Astana Mangadeg terletak di Desa Karang Bangun Kecamatan Matesih merupakan komplek makam raja – raja dari istana Mangkunegaran, Surakarta. Raja – raja Mangkunegaran yang dimakamkan di astana Mangadeg adalah Raja Mangkunegara I atau Pangeran Samber Nyawa dan lebih dikenal dengan nama Raden Mas Said yang memiliki kesaktian luar biasa dan sangat gigih melawan penjajah Belanda,selain itu terdapat makam Raja Mangkunegara II, III, serta kerabat – kerabatnya.
Sekilas Sejarah tentang Kanjeng Pangeran Sambernyawa
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan.
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Ia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang terkenal dengan julukannya "Matah Ati"
Beliau ini yang memimpin Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan ringan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda).
Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752.
Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi,Pamannya sekaligus mertua Beliau yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.
Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut.
Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro.
“Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.
Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo.
Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro.
Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas.
Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.
Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).
Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram.
Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta.
Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam.
Pendudukan 6 jam Kasultanan Jogya inilah yang mengilhami Soeharto dengan Serangan Umum 1 Maretnya.
Mengutip Jendral Wiranto dalam bukunya ”Memahami Jejak Langkah Pangeran Sambernyawa” (2005), strategi tempur RM Said yang menggunakan tiga konsep “Dedemitan”, “Weweludan” dan “Jejemblungan” mengacu pada tindakan taktis yang dilandasi pertimbangan kerahasiaan, pendadakan, kecepatan gerak dan kepandaian mengecohkan lawan. ”Keputusan menyerang benteng Belanda di Yogyakarta merupakan strategi tak lazim, misterius, dan tak pernah diperhitungkan lawan. Hal ini karena telah sekian lama RM Said menarik lawannya ke daerah hutan dan gunung”.
Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara.
Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.
Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut,Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya.
Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara.
Perjanjian Salatiga
Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini,
disepakati bahwa Said diangkat sebagaiAdipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3".
demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.
Ia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih,Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul,Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran.
Astana Mangadeg
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795pada umur 70 tahun beliau disemayamkan di di desa Karang Bangun Kecamatan Matesih, Di puncak bukit yang terletak pada ketinggian 750 meter dari permukaan laut.
Dari kota Solo berjarak sekitar 37 km ke arah timur jurusan Solo-Matesih, di sebelah barat tempat peristirahatan Tawangmangu dapat ditempuh kendaraan beroda dua dan empat sekitar 3 km.
Bertetangga bukit dengan Mangadeg adalahAstana Giribangun, tempat Bapak Soeharto dan Ibu Tien disemayamkan. dan juga Astana Girilayu yang merupakan kompleks persemayaman untuk penguasa ("Mangkunagara") dan kerabat dekat (dhalem) Praja Mangkunegaran.
Di kompleks ini dimakamkan Mangkunagara IV, Mangkunagara V, Mangkunagara VII, danMangkunagara VIII (penguasa terakhir yang mangkat)
Pendakian menuju puncak bukit di lereng Gunung Lawu itu terasa menyegarkan. Panas matahari siang pun tidak terasa teredam lebatnya hutan dengan pepohonan besar. Berjalan menapaki anak tangga demi anak tangga di antaranya pohon beringin tua dengan akar-akar menjalar dan menancap, mencengkeram kukuh di tanah sungguh suatu kemewahan tersendiri bagiku.
Sepanjang perjalanan terdengar kicau burung bersahutan. Nun jauh di dasar jurang terlihat sungai mengalir di bebatuan. Suara gemericik air sungai terdengar sampai di puncak bukit begitu menyegarkan. Nun jauh di bawah bukit masih ada bukit-bukit yang lebih rendah yang tampak seperti gundukan hijau dikitari oleh persawahan milik warga yang ijo royo-royo.
Sesampainya di Gapura masuk terlebih dahulu pengunjung diwajibkan melapor dan meminta ijin kepada petugas juru pelihara pesareyan, diwajibkan berbusana yang rapi dan jika wanita diwajibkan memakai jarik. Ada larangan khusus yakni mengambil gambar/foto di areal Kedaton I terletak di tengah (Persemayaman KGPAA Mangkunagoro I) Kedaton II terletak di wetan ( Persemayaman KGPA Mangkunagoro II) dan di areal Kedaton III terletak di kulon ( Persemayaman KGPAA mangkunagoro III)
Terasa sekali hawa mistis dan semangat kepahlawanan Kanjeng Gusti Pangeran Sambernyawa yang masih melingkupi Astana Mangadeg ini walaupun tubuhnya telah kembali dalam pelukan Ibu Pertiwi ratusan tahun yang lalu.
Namun jiwa dan semangatnya adalah abadi. Energy dan pamornya tetap mengayomi anak cucunya, berdiri tegak tak lekang oleh jaman seperti bukit Mangadeg yang tetap tegak berdiri menjadi payung bagi keseimbangan ekosistem alam sekitarnya, baik yang nampak maupun yang tidak nampak.
Mangadeg sungguh menjadi tempat menapak-tilas yang sakral, penuh sejarah sekaligus indah. Di bukit ini pula, Kanjeng Eyang Pangeran Sambernyawa bersemadi di antara hari-hari pemberontakannya yang berlangsung selama 16 tahun.Bisa dibayangkan ratusan tahun lalu ketika beliau bergerilya dan bermenung diri dalam semadi di kesunyian bukit dan hutan. Di tempat inilah ia merumuskan semacam doktrin perjuangan yang disebut Tri Darma,
Peranan dan Politik VOC
Agar supaya kita dapat mengerti dan memberi nilai yang sewajarnya kepada perjuangan Pangeran Sambernyawa, sebaiknya kita mengerti terlebih dahulu sistem politik VOC ( Verenigde Oost Indische Compagnie ) ialah Perserikatan Dagang Bangsa Belanda yang beroperasi di Indonesia dalam abad ke 17 Masehi, sampai akhir abad ke 18.Bangsa Indonesia menyebut VOC itu dengan nama Kompeni Belanda atau “ Kompeni “ saja.
Adapun sistem politik Kompeni di Indonesia ( Jawa ) dapat dibagi menjadi 5 tingkatan, yaitu : Memperkenalkan diri, menghormat dan menghaturkan benda-benda berharga sebagai tanda hormat dan terima kasih kepada yang memegang kekuasaan : Jaman Sunan Amangkurat I di Mataram th. 1645 – 1677 Masehi.
Mencampuri urusan dalam negeri : jaman pemberontakan Trunojoyo th. 1676 – 1681 Masehi.
Mempraktekkan politik “ Memecah belah “ dan memperoleh monopoli perdagangan : Jaman Sunan Amangkurat II th. 1681 – 1703 Masehi.
Menguasi tanah Jawa sedikit demi sedikit : mulai wafatnya Sunan Amangkurat I sampai rebutan Keraton yang pertama ( th. 1704 – 1708 M ) dan perang rebutan Keraton yang kedua ( th. 1719 – 1723 M )
Menguasi tanah Jawa hampir penuh : Jaman Sunan Pakubuwono II samapi masa pembagian Kerajaan Mataram menjadi dua, th. 1755 dan berdirinya Kadipaten Mangkunegaran th. 1757 M.
Dalam tingkatan yang kelima tsb, maka semua kerajaan Nasional di Jawa sudah runtuh, daerah-daerahnya menjadi milik kompeni Belanda, dan raja-rajanya menjadi raja-raja peminjam atau Vazal-vazal kompeni Belanda belaka.
Dalam tingkatan kelima itu pula bertahtalah seorang raja setengah Vazal di kerajaan Mataram yang beribu kota Kartasura. Raja ini adalah pilihan kompeni Belanda atas dasar sifat-sifat lemahnya sang raja, yaitu Susuhunan Pakubuwono II bertahta pada th. 1727 – 1749 masehi.
Dalam pemerintahan Susuhunan Pakubuwono II ini muncullah 2 tokoh nasional yang gagah berani, kuat dan ulet lahir batinnya, mampu menggerakkan seluruh tanah Jawa dan Banten sampai Madura dan membuat pusing kepala kompeni Belanda selma 10 tahun, terus menerus , dua orang tokoh itu ialah :
Pangeran Mangkubumi, Putera Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura, yang akhirnya menjadi Sultan Hamengkubuwono I di Yogyakarta.
Pengeran Mangkunegara, Sambernyawa, cucu Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura.
Nasib buruk dimasa kecil Pangeran Sambernyawa
Pangeran Sambernyawa itu nama kecilnya R.M Sahid, putera Pangeran Mangkunegara Kendang. Ibunya bernama R. Ay. Wulan, puteri Pangeran Blitar.
Pangeran Mangkunegara Kendang itu putera Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura yang sulung. Belio ini saudara sepupu R.Ay. wulan, Belio dilahirkan dari seorang garwa-selir Amangkurat IV bernama R. Ay. Sumanarsa atau R. Ay Kulo yang disebut R. Ay, Sepuh, berasal dari desa Keblokan, tanah lor ( Wanagiri ). Di dalam lingkungan Keraton Kartasura belio disebut Pangeran Mangkunagara Kendang, oleh karena belio dikendangkan yaitu diasingkan atau dibuang ke Kaapstad, Afrika Selatan, sampai wafatnya, kemudian jenazahnya dimakamkan di Astana Imagiri, Yogyakarta.
R.M Sahid lahir pada tanggal, 7 April 1726 di Kartasura. Nama Sahid itu pemberian dari neneknda Amangkurat IV, beberapa waktu sebelum wafat. Maksud pemberian nama Sahid itu ialah bahwa Sri Sunan masih menyaksikan lahirnyacucunda yang terakhir dalam masa hidupnya.
Dimasa kecilnya R. Sahid mengalami penderitaan hidup yang sangat berat. Ketika berusia 3 tahun, belio kehilangnya ibunya, karena pulang kerahmatullah. Tahun berikutnya belio ditinggalkan oleh ayahnya, karena sang ayah atas perintah Pakubuwuno II di Kartasura disingkirkan dari ibu kota kerajaan Mataram ke Betawi, dan 3 tahun kemudian “ Dikendangkan “ ke Kaaspstad seumur hidup. R.M Sahid dan beberapa adinya dibawa ke Keraton sebagai anak piatu, dan mendapat pendidikan, perlakuan dan pengalaman yang akibatnya menyudutkan belio kepada : prihatin dan sakit hati.
Setelah beliau mencapai usia remaja, diangkat sebagai pegawai keraton dengan pangkat Mantri Gandek Anom dengan sebutan dan nama R.M Suryakusuma dan diberi “ Gaduhan “ ( hak pakai ) sawah di Ngawen seluasa 50 jung ( =200 bahu ). Dua orang adiknya bernama R.M Ambiya dan R.M Sabar juga diangkat menjadi Mantri Gandek Anom berturut-turut dengan gelar dan nama : R.M Martakusuma dan R.M Wiryakusuma, masing-masing diberi gaduhan tanah seluas 100 bahu.
Mulai berjuang
Dengan meningkatnya usia dan kesadarannya, maka R.M suryakusuma ( Sahid ) merasakan nasibnya yang buruk menjadi berat. Perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang yang dikenakan kepada ayahnya ( almarhum Pangeran Mangkunagara Kendang ) menggigit jantung pemuda R.M Suryakusuma. Akhirnya belio mengambil keputusan : mau berontak, menentang pemerintahan Pakubuwono II, untuk merebut bagian dari kerajaan Mataram bagi diri pribadi. Beliau mengambil dua orang pembantu utama yang merupakan bahu kiri dan kanannya, ialah :Wiradiwangsa, pamannya sendiri berassal dari Laroh. Sutawijaya, anak almarhum Tumenggung Wirasuta yang tidak dapat mengganti kedudukan ayahnya, tetapi menerima banyak uang dan harta benda peninggalan ayahnya.
Pemuda-pemuda Kartasura yang menggabungkan diri pada gerakan R.M Sahid, mula-mula ada 18 orang. Atas nasehat ki Wiradiwangsa, maka R.M Sahid beserta pembantu-pembantunya dan pemudapemuda pengikutnya berpindah ke Tanah Laroh, yaitu asal leluhur R.M sahid dari pihak neneknya bernama R. Ayu Sumanarsa. Disini belio mendapat simpati dari pihak rakyat sehingga dalam waktu yang tidak lama belio mempunyai pengikut banyak sekali. Segera diadakan peraturan secara organisasi perjuangan yang bai dan praktis, demikian : R.M Sahid menjadi pemimpin utama, Ki Wiradiwangsa diangkat menjadi pepatihnya, diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Kudanawarsa dan R.M Sutawijaya menjadi pemimpin pasukan tempur, diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Rangga Panambangan.
Pemuda-pemuda berasal dari Kartasura yang semula 18 orang banyaknya, kemudian bertambah menjadi 24 orang, merupakan barisan inti, disebut “ Punggawa “. Namanya digantisemua menjadi nama dengan permulaan : “ Jaya “ misalnya Jaya Panantang, Jaya Pamenang, Jaya Prawira dsb. “ Jaya “ artiny = sakti atau menang.
Tiap hari diadakan latihan perang, cara menyerang, menangkis dan membela diri. Tiap malam diadakan bermacam-macam latihan rohani misalnya : Menyepi ditempat-tempat yang gawat dan keramat, bertirakat, bertarak brata, mohon kepada Tuhan agar tercapai cita-citanya : ada pula yang merendam diri di sendang atau di dalam lubuk yang angker. Para pengikut R.M Sahid itu semua juga digembleng jiwa dan semangatnya dengan diberi wejangan-wejangan oleh para kyai antara lain oleh kyai Nuriman, modin di Laroh. Dengan demikian para pengikut R.M Sahid dalam waktu beberapa bulan saja sudah merupakan pasukan tempur yang digembleng jiwa raganya, sedang jumlahnya tidak sedikit. Mereka semua bersemangat tinggi, ingin selekas mungkin diajukan ke medan pertempuran. Dan kesempatan yang dinanti-natikan mereka itu segera datang juga, ialah dengan adanya : Geger Pacina.
Geger Pacina
Pada bulan juli 1742 M terjadilah peristiwa “ geger Pacina “ dikaraton Kartasura. Dalam waktu satu malam saja istana Kartasura sudah dapat direbut oleh pasukan Cina-Jawa dibawh pimpinan R.M Garendi, cucu Sunan Amangkurat Mas III yang telah diasingkan oleh kompeni Belanda ke pulai Sailan pada tahun 1708 M. R.M Garendi tersebut oleh para pengikutnya diangkat sebagai raja Mataram yang syah, dengan gelar dan nama Sunan Amangkurat IV.
Sunan Pakubuwono melarikan diri, mengungsi ke Ponorogo. Dari sini beliau minta bantuan kompeni di Jakarta. Bala bantuan segera datang dari Madura dibawah pimpinan P. Cakraningrat IV. Dalam bulan Desember 1742 Sunan Kuning, demikian nama julukan Sunan Amangkurat V, beserta semua pengikutnya diusir dari keraton Kartasura, lalu berpindah ke desa Randulawang, daerah Mataram.
Bergabung dengan Sunan Kuning.
RM. Said dengan seluruh pasukannya bergabung dengan Sunan Kuning untuk mempraktekkan kecakapannya berperang bahkan diangkat menjadi panglima tentara Sunan Kuning bahkan diberi gelar Panglima Prang Wadana (April 1743). mso-ansi-language:PT-BR">Kala itu usia beliau 17 tahun.>
Pada sat Sunan Kuning dikecar tentara Kompeni dan terpaksa bergeser kedaerah Keduang – Ponorogo – Madiun – Caruban. R.Said mengikuti perjalanan Sunan Kuning lalu berpisah di Caruban kemudian Sunan Kuning bergerak ke Jawa Timur bergabung dengan keturunan Untung Suropati namun tak lama kemudian menyerah pada Kompeni dan berakhirlah geger pacinan tersebut.
Adapun P. Prang Wardana ternyata mempunyai cita-cita lain dari Caruban beliau menuju ke barat menuju daerah Sukowati dimana oleh masyarakat setempat dia diangkat sebagai pimpinan dengan gelar Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Senopati Ing Ngalogo Sudibianing Prang. Lalu bergerak terus ke Panambangan melalui Jati Rata, Mateseh dan Segawe. Namun disini beliau tidak kuat menghadapi serangan pasukan P. Mangkubumi atas perintah Paku Buwono II yang telah bertahta di Kartasura.
Dalam babat giyanti (Pujangga Yasadipura I), ketika RM. Sahid menobatkan diri sebagai raja Jawa dengan gelar Sunan Adiprakosa Senopati Ngayuda Lelana Jayamisesa Prawira Adiningrat, serta duduk disinggasana dan dihadapan bala tentaranya tersambar petir dan terkena dampar tahtanya hingga remuk beliau jatuh pingsan diatas lantai namun tidak wafat hal ini tidak masuk akal jikalau ada seorang duduk diatas kursi lalu disambar petir seharusnya beliau pun ikut hancur. Dalam peristiwa tersebut Kyai Tumenggung Kuda Nawarsa segera menolongnya dan menunjukkan mengapa ini bisa terjadi, yaitu : kesombongan beliau atas pemberian gelar raja Jawa yang sebetulnya belum selayaknya disandang dengan kenyataan inilah dia berganti gelar Pangeran Arya Mangkunegoro (1746).
Kejadian tersebut disusul dengan peristiwa dimana markas besarnya di Panembangan diserbu dan diduduki Kompeni yang dipimpin Mayor Van Hohendorff serta patih Pringgolaya dari Paku Buwono II bahkan begeser ke Ngepringan – Pideksa – Tirtamaya – Keduang - Girimarta – Nggabayan – Druju – Matesih – hingga sampai didesa padepokan Samakaton bahkan waktu di daerah Ngepringan sang pangeran hampir terbunuh bahkan sempat berpisah dari keluarga dan pasukannya mendaki bukit dan turun gunung bersama Kyai Kuda Nawarsa dan Kyai Surawijaya. Di Pedepokan Samakaton tinggal 2 pertapa kakak beradik namanya Ki Ajar Adisana dan Ki Ajar Adirasa. Beliau berguru pada keduanya dan diberi wejangan yang intinya :
Kyai guru tersebut menunjuk kesalahan Pangeran Mangkubumi atas kesombongannya
Kedua beliau mendapat hukuman dai Ilahi
Beliau harus bertobat secara mendalam
Beliau hendaknya mencontoh Panembahan Senopati Ing Ngelogo Mataram dan pada Pamannya Pangeran Mangkubumi
Beliau diuji menjalankan laku – dan bertapa selam 7 hari-malam tanpa makan dan minum seorang diri di Gunung Mangadeg.
Menurut Babat Giyanti dalam pertapaannya terjadi sesuatu keajaiban yaitu mendapat pusaka secara gaib berupa satu tombak vaandel yang bernama Kyai Buda dan satu kerangka tambur bernama Kyai Slamet yang menunjukkan simbol kejayaan.
Dibagian lain Pujangga Yasadipura I memaknakan fenomena di Samakaton ini dengan mengkiaskan maksud pendidikan moral – mental yaitu :
1. satu Samakaton 2. Adisana 3. Adirasa 4. Mangadeg 5. Vaandel(tombak) 6. Kerangka tambur, artinya adalah :
Samakaton artinya kesemua hal dapat terlihat apabila manusia mau datang menyepi ditempat yang indah, yaitu
Adisana artinya tempat yang indah, apabila manusia berani laku menyepi di tempat yang indah itu akan mendapatkan rasa ynag indah pula yang akhirnya menimbulkan kemurnian dihati nuraninya
3. Adirasa artinya rasa yang indah.
Dalam hal 1, 2, 3 tersebut diatas kenyataannya apabila manusia sanggup berdiri (mangadeg – mendirikan Imannya) kepada Yang Maha Kuasa seperti tegaknya vaandel tersebut.
Tombak atau Vaandel simbol kejayaan apabila ditambahkan dengan rasa suci, sunyi, kosong, kang Hamengku Hana (ada) yang dinisbatkan dengan :
Kerangka tambur diguning Mangadeg tersebut.
Setelah mendapatkan ilafat baik tersebut beliau menuju ke markas besar pamannya (Pangeran Mangkubumi dai Jekawal – Sragen Utara ) untuk menggabungkan diri dan memohon perlindungan pamannya walaupun dalam perjalannya menemui banyak kesukaran karena ada pengumuman dari kompeni yang apabila dapat menangkapnya hidup atau mati akan mendapat hadiah pangkat dan uang. Dikisahkan dalam pertemuan dengan pamannya tersebut beliau diterima baik oleh pamannya bahkan diberikan bantuan seperangkat senjata dan prajurit untuk kembali kemarkasnya di daerah Gumantar.
Pangeran mangkubumi adalah adik Paku Buwana II yang berlainan ibu yang pada saat itu memenuhi seruan Paku Buwono II untuk membasmi peberontakan RM. Sahid dan Martapura. Untuk sementara Pangeran Mangkubumi berhasil meredam pemberontakan walaupun harus meloloskan RM. Sahid. Hal ini menimbullkan konflik dari dalam dimana PB II yang tadinya menjanjikan tanah Sukowati bagi yang dapat menangkap RM. Sahid akhirnya mengingkari janjinya karena kelicikan Patihnya sendiri yaitu Pringgolaya. Dikarenakan sebab ini Mangkubumi pada 19 Mei 1746 meninggalkan karaton Surakarta dan memberontak yang pada akhirnya mendirikan kerajaan diYogykarta dan menjadi Sultan Hamengku Buwono I.
Demikian riwayat singkat Rm. Sahid yang kemudian dikenal dengan nama Adipati mangkunegoro I atau Pangeran Samber Nyawa beliau memegang tampuk pimpinan Kadipaten Mangkunegaran mulai tahun 1757 sampai wafatnya 1795 jenasahnya dimakamkan di Mangadeg dan berdirinya Kadipaten Mangkunegaran ini diperingati dengan sangkalan : MULAT SARIRA NGRASA WANI = berarti tahun Jawa 1682, bersamaan dengan tahun Masehi 1757. Nama julukan Pangeran Adipati Mangkunegara I ialah Sambernyawa. Nama yang terakhir ini adalah nama Pedang pusaka Mangkunagaran, yang sangat ampuh dan tajam, tepat sekali untuk menyambar nyawa musuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar