin. Namun apabila sebagai orang yang berperang membela agama Allah “Ghuzat” atau orang yang berhutang “Gharim” maka diperbolehkan.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar