Risalah Islam bersifat paripurna, menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia dari sejak ia belum menghirup udara dunia, sampai akhirnya kubur menjadi huniannya. Ini juga menjadi pesona khas, bagi agama yang diemban Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
HAL-HAL YANG DIKERJAKAN KETIKA SESEORANG SAKARATUL MAUT
1. Mentalqin (menuntun) dengan bacaan Laa ilaaha illallah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
Tuntunlah orang yang akan mati di antara kalian dengan bacaan Laa ilaha illallah. [HR Muslim].
Dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa yang akhir perkataannya Laa ilaha illallah, dia akan masuk surga. [HR Al Bukhari].
Apabila berbicara dengan ucapan yang lain setelah ditalqin, maka diulangi kembali, supaya akhir dari ucapannya di dunia kalimat tauhid.
2. Berdo’a untuknya dan tidak berkata kecuali yang baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيضَ أَوْ الْمَيِّتَ فَقُولُوا خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Apabila kalian mendatangi orang sakit atau orang mati, maka janganlah berkata kecuali yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengamini yang kalian ucapkan. [HR Muslim, Al Baihaqi dan yang lainnya].
Tanda-Tanda Kematian:
Para ulama menyebutkan beberapa tanda, bahwa seseorang sudah bisa dikatakan mati. Di antaranya:
a. Terhentinya nafas.
b. Kedua pelipisnya melemas.
c. Hidung menjadi lunak.
d. Kulit wajahnya menjadi lebih panjang.
e. Terpisahnya kedua telapak tangan dari kedua lengannya.
f. Kedua kakinya melemas dan terpisah dari kedua mata kaki.
g. Tubuh menjadi dingin.
h. Tanda yang sangat jelas, yaitu adanya perubahan bau pada tubuhnya. [Lihat Fiqhun Nawazil, Syaikh Bakr Abu Zaid (1/227), Asy Syarhul Mumti’ (5/331)].
Tanda-tanda di atas diketahui dengan tanpa menggunakan alat, dan ada tanda lain yang bisa diketahui dengan alat-alat kedokteran.
3. Tidak mengapa bagi seorang muslim untuk mendatangi seorang kafir yang dalam keadaan sakaratul maut untuk menawarkan kepadanya agama Islam.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Dahulu ada seorang budak Yahudi yang melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia sakit, maka Rasulullah menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ
Masuklah ke dalam agama Islam, maka dia melihat ke arah bapaknya yang berada di sampingnya. Bapaknya berkata: “Taatilah Abul Qasim (ya’ni Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Maka dia masuk Islam, kemudian Rasulullah keluar, dan Beliau berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah menyelamatkan dia dari neraka.” [HR Al Bukhari].
HAL-HAL YANG DIKERJAKAN SETELAH SESEORANG MENINGGAL DUNIA
1. Disunnahkan untuk menutup kedua matanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu ketika dia meninggal dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَلاَ تَقُوْلُوْا إِلاَّ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, maka janganlah kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik, karena malaikat akan mengamini dari apa yang kalian ucapkan. [HR Muslim].
2. Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, setelah dilepaskan dari pakaiannya yang semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya. Dari Aisyah Radhiyallahu a’nha, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حِبَرَةٍ
Dahulu ketika Rasulullah meninggal dunia ditutup tubuhnya dengan burdah habirah (pakaian selimut yang bergaris). [Muttafaqun ‘alaih].
Kecuali bagi orang yang mati dalam keadaan ihram,maka tidak ditutup kepala dan wajahnya.
3. Bersegera untuk mengurus jenazahnya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ
Tidak pantas bagi mayat seorang muslim untuk ditahan di antara keluarganya. [HR Abu Dawud].
Karena hal ini akan mencegah mayat tersebut dari adanya perubahan di dalam tubuhnya. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Kehormatan seorang muslim adalah untuk disegerakan jenazahnya.” Dan tidak mengapa untuk menunggu diantara kerabatnya yang dekat apabila tidak dikhawatirkan akan terjadi perubahan dari tubuh mayit.
Hal ini dikecualikan apabila seseorang mati mendadak, maka diharuskan menunggu terlebih dahulu, karena ada kemungkinan dia hanya pingsan (mati suri). Terlebih pada zaman dahulu, ketika ilmu kedokteran belum maju seperti sekarang. Pengecualian ini, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/330), Al Mughni (3/367)].
4. Diperbolehkan untuk menyampaikan kepada orang lain tentang berita kematiannya. Dengan tujuan untuk bersegera mengurusnya, menghadiri janazahnya dan untuk menyalatkan serta mendo’akannya. Akan tetapi, apabila diumumkan untuk menghitung dan menyebut-nyebut kebaikannya, maka ini termasuk na’yu (pemberitaan) yang dilarang.
5. Disunnahkan untuk segera menunaikan wasiatnya, karena untuk menyegerakan pahala bagi mayit. Wasiat lebih didahulukan daripada hutang, karena Allah mendahulukannya di dalam Al Qur’an.
6. Diwajibkan untuk segera dilunasi hutang-hutangnya, baik hutang kepada Allah berupa zakat, haji, nadzar, kaffarah dan lainnya. Atau hutang kepada makhluk, seperti mengembalikan amanah, pinjaman atau yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi. [HR Ahmad, At Tirmidzi, dan beliau menghasankannya].
Adapun orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, sedangkan dia mati dalam keadaan bertekad untuk melunasi hutang tersebut, maka Allah yang akan melunasinya.
7. Diperbolehkan untuk membuka dan mencium wajah mayit. Aisyah Radhiyallahu anha berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى رَأَيْتُ الدُّمُوعَ تَسِيلُ
Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Utsman bin Madh’un Radhiyallahu ‘anhu , saat dia telah meninggal, hingga aku melihat Beliau mengalirkan air mata. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
Demikian pula Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, beliau mencium Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamn ketika beliau meninggal dunia.
MEMANDIKAN MAYIT
1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi n tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ
Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya. [Muttafaqun ‘alaih].
2. Orang yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang diberi wasiat untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum memandikan mayit.
Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu berwasiat supaya dimandikan oleh isterinya, yaitu Asma’ binti Umais, kemudian dia (Asma’ binti Umais) mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha’, Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah.
Setelah orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan ialah bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.
3. Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘ anha
لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ
Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu. [HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].
4. Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh tahun, baik laki-laki atau perempuan.
Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].
5. Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir.
Allah berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِالله
Janganlah engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya, dan janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.[At Taubah:84].
Yang dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur seorang muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang kafir ke dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena Rasulullah n memerintahkan untuk melempar mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar ke dalam satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar. [HR Al Bukhari di dalam kitab Al Maghazi].
6. Kaifiyat memandikan jenazah.
Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya. Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorangpun. Kemudian dilakukan istinja’ terhadap mayit dan dibersihkan kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu’ seperti wudhu’ ketika akan shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan air ke dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi dengan air, lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya, kemudian dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian kanan.
Hendaknya dicampurkan daun bidara ke dalam air. Daun bidara tersebut dipakai untuk membersihkan rambut kepala dan janggutnya. Pada kali yang terakhir diberi kapur (butir wewangian), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan demikian kepada para wanita yang memandikan putrinya. Beliau bersabda: “Ambillah kapur pada kali yang terakhir, atau sesuatu dari kapur.” Kemudian dikeringkan dan diletakkan di atas kain kafan.
7. Tidak diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian mayit, kecuali orang yang akan memandikan dan orang yang membantunya.
8. Ketika memandikan mayit, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunnahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang kanan, anggota wudhu’nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].
9. Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.
10. Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu’. [HR Ahmad, Abu Dawud dan beliau menghasankannya].
11. Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan, meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel padanya.
Dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada’ Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. [HR Al Bukhari].
Hukum ini khusus bagi syahid ma’rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang yang mati karena wabah tha’un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/364).
12. Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu’:
وَ الطِّفْلُ (و في رواية: السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia dishalatkan dan dido’akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
Karena setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam hadits tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud.
MENGKAFANI MAYIT
1. Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu a’nhu :
إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ
Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya. [HR Muslim].
Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan memperbagus kafannya, yaitu yang bersih, tebal, menutupi (tubuh jenazah) dan yang sederhana. Yang dimaksud bukanlah yang mewah, mahal dan yang indah.” [Ahkamul Janaiz, 58].
2. Biaya kain kafan diambilkan dari harta mayit, lebih didahulukan daripada untuk membayar hutangnya. Rasulullah n bersabda tentang seorang yang mati dalam keadaan ihram:
….وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ
… Kafanilah dia dengan dua bajunya. [Muttafaqun ‘alaih]
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk dikafani dengan pakaian ihram miliknya sendiri. Demikian pula kisah Mush’ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud, kemudian dikafani oleh Rasulullah n dengan pakaiannya sendiri.
3. Disunnahkan untuk dikafani dengan tiga helai kain putih.
Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.
Di beri wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu yang dibakar). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا
Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali. [HR Ahmad].
4. Apabila ada beberapa mayit, sedangkan kain kafannya kurang, maka beberapa orang boleh untuk dikafani dengan satu kafan dan didahulukan orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya, sebagaimana kisah para syuhada Uhud.
5. Kafan seorang wanita sama seperti kafan seorang lelaki.
“Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65.
SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT)
Keutamaan Shalat Jenazah
Akan mendapatkan pahala yang besar berdasarkan hadits Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ . قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
"Barangsiapa yang menyaksikan jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud dua qiroth?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lantas menjawab, "Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar." (HR. Bukhari no. 1325 dan Muslim no. 945)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ. قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ
"Barangsiapa shalat jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud dua qiroth?" "Ukuran paling kecil dari dua qiroth adalah semisal gunung Uhud", jawab beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 945)
Akan mendapatkan syafa'at bagi orang yang di shalatkan sebanyak 40 orang ahli tauhid sebagimana hadits Kuraib, ia berkata,
أَنَّهُ مَاتَ ابْنٌ لَهُ بِقُدَيْدٍ أَوْ بِعُسْفَانَ فَقَالَ يَا كُرَيْبُ انْظُرْ مَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنَ النَّاسِ. قَالَ فَخَرَجْتُ فَإِذَا نَاسٌ قَدِ اجْتَمَعُوا لَهُ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ تَقُولُ هُمْ أَرْبَعُونَ قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَخْرِجُوهُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ
"Anak 'Abdullah bin 'Abbas di Qudaid atau di 'Usfan meninggal dunia. Ibnu 'Abbas lantas berkata, "Wahai Kuraib (bekas budak Ibnu 'Abbas), lihat berapa banyak manusia yang menyolati jenazahnya." Kuraib berkata, "Aku keluar, ternyata orang-orang sudah berkumpul dan aku mengabarkan pada mereka pertanyaan Ibnu 'Abbas tadi. Lantas mereka menjawab, "Ada 40 orang". Kuraib berkata, "Baik kalau begitu." Ibnu 'Abbas lantas berkata, "Keluarkan mayit tersebut. Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah seorang muslim meninggal dunia lantas dishalatkan (shalat jenazah) oleh 40 orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun melainkan Allah akan memperkenankan syafa'at (do'a) mereka untuknya." (HR. Muslim no. 948)
Dalam riwayat lain dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا فِيهِ
"Tidaklah seorang mayit dishalatkan (dengan shalat jenazah) oleh sekelompok kaum muslimin yang mencapai 100 orang, lalu semuanya memberi syafa'at (mendoakan kebaikan untuknya), maka syafa'at (do'a mereka) akan diperkenankan." (HR. Muslim no. 947)
Di kabulkannya do'a sebagimana hadits Malik bin Hubairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ أَوْجَبَ
"Tidaklah seorang muslim mati lalu dishalatkan oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan do'a mereka akan dikabulkan." (HR. Tirmidzi no. 1028 dan Abu Daud no. 3166. Imam Nawawi menyatakan dalam Al Majmu' 5/212 bahwa hadits ini hasan)
Itulah beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan shalat jenazah.
Keutamaan Sholat Jenazah dan Mengiringinya.
و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى وَهَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ وَاللَّفْظُ لِهَارُونَ وَحَرْمَلَةَ قَالَ هَارُونُ حَدَّثَنَا وَقَالَ الْآخَرَانِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ هُرْمُزَ الْأَعْرَجُ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ انْتَهَى حَدِيثُ أَبِي الطَّاهِرِ وَزَادَ الْآخَرَانِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ قَالَ سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُصَلِّي عَلَيْهَا ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَلَمَّا بَلَغَهُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَقَدْ ضَيَّعْنَا قَرَارِيطَ كَثِيرَةً و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى ح و حَدَّثَنَا ابْنُ رَافِعٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ كِلَاهُمَا عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قَوْلِهِ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ وَلَمْ يَذْكُرَا مَا بَعْدَهُ وَفِي حَدِيثِ عَبْدِ الْأَعْلَى حَتَّى يُفْرَغَ مِنْهَا وَفِي حَدِيثِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ حَتَّى تُوضَعَ فِي اللَّحْدِ و حَدَّثَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ حَدَّثَنِي رِجَالٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ مَعْمَرٍ وَقَالَ وَمَنْ اتَّبَعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ
Telah menceritakan kepadaku [Abu Thahir] dan [Harmalah bin Yahya] dan [Harun bin Sa'id Al Aili] -dan lafazh milik Harun dan Harmalah, Harun berkata- telah menceritakan kepada kami -sementara dua orang yang lain berkata- telah mengabarkan kepada kami [Ibnu Wahb] telah mengabarkan kepadaku [Yunus] dari [Ibnu Syihab] ia berkata, telah menceritakan kepadaku [Abdurrahman bin Hurmuz Al A'raj] bahwa [Abu Hurairah] berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:"Siapa yg turut menyaksikan pengurusan jenazah hingga ia menshalitinya, maka baginya pahala sebesar satu qirath. Sedangkan siapa yg turut menyaksikan pengurusannya hingga jenazah itu dimakamkan, maka baginya pahala sebesar dua qirath. Lalu ditanyakanlah, Apakah itu dua qirath?
beliau menjawab: Seperti dua gunung yg besar. sampai disinilah haditsnya Abu Thahir. Kemudian dua orang itu menambahkan; Ibnu Syihab berkata, Salim bin Abdullah bin Umar berkata; Ibnu Umar pernah menshalati jenazah lalu ia bubar & pergi. Dan ketika hadits Abu Hurairah sampai padanya, ia pun berkata, Sungguh, kita telah menyia-nyiakan banyak qirath. Dan telah menceritakannya kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdul A'la -dalam jalur lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Ibnu Rafi' & Abdu bin Humaid dari Abdurrazaq keduanya dari Ma'mar dari Az Zuhri dari Sa'id bin Al Musayyab dari Abu Hurairah dari Nabi , hingga sampai pada; Seperti dua gunung yg besar. Dan ia tak menyebutkan sesudahnya. Dan di dalam haditsnya Abdul A'la tercantum; Hingga pengurusan (jenazah itu) selesai. Sementara di dalam riwayat Abdurrazaq tercantum; Hingga (jenazah itu) diletakkan di dalam liang lahad. Dan telah menceritakan kepadaku Abdul Malik bin Syu'aib bin Laits telah menceritakan kepadaku bapakku dari kakekku ia berkata, telah menceritakan kepadaku Uqail bin Khalid dari Ibnu Syihab ia berkata, telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki dari Abu Hurairah dari Nabi , yakni seperti haditsnya Ma'mar. & ia menyebutkan; Hingga (jenazah itu) dikebumikan. [HR. Muslim No.1570].
Hukum shalat Jenazah
Hukum shalat jenazah adalah fardu kifayah berdasarkan beberapa dalil, di antaranya:
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ رَجُلًا أَسْوَدَ أَوْ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَ يَقُمُّ الْمَسْجِدَ فَمَاتَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي بِهِ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ أَوْ قَالَ قَبْرِهَا فَأَتَى قَبْرَهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا
“Ada seorang laki-laki kulit hitam atau wanita kulit hitam yang menjadi tukang sapu di masjid telah meninggal dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya tentang keberadaan orang tersebut. Orang-orang pun menjawab, “Dia telah meninggal!” Beliaupun bersabda, “Kenapa kalian tidak memberi kabar kepadaku? Tunjukkanlah kuburannya padaku!” Beliau kemudian mendatangi kuburan orang itu kemudian menshalatinya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan yang lainnya. Lihat hadits-hadits lainnya dalam Irwa`ul Ghalil, 3/183-186)
Dari Abu Qatadah radhiallahu anhu ia menceritakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِرَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلُّوْا عَلى صَاحِبِكُمْ، فَإِنَّ عَلَيْهِ دَيْنًا. قَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: هُوَ عَلَيَّ. قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِالْوَفَاءِ؟ قَالَ: بِالْوَفاَءِ. فَصَلَّى عَلَيْهِ
Didatangkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau menshalati ternyata beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalatilah teman kalian ini krn ia meninggal dgn menanggung hutang.” Mendengar hal itu berkatalah Abu Qatadah: “Hutang itu menjadi tanggunganku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janji ini akan disertai dgn penunaian?”. “Janji ini akan disertai dgn penunaian“ jawab Abu Qatadah. maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menshalatinya.” (HR. An-Nasa`i no. 1960 kitab Al-Jana`iz bab Ash-Shalah ‘ala man ‘alaihi Dainun).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali.” (HR. Al-Bukhari no. 1337)
Tata cara shalat jenazah
Imam berdiri sejajar dengan kepala jenazah pria, atau sejajar dengan bagian perut jenazah wanita, sementara makmum berdiri di belakang imam dalam shaff. Dianjurkan agar jama’ah terdiri dari tiga shaff.
مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا أَوْجَبَ
Tidaklah ada seorang muslim yang meninggal kemudian disholatkan oleh 3 shaf kaum muslimin kecuali wajib baginya (surga)(H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Hakim disepakati adz-Dzahaby, dihasankan oleh anNawawy, disepakati oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)
Para Ulama’ menjelaskan bahwa keutamaan itu bisa didapatkan dengan jumlah 3 shaf, 40 orang, atau 100 orang. Tiga shaf adalah batasan minimal, semakin banyak jamaah, semakin baik (Syarh Shahih Muslim karya anNawawy (7/17)). Berapapun jumlah minimal yang tercapai, syaratnya adalah orang yang mensholatkan tidak pernah menyekutukan Allah dengan suatu apapun.
Kemudian imam melakukan takbiratul ihram,
Takbir Pertama
Setelah takbir dilanjutkan dengan membaca ta'awudz lalu dilanjutkan dengan membaca al fatihah, tanpa disertai dengan doa iftitah ataupun surat pendek seperti sholat pada umumnya. ini berdasarkan pendapat banyak ulama bahwa dalam sholat jenazah tidak diwajibkan membaca doa iftitah.
Bacaan Ta'awwudz :
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
A'uudzubillaahi minasy syaithaanir rajiim
Artinya : Aku berlindung dari syaitan yang terkutuk
Lalu Dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah.
Takbir kedua
Bacaan setelah takbir kedua yaitu membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. berikut bacaan doanya . . .
أللهم صَلِّ علي محمد وعلي ألِ محمد كما صَلَيْتَ علي إبراهيم وعلي أل إبراهيم وبارِكْ علي محمد وعلي أل محمد كما باركت علي إبراهيم وعلي أل إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد
Allaahumma shalli 'alaa muhammadin, wa 'alaa aali muhammadin, kamaa shallaita 'alaa ibraahiima, wa 'alaa aali ibraahiima. Wa baarik 'alaa muhammadin, wa 'alaa aali muhammadin, kamaa baarakta 'alaa ibraahiima, wa 'alaa aali ibraahiima. Fil 'aalamiina innaka hamiidum majiid.
Artinya :
“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Berilah berkah kepada Muhammad dan keluarganya (termasuk anak dan istri atau umatnya), sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.”
Takbir ketiga
Bacaan doa setelah melakukan takbir ketiga mendoakan mayit dengan doa yang ada dalam riwayat, di antaranya:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّناَ وَمَيِّتِناَ وَشاَهِدِناَ وَغاَئِبِناَ وَصَغِيْرِناَ وَكَبِيْرِناَ وَذَكَرِناَ وَأُنْثاَناَ إِنَّكَ تَعْلَمُ مُنْقَلَبَناَ وَمَثْوَاناَ وَأَنْتَ عَلىَ كًلِّ شَيْءٍ قدِيْرٌ, اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلىَ الإِسْلاَمِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِناَّ فَتَوَفِّهِ عَلىَ الإِيْماَنِ , اَللَّهُمَّ لاَتَحْرِمْناَ أَجْرَهُ وَلاَ تُضِلَّناَ بَعْدَهُ
"Ya Allah, ampunilah orang yang hidup dan yang mati di antara kami, yang hadir di sini dan yang tidak hadir, yang besar dan yang kecil, yang laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya Engkau mengetahui tempat kembali kami dan terminal akhir kami dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, siapapun yang engkau hidupkan di antara kami, hidupkanlah dirinya dalam Islam. Dan siapapun yang Engkau matikan di antara kami, matikanlah dalam iman. Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami mendapatkan pahala seperti yang diperoleh orang ini, dan janganlah Engkau sesatkan kami setelah kematiannya." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah no. 3201, at-Tirmidzi no. 1025 dan Ibnu Majah no. 1498.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعاَفِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ باِلمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الذُّنُوْبِ وَالخَطاَياَ كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الأّبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأّبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَزَوْجاً خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ – أوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ- وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيْهِ
"Ya Allah, ampunilah dirinya, berikan rahmat-Mu kepadanya, selamatkan dirinya dan ampuni dosa-dosanya, muliakan dirinya dan luaskanlah kuburnya. Cucilah dirinya dengan air, es dan embun, lalu bersihkanlah dirinya dari segala kesalahan sebagaimana Engkau membersihkan pakaian putih dari noda. Berikanlah kepadanya tempat tinggal pengganti yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, istri yang lebih baik dari istrinya, masukkan dirinya ke dalam Surga, dan peliharalah dirinya dari siksa kubur dan siksa Neraka Luaskanlah kuburannya, dan sinarilah dengan cahaya-Mu." Diriwayatkan oleh Muslim dari Ummu Salamah no. 2127.
Kalau jenazahnya anak kecil, doanya adalah sebagai berikut,
اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطاً وَذُخْرًا لِوَالِدَيْهِ وَشَفِيْعاً مُجَاباً اَللَهُمَّ ثَقِّلْ مَوَازِيْنَهُمَا وَأَعْظِمْ بِهِ أُجُورَهُماَ وَأَلْحِقْهُ بِصَالَحِ المُؤْمِنِيْنَ وَاجْعَلْهُ فيِ كَفاَلَةِ إِبْرَاهِيْمَ وَقِهِ بِرَحْمَتِكَ عَذَابَ الجَحِيْمِ
"Ya Allah, jadikanlah dirinya sebagai pendahulu di surga bagi kedua orang tuanya, sebagai penyampai syafa'at yang mustajab. Ya Allah, perberatlah karenanya timbangan kebajikan kedua orang tuanya, dan perbanyaklah pahala kedua orang tuanya, lalu kumpulkan dirinya bersama orang-orang shalih. Ya Allah, masukkanlah dirinya dalam pengasuhan Ibrahim, dan peliharalah dirinya dengan rahmat-Mu dari siksa Al-Jahiem.” Diriwayatkan secara ringkas dari ucapan al-Hasan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 29829 dan Abdurrazzaq no. 6588.
Takbir Keempat
Bacaan doa setelah takbir ke empat yaitu membaca doa di bawah ini . . . .
اللهُمّ لاتَحرِمْنا أَجْرَهُ ولاتَفْتِنّا بَعدَهُ
Allaahumma laa tahrimnaa ajrahu, walaa taftinnaa ba'dah
Artinya : Ya Allah, janganlah Engkau haramkan Kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau beri fitnah pada kami setelah kematiannya.
Salam
Terakhir adalah melakukan salam dengan menengok ke kanan dan kekiri sebagaimana dalam sholat biasanya . .
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Assalaamu 'alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh
Artinya : "Keselamatan, rahmat Allah dan keberkahan-Nya semoga untuk kalian semua"
Orang yang ikut berjama’ah shalat jenazah terlambat, segera mengikuti imam pada bagian yang tersisa, lalu melanjutkan shalat tersebut sesuai caranya. Kalau khawatir jenazah terburu diangkat, segera melakukan beberapa takbir secara cepat tanpa dipisahkan dengan doa, kemudian salam.
Orang yang tidak sempat menshalatkan mayit sebelum dikubur, bisa melakukannya di kuburannya, karena Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam pernah melakukannya.
انْتَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قَبْرٍ رَطْبٍ فَصَلَّى عَلَيْهِ وَصَفُّوا خَلْفَهُ ، فَكَبَّرَ أَرْبَعًا -- رواه البخاري ومسلم
Rasulullah sampai di kuburan yang masih basah kemudian shalat di atasnya, dan para sahabat membuat shaf dibelakang beliau. Lantas beliau-pun bertakbir empat kali” (H.R. Bukhari-Muslim)
Doa Sholat Jenazah
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ [وَعَذَابِ النَّارِ]
Alloohummaghfir lahu Warhamhu Wa ‘Aafihi Wa’fu ‘ahu, Wa Akrim Nuzulahu, Wa Wassi’ Madkholahu, Waghsilhu Bil Maa’i WatsTsalji Wal Barodi, Wa Naqqihi Minal Khothooyaa Kamaa Naqqaitats Tsaubal Abyadho Minad Danasi, Wa Abdilhu Daaron Khoiron Min Daarihi, Wa Ahlan Khoiron Min Ahlihi, Wa Zaujan Khoiron Min Zaijihi, Wa Adkhilhul Jannata, Wa A’idhu Min ‘Adzaabil Qabri
Ya Allah, Ampunilah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempat-kanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR. Muslim 2/663)
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيْرِنَا وَكَبِيْرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا. اَللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِيْمَانِ، اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُ.
Alloohumaghfir Lihayyinaa Wa Mayyitinaa Wa Syaahidinaa Wa Ghoo’ibinaa Wa Shoghiirinaa Wa Kabiirinaa Wa Dzakarinaa Wa Untsaanaa. Alloohumma Man Ahyaitahu Minnaa Fa Ahyihi ‘Alal Islaam, Wa Man Tawaffaitahu Minnaa Fatawaffahu ‘Alal Iimaan. Alloohumma Laa Tahrimna Ajrahu Wa Laa Tudhillanaa Ba’dahu
“Ya Allah! Ampunilah kepada orang yang hidup di antara kami dan yang mati, orang yang hadir di antara kami dan yang tidak hadir ,laki-laki maupun perempuan. Ya Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, hidupkan dengan memegang ajaran Islam, dan orang yang Engkau matikan di antara kami, maka matikan dengan memegang keimanan. Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memper-oleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya.” ( HR. Ibnu Majah 1/480, Ahmad 2/368, dan lihat Shahih Ibnu Majah 1/251)
اَللَّهُمَّ إِنَّ فُلاَنَ بْنَ فُلاَنٍ فِيْ ذِمَّتِكَ، وَحَبْلِ جِوَارِكَ، فَقِهِ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ، وَأَنْتَ أَهْلُ الْوَفَاءِ وَالْحَقِّ. فَاغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Alloohumma Inna Fulaanabna Fulaanin Fii Dzimmatika, Wa Habli Jiwaarika, Fa Qihi Min Fitnatil Qobri Wa ‘Adzaabin Naari, Wa Anta Ahlal Wafaa’i Wal Haqqi. Faghfirlahu Warhamhu, Innaka Antal Ghofuurur Rohiim
“Ya, Allah! Sesungguhnya Fulan bin Fulan dalam tanggunganMu dan tali perlindunganMu. Peliharalah dia dari fitnah kubur dan siksa Neraka. Engkau adalah Maha Setia dan Maha Benar. Ampunilah dan belas kasihanilah dia. Sesungguhnya Engkau, Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Penyayang.” (HR. Ibnu Majah. Lihat Shahih Ibnu Majah 1/251 dan Abu Dawud 3/21)
Orang yang kebetulan tidak berada di lokasi di mana jenazah wafat, namun ia mendengar berita kematiannya, maka ia bisa melaksanakan shalat ghaib dengan niat menshalatkannya.
Shalat Ghoib
Shalat Ghoib adalah menyolatkan jenazah yang tidak berada di tempat atau berada di negeri lain.
Mengenai disyariatkannya shalat ghoib terdapat perselisihan di antara para ulama.
Pendapat Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad mereka membolehkan menshalat ghaibkan mayat. Dalilnya adalah dishalatkannya Raja An Najasy oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal An Najasy berada di negeri Habasyah (sekarang Ethiopia) sedangkan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Madinah.
Pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah tidak membolehkan secara mutlak. Alasannya, karena shalat ghoib untuk An Najasy adalah khusus untuk beliau saja, tidak berlaku umum bagi yang lainnya.
sebagian ulama lainnya memerinci, yaitu boleh melakukan shalat ghoib, namun bagi orang yang mati di suatu tempat dan belum disholati. Kalau mayit tersebut sudah disholati, maka tidak perlu dilakukan shalat ghoib lagi karena kewajiban shalat ghoib telah gugur dengan shalat jenazah yang dilakukan oleh kaum muslimin padanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad.
Alasan mereka adalah karena tidaklah diketahui bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghoib kecuali pada An Najasiy saja. Dan An Najasiy mati di tengah-tengah orang musyrik sehingga tidak ada yang menyolatinya. Seandainya di tengah-tengah dia ada orang yang beriman tentu tidak ada shalat ghoib. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati An Najasiy di Madinah, sedangkan An Najasiy berada di Habasyah (Ethiopia). Alasan lain, ketika para pembesar dan pemimpin umat ini meninggal dunia di masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -padahal mereka berada di tempat yang jauh- tidak diketahui bahwa mereka disholati dengan shalat ghoib. waullahu 'alam pendapat terakhir ini yang lebih kuat.
Waktu waktu terlarang untuk menshalati jenazah
Di riwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu anhu ia berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
1. Ketika matahari terbit sampai tinggi
2. Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat
3. Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu disebutkan, termasuk waktu yang dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
Adapun sebab dilarangnya shalat di tiga waktu di atas (pada hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu anhu) disebutkan dalam hadits berikut ini:
‘Amr bin ‘Abasah radhiallahu anhu mengabarkan tentang pertemuannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdi Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka beliau memberi jawaban:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Berapa Banyak Orang yang Turun Dalam Kubur (Untuk Meletakkan Mayat)?
عَنْ عَامِرٍ قَالَ غَسَّلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيٌّ وَالْفَضْلُ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ وَهُمْ أَدْخَلُوهُ قَبْرَهُ قَالَ حَدَّثَنَا مَرْحَبٌ أَوْ أَبُو مَرْحَبٍ أَنَّهُمْ أَدْخَلُوا مَعَهُمْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فَلَمَّا فَرَغَ عَلِيٌّ قَالَ إِنَّمَا يَلِي الرَّجُلَ أَهْلُهُ
Dari Amir, ia berkata: Yang memandikan jasad Rasulullah SAW adalah Ali, Fadhl dan Usamah bin Zaid, dan mereka pula yang memasukkan beliau ke liang kuburnya.
Perawi berkata, "Memberikan hadits kepada kami Marhab -atau Abu Marhab- bahwa mereka (Ali, Fadhl dan Usamah bin Zaid) ditambah Abdurrahman bin Auf yang turun ke liang kubur, setelah selesai, Ali berkata, "Yang berhak meletakkan (mayit) seseorang adalah keluarganya." (Shahih)
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ نَزَلَ فِي قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِمْ أَرْبَعَةً
Dari Abdurrahman bin Auf bahwa ia termasuk orang yang turun ke liang kubur Rasulullah SAW, ia berkata: Aku melihat jumlah mereka ada empat orang. (Shahih)silakan melihat keterangan sebelum hadits ini.
Doa Ketika Mayat Diletakkan di Liang Kuburnya
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا وَضَعَ الْمَيِّتَ فِي الْقَبْرِ قَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abdullah bin Umar bahwa ketika mayat diletakkan dalam kuburnya, Rasulullah SAW bersabda, "Dengan menyebut nama Allah dan (berpegang teguh) pada Sunnah Rasulullah SAW" {Shahih)
Meratakan Tanah Kubur
عَنْ أَبِي هَيَّاجٍ الْأَسَدِيِّ قَالَ بَعَثَنِي عَلِيٌّ قَالَ لِي أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا أَدَعَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتُهُ وَلَا تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتُهُ
Dari Abu Hayyaj Al Asadi, ia berkata: Ketika Ali mengutusku, dia berkata, "Aku mengutusmu atas dasar segala sesuatu yang telah Rasulullah SAW utus kepadaku, yaitu jangan meninggalkan gundukan kuburan kecuali aku sudah meratakannya, dan jangan pula tinggalkan patung kecuali aku sudah menghancurkan." (Shahih: Muslim)
أَبَا عَلِيٍّ الْهَمْدَانِيِّ حَدَّثَهُ قَالَ كُنَّا مَعَ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ بِرُودِسَ مِنْ أَرْضِ الرُّومِ فَتُوُفِّيَ صَاحِبٌ لَنَا فَأَمَرَ فَضَالَةُ بِقَبْرِهِ فَسُوِّيَ ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا
Dari Abu Ali Al Hamdani, ia berkata: Kami bersama Fadhalah bin Ubaid di daerah Rudis, Romawi. Seorang temanku meninggal dan Fadhalah memerintahkan untuk di kuburkan, lalu dia ratakan tanah kubur tersebut. Kemudian Fadhalah berkata, "Saya mendengar Rasulullah SAW memerintahkan supaya tanah (gundukan) kubur itu diratakan." (Shahih)
Usai Penguburan, Hendaknya Memohonkan Ampunan Untuk Mayat
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
Dari Utsman bin Affan, ia berkata: Ketika proses pemakaman mayat selesai, Rasulullah SAW berhenti sejenak (sebelum meninggalkan kubur), beliau bersabda,"Beristighfarlah (mohonkanlah ampunan) untuk saudara kalian (ini) dan mohonkanlah keteguhan iman untuknya, sesungguhnya ia sekarang ini sedang ditanyai (malaikat). "(Shahih)
Namun apa yang telah menjadi tradisi di lingkungan kita dan telah dilakukan oleh para ulama adalah terdiri dari 2 hal, yaitu mendoakan dan menghadiahkan bacaan al-Quran.
Dalil pertama:
عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ لَمَّا وُضِعَ عُمَرُ عَلَى سَرِيرِهِ اكْتَنَفَهُ النَّاسُ يَدْعُونَ وَيُصَلُّونَ -أَوْ قَالَ يُثْنُونَ وَيُصَلُّونَ- عَلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يُرْفَعَ وَأَنَا فِيهِمْ فَلَمْ يَرُعْنِى إِلاَّ رَجُلٌ قَدْ زَحَمَنِى وَأَخَذَ بِمَنْكِبِى فَالْتَفَتُّ فَإِذَا عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ فَتَرَحَّمَ عَلَى عُمَرَ ثُمَّ قَالَ مَا خَلَّفْتُ أَحَدًا أَحَبَّ إِلَىَّ أَنْ أَلْقَى اللهَ بِمِثْلِ عَمَلِهِ مِنْكَ وَايْمُ اللهِ إِنْ كُنْتُ لأَظُنُّ لَيَجْعَلَنَّكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مَعَ صَاحِبَيْكَ وَذَلِكَ أَنِّى كُنْتُ أَكْثَرُ أَنْ أَسْمَعَ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ «ذَهَبْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَدَخَلْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَخَرَجْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ». فَكُنْتُ أَظُنُّ لَيَجْعَلَنَّكَ اللهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ (ابن ماجه رقم 103)
“Ibnu Abbas berkata: Ketika janazah Umar diletakkan di atas keranda, maka orang-orang mengerumuninya, mendoakannya dan mensalatinya. Atau Ibnu Abbas berkata: Mereka memujinya dan mendoakan rahmat untuknya, sebelum janazahnya diangkat (ke kuburan), dan saya diantara kerumunan mereka. Saya tidak merasakan apa-apa kecuali seseorang yang berdesakan kepada saya dan memegang pundak saya, saya menoleh ternyata Ali bin Abi Thalib. Ali kemudian mendoakannya. Ia berkata: Saya tidak menggantikan seseorang yang paling saya cintai untuk bertemu dengan Allah yang seperti amalmu. Demi Allah saya menyangka Allah akan menjadikanmu bersama kedua sahabatmu (Rasulullah dan Abu Bakar). Saya sering mendengar Rasulullah Saw bersabda: Saya akan berangkat bersama Abu Bakar dan Umar. Saya akan masuk bersama Abu Bakar dan Umar. Dan Saya akan keluar bersama Abu Bakar dan Umar. Saya menyangka Allah akan menjadikanmu bersama kedua sahabatmu (Ibnu Majah 103)
Syaikh as-Sindi berkata:
قَوْله (يَثْنُونَ وَيُصَلُّونَ) أَيْ يَتَرَحَّمُونَ عَلَيْهِ وَيَحْتَمِل عَلَيْهِ بَعْد صَلاَةِ الْجَنَازَةِ (حاشية السندي على ابن ماجه - 1/89)
“Maksud perkataan Ibnu Abbas: ‘Mereka memujinya dan mendoakan rahmat untuknya’, bisa jadi dilakukan setelah salat janazah” (Hasyiah Ibni Majah 1/89)
Apa indikasi bahwa doa tersebut dilakukan setelah salat janazah? Yaitu perkataan Ibnu Abbas: “Sebelum janazahnya diangkat (ke kuburan)”. Dengan demikian melakukan doa setelah salat janazah adalah boleh, karena dilakukan para sahabat, termasuk Amiril Mu’minin Sayidina Ali bin Abi Thalib
Dalil kedua, terkait menghadiahkan pahala bacaan al-Quran setelah salat janazah dibenarkan oleh ulama Wahabi, Syaikh Abudllah al-Faqih:
هُنَاكَ عَادَةٌ فِي إِحْدَى مَنَاطِقِ الْجَزَائِرِ يَقْرَؤُوْنَ الْفَاتِحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ صَلاَةِ الْجَنَازَةِ وَأَنَا إِمَامٌ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ، فَبَعْدَ صَلاَةِ الْجَنَازَةِ أَنْصَرِفُ وَأَنَا فِي حَرَجٍ. فَهَلْ قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ عَلَى الْمَيِّتِ بِدْعَةٌ أَمْ هِيَ سُنَّةٌ؟
الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَمَّا بَعْدُ: فَالْتِزَامُ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ أَوْ غَيْرِهَا مِنْ سُوَرِ الْقُرْآنِ عَقِبَ صَلاَةِ الْجَنَازَةِ بِدْعَةٌ لَكِنْ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ، سَوَاءٌ الْفَاتِحَةُ أَوْ غَيْرُهَا وَإِهْدَاءُ ثَوَابِ قِرَاءَتِهَا إِلَى الْمَيِّتِ جَائِزٌ وَثَوَابُهَا يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ –إِنْ شَاءَ اللهُ- مَا لَمْ يَقُمْ بِالْمَيِّتِ مَانِعٌ مِنَ اْلاِنْتِفَاعِ بِالثَّوَابِ وَلاَ يَمْنَعُ مِنْهُ إِلاَّ الْكُفْرُ (فتاوى الشبكة الإسلامية معدلة رقم الفتوى 18949 حكم قراءة الفاتحة بعد صلاة الجنازة 3 / 5370)
“Pertanyaan: Ada sebuah tradisi di sebagian tempat yang membiasakan membaca al-Fatihah untuk mayit setelah salat Janazah, saya yang menjadi imam di masjid, setelah salat janazah saya langsung keluar, namun terasa terbebani. Apakah membaca Fatihah untuk mayit bid’ah atau sunah? Jawaban: Membaca al-Fatihah atau yang lain terus menerus setelah salat janazah adalah bid’ah, namun membaca al-Quran baik al-Fatihah atau lainnya, dan menghadiahkan bacaannya kepada mayit, akan sampai kepadanya –Insya Allah- selama tidak ada yang menghalanginya, yaitu kekufuran (beda agama).” (Fatawa al-Islamiyah 3/5370)
Sementara jawaban dalam fatwa yang mengatakan membaca al-Fatihah secara terus menerus dikatakan bid’ah adalah tidak benar. Sebab membaca al-Fatihah untuk orang yang telah wafat juga telah diamalkan oleh para ulama:
وَأَنَا أُوْصِي مَنْ طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا فِيْهِ مِنَ الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي غُرْبَةٍ بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ وَاْلأُمِّ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ الدُّعَاءِ لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير الرازي : مفاتيح الغيب 18 / 183)
"(al-Razi berkata) Saya berwasiat kepada pembaca kitab saya dan yang mempelajarinya agar secara khusus membacakan al-Fatihah untuk anak saya dan diri saya, serta mendoakan orang-orang yang meninggal nan jauh dari teman dan keluarga dengan doa rahmat dan ampunan. Dan saya sendiri melakukan hal tersebut" (Tafsir al-Razi 18/233-234)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar