Secara bahasa isti’adzah berarti doa untuk memohon perlindungan dan penjagaan. Secara istilah isti’adzah adalah kalimat yang dimaksudkan untuk memohon perlindungan dan penjagaan kepada Tuhan yang Maha Pelindung dari bisikan dan godaan syaitan.
Ia bagaikan tabir untuk menghalangi datangnya keburukan yang tidak tampak, keburukan yang bersifat batiniah. Nabi secara tegas mengajarkan kepada dua sahabat yang sedang bertikai untuk membaca isti’adzah agar amarah dan angkuh dalam jiwanya melebur menjadi ketenangan.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa membaca isti’adzah merupakan permohonan agar terhindar dari hal-hal negatif yang bersifat batiniah, dan untuk mendatangkan kebaikan. Membaca isti’adzah merupakah anjuran yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, ia boleh dibaca kapan saja, lebih-lebih dibaca saat membaca Al-Qur’an.
Isti’aadzah berarti memohon perlindungan kepada Allah ta’ala dari kejahatan setiap yang jahat. Adapun istilahal-‘iyaadzah (العياذة) adalah isitilah (permohonan pertolongan) dalam usaha untuk menolak kejahatan. Danal-liyaad (اللياذ) adalah istilah (permohonan pertolongan) yang digunakan dalam upaya memperoleh kebaikan.
A’uudzubillaahi minasy-syatithaanir-rajiim, berarti aku memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk agar ia tidak membahayakan diriku dalam urusan agama dan duniaku, atau menghalangiku untuk mengerjakan apa yang telah Dia perintahkan. Atau agar ia tidak menyuruhku mengerjakan apa yang Dia larang, karena tidak ada yang mampu mencegah godaan syaithan itu kecuali Allah.
Oleh karena itu, Allah ta’ala memerintahkan manusia agar menarik dan membujuk hati setan jenis manusia dengan cara menyodorkan sesuatu yang baik kepadanya, sehingga dapat berubah tabiat dari kebiasaannya mengganggu orang lain. Selain itu, Allah juga memerintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari setan dari jenis jin, karena dia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi oleh kebaikan. Tabiat mereka jahat dan tidak ada yang dapat mencegahnya dari dirimu kecuali Rabb yang menciptakannya.
Inilah makna yang terkandung dalam tiga ayat Al-Qur’an. Pertama adalah firman-Nya dalam surat Al-A’raaf :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
”Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”[QS. Al-A’raf : 199].
Makna di atas berkenaan dengan muamalah terhadap musuh dari kalangan manusia.
Kemudian (yang kedua), Allah ta’ala berfirman :
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
”Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan, maka berlindunglah kepada Allah ( = dengan membaca : a’uudzubillaahi minasy-syaithaanir-rajiim). Sesunggunya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-A’raaf : 200].
Sedangkan dalam Surat Al-Mukminuun, Allah ta’ala berfirman :
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ (96) وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ (97) وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ (98)
”Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah : ‘Ya Rabbku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaithan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku” [QS. Al-Mukminuun : 96-98].
Dan dalam surat Al-Fushshilat, Allah ta’ala berfirman :
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (36)
”Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-oleh telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Fushshilat : 34-36].
Dalam bahasa Arab, kata setan (الشيطان) berasal dari kata “شطن” (syathana), yang berarti ‘jauh’. Jadi tabiat setan itu sangat jauh dari tabiat manusia, dan karena kefasikannya dia sangat jauh dari segala macam kebaikan.
Ada juga yang mengatakan bahwa kata syaithan (الشيطان) itu berasal dari kata “ شاط” (syaatha) ( = terbakar), karena ia diciptakan dari api. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna yang pertama adalah lebih benar.
Menurut Imam Sibawaih (seorang ulama pakar bahasa), bangsa Arab biasa mengatakan = “ تشيطن فلان” (tasyaithana fulaanun), jika Fulan itu berbuat seperti perbuatan setan. Jika kata setan itu berasal dari kata “ شاط”, tentu mereka akan mengatakan “ تشيط”.
Jadi menurut pendapat yang benar, kata setan (الشيطان) itu berasal dari kata “ شطن” yang berarti jauh. Oleh karena itu, mereka menyebut syaithan untuk setiap pendurhaka, baik jin, manusia, maupun hewan.
Berkenaan dengan hal ini, Allah ta’ala berfirman :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلّ نِبِيّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنْسِ وَالْجِنّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىَ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
”Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” [QS. Al-An’aam : 112].
Dalam Musnad Ahmad, disebutkan hadits dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu :
قال رسول الله ﷺ يا أبا ذر «تعوذ بالله من شياطين الإنس والجن» فقلت أوَ للإنس شياطين ؟ قال «نعم»
Rasulullah ﷺ bersabda : “Wahai Abu Dzarr, mohonlah perlindungan kepada Allah dari syaithan-syaithan dari jenis manusia dan jin”. Lalu aku bertanya : “Apakah ada syaithan dari jenis manusia ?”. Beliau menjawab : “Ya”.
Dalam Shahih Muslim, masih dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
قال رسول الله ﷺ «يقطع الصلاة المرأة والحمار والكلب الأسود» فقلت يا رسول الله ما بال الكلب الأسود من الأحمر والأصفر ؟ فقال: «الكلب الأسود شيطان»
Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Yang dapat membatalkan shalat itu adalah wanita, keledai, dan anjing hitam”. Aku berkata : “Ya Rasulullah, mengapa anjing hitam dan bukan anjing merah atau kuning?”. Beliau ﷺ menjawab : “Anjing hitam itu adalah setan”.
Kata “الرّجيم”, berwazan فعيل (subjek), tapi bermakna مفعول(objek), yang berarti setan itu terkutuk (marjuum) dan terusir dari semua kebaikan. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ
”Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan” [QS. Al-Mulk : 5].
Allah ta’ala berfirman :
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ * إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
”Jika kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sesungguhnya syaithan itu tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang beriman dan bertawakal kepada Rabb-nya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) itu hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas- orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah” [QS. An-Nahl : 98-100].
Yang masyhur menurut jumhur ulama’ bahwa isti’adzah dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an untuk mengusir gangguan setan. Menurut mereka, ayat yang berbunyi:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
‘Jika kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk’
artinya : Jika engkan hendak membaca, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
‘Jika kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah wajah dan kedua tanganmu’ [QS. Al-Maaidah : 6].
Artinya, jika kalian bermaksud mendirikan shalat.
Penafsiran seperti ini didasrkan pada beberapa hadits dari Rasulullah ﷺ. Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah meriwayatkan dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Apabila Rasulullaah ﷺ hendak mendirikan shalat malam, maka beliau ﷺ membuka shalatnya dan bertakbir seraya mengucapkan :
سبحانك اللهم وبحمدك، وتبارك اسمك، وتعالى جدك، ولا إله غيرك " . ويقول: " لا إله إلا الله " ثلاثًا، ثم يقول: " أعوذ بالله السميع العليم، من الشيطان الرجيم، من هَمْزه ونَفْخِه ونَفْثه
”Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Maha Agung nama-Mu dan Maha Tinggi kemuliaan-Mu. Tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau”. Kemudian beliau mengucapkan : “Laa ilaha illallaah (Tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah)” - sebanyak tiga kali. Setelah itu beliau ﷺ mengucapkan (isti’aadzah) : ”Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaan, tiupan, dan hembusannya”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh empat penyusun kitab As-Sunan dari riwayat Ja’far bin Sulaimaan, dari ‘Aliy bin ‘Aliy Ar-Rifaa’iy. At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan hadits ini merupakan hadits yang paling masyhur dalam masalah ini. Kata al-hamz (الْهَمْزُ) ditafsirkan sebagai cekikan (sampai mati); an-nafkh (الْنَفْخُ) sebagai kesombongan; dan an-nafts(الْنَفْثُ) sebagai syه’ir.
Al-Bukhaariy rahimahullah meriwayatkan (dengan sanadnya) dari Sulaiman bin Shurad radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
استب رجلان عند النبي صلى الله عليه وسلم، ونحن عنده جلوس، فأحدهما يسب صاحبه مغضَبًا قد احمر وجهه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: " إني لأعلم كلمة لو قالها لذهب عنه ما يجد، لو قال: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم " فقالوا للرجل: ألا تسمع ما يقول رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إني لست بمجنون
”Ada dua orang yang saling mencela di hadapan Nabi ﷺ, sedangkan kami sedang duduk di sisi beliau ﷺ. Salah seorang dari keduanya mencela yang lain dalam keadaan marah sehingga mukanya memerah. Maka Nabi ﷺbersabda : ”Sesungguhnya aku akan mengajarkan suatu kalimat yang jika seseorang mengucapkannya, niscaya akan hilang semua yang dirasakannya itu. Yaitu jika ia mengucapkan : a’uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim”. Maka para shahabat berkata kepada orang tersebut : ”Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan Rasulullah ﷺ ?”. Ia menjawab : ”(Aku mendengarnya), dan sesungguhnya aku bukan orang gila”.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’i melalui beberapa jalan, dari Al-A’masy.
Hukum Isti'aadzah
1. Jumhur ulama berpendapat isti’aadzah hukumnya sunnah dan bukan suatu kewajiban yang menyebabkan dosa bagi orang yang meninggalkannya. Diriwayatkan dari Maalik, bahwasannya ia tidak membaca ta’awudz dalam mengerjakan shalat wajib, namun mengucapkannya ketika shalat tarawih pada bulan Ramadlaan di awal malamnya.
2. Dalam kitab Al-Imlaa’, Asy-Syaafi’iy mengatakan ta’awwudz dibaca jahr (keras), namun jika dibaca sir (pelan) tidak apa-apa. Sedangkan dalam kitab Al-Umm, beliau rahimahullah mengatakan : Diberikan pilihan, karena Ibnu ‘Umar membacanya sirr, sedangkan Abu Hurairah jahr.
Jika orang yang memohon perlindungan itu membaca a’uudzubillaahi minasy-syaithaanir-rajiim; maka cukuplah baginya.
3. Menurut Abu Hanifah dan Muhammad (bin Al-Hasan), ta’awwudz dalam shalat adalah untuk membaca Al-Qur’an; sedangkan Abu Yuusuf rahimahumullah berpendapat ta’awwudz itu justru dibaca untuk shalat.
Berdasarkan hal ini, seorang makmum membaca ta’awwudz. Hendaknya ia juga membacanya dalam shalat ‘Ied setelah takbiratul-ihraam dan sebelum membaca takbir-takbir ‘Ied. Menurut jumhur ulama, ta’awwudz itu dibaca setelah takbir sebelum qira’ah/membaca (Al-Faatihah atau surat Al-Qur’an).
Diantara manfaat ta’awwudz adalah untuk menyucikan dan mengharumkan mulut dari kata-kata yang tidak mengandung faidah dan buruk. Ta’awwudz ini digunakan untuk membaca firman-firman Allah ta’ala; yaitu : memohon pertolongan kepada Allah ta’ala sekaligus memberikan pengakuan atas kekuasaan-Nya, kelemahan dirinya sebagai hamba, dan ketidakberdayaannya dalam melawan musuh yang sesungguhnya (yaitu setan), yang bersifat baathiniyyah, yang seorang pun tidak mampu menolak dan mengusirnya kecuali Allah ta’ala yang telah menciptakannya. Hal itu sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala :
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلا
”Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabbmu sebagai penjaga” [QS. Al-Israa’ : 65].
Dan para malaikat telah turun untuk memerangi musuh dari kalangan manusia. Barangsiapa dibunuh oleh musuh yang bersifat lahiriyyah yang berasal dari kalangan manusia, maka ia meninggal sebagai syahid; dan barangsiapa yang dibunuh oleh musuh yang bersifat baathiniyyah (setan), maka ia sebagai thariid. Barangsiapa yang dikalahkan oleh musuh manusia biasa, maka akan mendapatkan pahala; dan barangsiapa yang dikalahkan oleh musuh baathiniyyah, maka ia tertipu atau menanggung dosa. Hal itu dikarenakan setan dapat melihat manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihatnya; sehingga ia memohon perlindungan kepada Rabb yang melihat setan, dan setan tidak dapat melihat-Nya.
Imam Khalaf al-Hasaniy bersenandung lewat bait syair:
إذَا مَا أَرَدْتَ الدَّهْرَ تَقْرَأُ فَاسْتَعِذْ ** وَبالْجَهْرِ عِنْدَ الْكُلِّ فِى الْكُلِّ مُسْجَلاً
بشَرْطِ اسْــتِمَاعٍ وَابْتِدَاءِ دِرَاسَةٍ ** وَلاَ مُـخْفِيًا أَوْ فىِ الصَّلاَةِ فَفَصَّـــلاَ
Sementara merendahkan suara dianjurkan apabila:
• Seorang qori’ bermaksud membaca dengan suara rendah, baik dalam suatu majlis atau sendirian.
• Tidak dalam keramaian, baik hendak membaca dengan suara rendah atau tinggi.
• Jika berada dalam shalat, baik shalat jahriyah maupun sirriyah.
• Membaca ketika berada di tengah-tengah jama’ah yang belajar al-Quran. Misalnya membaca bergiliran dalam maqra’ah (majlis penghafal Al-Qur’an).
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar