Perdamaian adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh ajaran Islam kepada kaum muslimin, karena kata Islam yang menjadi nama agama berasal dari kata As-Salaam yang artinya perdamaian. Karena As-salam dan Al-islam itu sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan ketenangan. Akan tetapi jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi pecah,dan putusnya tali persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada yang lain, maka pada saat itu kaum bughat (pemberontak) wajib diperangi. Pemberontakan menurut arti bahasa adalah mencari atau menuntut sesuatu . Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab yang berbeda-beda.
A. Menurut Ulama Hanafiyah.
… البغي … الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق , و الباغي … الخارج عن طاعة إمام الحق بغير حق
( حاسية ابن عابدين ج: 3 ص: 426 – شرح فتح القدير ج: 4 ص: 48 )
“Al-Baghy[u] (pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-baaghi (bentuk tunggal bughat) adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Syarah Fathul Qadir, IV/48).
B. Menurut Ulama Malikiyah
… البغي … الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأويلا …
… البغاة … فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم أو نائبه لمنع حق وجب عليها أو لخلفه
( شرح الزرقاني و حاشية الشيبان ص: 60)
“Al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk mentaati orang yang telah sah menjadi imam (khalifah) dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) walaupun karena alasan ta`wil (penafsiran agama)…
Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menggantikannya.” (Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
C. Menurut Ulama Syafi’iyah
… البغاة … المسلمون مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة
لهم و تأويل و مطاع فيهم ( نهاية المحتاج ج: 8 ص: 382 ؛ المهذب ج: 2 ص: 217 ؛ كفاية الأخيار
ج: 2 ص: 197 – 198 ؛ فتح الوهاب ج: 2 ص: 153 )
“Bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar, II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).
… هم الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم مطاع
( أسنى المطالب ج: 4 ص: 111 )
“Bughat adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).
Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari suatu kelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, II/674)
D. Menurut Ulama Hanabilah
… البغاة … الخارجون عن إمام ولو غير عدل بتأويل سائغ و لهم شوكة ولو لم يكن فيهم مطاع
( شرح المنتهى مع كشاف القناع ج: 4 ص: 114 )
“Bughat adalah orang-orang memberontak kepada seorang imam –walaupun ia bukan imam yang adil– dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka.” (Syarah Al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).
E. Menurut Ulama Zhahiriyah
… بأنهم ينازعون الإمام العادل في حكمه فيأخذون الصدقات و يقيمون الحدود
( ابن حزم , المحلى ج: 12 ص: 520 )
“Bughat adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka mengambil harta zakat dan menjalankan hudud” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520).
… البغي هو الخروج على إمام حق بتأويل مخطىء في الدين أو الخروج لطلب الدنيا
( ابن حزم , المحلى ج: 11 ص: 97 – 98 )
“Al-Baghy[u] adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).
F. Menurut Ulama Syiah Zaidiyah
… الباغي … من يظهر أنه محق و الإمام مبطل و حاربه أو غرم وله فئة أو منعة أو قام بما أمره للإمام
( الروض النضير ج: 4 ص: 331 )
“Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam.” (Ar-Raudh An-Nadhir, IV/331).
Bughot Dipandang Dari Sudut Pandang Fikih Jinayah
Para mujtahidin sepakat, apabila seseorang atau sesuatu golongan memberontak terhadap negara dengan cukup alasan, dibolehkan kepala negara memerangi mereka sehingga mereka kembali kepada kebenaran. Apabila mereka menyadari kesalahan, hendaklah dihentikan penumpasan. Jadi menumpas pemberontakan adalah wajib karena dari segi perbuatan ini sudah menyalahi hukum Allah, maka dia termasuk pada perbuatan maksiat dan oleh karena terhadap pelakunya dikenai ancaman yang bersifat fisik di dunia, maka tindakan tersebut termasuk pada jinayah atau jarimah hudud.
Dasar Hukum Bughot
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ …
“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” (QS Al-Hujurat [49]:9)
Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”
Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :
… مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً … ( روه مسلم عن أبي هريرة )
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).
Syarat-syarat Bughot
Bughat berasal dari kata bagha yang artinya secara harfiah berarti melampaui batas. Secara maknawiyah, bughat adalah apabila seseorang atau suatu kelompok memenuhi syarat-syarat antara lain:
Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Hal ini bisa terjadi misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ …
“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah …” (QS Al-Hujurat [49]:9)
Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”
Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :
… مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً … ( روه مسلم عن أبي هريرة )
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).
Akan tetapi yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau kepala negara lainnya dari negara yang bukan negara Islam (Daulah Islamiyah/Khilafah). Menurut Abdul Qadir Audah, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya…” (At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, Juz II hal. 676). Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.
Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mampu melakukan dominasi. Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111). Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut bughat.
Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Para fuqaha mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan istilah man’ah, atau terkadang juga dengan istilah asy-syaukah, karena asy-syaukah juga bisa berati as-silaah (senjata). Dalil syarat ketiga terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat : 9), yaitu pada lafazh اقْتَتَلُوا (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silaah). Selain dalil ini, ada dalil lain berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :
مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّّلاحَ فَلَيْسَ مِنّاَ ( متفق عليه عن ابن عمر )
“Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Shahih Bukhari No. 6366, Shahih Muslim No. 143.)
Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak dapat disebut bughat.
Di dalam Islam, pemberontakan sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a telah banyak mengalami pemberontakan. Peristiwa perang Shiffin merupakan salah satu contoh pemberontakan terhadap amirul mukminin yang pernah terjadi. Peristiwa tersebut diawali oleh peristiwa yang dinamakan Haditsul ifk. Peristiwa itu terjadi ketika Rasul Allah s.a.w. melancarkan ekspedisi terhadap kaum kafir dari Banu Musthaliq. Dalam ekspedisi itu beliau mengajak isterinya, Sitti Aisyah. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Sitti Aisyah ketinggalan dari rombongan, gara-gara mencari barang perhiasannya yang hilang di perjalanan.
Untunglah ketika itu ia dijumpai oleh Shafwan bin Mu’atthal, yang berangkat pulang lebih belakangan. Bukan main terkejutnya Shafwan melihat Ummul Mukminin seorang diri di tengahtengah padang pasir. Isteri Rasul Allah s.a.w. itu dipersilakan naik ke atas unta, sedangkan Shafwan sendiri berjalan kaki sambil menuntun. Siang hari mereka berdua baru memasuki kota Madinah dengan disaksikan oleh orang banyak. Semuanya heran mengapa Ummul Mukminin mengendarai unta seorang pemuda yang tampan itu. Konon Usamah bin Zaid sama sekali tidak dapat mempercayai benarnya desas-desus itu. Sedang Imam Ali r.a. waktu itu mengatakan: Ya Rasul Allah, masih banyak wanita lain! Imam Ali r.a. mengucapkan kata-kata itu hanya sekedar untuk berusaha menenangkan perasaan Rasul Allah s.a.w. yang tampak gelisah. Siti Aisyah mendengar Ali r.a berkata seperti itu merasa tersinggung. Hingga akhirnya kesalahfahaman tersebut akhirnya berujung pada suatu perang.
Selain itu pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib banyak sekali kekuatan lain yang menentang kekhalifahan. Dalam periode itu praktis ummat Islam terpecah dalam tiga kelompok besar:
1. Kelompok Madinah di bawah pimpinan Imam Ali r.a.
2. Kelompok Damsyik di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
3. Kelompok Makkah di bawah pimpinan trio Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a.
Masing-masing kelompok ditunjang oleh kekuatan bersenjata yang cukup tangguh dan berpengalaman. Kekuatan anti Imam Ali r.a. ini mempunyai tujuan ganda: menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan menggulingkan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Amirul Mukminin. Mereka berpendirian, setelah dua tujuan itu tercapai barulah diadakan pemilihan Khalifah baru dalam suasana bebas dari tekanan dan paksaan. Ujung puncak dari konflik ini adalah meletusnya Perang Shiffin.
Hukum Bughot
Fenomena bughat masuk dalam soal kepemimpinan politik atau al-imârah. Dalam soal ini prinsipnya jelas, seperti disebutkan dalam ayat: “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’, 4: 59). Di sini ulil amri salah satunya adalah penguasa yang sah, dan karenanya harus ditaati.
Prinsip ketaatan terhadap penguasa yang sah merupakan salah satu hal penting dalam kepemimpinan. Ketaatan di sini bisa bermakna tidak keluar untuk mengangkat senjata, meskipun tidak sesuai dengan aspirasinya. Prinsip ketaatan ini untuk menjaga kelangsungan sistem sosial agar tidak terjadi anarki. Jika ingin melakukan perbaikan, dalam bahasa Imam al-Ghazali disebutkan, untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu merobohkan sebuah kota.
Namun begitu, seorang pemimpin tidak boleh ditaati apabila memerintahkan kepada kemaksiatan. Sesuai sabda Rasulullah saw, “Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang disukainya dan tidak disukainya, selama tidak disuruh mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh mengerjakan maksiat, tidak boleh didengar dan ditatati.” (HR. Bukhari). Sehingga hal yang wajib dilakukan oleh setiap muslim adalah amar makruf nahi munkar. Kritik kepada pemerintah bisa jadi salah satu bentuk amar makruf nahi munkar dan sarana mengingatkan bagi pemimpin, Sebab pemimpin juga memiliki hak untuk diingatkan dan didoakan. Selain itu aksi unjuk rasa, demonstrasi juga termasuk bentuk kritik dan mengingatkan pemimpin, bukan merupakan bentuk bughat atau pemberontakan.
Hikmah dilarang nya Bughot
Dilarangnya perbuatan bughat mengandung hikmah yang sangat banyak bagi kaum muslimin, dan umat islam pada umumnya, di antaranya:
a. Terciptanya situasi dan kondisi Negara yang aman.
b. Hilangnya rasa was-was dan ketakutan masyarakat.
c. Terjalinnya kesatuan dan persatuan antara komponen bangsa.
d. Program pembangunan yang dicanangkan pemerintah dapat direnanakan dengan mulus.
e. Secra bersama-sama dapat menciptakan suatu Negara yang subur makmur yang mendapat ridho Alah SWT.
Perilaku Menghindari Bugot
Untuk dapat menjauhi sikap perilaku bughat hendaknya diperhatikan beberapa hal berikut:
· Tanamkan keyakinan bahwa perbuatan bughat dilarang dalam agama islam.
Tanamkan keyakinan bahwa melakukan perbuatan bughat hanya akan merigikan diri sendiri.
Tanamkan keyakinan bawna perbuatan membangkang merupakan sikap tercela.
Berdo’alah kepada Allah agar diberi kekuata untuk menjauhi sikap bughat.
Sikap Ahlussunnah Wal Jamaah Pada NKRI
1. Ahlu sunnah taat kepada ulil amri
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا { النساء :59 }
Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan ulil amri kalian, apabila kalian berselisih dalam suatu perkara hendaklah kalian kembalikan kepada Allah dan rasul jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir, itu adalah kebaikan dan sebaik-baik akibatnya (Annisa :59)
2. contoh perselisihan ahlu sunnah dengan ulil amri ialah ketika ulill amri melakukan sebuah kemaksiatan kepada Allah maka tetap ahlu sunnah tidak boleh memberontak kepada mereka, hal ini bisa terlihat dalam gambaran hadis di bawah ini :
خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم وتصلون عليهم ويصلون عليكم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم ) قالوا قلنا يا رسول الله أفلا ننابذهم عند ذلك ؟ قال ( لا ما أقاموا فيكم الصلاة لا ما أقاموا فيكم الصلاة ألا من ولى عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدا من طاعة (صحيح المسلم كتاب الإمارة : 4782 )
: ” sebaik-baik Imam kalian adalah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian dan kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian dan sejelek-jelek imam adalah imam-imam yang kalian marah kepada mereka dan mereka marah kepada kalian, mereka melaknat kalian dan kalian melaknat mereka, mereka (para sahabat) berkata : kami berkata : apakah kita tidak mencabut mereka dari kekuasaannya di saat itu ?, beliau bersabda : “Jangan, selama mereka shalat dengan kalian; jangan, selama mereka shalat dengan kalian, ketahuilah barang siapa yang diberi wali kapadanya seorang waliul amri lalu dia melihat pada wali tersebut sesuatu dari maksiat kepada Allah maka hendaklah dia membenci apa yang dia lakukan dari maksiat kepada Allah tersebut dan jangan sekali-kali mencabut tangannya dari ketaatan padanya (memberontak) ( HR Muslim, kitabul imarah no 4782)
Dan juga hadis Abu Umamah Al bahili
وروى الإمام الهيثمي في المُجْمَع بسندٍ رجاله ثقات عن سعيد بن جهمان أنه أتى الصحابي الجليل عبد الله بن أبي أوفى رضي الله عنه -وكان ضريراً- فسلمّ عليه، فقال: من أنت؟
فقال: أنا سعيد بن جهمان قال: ما فعل والدك؟ رد سعيد: قتلته الأزارقة -وهي من فرق الخوارج- فقال رضي الله عنه: لعن الله الأزارقة لعن الله الأزارقة، سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: كلاب النار فقال سعيد: الأزارقة وحدهم أو الخوارج كلها؟ قال بن أبي أوفى: بل الخوارج كلها فقال سعيد: فإن السلطان يظلم الناس ويفعل بهم ويفعل فتناول بن أبي أوفى بيد سعيد بن جهمان فَغَمَزَها غمزة شديدة، ثم قال: يا ابن جمهان عليك بالسواد الأعظم، فإن كان السلطان يسمع منك فائته في بيته فأخبره بما تعلم -أي انصحه وأبلغه ظلم من تحت يديه- فإن قَبِلَ منك وإلا فَدَعْهُ فلست بأعلم منه.
3. Sikap ahlu sunnah ketika melihat ulil amri melakukan kekeliruan ialah mendoakan mereka dengan kebaikan sebagaimana perkataan salafus saleh :
(كتاب السنة / البر بهاري) قال: إذا رأيت الرجل يدعوا على سلطان: فاعلم أنه صاحب هوى وأن سمعت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة إن شاء الله تعالى (كتاب المناهج والفرق :83 ) .
Dalam kitab Assunnah oleh imam Albarbahari dia berkata : Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan kepada penguasa maka ketahuilah dia adalah pengikut hawa nafsu dan jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan kepada penguasa ketahuilah bahwasanya ia adalah pengikut sunnah insya Allah taala.(kitab manahij wal furuq :83)
4. Kalau Allah memberi kemampuan untuk menasehati ulil amri maka ahlu sunnah menasehati ulil amri dengan cara yang lemah lembut
قال عياض بن غنم لهشام بن حكيم ألم تسمع بقول رسول الله صلى الله عليه وسلم من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلوا به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه (في ظلال الجنة : 273 )
Berkata Iyadh bin ghanam kepada Hisyam bin Hakim: “Tidakkah engkau dengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaklah dia mengambil tangan penguasa tersebut dan hendaklah dia menyendiri dengannya, apabila penguasa menerima nasehatnya maka itulah yang diinginkan, dan jika tidak maka dia telah melaksanakan kewajibannya”. (hadis shahih kitab fizilalil jannah hal 273).
5. Ahlu sunnah semaksimal mungkin menghindari kemaksiatan seperti perbuatan syirik, makan makanan yang haram, judi dan perbuatan dosa lainnya walaupun yang menyuruhnya adalah ulil amri tetapi ini semua dilakukan dengan cara lemah lembut seperti pada patokan patokan sebelumnya
– ” لا طاعة لأحد في معصية الله تبارك و تعالى ” .
قال الألباني في “السلسلة الصحيحة” 1 / 297 : و إسناده صحيح على شرط مسلم
“Tidak ada ketaatan terhadap seseorang dalam bermaksiat kepada Allah”
(Berkata Syaikh Albani dalam silsilah hadis shahih 1/297 : dan sanadnya shahih atas syarat muslim)
6. Ahlu sunnah tidak mengkafirkan penguasa yang belum memahami ajaran islam dengan benar karena kesamaran yang mengenai mereka tentang islam dan berbagai faktor lain yang menghalangi sesorang itu dianggap kafir. Seperti ketidak tahuan, kesalahpahaman tentang islam/ ta`wil dan keterpaksaan.
Dalil tentang ketidak tahuan
وما كان الله ليضل قوما بعد إيمانهم إذ هداهم حتى يبين لهم مايتقون إن الله بكل شيء عليم
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sampai dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (At-taubah : 115)
يقول تعالى مخبرا عن نفسه الكريمة وحكمه العادل: إنه لا يضل قوما بعد بلاغ الرسالة إليهم، حتى يكونوا قد قامت عليهم الحجة
berkata Ibn katsir dalam tasir ayat tersebut : “Berfirman Allah taala seraya menghabarkan tentang diriNya yang mulia dan hikmahNya yang adil ; sesungguhnya Dia tdak akan menyesatkan (menganggap sesat) suatu kaum setelah sampainya risalah kepada mereka sampai mereka dalam keadaan telah tegak atas mereka hujjah (bukti)
( Tafsir Al-qur`anul adhim hal 156)
Dalil karena kekeliruan
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ (الأحزاب : 5)
“tidak ada dosa bagi kalian terhadap apa yang kalian keliru (salah dengan tidak menyengaja) di dalamnya. (QS Al-ahzab : 5)
Dalil tentang keterpaksaan
إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان ( النحل : 106 )
Kecuali yang dipaksa dan hatinya tetap tenang dalam keimanan (maka ia masih dianggap sebagai orang beriman) ( QS An-nahl : 106)
Dan juga kisahnya Ammar bin yasir yang dipaksa untuk mengatakan tuhan saya Hubal, dia terpaksa mengatakannya karena kalau tidak, dia akan dibunuh.
أَخَذَ الْمُشْرِكُونَ عَمَّارًا فَعَذَّبُوهُ حَتَّى قَارَبَهُمْ فِي بَعْض مَا أَرَادُوا ، فَشَكَى ذَلِكَ إِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ : كَيْف تَجِد قَلْبك ؟ قَالَ : مُطْمَئِنًّا بِالْإِيمَانِ ، قَالَ فَإِنْ عَادُوا فَعُدْ) قال ابن حجر في الفتح 398 : هَذِهِ الْمَرَاسِيل تَقَوَّى بَعْضُهَا بِبَعْضٍ)
Orang-orang musyrik menangkap Ammar dan menyiksanya sampai ia mematuhi kepada mereka pada sebagian yang mereka inginkan, lalu ia mengadukan halnya kepada rasulullah shallallahu alaihi wa salllam, beliau bersabda : “Bagaimana hatimu?” dia menjawab : “Hatiku dalam keadaan tenang dalam keimanan” dia bersabda : “jika mereka mengulang (paksaan) maka ulangilah jawaban yang sama” ( Berkata Ibn Hajar dalam fathul bari hal 398: sanad-sanad hadis ini marasil yang menguatkan sebagiannya kepada yang lain}.
Dalil karena menta`wil
Adapun tentang dalil ta`wil adalah kisah sujudnya Muadz bin jabal kepada rasulullah karena beralasan untuk memuliakan nabi (menta`wil) bahwa rasulullah lebih berhak disujudi dari para pendeta, hal ini kemudian dillarang oleh Rasulullah tetapi Muadz tidak dikafirkan karena dia berbuat seperti itu karena dia menta`wil
والحديث حسَّنه الألباني في «الإرواء»: (7/56)
Hadis muadz bin jabal di atas dihasankan oleh syaikh Albani dalam Al-irwa` 7/56
7. Ahlu sunnah dilarang untuk membunuh siapa saja yang masih memiliki keimanan apakah ia sebagai ulil amri atau rakyat biasa sebagaimana bunyi ayat al-qur`an
{ وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا } الآية [النساء: 93].
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka, mereka kekal di dalamnya (QS Annisa : 93 )
8. Dalam kondisi tertentu menghilangkan nyawa orang beriman hanya boleh dilakukan oleh ulil amri (karena ini yang dilakukan oleh rasul sebagai ulil amri dan juga khulafa rasyidin sebagai ulil amri) sebagaimana bunyi hadis yang sudah masyhur
” عليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين المهديين بعدي ) السلسلة الصحيحة 2835 )
“Kewajiban kalian adalah mengikuti sunnahku dan mengikuti sunnah khulafa rasyidin sesudahku” (silsilah hadis hadis shahih 2835)
dan bukanlah hak masyarakat umum dan itupun dibatasi oleh syariat pada empat keadaan :
1. karena hukum bunuh dibalas bunuh
2. orang yang sudah berkeluarga berzina
3. orang yang murtad dan keluar dari jamaah kaum muslimin
4. pemberontak
“لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله، وأني رسول الله إلا بإحدى ثلاث: الثيب الزاني، والنفس بالنفس، والتارك لدينه المفارق للجماعة (صحيح البخاري برقم (6878) وصحيح مسلم برقم (1676)).
Tidak halal darah seoarang muslim yang bersaksi tiada sembahan yang hak kecuali Allah dan muhammad adalah rasulullah kecuali dalam tiga keadaan : orang tua (sdh berkeluarga berzina, hukum bunuh dibalas bunuh, orang murtad dan keluar dari jamaah kaum muslimin .( HR Bukhari 6878 dan muslim 1676)
{ وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ } [الحجرات: 9]
Dan jika dua kelompok dari orang beriman saling bertempur maka damaikanlah keduanya, dan jika salah satu kelompok melampaui batas (melakukan bughat/pemberontakan) maka perangilah mereka sampai mereka yang memberontak kembali kepada perintah Allah ( QS Al-hujarat : 9)
Memerangi pemberontak diperintahkan, walaupun di sana ada resiko pembunuhan terhadap pemberontak.
9. orang beriman baik dia sebagai rakyat atau pemimpin bisa menurun keimanannya sampai batas minimal (seberat debu keimanan) dan itu diakui oleh Allah subhanahu wa taala sehingga Allah keluarkan mereka dari neraka, sehingga mereka masih dalam wilayah larangan Allah dalam ayat dan hadis diatas (tidak boleh di bunuh).
يخرج من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من الإيمان ) السلسلة الصحيحة 2450)
Akan keluar dari neraka siapa saja yang didalam hatinya masih terdapat seberat debu dari iman ( Silsilah hadis sahih no 2450)
10. orang yang tetap mengkafirkan orang yang masih memiliki keimanan akan membalik kekafiran itu pada dirinya
” أيما امرئ قال لأخيه : يا كافر ! فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال و إلا
رجعت عليه ( و في رواية : ” على الآخر ” ) (السلسلة الصحيحة 2891)
Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya Hai kafir maka akan kembali kekafiran itu pada salah satu dari keduanya, jika dia memang kafir maka itu seperti yang ia katakan jika tidak maka akan kembali kekafiran kepada yang menuduhnya.( silsilah hadis sahih 2891)
11. Seorang yang menentang ayat dan hadis di atas akan mendapatkan beberapa konsekwensi sebagai berikut :
1. Orang yang membunuh orang kafir muahad (orang kafir yang ada perjanjian dengan kaum muslimin; seperti duta, turis dan lainnya) mereka tidak bisa mencium bau sorga
من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاما
( صحيح ) غاية المرام 449 : وأخرجه البخاري 6914
Barangsiapa yang membunuh orang kafir muahad (orang kafir yang ada perjanjian damai dengan kaum muslimin) dengan sengaja maka tidak akan bisa mencium bau sorga, dan sungguh aroma sorga itu tercium dari jarak perjalanan 40 tahun (hadis shohih kitab ghoyatul maram no 449, dikeluarkan pula oleh imam bukhari.no 6914)
2. orang yang mengkafirkan seorang muslim yang masih memiliki keimanan walaupun lemah bisa menyebabkan kekafiran membalik kepada dirinya (hadis pada point 10)
3. orang yang memberontak kepada imam yang masih memiliki keimanan maka berhak untuk diperangi walaupun tidak dikafirkan
seperti jawaban khalifah Ali ketika ditanya tentang orang-orang yang memberontak padanya :
Apakah orang-orang yang memberontak kepada beliau tersebut kafir?
beliau menjawab : dari kekafiran mereka lari.
kemudian ditanyakan lagi :Apakah mereka orang-orang munafik?
maka Ali menjawab : bahwa orang munafik itu tidak banyak berdzikir.
Kemudian ditanyakan kepadanya,: lalu siapa mereka?
maka Ali radliallohu anhu menjawab : mereka adalah suatu kaum yang memberontak kepada kita .
inilah sebabnya beliau memerangi mereka sehingga tinggal beberapa orang saja.
(albaihaqi : 174/8, ibnu abi syaibah 332/15 dan ibn nasr dalam ta`dzim qadri shalat 591-594)
4. Tidak menutup kemungkinan bahwa diantara mereka ada yang kafir sebagaimana dhahir hadis nabi shallallahu alaihi wa sallam. :
يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية (السلسلة الصحيحة 2495)
Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari buruannya ( silsilah hadis sahih 2495)
5. Mereka yang tidak bertaubat dan tetap dalam kekhawarijannya akan mendapatkan sebuah gelar dan hukuman yang sangat pedas dari rasululullah sebagaimana bunyi hadis berikut ini :
الْخَوَارِجُ كِلاَبُ النَّارِ
Orang –orang khawarij itu anjing-anjing neraka (Ibn Majah no 178, disahihkan oleh Syaikh Albani)
6. Allah tidak mengabulkan keinginan mereka dalam usaha mereka menggunakan agama sebagai alat untuk menguasai tampuk kepemimpinan
حدثنا هشام بن عمار حدثنا يحيى بن حمزة حدثنا الأوزاعي عن نافع عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ينشأ نشء يقرءون القرآن لا يجاوز تراقيهم كلما خرج قرن قطع قال ابن عمر سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول كلما خرج قرن قطع أكثر من عشرين مرة حتى يخرج في عراضهم الدجال (السلسلة الصحيحة (2455
Bersabda nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang khawarij yang artinya: “Akan tumbuh suatu generasi yang mereka membaca al-qur`an tetapi tidak melewati tenggorokan mereka setiap keluar tanduk mereka maka dipotong, berkata ibnu umar aku mendengar rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “setiap keluar tanduk mereka maka dipotong” lebih dari duapuluh kali “sampai keluar dalam barisan mereka dajjal” (hadis hasan; silsilah hadis sahih 2455)
7. Allah mengijinkan nabinya untuk memerangi orang-orang khawarij dan menumpas mereka seperti penumpasan yang dilakukan oleh Allah terhadap kaum Ad
إن من ضئضئ هذا قوما يقرءون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الإسلام مروق السهم من الرمية يقتلون أهل الإسلام ويدعون أهل الأوثان لئن أدركتهم لأقتلنهم قتل عاد ” أخرجه مسلم في الزكاة باب ذكر الخوارج وصفاتهم رقم 1064
Bersabda nabi shallallahu alaihi wasallam “sesungguhnya dari pemikiran (keturunan) orang ini(cikal bakal khawarij) akan muncul suatu kaum yang mereka membaca Al-qur`an tetapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari islam seperti keluarnya anak panah dari buruan, mereka membunuhi orang-orang islam dan membiarkan para penyembah berhala kalau aku menemui mereka maka aku akan tumpas mereka seperti penumpasan kaum ad (dikeluarkan oleh imam Muslim dalam kitab zakat bab dzikr khowarij wa sifatihim no 1064)
8. Allah memberi pahala bagi mereka (ulil amri) yang bisa menumpasnya
قال علي، رضي الله عنه: ” سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: “يأتي في آخر الزمان قوم حدثاء الأسنان، سفهاء الأحلام، يقولون من خير قول البرية، يمرقون من الإسلام كما يمرق السهم من الرَّميَّة، لا يجاوز إيمانهم حناجرهم، فأينما لقيتموهم فاقتلوهم، فإن قتلهم أجر لمن قتلهم يوم القيامة” صحيح البخاري برقم (5057).
Berkata Ali radliallahu `anhu : “aku mendengar nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda” : ” akan datang di akhir zaman orang-orang yang masih muda belia, yang bodoh nalarnya, mereka berkata-kata dengan sebaik-baik perkataan manusia (para nabi), (tetapi) mereka keluar dari islam seperti keluarnya anak panah (yang telah masuk) dari binatang buruan. Iman mereka tidak melewati tenggorokan mereka (hanya di mulut saja). Di mana saja kalian (ulil amri) menemui mereka maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya membunuh mereka ada pahalanya pada hari kiamat” (HR Bukhari no 5057)
Hari kesaktian pancasila adalah sebutan untuk mengingatkan bangsa Indonesia akan tragedi sejarah pengkhianatan bangsa yang dilakukan oleh suatu kelompok yang ingin mengubah Pancasila sebagai Dasar Negera Kesatuan Republik Indonesia dengan komunisme sebagai Dasar Negara Indonesia. Momentum ini seharusnya menjadi pelajaran bagi segenap bangsa bahwa segala upaya penggantian dasar NKRI dan usaha menyingkirkan Pancasila merupakan sebuah tindakan pengkhianatan terhadap Bangsa. Dan dengan ‘kesaktian’-nya, Pancasila akan menindak tegas hal tersebut. Karena Pancasila dengan segenap butir-butirnya merupakan hasil kesepakatan bersama para pendiri Negara Indonesia yang telah disesuaikan dengan karakter bangsa dan telah terbukti hingga kini.
Dengan demikian, upaya penggantian Pancasila dengan ideologi lain apapun (namanya) merupakan bentuk perlawanan kepada pemerintah Indonesia yang sah (Bughat). Sebagaimana termaktub dalam kitab
الإمــامــة الــعــظــمـى عند اهل السنة والجماعة
ذَهَـــبَ غَــالِــبُ أهْـــلِ الــسُّــنـَّـةِ وَالــجَــمَــاعَــةِ إلَـَى أنـَّــهُ لا يَــجُــوزُ الــخُـــرُوجُ عَــلـَـى أئِــمَّــةِ الــظُّـلْــمِ وَالــجَــوْرِ بِــالــسَّــيْــفِ مَــا لـَـمْ يَـصِــلْ بِــهِــمْ ظُــلـْـمُــهُــمْ وَجَـــوْرُهـُـمْ إلـَى الـكـُـفْــرِ البـَـوَاحِ أوْ تـَـرْكِ الــصَّــلاةِ وَالــدَّعـْـــوَةِ إلـَـيــهَــا أوْ قِــيـَـادَةِ الأُمـَّـةِ بِــغـَـيْــرِ كِــتـَـابِ اللهِ تـَــعــالـَى كـَـمـَـا نـَـصَّــتْ عَــلَــيــهـَـا الأحَــادِيــثُ الــسَّــابِـــقـَـةُ فَــي أسْــبَــابِ الــعَـــزْلِ
Mayoritas golongan Ulama ahlussunnah wal jama’ah berpendapat bahwa tidak diperbolehkan membangkang terhadap pemimpin-pemimpin yang dhalim dan menyeleweng dengan jalan memerangi, selama kedhaliman dan penyelewengannya tidak sampai kepada kekufuran yang jelas atau meninggalkan shalat dan dakwah kepadanya atau memimpin umat tanpa berdasarkan kitab Allah sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits yang sudah lalu dalam menerangkan sebab-sebab pemecatan Imam.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa, jika membangkang dari pemerintahan yang dhalim saja tidak boleh apalagi membangkang dari pemerintah Indonesia yang sah dengan mengganti Pancasila yang telah terbukti mengamankan Bangsa ini dari perpecahan dan pertikaian.
Walaupun usaha penggantian itu bertujuan menjadikan Indonesia lebih baik. Karena sesungguhnya tujuan menjadi lebih baik itu masih bersifat wahm (asumsi), sedangkan keadaan yang baik ini yang sudah berjalan hingga kini bersifat pasti. Maka berlakulah kaidah Ushul Fikih “dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih “. Apalagi jika penggantian itu dipastikan membawa keburukan. Demikian diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadir Audah dalam kitab al-Tasyri’ al-Jina’
ومع ان العدالة شرط من شروط الامامة الا ان الرأي الراجح في المذاهب الاربعة ومذهب الشيعة الزيدية هو تحريم الخروج على الامام الفاسق الفاجر ولو كان الخروج للامر بالمعروف والنهي عن المنكر لان الخروج على الامام يؤدي عادة الى ماهو انكر مما فيه وبهذا يمتنع النهي عن المنكر لان مشروطه لايؤدي الانكار الى ماهو انكر من ذلك الى الفتن وسفك الدماء وبث الفساد واضطراب البلاد واضلال العباد وتوهين الامن وهدم النظام
Memang sikap adil merupakan salah satu syarat-syarat menjadi Imam / pemimpin, hanya saja pendapat yang rajih (unggul) dalam kalangan madzhab empat dan madzhab Syi’ah Zaidiyyah mengharamkan bertindak khuruj (bughat) terhadap Imam yang fasik lagi curang walaupun bughat itu dengan dalih amar ma’ruf nahi mungkar. Karena bughat kepada Imam biasanya akan mendatangkan suatu keadaan yang lebih mungkar daripada keadaan sekarang. Dan sebab alasan inilah, maka tidak diperbolehkan mencegah kemungkaran, karena persyaratan mencegah kemungkaran harus tidak mendatangkan fitnah, pembunuhan, meluasnya kerusakan, kekacauan negara, tersesatnya rakyat, lemah keamanan dan rusaknya stabilitas nasional (Negara).
Bahkan dalam literatur fiqih usaha pembinasaan Pancasila sebagai dasar Negara sah Republik Indonesia dapat dikategorikan sebagai tindakan pembangkangan/bughat. Yaitu menyalahi Imam (Pemerintah) yang adil dengan cara memberontak dan tidak mentaatinya serta menolak segala perintahnya. Demikian diterangkan dalam kitab Kifayatul Akhyar
والباغي فى اصطلاح العلماء هو المخالف للإمام العدل الخارج عن طاعته بامتناعه من اداء ما وجب عليه ...
Demikian juga sebaliknya jika perubahan faham Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah sebuah kemadharatan yang nyata. Maka usaha dan perjuangan menyelamatkan Pancasila dan melanggengkan sesuatu yang bersifat baik hukumnya fardhu kifayah. Seperti yang dijelaskan dalam kitab كشاف القناع
وَمِنْ فُرُوْضِ الْكَفَايَاتِ الأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
Diantara fardlu kifayah yaitu memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar