Pada zaman dahulu ada seseorang yang bernama Mbah Fakih. Dia adalah seorang pendatang yang asalnya dari Wonokromo Surabaya. Mbah Fakih mempunyai keturunan Fakih I, Fakih II, Fakih III dan seterusnya seperti Paku Buwono I, Paku Buwono II, Paku Buwono III dan seterusnya. Akan tetapi dia bukan seorang raja. Pada waktu Belanda datang di Surabaya Mbah Fakih melawan Belanda tapi kalah. Akhirnya Mbah Fakih keplayu sampai di salah satu alas yang besar, dan juga Mbah Fakih diterima oleh masyarakat. Pada suatu saat di Keraton Yogyakarta kedatangan wabah penyakit yang penyakit itu sulit diobati. Dan penyakit yang ada di Keraton itu sudah didengar oleh semua warga Yogyakarta.
Tidak asing lagi biasanya apabila ada suatu kejadian, entah itu penyakit atau yang lain, apabila ada orang yang sekiranya asing belum pernah ketemu, orang itu dipanggil untuk melihat penyakitnya itu dan disuruh mengobatinya. Mbah Fakih dipanggil sampai di Keraton Yogyakarta. Mbah Fakih menghadap Sultan Keraton yang sedang sakit, dan Mbah Fakih diam sejenak, kemudian bilang kepada semua kerabat yang menungguinya, bahwa obatnya suruh membaca Surat Ikhlas, Surat Falaq, Surat An Nas serta Surat Al Fatihah tiga kali tiga kali dari habis shalat Asar, shalat Maghrib, dan shalat Isya’. Ternyata bacaan yang diberikan oleh Mbah Fakih itu mujarab, setelah dari seorang yang sakit itu dari Keraton dan pada punggawa Keraton itu membaca ternyata sakitnya sembuh. Kesembuhan dari Keraton Yogyakarta itu menjadikan Mbah Fakih terkenal dan kondang sampai di segala penjuru yang meminta berkah untuk mendapatkan solusi dari berbagai permasalahan orang hidup.
Sudah menjadi kebiasaan Kyai Muhammad Fakih (Mbah Fakih) dalam memberikan berkah dengan memberikan air yang sudah diberi doa oleh Mbah Fakih. Air itu bisa diminum oleh peminta berkah atau untuk mandi. Karena semakin repotnya kedatangan banyak tamu, maka Mbah Fakih membuat jimat yang jimatnya itu kemudian dibuang di salah satu tempuran di Sungai Opak dan Sungai Gajah Wong yang terletak di Dusun Wonokromo. Setelah membuang jimat itu Mbah Fakih wisuh dan mandi kemudian shalat di Masjid At Taqwa Wonokromo.
ASAL USUL WICORO WISUH MENJADI MISUH
Setiap tamu yang berdatangan karena banyaknya maka habis asar sampai habis Isya’ waktu tak terbatas dianjurkan oleh Mbah Fakih untuk datang di tempuran Sungai Opak untuk wisuh, dan berhubung waktu menjelang malam waktu dulu belum ada baterei apalagi listrik, maka dianjurkan membawa obor dari bambu. Begitu dia masuk ke sungai putra-putri menyingkapkan celana panjang mereka maupun baju roknya sehingga kena obor kelihatan macam-macam dan akhirnya pembicaraannya menjadi saru dan misuh.
KYAI MUHAMMAD FAKIH MENEMUKAN PETI
Disebutkan dimuka, bahwa setiap malam setelah shalat Isya’ Mbah Fakih mengajar ngaji di masjid sampai jam dua belas malam. Setelah itu Mbah Fakih pindah ke tempuran untuk mengaji ilmu tasawuf dan ilmu hikmah dan mempraktekkan dari ilmu hikmah itu, yang dalam bahasa jawa disebut olah kasantikan, yang diikuti oleh kedua orang sahabatnya, yaitu Kyai Pleret dari Kotagede Yogyakarta dan Kyai Sokopuro dari Blawong, Jetis.
Sudah menjadi agenda rutin tiap-tiap malam rabu, Mbah Fakih beserta dua orang sahabatnya itu melakukan ritual yang disebut riyadloh, kalau orang jawa disebut riyalat. Mereka bertiga menyusuri kali opak sampai laut selatan dengan naik rakit yang dibuat dari batang pisang (debog).
Secara kebetulan, pada malam rabu di akhir bulan syafar, sesampainya di muara sungai laut selatan (Sowangan), Mbah Fakih menemukan sebuah peti. Peti itu kemudian dibuka, ternyata isinya paket kekayaan, paket kekuatan fisik (karosan), dan paket ilmu agama islam. Mbah Fakih kemudian menawarkan kepada kedua orang sahabatnya itu untuk memilih paket yang mana untuk diambil dari ketiga paket itu. Kemudian Kyai Pleret dari Kotagede Yogyakarta memilih paket kekayaan, maka tidak elak lagi bahwa orang Kotagede rata-rata menjadi orang yang kaya (menjadi juragan), sedang Kyai Sokopuro dari Blawong memilih paket karosan, tak elak lagi orang-orang Blawong rata-rata menjadi orang yang kuat (roso), mereka banyak berprofesi mencari batu gunung untuk dibuat cengkurah. Cengkurah adalah dinding sumur, tidak disangsikan lagi banyak orang Blawong yang berprofesi sebagai tukang membuat sumur. Semakin lama batu gunung semakin habis, maka cengkurah itu diganti dengan bis beton. Tinggal paket terakhir, paket ilmu agama islam yang mau tidak mau menjadi pilihan Mbah Fakih. Tak elak lagi di Wonokromo banyak orang yang ahli agama islam atau dikenal sebagai banyak kyai. Tetapi pada saat ini di Wonokromo sudah banyak kyai yang meninggal dan generasi penerus kyai sudah tidak seperti yang diharapkan, maka Wonokromo sekarang sudah seperti dusun-dusun yang lain, banyak pendatang dari luar Wonokromo yang masuk dan tinggal di dusun Wonokromo membawa gemerlap kekayaan, sehingga orang Wonokromo lebih senang menjadi wong sugih daripada menjadi kyai.
ADANYA LEMPER
Karena kedatangan tamu yang tidak terhingga banyaknya, Mbah Fakih bingung mau disuguhin apa tamunya. Mbah Fakih mikir tamunya itu harus disuguhin makanan yang enak, lezat, edi, dan yang menjadi tamu itu kangen apa itu yaitu lemper dari kata di alem ya memper karena enaknya, lezatnya, dibuat dari ketan diisi daging sapi, sehingga tamunya menggembor-gemborkan lemper sampai kondang lemper Wonokromo. Pada waktu Mbah Fakih, lemper itu dibagikan karena pikiran Mbah Fakih membagi-bagikan lemper itu sodaqoh, dan akan menjauhkan dari bahaya dan segala penyakit yang artinya tolak balak tetapi waktu sekarang ini lemper digunakan salah kedaden, tidak untuk sodaqoh tetapi untuk pengembangan ekonomi. Sekarang ini waktu Rabu Pungkasan lemper tidak dibagi-bagikan, tetapi dijual.
Dalam kue lemper itu terdiri dari kulit, ketan, dan daging cincang. Orang akan mendapatkan kebutuhan hidup harus membersihkan segala yang tidak baik, tidak enak. Ibarat kue lemper orang akan dapat menikmati lezatnya kue lemper harus membuang kulitnya yang dibuat dari daun pisang itu. Kemudian orang akan dapat merasakan enaknya ketan. Orang tidak akan puas dengan hanya memakan ketannya, tetapi dia harus menikmati daging cincang yang sangat lezat yang ada di tengah-tengah ketan. Ibarat orang yang mendapat kebahagiaan hidup harus membuang yang tidak baik (diibaratkan kulit lemper dari daun pisang), kemudian dia akan segera merasakan enaknya hidup dengan menjalankan syare’at islam (ibarat ketan) dan kebahagiaan itu akan sempurna bila dia telah masuk ke tingkatan iman dan ma’rifatullah (ibarat daging cincang yang ada di tengah-tengah ketan, di tengah-tengah kue lemper).
Kue lemper dimasak dua kali. Hal ini melambangkan bahwa manusia akan mengalami “kematangan” ibadah kepada Allah SWT harus mengalami dua proses, yaitu syare’at dan hakekat.
ASAL MULA WONOKROMO
Awal berdirinya Desa Wonokromo bermula dari seorang tokoh yang bernama Kyai Mohammad Fakih. Beliau adalah seorang guru agama Islam. Dia bertempat tinggal di desa Ketonggo. Selain itu, ia senang membuat ‘Welit’ (atap rumbia) tapi terbuat dari daun ilalang bukan dari daun tebu. Karena hasil kerjanya itu ia dikenal dengan sebutan “Kyai Welit”. Welit-welitnya tidak terjual, hanya kalau ada orang membutuhkan diberikan begitu saja.
Pada suatu ketika Sultan Hamengkubuwono I hendak menemui Kyai Moh Fakih. Setelah bertemu, Sultan Hamengkubuwono I mengutarakan kehendaknya untuk menuntut ilmu atau “ngangsu kaweruh”. Namun Kyai Moh. Fakih merasa keberatan, karena pada prinsipnya beliau memberikan ilmu hanya kepada murid-muridnya. Maka setelah itu, Sultan Hamengkubuwono I menyamar sebagai utusan Sultan. Penyamarannya ini tidak diketahui oleh Kyai Moh. Fakih. Karena niatnya yang sungguh-sungguh agar diterima sebagai murid, maka permintaan itupun dikabulkannya. Pada saat itu Sultan meminta nasehat kepada Kyai Moh. Fakih tentang bagaimana negara menjadi aman. Kyai Moh. Fakih menasehatkan, pertama, agar Sultan melantik orang-orang yang dapat mengajar dan menuntun akhlak dan budi pekerti yang disebut “Pathok”. Saran tersebut disetujui oleh Sultan Hamengkubuwono I.
Pada tahun 1774 M Kyai Moh. Fakih dilantik menjadi kepala Pathok, Pengangkatan Kyai Moh. Fakih menjadi Kepala Phathok Negara itu hanyalah karena semata cinta dan asihnya dan jasa Kyai Moh. Fakih yang sangat besar terhadap negara. Dalam pengangkatannya eliau dianugerahi tanah perdikan di sebelah selatan Ketonggo, yang masih berupa hutan. Karena hutan tersebut banyak ditumbuhi pohon awar-awar, maka disebut “alas awar-awar”. Tanah anugrah Sultan yang masih berwujud hutan awar-awar itu kemudian dibuka dan kemudian didirikan sebuah masjid kecil.
Setelah masjid selesai dibangun, Kyai Moh. Fakih menghadap kepada Sultan untuk menyampaikan laporan bahwa di atas tanah perdikan itu sudah didirikan sebuah masjid. Atas amanat Sultan Hamengkubuwono maka hutan awar-awar yang sudah di buka dan sudah didirikan masjid itu diberi nama “WA ANA KAROMA” yang maksudnya “Supaya benar-benar Mulya” atau “Agar Mulya Sungguh-sungguh”. Dari nama “Wa Ana Karoma” tersebut kemudian berubah dan populer menjadi WONOKROMO.
KEMATIAN MBAH FAKIH
Tentang pemakaman, di salah satu pihak ada yang mengatakan bahwa Mbah Fakih itu adalah Sultan Pekik yang dimakamkan di Mbanyu Sumurup Imogiri.
Ada yang mengatakan Pangeran Seda Laut. Kenapa ada yang mengatakan Pangeran Seda Laut, itu ceritanya pada waktu salah satu sultan di Yogyakarta ingin naik haji dan pada waktu itu belum ada atau belum tahu bagaimana naik haji, oleh sultan, Mbah Fakih disuruh mengkajikan sultan, tetapi ketika di dalam perahu, perahu kena ombak sehingga Mbah Fakih mati di tengah laut sehingga diberi julukan Pangeran Seda Laut.
KENAPA RABU PUNGKASAN DIADAKAN PADA BULAN SYAFAR HARI RABU TERAKHIR?
Bahwa menurut agama islam, Allah menurunkan balak yang artinya tolak balak setiap hari, setiap seminggu sekali, sebulan sekali, dan setahun sekali, yang artinya tolak balak, siapa yang memberikan sodaqoh hartanya maupun makanannya, artinya bersodaqoh, Allah akan menjauhkan dari segala bahaya, dan memberikan panjang umur dan akan selamat di dunia dan akhirat. Kebetulan Allah menurunkan balaknya itu tepat pada bulan syafar hari rabu terakhir sehingga sampai sekarang Rabu Pungkasan diadakan setiap bulan syafar rabu terakhir.
Untuk mengembangkan wisata budaya di dalamnya ikut meramaikan acara Rabu Pungkasan, para pemuda dan pemudi didukung dari semua pihak, termasuk dukungan dari pihak dinas pariwisata, masyarakat mengadakan kirab budaya yang starnya dari Dusun Karanganom dan finisnya di Balai Desa Wonokromo yang di dalam kirab tadi ada :
1. Lemper yang besarnya luar biasa.
2. Dua gunungan.
3. Diiringi barisan prajurit.
Dan untuk meningkatkan syiar agama islam diikutsertakan beberapa kesenian diantaranya :
• Rodatan
• Sholawatan
• Hadroh
Serta diadakan lomba melukis bagi anak-anak dan lomba berbagai macam kesenian, sehingga menambah semaraknya kirab rabu pungkasan.
Selain itu di lapangan Wonokromo dari hari selasa pagi sampai rabu sore dipenuhi segala macam hiburan dan permainan untuk anak. Tak ketinggalan juga para pedagang, dari pedagang makanan, permainan anak-anak, dan kafetaria-kafetaria yang tak terhitung jumlahnya.
Demikianlah asal mula sejarah Rabu Pungkasan di Wonokromo Pleret Bantul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar