Diceritakan Raden Haryo Baribin dan beberapa abdinya yang setia melarikan diri dari Kerajaan Majapahit, demi mendengar sang kakak, yaitu Prabu Brawijaya V memerintahkan orang untuk membunuhnya.
Prabu Brawijaya V merasa khawatir karena Raden Haryo Baribin sangat disegani di kalangan istana. Dia takut kalau-kalau pada suatu ketika adiknya ini akan merebut tahtanya.
Dalam pelariannya, sampailah Raden Baribin di kerajaan Pajajaran yang kala itu diperintah oleh Prabu Siliwangi (Prabu Lingga Wastu ) Mendengar berita kedatangan adik raja Majapahit tersebut, Prabu Siliwangi memberikan suaka kepada Raden Haryo Baribin. Hingga pada akhirnya Raden Haryo Baribin menetap dan dinikahkan dengan Dewi Retna Pamekas, putri dari Prabu Siliwangi.
Dari pernikahannya ini, Raden Haryo Baribin dikaruniai tiga orang putra dan seorang putri.
Putra pertama, yaitu Raden Jaka Katuhu, dikemudian hari menjadi bupati Wirasaba (wilayah Purbalingga)
Putra kedua, yaitu Raden Banyak Sasra, wafat diusia muda dan meninggalkan putra yang masih kecil, Raden Jaka Kahiman.
Putra ketiga, Raden Banyak Kumara, dan
Putri keempat, Rara Ngaisah,
dikemudian hari dijadikan istri oleh Kiai Ageng Mranggi Kejawar. Dialah yang membesarkan kemenakannya, Jaka Kahiman, yang ditinggal wafat oleh ayahnya.
Raden Jaka Kahiman inilah yang pada masanya, dianggap sebagai bupati Banyumas, yang menurunkan bupati-bupati 12 keturunan.
Kisah Raden Djoko Katuhu
Di ceriterakan asal usul R.Jaka Katuhu dan R.Paguwon (Adipati Wirahudaya) yang saat itu menjadi Adipati I di Kadipaten Wirasaba I (abad ke 15).
R Jaka Katuhu putera sulung R Harya Baribin Pandhita Putera, dan menjadi menantu Prabu Linggawastu karena dikawinkan dengan puteri tunggalnya, Dewi Retna Pamekas.
R Jaka Katuhu meninggalkan Kraton Pakuan Parahyangan untuk berkelanan ke tanah Jawa dan akhirnya sampai di desa Buwara; Disana dijadikan anak angkat Ki Lurah Buwara yang tidak memiliki keturunan
Raden Jaka Ketuhu yang semula menyamar sebagai seorang peminta-minta. Karena merasa iba, maka pemuda itu lalu disuruh tinggal dirumah Kiai Gede Buara dipedukuhan itu.
Raden Jaka Ketuhu adalah Putera sulung Raden Beribin memerintahkan kepada Jaka Ketuhu agar pergi mengembara pergi ke timur serta mengabdi kepada siapa saja yang mau menerimanya. Sesampainya wilayah Kadipaten Wirasaba ia dapat diterima mengabdikan diri kepada Kiai Gede Buara.
Setiap hari ia bekerja di tegalan membantu Kiai Gede Buara menanam berbagai macam tanaman yang bisa menghasilkan termasuk karang kitri.
Tetapi aneh, tiap pulang kerumah, Jaka Ketuhu tidak mau berjalan bersama-sama Kiai Gede Buara. Ia selalu pulang belakangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan dibatin Kiai Gede Buara, sehingga ia ingin mengetahui apa sebab musababnya.
Pada suatu sore Kiai Gede Buara terpaksa mencoba menyelidikinya. Sementara itu tampaklah ditelaganya api yang berkobar. Dan apa yang dilihatnya? Raden Jaka Ketuhu tiba-tiba meloncat masuk kedalam kobaran api tersebut.
Tentu saja perbuatan itu membuat hati Kiai Gede Buara menjadi cemas Namu kecemasan itu tiba-tiba keheranan, karena beberapa saat kemudian Raden Jaka Ketuhu keluar dari kobaran api , dan tubuhnya tampak lebih bercahaya bagaikan emas dua pulu karat.
Bekas tegalan yang digarap Kiai Gede Buara itu hingga sekarang terkenal dengan sebutan “Cibuek”. Luasnya kurang lebih satu setengah hektar. Diatasnya tumbuh 25 dapuran bamboo dari berbagai macam jenis. Sementara orang masih menganggap , dukuh Cibuek itu sangat keramat. Lokasinya disebelah timur desa Majatengah kecamatan Kemangkon, dan merupakan tanah perdikan (tanah yang tidak dipungut pajak).
R.JaKa Katuhu membantu perluasan ladang pertanian Ki Lurah Buwara, dengan membakar daun/ranting sehingga tjahaya membumbung memancar keudara terlihat dari kadipaten Wirasaba;
Kanjeng Adipati Wirahudaya pun menyelidiki dan memanggil Ki Lurah Burawa & Jaka Katuhu, dan akhirnya diketahuilah asal usul Jaka Katuhu;
Sehingga Adipati Wirahudaya berkeinginan mengangkat putera R.Jaka Katuhu karena di tidak dikarunia keturunan hingga usia tuanya.
Ketika tiba waktunya Pisowanan Ageng di Kratom Majapahit, Adipati Wirahudaya sedang menderita sakit. Maka diutuslah R Jaka Katuhu untuk mewakili menghadap Prabu Brawijaya V, menghaturkan upeti kepada Sri Baginda;
Keberangkatannya ke Majapahit diantar oleh Patih Wirasaba, Raden Bawang, dan adik Sang Adipati.
Pada saat menghadap Sang Prabu Brawijaya V, ditanyakan asal usul R Jaka Katuhu, karena yang bertanya adalah Raja yang sekaligus uwaknya maka ia terus terang bahwa ia adalah putera R Harya Baribin Pandhita Putera, menantu Sri Prabu Linggawastu Ratu Purana dari Kraton Pakuan Parahiyangan di tanah Pasundan.
Mendengar nama R Harya Baribin, Sang Prabu terkejut dan tidak mengira bahwa Jaka Katuhu ternyata putera adik kandungnya sendiri. R Baribin melarikan diri pada masa Prabu Brawijaya V menjadi Raja Majapahit, ia difitnah oleh beberapa punggawa kraton yang akan merebut kekuasaaan, sehingga diperintahkan ditangkap; Fitnah itu dari kelompok Patih Majapahit saat itu. Fitnah tsb. yang akhirnya terbokngkar kedoknya; sehingga Sang Prabu Brawijaya V menyesal asal tindakannya terkena provokasi.
Raden Jaka Katuhu kasengkakaken ing ngaluhur (kembali diangkat derajatnya sebagai bangsawan Kraton) dan dibait'an menjadi Adipati Anom Wirasaba dengan gelar Adipati Anom Wirahutama. Selain dihadiahi seorang isteri bernama Putrisari salah satu puteri Mahapatih Majapahit; Dan dijinkan memperluas wilayah Kadipaten Wirasaba sampai ujung timur hingga lereng barat Gunung Sindoro Sumbing di wilayah Kedu.
Kisah Raden Jaka Kahiman mendapatkan Keris Kyai Gajah Endro
Pada suatu hari, Prabu Linggakarang dari Kerajaan Bonokeling, ingin menguji kesaktian Prabu Brawijaya V. Diutusnya seorang patih bernama Ki Tolih ke Majapahit. Ki Tolih pun berangkat dengan mengendarai seekor burung besar (sejenis garuda) yang dinamai burung Mahendra. Dan bersenjatakan keris ligan (tanpa sarung.) (keris Kyai Gajah Endro)
Pada waktu itu, Prabu Brawijaya mempunyai firasat yang tidak baik. Dia memerintahkan untuk menutup semua sumur dan mata air di Majapahit. Tetapi, ada satu sumur yang tidak di tutup, yaitu sumur di daerah kepatihan yang dijaga oleh Raden Arya Gajah.
Sesampainya di Majapahit, burung Mahendra kehausan. Setelah mencari kesana kemari, sampailah mereka di sumur yang terletak di kepatihan. Begitu burung Mahendra hendak minum dari sumur tersebut, tiba-tiba dihadang oleh Raden Arya Gajah dan dibunuh. Ki Tolih pun ditangkap.
Ketika Ki Tolih akan diadili dihadapan raja, tiba-tiba kuda milik Prabu Brawijaya terlepas dan memberontak. Tidak ada seorangpun yang dapat menangkapnya. Melihat itu, Ki Tolih memohon untuk membantu asalkan ia diberi tali kekang burung Mahendra Prabu Brawijaya mengijinkan dengan syarat bila berhasil, Ki Tolih akan dibebaskan dan diangkat menjadi pembesar Majapahit. Tetapi bila gagal, dia akan dihukum mati.
Dan benar saja, begitu kuda raja, yang dinamai Kiai Joyotopo, melihat tali kekang burung Mahendra di tangan Ki Tolih, langsung jinak kembali. Prabu Brawijaya masih belum begitu saja mempercayai Ki Tolih. Dilepasnya seekor singa buas. Ternyata singa itu pun langsung jinak begitu melihat tali kekang tadi.
Sesuai janji Prabu Brawijaya, Ki Tolih dibebaskan, tetapi dia menolak menerima hadiah dan jabatan. Dia memilih menetap di Majapahit. Permintaan Ki Tolih dikabulkan. Keris miliknya pun, yang tanpa sarung, juga dikembalikan pada Ki Tolih.
Setelah beberapa lama menetap di Majapahit, Ki Tolih berniat memesan sarung (wrangka) untuk kerisnya. Dia pergi ke daerah Banyumas dan menemui seorang ahli keris, Kiai Mranggi Kejawar.
Kiai Mranggi Kejawar, yang tak lain adalah ayah angkat Raden Jaka Kahiman, menyanggupi membuat sarung untuk keris Ki Tolih. Namun tiba-tiba keris itu hilang saat diserahkan kepada Kiai Mranggi Kejawar. Mereka berdua terperanjat. Kemudian Ki Tolih mengatakan bahwa mungkin keris itu memang bukan haknya.
Pada saat yang bersamaan, Raden Jaka Kahiman yang sedang dalam perjalanan dari Wirasaba menuju Kejawar, ke rumah orang tua angkatnya, untuk memberitahukan rencana pernikahannya dengan putri Adipati Wirasaba. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyelinap di ikat pinggangnya. Ternyata itu adalah sebilah keris tanpa sarung. Dia sangat keheranan.
Sesampainya di Kejawar, Kiai Mranggi dan Ki Tolih yang masih ada di sana terheran-heran melihat Jaka Kahiman datang memakai keris tanpa sarung yang ternyata keris milik Ki Tolih.
Ketika ditanyakan oleh Ki Tolih, apakah Jaka Kahiman menyukai keris tadi, Jaka Kahiman mengatakan kalau dia amat suka dengan keris itu, tetapi tidak mau memilikinya karena bukan haknya.
Ki Tolih dengan ikhlas memberikan keris itu kepada Jaka Kahiman dan berpesan agar dipakai pada saat upacara pernikahannya.
Demikianlah, Raden Jaka Kahiman selain sebagai seorang yang “terpilih”, dia adalah seorang yang jujur dan baik hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar