Sebelum menjadi Desa Kaliurip, daerah ini merupakan tanah perdikan yang dikuasakan kepada Ki Demang Keti Widjoyo anak seorang abdi dalem Pangeran Benowo yang kemudian diikutsertakan ke Mataram setelah Putri Pangeran Benowo Ratu Dyah Banowati diperistri Raden Mas Jolang Putra Panembahan Senopati. Pada Tahun 1601, Raden Mas Jolang diangkat menjadi Raja Mataram ke 2 menggantikan ayahandanya dengan gelar Prabu Hanyokrowati.
Dalam penyerbuan Mataram ke Batavia yang dipimpin Tumenggung Bahurekso tahun 1628-1629, Keti Widjoyo mendapat tugas sebagai Demang yang mengurusi bagian logistik perang (perlengkapan dan bekal makanan). Lamanya peperangan membuat pasukan Mataram mengalami kelelahan akibat kehabisan bekal makanan serta serangan wabah penyakit malaria. Lebih dari Delapan ratus (800) prajurit gugur dalam perang besar yang berlangsung hampir satu tahun itu.
Setelah gagal menaklukkan Batavia, kondisi pasukan Mataram waktu itu sangat memprihatinkan, sehingga banyak dari mereka yang memutuskan tidak kembali ke Mataram dan menetap dibeberapa daerah. Akan tetapi meski tak lagi menjadi prajurit, kesetiaan mereka terhadap Mataram, tetap terpatri dihati hingga ajal menanti. Tak heran bila dikemudian hari para prajurit setia itu menjadi tokoh masyarakat (pepundhen) yang disegani dan dihormati hingga kini.
Begitu pula dengan Demang Keti Wijdoyo, ia memutuskan untuk pulang kembali ke Mataram melalui jalur pintas dengan memotong bukit Menoreh, sebuah bukit yang pernah dijadikan tempat kholwat (menyepi) Pangeran Benowo.
Untuk melepas lelah karena perjalan jauh, Ki Demang Keti Widjoyo memutuskan istirahat di pedukuhan sebelah barat sungai kodil. Kehadirannya disambut gembira dan suka cita oleh warga dengan jamuan makanan yang melimpah. Sikap Ki Demang yang santun dan rendah hati dalam berbaur, membuat Eyang Kromo Dipo (sesepuh dhukuh) meyakini bahwa dia seorang yang berilmu tinggi, ia pun meminta kepada Ki Demang dan beberapa prajurit lainnya untuk tinggal beberapa waktu guna berbagi pengalaman dan keilmuan kepada warga.
Ternyata keyakinan Eyang Kromo Dipo itu benar adanya. atas arahan Ki Demang, seorang prajurit telah berhasil mengajarkan warga cara mengolah kayu rotan (penjalin) menjadi perabotan rumah tangga yang mempunyai nilai jual tinggi. Karena banyaknya pembeli yang datang, dalam waktu singkat kerajinan Penjalin ini berkembang pesat dan menjadi penggerak ekonomi warga. Akhirnya prajurit itu dikenal dengan sebutan Kyai Penjalin. Makamnya ada di sebelah utara Masjid Poncol Kaliurip.
Dalam cerita lain disebutkan bahwa dia mempunyai senjata yang sangat ampuh berupa Penjalin Pethuk. Dengan Penjalin itulah banyak tentara belanda yang dibuat tidak berdaya. Sehingga dia dikenal dengan nama Mbah Kyai Penjalin.
Sungai (kali) Kodil yang selalu mengalir sepanjang musim, menjadi tempat para warga mencari ikan dengan cara gogoh (menyelam) atau memakai posong (perangkap ikan terbuat dari bambu), namun dengan cara ini hasilnya kurang maksimal. Ki Demangpun mempunyai ide untuk membuat alat tangkap ikan yang lebih praktis dan menghasilkan. Setelah melalui berbagai inovasi, terciptalah sebuah jaring (Jala) lempar dengan pemberat rantai besi yang menimbulkan bunyi krompyong Sehingga dinamai Jlamprong (Jala Krompyong). Karena keahliannya ini masyarakat memanggil pembuatnya dengan sebutan Mbah Kyai Jlamprong. Setelah meninggal tokoh hebat ini dikuburkan di pemakaman Jombor II dan dikenang sebagai tokoh (pepundhen) Desa Kaliurip.
Suatu ketika terjadi kemarau yang cukup panjang, sehingga banyak tumbuh-tumbuhan ternak yang mati. Sawah ladang mengering tak lagi bisa ditanami. Sehingga warga dan penduduk harus berjalan jauh untuk mengambil air untuk keperluan hidup, bahkan sungai kodil yang menjadi andalan airnya pun telah mengecil dan kotor akibat saking banyaknya penduduk yang beraktifitas disana.
Keadaan ini tentu menjadi keprihatinan beberapa tokoh (sesepuh) waktu itu. Berbagai cara dilakukan untuk bisa mendapatkan air, termasuk menggali batu besar yang menutupi mata air. namun tetap saja hasilnya nihil. Hingga suatu ketika seorang dari prajurit Mataram tersebut melakukan ritual semadi memohon petunjuk dari yang Maha Kuasa selama tujuh hari tujuh malam. Dalam semedinya ia mendapatkan petunjuk agar memecah sebuah batu di dekat sumber air. Setelah batu berhasil di-pecah-kan keluarlah air (Muncar) terus menerus (Ora Leren) hingga membentuk aliran sungai kecil yang dinamai Kalen Caren (Muncar Ora Leren). Atas jasanya tersebut masyarakat memanggilnya Mbah Kyai Pecaren. Makamnya di Pemakaman Dusun Krajan Kaliurip.
Setelah peristiwa itu masyarakat menyebut daerah ini kaliurip yang terdiri dari dua kosa kata kali dan urip. Kali yang berarti aliran air dan Urip yang berarti selalu mengalir. Menurut kiroto boso (kepanjangan kata) yang pernah diucapkan oleh Simbah Glondhong Karsosoediro (menjabat lurah selama 40 tahun dimasa penjajahan Belanda) waktu itu, menyebutkan bahwa Kaliurip berasal dari bahasa jawa Kaleurip (akale urip) (akalnya hidup – penuh ide) maksudnya bahwa karakter masyarakat Desa Kaliurip selalu mempunyai inisiatif, kreatif dan inovatif untuk menjaga, mengembangkan sekaligus menggapai jalan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan berbagai peristiwa yang menyertai sejarahnya penuh dengan inovasi dan ide kreatif. bila ditulis menggunakan huruf ejaan lama berbunyi “Kale – Oerip” yang kemudian dilafalkan secara sederhana menjadi Kaliurip.
Di masa penjajahan Belanda, tepatnya setelah Raden Adipati Aryo (RAA) Cokronegoro I dikukuhkan sebagai Bupati Purworejo pertama pada tanggal 22 Agustus 1831 Kaliurip menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Purworejo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar