Al-Hasan bin Hani al-Hakami, yang sering dipanggil dengan nama Abu Nuwas atau Abu Nawas adalah seorang penyair Arab termasyhur pada masa kholifah Harun ar-Rasyid (170-194 H/786-809 M) dari Dinasti Abbasiyah. Abu Nawas lahir di Ahwas-Iran pada tahun 757 M dan wafat di Bagdad pada tahun 814 M. Ayahnya adalah tentara kholifah Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Dinasti Bani Umaiyah yang beribu kota di Damaskus. Ibunya yang bernama Jelleban, adalah seorang wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. (bulu domba).
Ayahnya meninggal dunia ketika Abu Nawas masih kecil. Ia lantas dibawa oleh ibunya merantau ke kota Basrah. Di sana, ia belajar bahasa dan sastra Arab kepada dua orang sastrawan Arab yaitu : Abu Zaid dan Abu Ubaidah. Selain itu, ia juga berkesempatan belajar ilmu Hadis kepada Abdul Walid bin Ziyad, Mu’tamir bin Sulaiman, Yahya bin Sa’id al-Qattan, dan Azhar bin Sa’d as-Samman, serta belajar Al-Qur’an kepada Ya’kub al-Hadrami.
Seorang penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, sangat kagum dan tertarik dengan bakat kepenyairan Abu Nawas. Lantas ia membawa Abu Nawas ke kota Ahwaz. Setelah itu ke kota Kufah. Di kota ini, Abu Nawas belajar kepada Khalaf al-Ahmar, seorang penyair Arab terkemuka saat itu. Penyair itu kemudian menyuruh Abu Nawas pergi berdiam di pedalaman padang pasir, hidup bersama-sama dengan kabilah Arab Badui, agar ia bisa menghayati dan memperhalus pengetahuan bahasa Arabnya selama setahun. Setelah itu, Abu Nawas pindah ke kota Bagdad dan berkumpul dengan para penyair di kota itu. Ia pun bergaul dengan beberapa Amir dan menggubah puisi pujian bagi mereka.
Berita tentang kepandaian Abu Nawas dalam berpuisi, sampailah ke istana kholifah Harun Ar-Rasyid, melalui seorang musikus istana, Ishaq al-Mausuli. Abu Nawas dimintanya agar bersedia menjadi penyair istana (syair al-bilad) dengan tugas khusus menggubah puisi-puisi pujian untuk sang Khalifah.
Pada suatu ketika, Abu Nawas melantunkan puisi yang menghina kabilah Arab Mudhor. Hal ini membuat sang Khalifah murka, dan menjebloskannya ke penjara. Setelah bebas, Abu Nawas menghindar dari kehidupan sang Khalifah, kemudian mengabdi kepada pembesar istana dari keluaga Barmak, yang pada akhirnya pembesar itu dibinasakan oleh sang Khalifah pada tahun 803 M.
Sejak hancurnya keluarga Barmak, Abu Nawas memutuskan untuk pergi ke negeri Mesir. Ia menggubah puisi-puisi untuk dipersembahkan kepada gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Setelah Harun ar-Rasyid meninggal dunia, Abu Nawas kembali lagi ke kota Baghdad dan menjadi penyair istana bagi Khalifah al-Amin, putra Harun Al-Rasyid.
Puisi-puisi gubahan Abu Nawas terdiri atas beberapa tema, yang meliputi tema pujian (madh), satire (hija’), kehidupan zuhud (zuhdiyah), lelucon dan senda gurau (mujuniyat). Puisi mujuniyat-nya terkadang melampaui batas kesopanan dan merendahkan ajaran agama, sehingga ia dicap sebagai penyair fasik atau zindik.
Puisi khumroyat-nya membuatnya dikenal sebagai “Penyair Khomer”, karena ia pertama kali mengangkat khamar, minuman haram, sebagai tema puisi-nya. Dalam puisi khumroyat-nya ini, ia menguraikan tentang kelezatan dan keburukan khomer, tentang buah anggur beserta proses pemerasan dan pengolahannya, tentang rasa khomer beserta warna dan buahnya, juga tentang perilaku edan para peminumnya yang sedang mabuk. Pada masa GENDENG-nya ini, ia memperolok Hadis-hadis Nabi yang melarang minum khomer. Karena menurutnya, khomer dapat menenangkan hati yang risau dan gundah, dan dapat membuatnya hidup bersenang-senang dengan para wanita cantik yang menuangkan khomer ke dalam gelasnya.
Tetapi pada masa menjelang akhir hayatnya, ia mengoreksi dan membuang puisi-puisi masa lalunya, lalu menggantinya dengan puisi-puisi yang semuanya bertemakan kehidupan zuhud. Didalam syairnya tersebut, ia mengungkapkan rasa peyesalannya, ia bertobat atas kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya, kemudian dibarengi dengan keinginannya untuk menjalani kehidupan zuhud,. Yaitu pola hidup menjauhi semua kesenangan duniawi, demi meraih kebahagiaan ukhrowi.
Syair-syair Abu Nawas dihimpun dalam “Diwan Abi Nuwas” dan diterbitkan di Wina (1855); di Greifswarld (1861), cetakan litografi di Cairo (1277 H/1860 M); Beirut (1301 H/1884 M); dicetak di Bombay (1312 H/1894 M); dan Cairo (1898 dan 1932). Puisi itu dihimpun dari tulisan berbentuk manuskrip yang tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul. Penerbitan pertama tahun 1855 diedit oleh A. Von Kremer dalam bahasa Jerman dengan judul “Diwan des Abu Nowas des grossten lyrichers Dichter der Araber”.
Diantara syairnya itu, adalah syair "ILAAHI LASTU LILFIRDAUSI AHLAN * WALAA AQWAA 'ALAN-NAARIL JAHIIMI …. dst." yang hampir setiap ba'da sholat jum'at dibaca kaum muslimin.
إِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاَ#
وَلاَ أَقْوَى عَلَى النَّارِ الْجَحِيْمِ
Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan @
wa laa aqwaa 'alaa naaril jahiimi
Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim
فهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِي #
فَإنّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ
Fa hablii taubatan waghfir zunuubii @
fa innaka ghaafirudzdzambil 'azhiimi
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar
ذُنُوْبِي مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ #
فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَاذَاالْجَلاَلِ
Dzunuubii mitslu a'daadir rimaali @
fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali
Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan
وَعُمْرِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ #
وَذنْبِي زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِي
Wa 'umrii naaqishun fii kulli yaumi @
wa dzambii zaa-idun kaifah timaali
Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya
إِلَهِيْ عَبْدُكَ الْعَاصِي أَتَاكَ #
مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
Ilaahii 'abdukal 'aashii ataaka @
muqirran bidzdzunuubi wa qad da'aaka
Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu
فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ #
فَإنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُوْ سِوَاكَ
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun @
wa in tathrud faman narjuu siwaaka
Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni,
Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar