Dalam kehidupan sehari-hari sering kali seorang Muslim bersinggungan dengan barang-barang yang dianggap oleh fiqih sebagai barang najis, yang apabila barang najis ini mengenai sesuatu yang dikenakannya akan berakibat hukum yang tidak sepele. Batalnya shalat dan menjadi najisnya air yang sebelumnya suci adalah sebagian dari akibat terkenanya barang najis.
Sejatinya tidak setiap apa yang terkena najis secara otimatis menjadi najis yang tak termaafkan. Di dalam fiqih madzhab Syafi’i ada beberapa barang najis yang masih bisa dimaafkan dan ada juga yang sama sekali tidak bisa dimaafkan. Dalam fiqih, najis yang bisa dimaafkan dikenal dengan istilah “ma’fu”.
Termasuk syarat sah dan harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanaka shalat dalam kondisi normal adalah suci badan, pakaian serta tempat dari hadast dan najis. Persyaratan ini berlandaskan sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud:
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ، وَلَا صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُور
Artinya: “Allah tidak akan menerima sedekah dari hasil penipuan, dan juga (tidak akan menerima) shalat yang dilakukan dalam keadaan tidak suci.”
Mengingat pentingnya status “suci” inilah barangkali yang menjadikan teman-teman saudara cenderung berhati-hati dalam menghindari anggapan mereka tentang ke-najis-an suatu benda yang mungkin oleh sebagian orang dianggap berlebihan karena enggan datang ke masjid gara-gara masalah ini.
Jika darah tersebut merupakan darah yang keluar dari badannya sendiri dan keluar dengan sendirinya, maka darah tersebut dihukumi najis ma'fu (najis yang tidak wajib dibersihkan), baik darah tersebut sedikit ataupun banyak. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari jabir radhiyallahu 'anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَرُمِيَ رَجُلٌ بِسَهْمٍ، فَنَزَفَهُ الدَّمُ، فَرَكَعَ، وَسَجَدَ وَمَضَى فِي صَلاَتِهِ
"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang berada dalam suasana perang Dzatur Riqo', waktu itu ada seorang lelaki yang terkena panah hingga mengeluarkan banyak darah, kemudian orang tersebut ruku', sujud dan melanjutkan sholatnya". (Shahih Bukhari, 1/46)
Madzhab Hanafi
Abu Ja’far At-Thahawi dari Hanafiah mengatakan:
وإذا كان في ثوب المصلي من الدم أو القيح أو الصديد أو الغائط أو البول، أو ما يجري مجراهن من النجاسة أكثر من قدر الدرهم: لم تجزه صلاته
Dan apabila pada pakaian orang yang shalat ada darah atau nanah atau muntah atau kotoran besar atau kencing, atau yang serupa dengan itu dari benda-benda yang najis lebih besar dari koin dirham: maka tidak diperbolehkan (haram) dia mengerjakan shalat.
Kemudian dijelaskan rinci dalam madzhab ini, ukuran najis yang masih dimaafkan adalah:
Jika jenis najisnya adalah najis mughalladzah yang kering maka yang ditolerir adalah sebesar uang satu dirham, bila ditimbang beratnya adalah sekitar 2,975 gram.
Lalu, untuk najis yang basah tidak boleh lebih dari satu genggam tangan. Adapun dalil yang mereka pakai adalah perkataan Umar RA:
إذا كانت النجاسة قدر ظفري هذا لا تمنع جواز الصلاة حتى تكون أكثر منه، وظفره كان قريبا من كفنا
Apabila benda najis itu seukuran dengan kuku tanganku, maka tidak menjadi penghalang untuk melakukan shalat hingga melebihi dari ukurannya, dan sesungguhnya kuku Umar hampir seukuran dengan telapak tangan kami.
Jika jenis najisnya adalah najis ringan atau mukhaffafah, dan sampai kepada seperempat pakaian maka dilarang seseorang shalat menggunakan pakaian tersebut. Dalam kitab Al-Ikhtiyar li ta’lilil Mukhtar dikatakan:
والمانع من الخفيفة أن يبلغ ربع الثوب
Dan yang terlarang dari najis yang ringan adalah yang sampai seperempat pakaian.
Ini bermakna bahwa jika najis ringan tersebut kurang dari seperempat pakaian maka masih boleh melanjutkan shalat, sementara jika sudah sampai kepada seperempat sudah masuk kepada larangan.
Namun meskipun batas minimal tersebut ditolerir untuk mendirikan shalat, dalam Madzhab ini mengenakan pakaian tersebut untuk shalat dihukumi Makruh yang mendekati haram. Maka harus diusahakan untuk dibersihkan terlebih dahulu atau menggantinya dengan yang pakaian yang suci.
Madzhab Maliki
Dikatakan dalam madzhab ini:
يعفى عن نجاسة بقدر الدرهم البغلي، سواء كانت دماً أو قيحاً أو صديداً أو أي نجاسة أخرى
Dimaafkan dari najis dengan ukuran dirham baghli, sama halnya najis itu berupa darah, atau muntah, atau nanah, atau najis lainnya.
والمراد بالدرهم الدرهم البغلي أشار إليه مالك.. الدائرة التي تكون بباطن الذراع من البغل
Dan yang dimaksud dengan dirham yakni dirham bighali yang dimaksud oleh imam Malik, bagian yang ada di telapak kaki keledai.
Disimpulkan dari redaksi di atas bahwa ukuran najis yang masih dimaafkan adalah yang seukuran titik hitam pada telapak kaki keledai dan bila melebihi ukuran tersebut sudah diharamkan untuk mengenakannya saat shalat. Namun dalam keterangan lebih rinci, bahwa dalam madzhab ini yang ditolerir hanyalah najis berupa darah, nanah, muntahan, dan sejenisnya.
Dalam madzhab ini juga dimaafkan segala jenis najis yang susah dihindari ketika menuju shalat dan mulai memasuki masjid. Ibnu Rusyd dari Malikiyah, dalam kitabnya bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtashid menekankan bahwa sedikit atau banyaknya najis hukumnya adalah sama, kecuali darah dan sejenisnya.
Madzhab Syafi’i
Golongan madzhab ini sedikit lebih ketat daripada yang lain, secara garis besar tidak ada najis yang dimaafkan menurut mereka kecuali najis yang memang tidak bisa diindera oleh penglihatan normal kita, maka dikatakan:
وَأما مَا لَا يُدْرِكهُ الْبَصَر فيعفى عَنهُ وَلَو من النَّجَاسَة الْمُغَلَّظَة لمَشَقَّة الِاحْتِرَاز عَن ذَلِك
Adapun apa-apa yang tidak terlihat oleh penglihatan maka dimaafkan meskipun itu adalah najis yang mughalladzah karena hal tersebut susah dihindari.
Ditegaskan pula oleh imam Ibnu hajar Al haitami:
مَا لَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ لَا يُنَجِّسُ وَإِنْ كَانَ مِنْ مُغَلَّظٍ
Apa-apa yang tidak terlihat maka tidak menajiskan meskipun itu mughalladzah.
Selebihnya, pada darah, nanah, darah bisul, kudis, darah pencetan jerawat, bekas darah bekam, dan darah binatang yang tidak mengalir dimaafkan pada kadar yang sedikit. Dan sedikitnya itu dikembalikan kepada adat yang berlaku di masyarakat.
Najis ma'fu ialah najis yang diampuni, maksudnya benda itu tetap najis akan tetapi dihukumi tidak najis dikarenakan hanya sedikit, sulit dihilangkan dan lainnya.
Dalam Kitab Asbah Wannadhair disebutkan:
تقسيم النجاسات
أقسامأحدها : ما يعفى عن قليله وكثيره في الثوب والبدن وهو : دم البراغيث والقمل والبعوض والبثرات والصديد والدماميل والقروح وموضع الفصد والحجامة ولذلك شرطان
أحدهما : أن لا يكون بفعله ، فلو قتل برغوثا فتلوث به وكثر : لم يعف عنه
والآخر : أن لا يتفاحش بالإهمال فإن للناس عادة في غسل الثياب ، فلو تركه سنة مثلا وهو متراكم لم يعف عنه قال الإمام : وعلى ذلك حمل الشيخ جلال الدين المحلي قول المنهاج إن لم يكن بجرحه دم كثير .
الثاني : ما يعفى عن قليله دون كثيره وهو : دم الأجنبي وطين الشارع المتيقن نجاسته .
الثالث : ما يعفى عن أثره دون عينه وهو : أثر الاستنجاء ، وبقاء ريح أو لون عسر زواله .
الرابع : ما لا يعفى عن عينه ولا أثره وهو ما عدا ذلك .
تقسيم ثان ما يعفى عنه من النجاسة أقسام :
أحدها : ما يعفى عنه في الماء والثوب وهو : ما لا يدركه الطرف وغبار النجس الجاف وقليل الدخان والشعر وفم الهرة والصبيان . ومثل الماء : المائع ومثل الثوب : البدن
الثاني : ما يعفى عنه في الماء والمائع دون الثوب والبدن وهو الميتة التي لا دم لها سائل ومنفذ الطير وروث السمك في الحب والدود الناشئ في المائع .
الثالث : عكسه ، وهو : الدم اليسير وطين الشارع ودود القز إذا مات فيه : لا يجب غسله صرح به الحموي وصرح القاضي حسين بخلافه
الرابع : ما يعفى عنه في المكان فقط ، وهو ذرق الطيور في المساجد والمطاف كما أوضحته في البيوع ويلحق به ما في جوف السمك الصغار على القول بالعفو عنه لعسر تتبعها وهو الراجح .
pembagian-pembagian Najis diantaranya :
1. najis yg di ma'fu baik sedikit maupun banyaknya, baik di baju maupun di badan,
yaitu : darahnya kutu loncat, kutu rambut, nyamuk, jerawat, nanah, bisul, cacar dan darah tempatnya bekam.di ma'funya najis2 tsb dengan 2 syarat :
a) bukan atas perbuatan diri sendiri, jadi misalnya membunuh kutu kemudian darahnya mengotori baju dan banyak darahnya maka tdk di ma'fu.
b) tdk melampaui batas dalam membiarkannya, karena manusia mempunyai kebiasaan mencuci baju,jika baju ditinggalkan tanpa dicuci selama setahun misalnya, dan dibiarkan bertumpuk2 maka tdk dima'fu.
2. najis yg sedikitnya di ma'fu, jika banyak tdk dima'fu.
yaitu : darahnya orang lain dan tanah jalanan yg diyakini najisnya.
3. najis yg di ma'fu bekasnya dan tdk di ma'fu dzatiyahnya,
yaitu : bekas istinja' dan sisa bau atau warna najis yg sulit hilangnya.
4. najis yg tdk dima'fu dztiyah dan bekasnya.
yaitu selain najis2 yg disebut diatas.
pembagian2 najis yg di ma'fu :
1. najis yg di ma'fu di air dan baju.
yaitu : najis yg tdk terlihat pandangan mata, debu najis yg kering , sedikit asap, rambut, mulutnya kucing dan bayi.yg semisal air adalah benda cair, dan yg semisal baju adalah badan.
2. najis yg di ma'fu di air dan benda cair tapi tidak di ma'fu dibaju dan badan .
yaitu : bangkai hewan yg tidak mempunyai darah mengalir, lobang kotoran burung, kotoran ikan, dan cacing yg muncul dalam benda cair.
3. sebailknya kedua, dima'fu di baju dan badan tapi tdk di ma'fu di air dan benda cair.
yaitu : darah sedikit, tanah jalanan, ulat sutera jika mati didalamnya.maka tdk wajib membasuhnya sebagaimana penjelasan al hamawy , sedangkan penjelasan qodhi husain sebaliknya.
4. najis yg di ma'fu pada tempat saja.
yaitu : kotoran burung di masjid2 dan tempat towaf,dan di samakan dengannya yaitu sesuatu yg berada dalam perut ikan yg kecil .
Tambahan dari kitab At-taqrirat Assadidah:
التقريرات السديدة ج ١ ص ١٣٠.
أقسام النجاسات المعفو عنها أربعة :
١. ما يعفى عنه في الثوب و الماء و هو ما لا يدرك الطرف .٢. ما يعفى عنه في الثوب دون الماء كقليل الدم.٣. ما يعفى عنه في الماء دون الثوب : الميتة التي لا دم لها سائل كذباب و نمل.٤. ما لا يعفى عنه مطلقا : بقية المجاسات.
macam macam najis dari segi di ma'funya.
1. najis yg di ma'fu jika ada di baju dan badan yaitu najis yg sangat kecil yg tidak terlihat oleh mata.
2. najis yg di ma'fu di baju tapi tidak di ma'fu jika ada di air , yaitu : seperti darah yg sedikit.
3. najis yg di ma'fu di air tapi tidak di ma'fu jika ada di baju : seperti bangkai yg tidak mengalir padanya darah , seperti bangkai lalat dan semut.
4. najis yg tidak di ma'fu sama sekali yaitu selain dari pada najis yg telah di sebutkan di atas.
Tanah yang diragukan apakah telah terkena najis mughalladzah atau tidak, maka dihukumi sebagaiamana hukum asalnya, yakni suci dan bisa digunakan untuk shalat.
Dalil yang digunakan madzhab ini adalah keumuman redaksi dalil dalam Quran tentang kemudahan bagi umat Islam. Dan kemudahan itu diraih dengan kapasitas kemampuan maksimal.
Madzhab Hanbali
Dalam madzhab ini justru tidak ada maaf sama sekali, sedikit dan banyaknya dianggap sama. Dikatakan dalam madzhab ini:
وَلَا يُعْفَى عَنْ يَسِيرِ نَجَاسَةٍ وَلَوْ لَمْ يُدْرِكْهَا الطَّرْفُ
Dan tidak dimaafkan dari najis yang sedikit meskipun tidak diketahui oleh Indera.
Madzhab ini berdalil dengan keumuman dalil:
{وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ}
Dan pakaianmu maka sucikanlah (QS Al-Mudatsir: 4)
Namun, darah dan sejenisnya serta muntahan yang sedikit maka dimaafkan selama tidak bercampur dengan cairan, minuman, atau makanan, seperti halnya pendapat para imam yang lain. Maka orang yang shalat dengan pakaian berdarah yang sedikit, dan itu hanya setitik masih dimaafkan oleh madzhab ini.
Dalam al-Mughni dinyatakan,
والقيح والصديد وما تولد من الدم بمنزلته إلا أن أحمد قال : هو أسهل من الدم وروي عن ابن عمر والحسن إنهما لم يرياه كالدم
Nanah dan segala turunan darah, hukumnya seperti darah. Hanya saja, Imam Ahmad mengatakan, ‘Lebih ringan dari pada darah.’ Diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Hasan al-Bashri bahwa mereka berdua tidak menganggap sama antara nanah dengan darah. (al-Mughni, 1/762)
Ibnul Qoyim menyebutkan keterangan dari Imam Ahmad,
وقد سئل الإمام أحمد رحمه الله : الدم والقيح عندك سواء ، فقال : ” لا ، الدم لم يختلف الناس فيه ، والقيح قد اختلف الناس فيه ، وقال مرَّة : القيح والصديد عندي أسهل من الدم
Imam Ahmad ditanya, ‘Apakah darah dan nanah menurut anda sama?’
Jawab beliau, “Tidak sama. Darah tidak ada perbedaan pedapat bahwa itu najis. Sementara nanah, masih diperselisihkan ulama.” di kesempatan yang lain, beliau mengatakan, “Nanah, lebih ringan menurutku, dari pada darah.” (Ighatsah al-Lahafan, 1/151).
Sementara itu, Syaikhul Islam berpendapat, nanah tidak najis. Karena tidak ada dalil najisnya nanah. Beliau mengatakan,
لا يجب غسل الثوب والجسد من المِدَّة والقيح والصديد ، ولم يقم دليل على نجاسته
“Tidak wajib mencuci pakaian dan badan yang terkena nanah. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa itu najis.” (al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah, hlm. 26)
Ditolerir pula dalam madzhab ini percikan sedikit dari kencing orang yang menderita beser karena tingkat kesulitan yang dialaminya
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar