Translate

Rabu, 31 Mei 2017

Zakat Fithri Dengan Uang Bukan Bid'ah

Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.

Sebagian melarang pembayaran zakat menggunakan uang secara mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, dan sebagian membolehkan tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadatan yang mereka lakukan.

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Jumhur ulama mengatakan tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah (fithri) berupa uang. Inilah yang dipegang kuat oleh Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, Hanabilah, dan Dhahiriyyah. Sedangkan ulama lain, seperti Al-Hasan Al-Bashriy, ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, Ats-Tsauriy, Abu Haniifah, dan yang lainnya; berpandangan boleh mengeluarkan zakat fitrah (fithri) dengan uang.

Dalil Pokok Madzhab Pertama

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin As-Sakan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Jahdlam : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far, dari ‘Umar bin Naafi’, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri di bulan Ramadlan kepada manusia; satu shaa’ tamr (kurma) atau satu shaa’ gandum atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan wanita dari kalangan umat muslimin. Dan beliau pun memerintahkan agar mengeluarkannya sebelum orang-orang keluar mengerjakan shalat (‘Ied)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1503].

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ الْعَامِرِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Iyadl bin ‘Abdllah bin Sa’d bin Abi Sarh Al-‘Aamiriy, bahwasannya ia mendengar Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu berkata : “Dulu kami mengeluarkan zakat fithri (sebanyak) satu shaa’makanan, atau satu shaa’ gandum, atau satu shaa’ tamr(kurma), atau satu shaa’ keju, atau satu shaa’ anggur kering (kismis)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1506].

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ الدِّمَشْقِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السَّمْرَقَنْدِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَرْوَانُ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو يَزِيدَ الْخَوْلَانِيُّ وَكَانَ شَيْخَ صِدْقٍ وَكَانَ ابْنُ وَهْبٍ يَرْوِي عَنْهُ حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ مَحْمُودٌ الصَّدَفِيُّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Khaalid Ad-Dimasyqiy dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan As-Samarqandiy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Marwaan - ‘Abdullah berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Yaziid Al-Khaulaaniy, ia seorang syaikh yang jujur, dan Ibnu Wahb meriwayatkan darinya : Telah menceritakan kepada kami Sayyaar bin ‘Abdirrahmaan - : Mahmuud berkata : Ash-Shadafiy, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan perkataan yang tidak senonoh, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1506; hasan].

Sisi pendalilannya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri bagi kaum muslimin dengan menyebut jenisnya. Jenis-jenis yang disebutkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan jenis-jenis makanan pokok. Semua jenis makanan pokok bagi satu penduduk negeri dapat diqiyaskan dengan hal-hal tersebut (misalnya : beras). Suatu kewajiban jika telah ditentukan jenisnya, maka tidak boleh diganti dengan selainnya. Apalagi dalam riwayat Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa telah disebutkan salah satu tujuan pengeluaran zakat fithri tersebut adalah sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Tidaklah tercapai tujuan tersebut kecuali dengan penunaian berupa bahan makanan pokok.

Pendalilan lain yang dipakai adalah bahwa di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam uang (berupa dinar dan dirham) telah tersebar dan dipakai, namun beliau tidak pernah memerintahkan mengeluarkan zakat berupa uang dan tetap menyebutkan beberapa makanan pokok yang tertera dalam hadits di atas.

Dalil Pokok Madzhab Kedua

Allah ta’ala berfirman :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” [QS. At-Taubah : 103].

Ayat ini sebagai dalil bahwa asal dari kewajiban zakat yang diambil adalah (pada) harta/maal. Dan asal dari harta adalah apa-apa yang dimiliki berupa emas dan perak.
Penjelasan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang zakat fithri dengan gandum dan kurma hanyalah untuk sekedar memudahkan dalam memenuhi kebutuhan, dan bukan membatasi jenisnya.

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقِيلَ مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَمَّا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَعَمُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهِيَ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ وَمِثْلُهَا مَعَهَا

Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib : Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan shadaqah (zakat). Lalu dikatakan kepada beliau bahwa Ibnu Jamiil, Khaalid bin Al-Waliid, dan 'Abbaas bin 'Abdil-Muthallib tidak mau mengeluarkan zakat. Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Mengapa Ibnu Jamiil tidak mau mengeluarkan zakatnya sebab dahulunya dia faqir namun kemudian Allah dan Rasul-Nya menjadikannya kaya? Adapun Khaalid, sungguh kalian telah mendhalimi Khaalid, karena dia telah mewaqafkan baju-baju besi dan peralatan perangnya untuk berjuang di jalan Allah. Adapun 'Abbaas bin 'Abdul Muthallib dia adalah paman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, namun demikian dia tetap wajib berzakat dan yang semisalnya selain itu" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1468].

Sisi pendalilannya adalah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membolehkan bagi Khaalid untuk membuat perhitungan bagi dirinya yang senilai dengan zakat yang diwajibkan kepadanya.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Tsumaamah : Bahwasannya Anas radliyallaahu ‘anhutelah menceritakan kepadanya : Bahwa Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam, yaitu : "Barangsiapa yang memiliki onta dan terkena kewajiban zakat jadza'ah sedangkan dia tidak memiliki jadza'ah dan yang dia miliki hanya hiqqah; maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah sedangkan dia tidak memiliki hiqqah namun dia memiliki jadza'ah; maka diterima zakat darinya berupa jadza'ahdan dia menerima (diberi) dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun; maka diterima zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah;maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadl; maka diterima zakat darinya berupa bintu makhadl, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1453].

Hadits di atas menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan dengan sesuatu yang senilai dengannya. Qiyasnya, hal itu berlaku pula pada kewajiban zakat fithri.

حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ

Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, atau zakat Ramadlaan bagi setiap laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak; berupa satu shaa'kurma atau satu shaa' gandum". Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah shaa' burr [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1511].

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ وَسُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَعَدَلَ النَّاسُ بَعْدُ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُعْطِي التَّمْرَ فَأُعْوِزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ التَّمْرَ عَامًا فَأَعْطَى الشَّعِيرَ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad dan Sulaimaan bin Daawud Al-‘Atakiy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad, dari Ayyuub, dari Naafi’, ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah (bin ‘Umar) : “Orang-orang menyamakan setelah itu dengan setengah shaa’ burr”. Naafi’ berkata : “’Abdullah memberikan kurma. Lalu penduduk Madinah pun kesulitan untuk mendapatkan kurma, lalu ia (‘Abdullah) memberikan gandum” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1615; shahih].

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعٍ مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعٍ مِنْ شَعِيرٍ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَجَعَلَ النَّاسُ عَدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Laits. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Laits, dari Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengeluarkan zakat fithri satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum”. Ibnu ‘Umar berkata : “Orang-orang menyamakannya dengan dua mudd hinthah (sejenis gandum)” [Diriwayatkan Muslim no. 984].

Mu’adz radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman,

ائْتُونِى بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ، وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ

“Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian pakaian atau baju lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/ bermanfaat bagi para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.” Hadits ini menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat dengan sesuatu yang senilai, bukan dengan gandum sesuai ketetapan.

Sisi pendalilannya adalah : Para shahabat telah mengkonversikan satu shaa’ kurma dan gandum dengan setengah shaa’ burr (gandum berkualitas bagus) atau dua mudd hinthah. Ini sebagai dalil bolehnya membayarkan zakat fithri berdasarkan kesetaraan nilai.

[Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada pendalilan padanya, karena dua riwayat di atas tetap menyebutkan bahan makanan; maka ini tidak bisa diterima. Jika pembayaran zakat fithri memang tidak boleh dengan nilainya/harganya, niscaya burr atau hinthah yang dibayarkan harus dengan takaran yang sama. Pembedaan pengkonversian antara beberapa jenis gandum dalam zakat fithri itu mengandung penjelasan bahwa pengkonversian tersebut didasarkan atas nilainya. Adapun disebutkannya burr atau hinthah, maka itu bukan pembatas dalam standar pengkonversian ini].

حدثنا أبو أسامة عن زهير قال سمعت أبا إسحاق يقول أدركتهم وهم يعطون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام.

Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Zuhair, ia berkata : Aku mendengar Abu Ishaaq berkata : “Aku menjumpai mereka menunaikan shadaqah Ramadlaan (zakat fihtri) beberapa dirham senilai makanan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/174].

Maksud dari perkataan ‘menjumpai mereka’ adalah menjumpai para tabi’in dan sebagian shahabat, sebab Abu Ishaaq termasuk golongan tabi’iy  pertengahan yang menjumpai beberapa orang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Sanad riwayat ini lemah karena faktor penyimakan Zuhair dari Abu Ishaaq As-Sabii’iy adalah setelah ikhtilath-nya. Akan tetapi ia mempunyai syawaahid dari riwayat berikut yang menguatkannya :

حدثنا وكيع عن قرة قال جاءنا كتاب عمر بن عبد العزيز في صدقة الفطر نصف صاع عن كل إنسان أو قيمته نصف درهم

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Qurrah, ia berkata : “Telah datang kepada kami kitab ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz tentang zakat fithri sebanyak setengah shaa’ bagi setiap orang atau dengan nilainya/harganya seharga setengah dirham” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/174; shahih].

‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz adalah amiirul-mukminiin yang termasuk generasi tabi’in  pertengahan – semasa dengan Abu Ishaaq As-Sabii’iy. Sebagian shahabat pernah di bawah kepemimpinannya semasa ia menjadi gubernur Madinah. Ada kemungkinan bahwa perintahnya atas zakat fithri di sini ia berlakukan semenjak ia menjadi gubernur Madiinah hingga ia menjadi khalifah, wallaahu a’lam.

حدثنا وكيع عن سفيان عن هشام عن الحسن قال لا بأس أن تعطى الدراهم في صدقة الفطر

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Hisyaam, dari Al-Hasan, ia berkata : “Tidak mengapa diberikan berupa uang dirham dalam zakat fithri” [idem].

Al-Hasan Al-Bashriy termasuk tabi’iy pertengahan yang semasa dengan Abu Ishaaq As-Sabii’iy dan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz.

وقال طاوس: قال معاذ رضي الله عنه لأهل اليمن: ائتوني بعرض، ثياب خميص أو لبيس، في الصدقة، مكان الشعير والذرة، أهون عليكم، وخير لأصحاب النبي صلى الله عليه وسلم بالمدينة.

Dan telah berkata Thaawuus : Mu’aadz radliyallaahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman : “Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian khamiis atau pakaian lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/bermanfaat bagi para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara ta’liq, dan disambungkan oleh Yahyaa bin Aadaam dalam Al-Kharaaj no. 525 dengan sanad shahih sampai Thaawuuus bin Kaisaan].

Pada asalnya, zakat fithri harus dibayarkan sesuai dengan jenis yang disebutkan dalam nash. Namun jika terpaksa, atau karena adanya kebutuhan dan maslahat yang kuat, maka diperbolehkan membayarkan zakat fithridengan nilainya (uang atau yang lainnya). Inilah pendapat Ishaaq bin Rahawaih, Abu Tsaur, Ahmad dalam salah satu riwayatnya, serta pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. Ibnu Taimiyyah berkata :

والأظهر في هذا‏:‏ أن إخراج القيمة لغير حاجة ولا مصلحة راجحة، ممنوع منه؛ ولهذا قَدَّر النبي صلى الله عليه وسلم الجبران بشاتين، أو عشرين درهمًا، ولم يعدل إلى القيمة؛ ولأنه متى جوز إخراج القيمة مطلقًا، فقد يعدل المالك إلى أنواع رديئة، وقد يقع في التقويم ضرر؛ ولأن الزكاة مبناها على المواساة، وهذا معتبر في قدر المال وجنسه، وأما إخراج القيمة للحاجة أو المصلحة أو العدل، فلا بأس به، مثل أن يبيع ثمر بستانه، أو زرعه بدراهم، فهنا إخراج عشر الدراهم يجزيه، ولا يكلف أن يشتري ثمرًا، أو حنطة، إذ كان قد ساوي الفقراء بنفسه، وقد نص أحمد على جواز ذلك‏.‏
ومثل أن يجب عليه شاة في خمس من الإبل، وليس عنده من يبيعه شاة، فإخراج القيمة هنا كاف، ولا يكلف السفر إلى مدينة أخري ليشتري شاة، ومثل أن يكون المستحقون للزكاة طلبوا منه إعطاء القيمة؛ لكونها أنفع، فيعطيهم إياها، أو يرى الساعي أن أخذها أنفع للفقراء، كما نقل عن معاذ بن جبل أنه كان يقول لأهل اليمن‏:‏ ائتوني بخميص، أو لبيس أسهل عليكم، وخير لمن في المدينة من المهاجرين والأنصار‏.‏

“Yang lebih nampak benar dalam permasalahan ini adalah : Bahwasannya mengeluarkan (zakat) dengan nilai/harga tanpa kebutuhan ataupun maslahat yang kuat adalah terlarang. Oleh karena itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan keputusan untuk zakat berupa dua ekor kambing atau duapuluh dirham. Dan beliau tidak langsung menyetarakannya dengan nilainya/uang. Sebab, jika diperbolehkan mengeluarkan zakat dengan nilainya/harganya secara mutlak, maka itu akan dapat menyebabkan pemilik harta menyamakannya dengan sesuatu yang jelek. Bahkan kadangkala hal ini menimbulkan dampak yang buruk, karena zakat dibangun atas asas memberikan sesuatu kepada orang lain. Hal ini hanya dianggap jika diberikan sesuai jumlah dan jenis harta itu sendiri. Adapun mengeluarkan zakat fithri dengan nilainya karena kebutuhan, kemaslahatan, atau keadilan, maka tidak mengapa. Misalnya (ada seseorang yang) menjual buah-buahan di kebun atau lahan pertaniannya dengan dirham. Dalam hal ini, jika orang tersebut mengeluarkan sepersepuluh (zakat pertanian) dari uang dirhamnya tersebut diperbolehkan. Ia tidak dibebani untuk membeli (dengan uang dirhamnya itu) buah-buahan atau gandum (dalam pembayaran zakatnya). Pada kondisi tersebut, orang-orang faqir telah mendapatkan kesamaan dalam zakat tersebut. Ahmad (bin Hanbal) telah mengatakan kebolehannya tentang hal itu.

Misalnya, seseorang yang diwajibkan padanya mengeluarkan zakat seekor kambing untuk (kepemilikan)lima ekor onta dimana pada saat itu tidak ada orang yang menjual kambing; maka membayar zakat dengan nilainya pada waktu itu diperbolehkan/mencukupi. Ia tidak dibebankan untuk bersafar ke kota lain hanya untuk membeli seekor kambing. Misal yang lain, ada beberapa orang mustahiq zakat yang meminta kepadanya agar diberikan uang. Karena dipandang lebih bermanfaat atau petugas zakat memandang memberikan uang lebih bermanfaat bagi orang-orang faqir; maka dalam hal ini diperbolehkan memberikan (zakat) dalam bentuk uang kepada mereka. Hal itu sebagaimana dinukil dari Mu’aadz bin Jabal ketika ia berkata kepada penduduk Yaman : ‘Berikanlah kepadaku baju khamiish atau pakaian lainnya, karena itu lebih mudah bagimu dan lebih baik bagi para shahabat Muhaajiriin dan Anshaar yang tinggal di Madinah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 25/82-83].

Inilah yang tampak dari pendapat Asy-Syaikh rahimahullah saat berkata :

ثم لو صح هذا الأثر لم يدل على قول أبي حنيفة أنه لا فرق بين القيمة والعين بل يدل لقول من يجوز إخراج القيمة مراعاة لمصلحة الفقراء والتيسير على الأغنياء وهو اختيار ابن تيمية

“Kemudian seandainya shahih atsar ini, maka hal itu tidak menunjukkan (kebenaran) perkataan Abu Haniifah yang tidak membedakan antara nilai/harga dan wujud fisik barang zakat. Bahkan perkataan itu menunjukan (kebenaran) orang yang mengatakan diperbolehkannya mengeluarkan harga/nilainya untuk menjaga kemaslahatan orang-orang faqir dan kemudahan bagi orang-orang kaya (dalam menunaikan zakat). Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah” [Tamaamul-Minnah, hal. 379].

Asy-Syaikh Abu Maalik dalam Shahih Fiqhis-Sunnah(2/84) dan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul dalam At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-Zakaah (hal. 145) juga merajihkan pendapat ini.

Inilah pendapat pertengahan – wallaahu a’lam – dengan melihat nash-nash yang ada.

Kembali pada pertanyaan di atas. Seandainya pun ada seseorang yang memegang perajihan pendapat jumhur tentang terlarangnya/tidak sahnya penunaian zakat fithri dengan uang, maka tidak boleh baginya menghukumi pendapat yang ia pandang marjuh (lemah) sebagai bid’ah. Tidak setiap pendapat yang lemah berkonsekuensi bid’ah. Apalagi dalam hal ini telah ternukil dari salaf yang membolehkannya.

Oleh karena itu, hendaklah para ikhwan – apalagi mereka yang mengaku berinstisab pada madzhab salaf tidak bersikap gegabah dan tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar