Translate

Rabu, 15 Agustus 2018

Mukmin Yang Kuat Lebih Dicintai Alloh

Nikmat agama merupakan karunia terbesar dari Allah kepada hamba-Nya. Tidak diberikan kecuali kepada siapa yang dicintai oleh-Nya. Berbeda dengan dunia, diberikan kepada siapa yang mendapat cinta Allah dan murka-Nya. Karena dunia bukan ukuran baik atau buruknya seseorang di sisi Allah Ta'ala.

Bentuk nikmat agama adalah iman kepada Allah Ta'ala. Diberikan kepada hamba-Nya laksana rizki. Satu dan yang lainnya berbeda. Ada yang banyak dan ada yang sedikit. Yang lebih banyak mendapat karunia ini lebih baik daripada yang lebih sedikit. Siapa yang kuat imannya ia lebih baik dan lebih dicintai oleh Rabb-nya daripada yang lemah. Namun, yang lemah tidak boleh diremehkan karena ia masih memiliki iman. Karena selama manusia masih memiliki iman ia berada dalam lingkup kebaikan.

Bertambahnya iman harus diusahan, yakni dengan menjalankan ketaatan. Sebaliknya lemahnya iman harus dihindarkan, yakni dengan meninggalkan kemaksiatan. Karena iman bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan sehingga ia akan kuat. Berkurang dengan sebab kemaksiatan sehingga ia melemah. Sedangkan iman menjadi ukuran seseorang mulia atau tercela.  

Diriwayatkan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَاَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلِّ خَيْرًا ، احرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجَزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيءٌ فَلاَ تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّ رَاللَّهُ وَمَاشَاءَ فَعَلَ ، فَإِنْ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda ‘Orang Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada orang Mukmin yang lemah. Masing–masing ada kebaikannya. Bersemangatlah untuk mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan menjadi orang lemah! Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah mengucapkan, ‘Seandainya saya berbuat begini tentu akan terjadi begini dan begitu’ tetapi katakanlah, ‘Allah telah menakdirkannya; apa yang telah dikehendaki-Nya pasti akan terjadi, karena sesungguhnya kata ‘seandainya’ itu membuka jalan bagi setan.”

Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664); Ahmad (II/366, 370); Ibnu Mâjah (no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627); at-Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsâr (no. 259, 260, 262); Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 356).

Penjelasan Tafsir Hadits

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ

Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan

Hadits ini mengandung beberapa perkara besar dan kata-kata yang memiliki arti luas. Di antaranya yaitu menetapkan adanya sifat mahabbah bagi Allâh Azza wa Jalla . Sifat ini terkait dengan orang-orang yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa mahabbah Allâh tergantung keinginan dan kehendak-Nya. Kecintaan Allâh kepada makhluk-Nya berbeda-beda, seperti kecintaan-Nya kepada Mukmin yang kuat lebih besar dari kecintaan-Nya kepada Mukmin yang lemah.

Hadits ini juga mencakup aqidah qalbiyyah (keyakinan hati), perkataan , dan perbuatan sebagaimana madzhab ahlus sunnah wal jamaah. Karena iman itu terdiri dari tujuh puluh cabang lebih, yang paling tinggi adalah kalimat LÂ ILÂHA ILLALLÂH, dan yang paling rendah yaitu menyingkirkan suatu yang mengganggu dari jalan. Dan malu itu merupakan cabang dari iman.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلْإِيـْمَـانُ بِـضْـعٌ وَسَبْـعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً ، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَـاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْـحَيَاءُ شُعْبَـةٌ مِنَ اْلإِيْمَـانِ

Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan LÂ ILÂHA ILLALLÂH, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman.

Cabang-cabang yang kembalinya kepada amalan-amalan bathin dan zhahir ini, semuanya termasuk bagian dari iman. Barangsiapa yang mengerjakannya dengan benar, memperbaiki dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, juga memperbaiki orang lain dengan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, maka dia adalah Mukmin yang kuat. Dalam diri orang seperti ini terdapat tingkatan iman yang paling tinggi. Siapa yang belum sampai pada tingkatan ini, maka dia adalah Mukmin yang lemah.

Hadits ini sebagai dalil para Ulama salaf bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang, sesuai dengan kadar ilmu dan amalan-amalannya.

Setelah menjelaskan bahwa Mukmin yang kuat lebih baik daripada Mukmin yang lemah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir Mukmin yang lemah imannya merasa tercela, karena itulah beliau melanjutkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ

Dan pada keduanya ada kebaikan

Dalam penggalan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Pada keduanya ada kebaikan.” ada faedah berharga, yaitu barangsiapa lebih mengutamakan seseorang atau amalan dengan yang lainnya, hendaknya dia menyebutkan sisi pengutamaannya serta berusaha menyebutkan keutamaan yang dimiliki oleh al-fâdhil (yang utama) dan al-mafdhûl (yang diutamakan atasnya), agar al-mafdhûl tidak merasa tercela.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kaum Mukmin itu berbeda-beda dalam kebaikan, kecintaannya kepada Allâh dan berbeda-beda derajatnya. Seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا

Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan [al-Ahqâf/46:19]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. [Fâthir/35:32]

Dalam ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla membagi orang Mukmin menjadi tiga bagian :
Pertama, as-Sâbiqûna bil khairât (Golongan yang senantiasa bergegas melakukan kebaikan). Mereka ini melakukan yang wajib dan yang sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh, menyempurnakan amalan-amalan yang dianjurkan. Mereka disebut memiliki sifat yang sempurna.

Kedua, al-Muqtashidûn (Golongan pertengahan). Yaitu mereka yang merasa cukup dengan mengerjakan yang wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang haram.

Ketiga, az-Zhâlimûna li anfusihim (Golongan yang menzhalimi diri sendiri). Yaitu mereka yang mencampur-adukkan perbuatan yang baik dengan perbuatan lain yang keji.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ

Bersungguh-sungguhlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu)

Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mengandung arti luas dan penuh manfaat, mencakup kebahagiaan dunia dan akhirat. Perkara-perkara yang bermanfaat itu ada dua macam yaitu perkara yang bermanfaat dalam agama dan perkara bermanfaat dalam hal keduniaan. Seorang hamba membutuhkan kebutuhan dunyawiyyah (keduniaan) sebagaimana dia membutuhkan kebutuhan diniyyah (keagamaan). Kebahagiaan seorang hamba dan kesuksesannya sangat ditentukan oleh semangat dan kesungguhannya dalam melakukan segala yang bermanfaat dalam urusan agama dan dunianya, serta keriusannya dalam memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla . Ketika semua unsur ini sudah terpenuhi, maka itu adalah kesempurnaan baginya dan sebagai tanda kesuksesannya. Namun, ketika dia meninggalkan salah satu dari tiga perkara ini (bersemangat, bersungguh-sungguh, dan meminta pertolongan Allâh), maka dia akan kehilangan kebaikan seukuran dengan perkara yang ditinggalkannya.

Orang yang tidak bersemangat dalam meraih dan melakukan hal-hal yang bermanfaat, bahkan bermalas-malasan, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena malas itu sumber kegagalan. Orang yang malas tidak akan mendapatkan kebaikan dan kemuliaan. Orang yang malas tidak akan bernasib baik dalam agama dan dunianya.

Dan ketika dia semangat, tetapi bukan pada hal-hal yang bermanfaat, seperti bersemangat pada sesuatu yang membahayakan dan menghilangkan kebaikan, maka ujung dari kesemangatannya itu adalah kegagalan, kehilangan kebaikan, mendapatkan keburukan dan kerugian. Berapa banyak orang yang bersemangat untuk meraih dan menempuh cara-cara dan hal-hal yang tidak bermanfaat, akhirnya ia tidak mendapat faedah apapun dari kesemangatannya itu selain hanya rasa lelah, payah dan susah.

Jika ada orang menempuh jalan-jalan yang bermanfaat, bersemangat dan bersungguh-sungguh padanya, namun tidak disertai dengan keseriusannya dalam memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla , maka hasil yang akan dipetiknya tidak maksimal. Jadi benar-benar bersandar kepada Allâh Azza wa Jalla dan memohon pertolongan kepada-Nya bertujuan agar bisa mendapatkan perkara yang bermanfaat itu secara maksimal. Orang seperti ini tidak hanya bertumpu pada dirinya, kedudukannya dan kekuatannya, tetapi ia bertumpu sepenuhnya kepada Allâh Azza wa Jalla .

Apabila seorang hamba bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , menyerahkan urusan hanya kepada Allâh, dan minta tolong hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh akan memudahkan urusannya, memudahkan segala kesulitannya, menghilangkan kesedihannya, memberikan hasil akhir yang baik dalam urusan agama dan dunianya.

Jika demikian keadaannya, berarti seseorang sangat dituntut untuk mengetahui hal-hal bermanfaat yang harus dilakukan dengan penuh semangat dan serius. Apa saja hal-hal yang bermanfaat itu ? Hal-hal yang bermanfaat dalam agama kembali kepada dua perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.

1. Ilmu Yang Bermanfaat
Ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang dapat mensucikan hati dan jiwa; Ilmu yang bisa menghasilkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang datang dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa aqîdah, tauhîd, hadîts, tafsîr, fiqh, dan ilmu-ilmu yang menunjang untuk mempelajari hal tersebut seperti ilmu bahasa arab.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan bahwa ilmu adalah ilmu yang berdasarkan dalil dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.

Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullah mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat membimbing seseorang kepada dua hal. Pertama, mengenal Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan segala yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, dan perbuatan-perbuatan yang maha agung. Ini menuntut adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap, dan tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla serta ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan. Kedua, mengetahui segala yang diridhai dan dicintai Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya, berupa keyakinan, perbuatan, baik yang lahir dan bathin serta ucapan. Ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk bergegas melakukan segala yang dicintai dan diridhai Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu-ilmu itu sudah melahirkan hal-hal ini pada diri pemiliknya, maka itulah ilmu yang bermanfaat. Ketika ilmu itu bermanfaat dan menancap dalam hati, maka sungguh, hati akan khusyu (tunduk), takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , jiwa merasa cukup dan puas dengan sesuatu yang halal meskipun sedikit dan merasa kenyang dengannya sehingga menjadikannya qanaah dan zuhud terhadap dunia…

Di antara contoh bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam sesuatu yang bermanfaat, yaitu seorang penuntut ilmu yang bersungguh-sungguh dalam menghafal ringkasan-ringkasan ilmu yang sedang dia tekuni. Jika dia ada udzur atau mengalami kesulitan dalam menghafalnya dengan dilafazhkan, hendaknya dia mengulanginya terus menerus, sambil merenungi maknanya, sampai maknanya itu benar-benar menempel dengan kuat dalam hatinya. Kemudian materi pelajaran yang lain seperti tafsîr, hadîts, dan fiqh, seperti itu juga. Karena sesungguhnya manusia jika telah menghafal yang pokok-pokok, dan dia telah mengetahuinya dengan sempurna, maka akan menjadi mudah baginya dalam menghafal dan mempelajari kitab-kitab tentang disiplin ilmu seluruhnya, baik yang kecil maupun yang besar. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui atau tidak menguasai yang ushûl (hal-hal yang pokok) maka dia akan bisa mendapatkan semuanya.

Barangsiapa yang bersemangat dalam hal yang telah disebutkan tadi, kemudian dia meminta pertolongan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menolongnya, memberkahi ilmunya dan memberkahi jalan yang dia tempuh.

Dan barangsiapa menuntut ilmu tidak dengan jalan yang bermanfaat, maka dia akan kehilangan waktu-waktunya dan dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali kepayahan. Jika Allâh Azza wa Jalla mempertemukannya dengan seorang pengajar yang memperbaiki jalannya dan pemahamannya, maka sempurnalah jalannya untuk mencapai ilmu.

2. Amal Shalih
Perkara yang kedua, yaitu amal shalih. Amal Shalih yaitu amalan yang memenuhi dua unsur yaitu ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dan ittibâ (mengikuti) contoh Rasul-Nya. Inilah amalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh. Juga keyakinan tentang penetapan sifat-sifat sempurna bagi Allâh, penetapan hak-hak-Nya dengan ibadah kepada-Nya, mensucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya, membenarkan atau mengimani berita-berita yang datang dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, baik tentang kejadian-kejadian yang telah berlalu ataupun yang akan datang, seperti tentang Rasul-rasul, Kitab-kitab, Malaikat-malaikat, keadaan-keadaan akhirat, surga, neraka, pahala, hukuman, dan lain-lain.

Kemudian seorang hamba berusaha melaksanakan yang diwajibkan Allâh, seperti hak-hak Allâh dan hak-hak makhluk-Nya. Dan dia menyempurnakannya dengan amalan-amalan yang sunnah, khususnya yang sunnah muakkadah (yang ditekankan), serta memohon pertolongan kepada Allâh dalam melakukan amalan tersebut. Juga dia mengerjakannya dengan ikhlas, tanpa dicampuri syirik, riya, dan tidak juga dengan tujuan-tujuan untuk kepentingan pribadi.

Begitu juga seorang hamba mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan meninggalkan perkara-perkara yang haram, khususnya perkara haram yang disenangi jiwa, kemudian dia mendekatkan diri kepada Rabb-nya dan meninggalkan perkara tersebut karena Allâh, sebagaimana dia mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan.

Ketika seorang hamba diberi taufik untuk menempuh jalan ini dalam beramal dan meminta pertolongan Allâh, maka dia telah beruntung dan sukses. Dan dia akan bisa meraih kesempurnaan sesuai dengan kadar perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla yang dikerjakannya dan larangan-larangan Allâh Azza wa Jalla yang ditinggalkannya.

Itulah dua hal yang bermanfaat dalam masalah agama, sedangkan perkara-perkara yang bermanfaat di dunia, yaitu seorang hamba wajib mencari rizki yang halal. Hendaknya dia menempuh jalan-jalan yang paling bermanfaat sesuai dengan keadaannya. Dia mencari rizki dengan tujuan untuk menunaikan kewajibannya dan kewajiban orang-orang yang menjadi tanggungannya. Dia merasa cukup dengan apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan dan tidak menggantungkan harapan kepada manusia.

Dalam berusaha dan mencari rizki Allâh Azza wa Jalla , dia juga berniat untuk mendapatkan sesuatu yang bisa dijadikan bekal beribadah kepada Allâh, seperti untuk menunaikan ibadah haji, mengeluarkan zakat, sedekah, infak, dan untuk menolong orang-orang yang susah. Dan dia melakukannya dari hasil yang baik dan halal, bukan dari hasil-hasil yang buruk dan diharamkan.

Ketika seorang hamba dalam usaha dan mencari rizkinya dengan tujuan seperti yang telah disebutkan di atas, dan dia menempuh jalan yang paling bermanfaat, maka usaha dan semua gerakannya menjadi amal shalih yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allâh Azza wa Jalla .

Di antara yang dapat menyempurnakan itu adalah hendaknya seorang hamba tidak hanya bergantung pada dirinya, kekuatannya, kecerdasannya, pengetahuannya, kecakapannya dalam mengetahui cara-cara dan tata usaha. Tetapi hendaknya dia meminta pertolongan kepada Rabb-nya dengan bergantung kepada-Nya, berharap kepada-Nya agar Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya perkara yang paling mudah dan paling berhasil, juga paling cepat membuatkan hasil. Dan meminta kepada Rabb-nya agar memberkahi rizkinya.

Berkah rizki yang pertama adalah hendaknya mencari rizki itu atas dasar takwa dan niat yang ikhlas. Dan yang termasuk berkahnya rizki yaitu seorang hamba diberi taufik (kesuksesan) dalam membelanjakan dan menginfakkan rizkinya sesuai dengan tempat-tempat yang wajib dan sunnah.

Termasuk dari berkahnya rizki juga seorang hamba tidak lupa akan kebaikan dalam bermuamalah, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu [al-Baqarah/2:237]

Yaitu dengan membantu orang yang tidak mampu, memberi kesempatan kepada orang yang sedang dalam kesulitan ekonomi untuk menunda pelunasan hutang jika dia memiliki berhutang, berkasih sayang sesama kaum Mukminin, mudah dalam transaksi jual beli dan berbagai kebaikan lainnya. Dengan ini, seorang hamba akan mendapatkan kebaikan yang banyak.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَلَا تَـعْجَـزْ

Janganlah sekali-kali engkau merasa lemah

Maksudnya lakukanlah segala yang bermanfaat itu dengan kontinyu ! Janganlah lemah dan lambat dalam melakukan amalan itu. Karena sesungguhnya waktu ini singkat sementara kesibukan-kesibukan sangat banyak. Jika seseorang terbiasa melakukan sesuatu yang bermanfaat pada awal waktu dan meminta pertolongan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka sesuatu yang bermanfaat itu akan lebih bermanfaat baginya.

Janganlah malas dan berlambat-lambat dalam beramal. Jika engkau telah memulai melaksanakan sesuatu yang bermanfaat, maka lanjutkanlah. Karena jika engkau tinggalkan amalan ini dan engkau melaksanakan amalan yang lain, maka pekerjaan itu tidak akan sempurna.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu !’ Tetapi katakanlah, ‘Ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki’, Karena ucapan “Seandainya” akan membuka (pintu) perbuatan syaitan.

Kemudian setelah seseorang mencurahkan kesungguhan dan kemampuannya dalam meraih segala yang bermanfaat, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan agar ridha dengan ketentuan dan takdir Allâh Azza wa Jalla .

Jika seorang hamba ditimpa sesuatu yang tidak ia sukai atau musibah yang pahit, maka hendaklah ia sabar dan ridha. Janganlah ia mengatakan, “Kalau seandainya saya berbuat begini tidak akan terjadi begini.” Hendaklah dia tenang dan sabar dengan ketetapan Allâh dan takdir-Nya, agar imannya bertambah, hatinya tenang dan jiwanya lapang. Karena sesungguhnya kata “seandainya” dalam keadaan seperti ini akan membuka peluang bagi setan dengan sebab berkurangnya keimanannya kepada takdir Allâh Azza wa Jalla , keberatan dengannya, membuka pintu kesedihan dan kesusahan yang dapat melemahkan hatinya.

Ketika kaum Muslimin tertimpa musibah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan agar mengucapkan :

قَدَّرَ الله ُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ

Allâh sudah takdirkan, dan Allâh berbuat menurut apa yang Dia kehendaki,

عَنْ طَاوُسٍ، أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُونَ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ، قَالَ: وَسَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ، أَوِ الْكَيْسِ وَالْعَجْزِ

Dari Thaawus, ia berkata : Aku berjumpa dengan orang-orang dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka berkata : “Segala sesuatu berdasarkan takdir”. Thaawus melanjutkan : Dan aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Segala sesuatu berdasarkan takdir hingga orang yang lemah dan orang yang cerdas, atau orang yang cerdas dan orang yang lemah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2655].

An-Nawawiy rahimahullah berkata menjelaskan makna hadits di atas:

وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْعَاجِز قَدْ قَدَّرَ عَجْزه ، وَالْكَيِّس قَدْ قَدَّرَ كَيْسه

“Maknanya, bahwa orang yang lemah telah ditakdirkan kelemahannya dan orang yang cerdas telah ditakdirkan kecerdasannya” [Syarh Shahiih Muslim, 16/205].

Ini termasuk metode efektif dan ampuh untuk meraih ketenangan jiwa, untuk menghasilkan qana’ah (merasa puas) dan kehidupan yang baik. Dan kehidupan yang baik ini yaitu semangat dalam perkara-perkara yang bermanfaat, bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya, meminta pertolongan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas apa yang telah dimudahkan untuknya, ia sabar dan ridha dengan apa yang terluput darinya dan dengan apa yang belum bisa ia peroleh.

Ketahuilah, bahwa penggunaan kata “Kalau seandainya” itu berbeda-beda sesuai dengan tujuannya. Jika digunakan untuk sesuatu yang telah lewat dan tidak mungkin kembali, maka ini membuka pintu setan bagi seorang hamba seperti yang telah dijelaskan.

Begitu juga jika digunakan untuk berangan-angan dalam kejelekan dan maksiat, maka ini tercela, dan pelakunya berdosa walaupun dia belum melakukannya. Karena sesungguhnya dia berangan-angan untuk melakukannya.

Adapun jika digunakan untuk berangan-angan dalam kebaikan atau mendapatkan ilmu yang bermanfaat, maka ini terpuji. Karena sesuatu yang menjadi sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuannya. Jika tujuannya baik, maka angan-angan itu terpuji, begitu sebaliknya.

Dan pokok yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -(yaitu perintah untuk semangat dalam hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi perkara-perkara yang membahayakan disertai dengan keseriusan memohon pertolongan kepada Allâh)- pengamalannya meliputi perkara-perkara khusus yang berkaitan dengan individu seorang hamba, juga perkara-perkara umum yang berkaitan dengan ummat pada umumnya.

Oleh karena itu, hendaklah kaum Muslimin bersemangat dalam perkara-perkara yang bermanfaat ! Hendaklah mereka berusaha melaksanakan semua yang bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat ! Hendaklah mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuh dengan segenap kemampuan yang sesuai dengan kekuatan lahir dan bathin ! Hendaklah mereka mencurahkan kesabaran mereka dalam perkara yang telah ditakdirkan Allâh untuk mereka, disertai dengan permohonan tolong kepada Allâh Azza wa Jalla untuk mewujudkannya dan menyempurnakannya, juga melawan semua yang bertentangan dengan itu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggabung dalam hadits ini antara iman kepada qadha dan qadar dengan amalan yang bermanfaat. Dua pokok ini telah ditunjukkan oleh al-Qur’ân dan Sunnah dalam banyak tempat, dan agama ini tidak akan sempurna kecuali dengan keduanya. Bahkan tidak sempurna perkara-perkara yang diniatkan kecuali dengan keduanya, karena sabda Nabi n , yang artinya, “Berkemauan keraslah dan bersemangatlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu !” adalah perintah untuk bersungguh-sungguh dan bersemangat, berniat ikhlas dan berkemauan tinggi; Sementara sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Dan mintalah pertolongan Allâh (dalam segala urusanmu) !” adalah iman kepada qadha dan qadar, juga perintah untuk bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla . Karena Allâh Azza wa Jalla adalah tempat sandaran yang sempurna dengan segala keadaan dan kekuatan-Nya dalam usaha meraih kebaikan-kebaikan dan menolak segala keburukan, disertai dengan keyakinan dan kepercayaan yang sempurna kepada Allâh Azza wa Jalla untuk mencapai keberhasilan dari usaha tersebut.

Orang yang mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dia bertawakkal kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara agama dan dunianya, juga melakukan amalan bermanfaat sesuai dengan kemampuannya, ilmunya dan pengetahuannya.

Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar