Translate

Rabu, 15 Agustus 2018

Tatacara Dalam Memberikan Nasehat Pada Penguasa

Menasehati penguasa yang zalim dengan berani mengatakan kebenaran termasuk jihad bahkan semulia-mulianya jihad. Namun dengan catatan di sini, menasehati mereka adalah dengan cara baik, bukan dengan mengumbar aib mereka di hadapan khalayak ramai dengan berdemo.

Seutama-utamanya Jihad, Jihad Melawan Penguasa Zalim

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Abu Daud Sulaiman bin Al Asy’ats As Sajistani membawakah hadits ini dalam kitab sunannya pada Bab “Al Amru wan Nahyu”, yaitu mengajak pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Abu ‘Isa At Tirmidzi membawakan hadits di atas dalam Bab “Mengingkari kemungkaran dengan tangan, lisan atau hati”. Muhammad bin Yazid Ibnu Majah Al Qozwini membawakan hadits di atas dalam Bab “Memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.” Begitu pula Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin membawakan hadits ini dalam Bab “Memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran”, beliau sebutkan hadits ini pada urutan no. 194 dari kitab tersebut.

Untuk itu kita harus memulai dengan memahami bersama bahwa memberikan nasihat kepada penguasa adalah sebuah perkara besar karena menyangkut kemaslahatan atau mafsadah total (menyeluruh) menyangkut masyarakat/rakyat. Di dalamnya terkait keamanan atau ketakutan rakyat serta terlindungi atau tertumpahkannya darah mereka.

Sehingga sangat mustahil bila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerangkan masalah yang demikian prinsip ini dan sangat dibutuhkan umatnya sepanjang mereka hidup, sementara di sisi lain beliau telah menerangkan perkara yang mungkin dianggap remeh oleh banyak orang seperti adab buang hajat.

Telah berkata Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami Shafwaan : Telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy dan yang lainnya, ia berkata : 'Iyaadl bin Ghanm pernah mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyaam bin Hakiim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga 'Iyaadl marah. Kemudian 'Iyaadl radliyallaahu ‘anhu tinggal beberapa malam, lalu Hisyaam bin Hakiim mendatanginya untuk memberikan alasan (apa yang telah ia perbuat sebelumnya kepada ‘Iyadl). Hisyaam berkata kepada 'Iyaadl : “Tidakkah engkau mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ’Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?’. 'Iyaadl bin Ghanm berkata : “Wahai Hisyaam bin Hakiim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat. Namun tidakkah engkau mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :‘Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan. Akan tetapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima, memang itulah yang diharapkan; namun jika tidak, maka orang tersebut telah melaksakan kewajibannya’. Engkau wahai Hisyaam, kamu sungguh orang yang lancang karena engkau berani melawan penguasa Allah. Tidakkah engkau takut jika penguasa itu membunuhmu lalu jadilah engkau orang yang dibunuh penguasa Allah tabaaraka wa ta'ala?” [Musnad Al-Imam Ahmad, 3/403-404].

Takhrij :

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnahno. 1096 dari jalan Baqiyyah bin Al-Waliid dan Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 4/1393 dari jalan Shadaqah bin ‘Abdillah Ad-Dimasyqiy; keduanya dari Shafwaan bin ‘Amru, selanjutnya seperti sanad di atas.

Keterangan ringkas perawi yang meriwayatkan hadits di atas :

1.      ‘Iyaadl bin Ghanm; ia adalah Ibnu Zuhair bin Abi Syaddaad bin Rabii’ah Al-Fihriy, seorang shahabat mulia yang ikut menyaksikan perjanjian Hudaibiyyah. Wafat pada tahun 20 H di Syaam [lihat Tajriid Asmaaush-Shahabah 1/431 no. 4669, Usudul-Ghaabah 4/315-317 no. 4161, dan Al-Ishaabah 5/50-51 no. 6135].

2.      Hisyaam bin Hakiim; ia adalah Ibnu Hizaam bin Khuwailid bin Asad Al-Qurasyiy Al-Asadiy, seorang shahabat mulia yang sangat bersemangat dalamamar ma’ruf nahi munkar. Beliau masuk Islam pada saat Fathu Makkah [Tajriidu Asmaaish-Shahaabah 2/120 no. 1362, Tahdziibul-Kamaal, 30/194-198 no. 6573, dan Al-Ishaabah 6/285 no. 8964].

3.      Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy. Al-‘Ijliy berkata : “Seorang tabi’iy dari Syaam yang tsiqah”. Duhaim berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah” [Tahdziibul-Kamaal, 12/446-448 no. 2726]. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah, akan tetapi banyak memursalkan hadits. Wafat setelah tahun 100 H” [Taqriibut-Tahdziib– bersama At-Tahriir 2/111 no. 2775].

4.      Shafwaan; ia adalah Ibnu ‘Amru bin Harim As-Saksakiy, Abu ‘Amr Al-Himshiy. Ahmad bin Hanbal berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Haatim mengatakan bahwa Yahyaa bin Ma’iin memujinya. ‘Amru bin ‘Aliy berkata : “Tsabt dalam hadits”. Al-‘Ijliy, Duhaim, Abu Haatim, An-Nasaa’iy, Ibnul-Mubaarak, dan yang lainnya mentsiqahkannya. [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 13/201-207 no. 2888]. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah” [Taqriibut-Tahdziib – bersama At-Tahriir 2/142 no. 2938].

5.      Abul-Mughiirah; ia adalah ‘Abdul-Qudduus bin Al-Hajjaaj Al-Khaulaaniy, Abul-Mughiirah Asy-Syaamiy Al-Himshiy. Ia seorang perawi tsiqah yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Al-Mughniy fii Ma’rifati Rijaal Ash-Shahiihain hal. 158 no. 1347].

Sanad hadits ini adalah lemah, karena keterputusan antara Syuraih dengan ‘Iyaadl dan Hisyaam.

Akan tetapi lafadh : “’Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia’ adalah shahih. Al-Imam Ahmad membawakan hadits dari jalan lain sebagai berikut :

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ وَجَدَ عِيَاضَ بْنَ غَنْمٍ وَهُوَ عَلَى حِمْصَ يُشَمِّسُ نَاسًا مِنْ النَّبَطِ فِي أَدَاءِ الْجِزْيَةِ فَقَالَ لَهُ هِشَامٌ مَا هَذَا يَا عِيَاضُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا

Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya Hisyaam bin Hakiim bin Hizaam mendapatkan 'Iyaadl bin Ghanm di Himsh menjemur rakyat jelata dalam masalah pembayaran jizyah. Lalu Hisyaam berkata kepadanya : “Wahai 'Iyaadl, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah tabaaraka wa ta’ala menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia’ [Al-Musnad, 3/404].

Sanad hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Muslim.

Al-Imam Muslim juga membawakan hadits semakna sebagai berikut :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ مَرَّ بِالشَّامِ عَلَى أُنَاسٍ وَقَدْ أُقِيمُوا فِي الشَّمْسِ وَصُبَّ عَلَى رُءُوسِهِمْ الزَّيْتُ فَقَالَ مَا هَذَا قِيلَ يُعَذَّبُونَ فِي الْخَرَاجِ فَقَالَ أَمَا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ فِي الدُّنْيَا

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Hisyaam bin Hakiim  bin Hizaam, ia berkata : Aku pernah melewati beberapa orang di Syam yang dijemur di bawah terik matahari sedangkan kepala mereka dituangi minyak. Kemudian Hisyam bertanya : “Mengapa mereka ini dihukum ?”. Dikatakan : “Mereka disiksa karena masalah pajak (kharaj)”. Hisyaam berkata : “Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia" [Shahih Muslimno. 2613].

Sedangkan lafadh hadits : ‘Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan. Akan tetapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima, memang itulah yang diharapkan; namun jika tidak, maka orang tersebut telah melaksakan kewajibannya’ ; maka ia mempunyai beberapa penguat sebagai berikut :

1.    Al-Imam Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (no. 1097) berkata :

حدثنا محمد بن عوف حدثنا محمد بن اسماعيل ثنا أبي عن ضمضم بن زرعة عن شريح بن عبيد قال قال جبير بن نفير قال قال عياض بن غنم لهشام بن حكيم أو لم تسمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : .....(الحديث)....

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil : Telah menceritakan ayahku, dari Dlamdlam bin Zur’ah, dari Syuraih bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah berkata Jubair bin Nufair, ia berkata : Telah berkata ‘Iyaadl bin Ghanm kepada Hisyaam bin Hakiim : “Tidakkah engkau pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘….(al-hadits)….”.

Muhammad bin ‘Auf adalah seorang tsiqah lagi haafidh. Muhammad bin Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, ia seorang perawi yang lemah. Abu Haatim mengkritiknya bahwa ia tidak pernah mendengar riwayat dari ayahnya. Sedangkan ayahnya (Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy) adalah perawi tsiqah dan haditsnya shahih jika ia meriwayatkan dari orang-orang Syaam atau penduduk negerinya. Jika ia meriwayatkan dari selain itu, maka dla’iif. Di sini, ia meriwayatkan hadits dari Dlamdlam bin Zur’ah, satu negeri dengan Ismaa’iil. Dlamdlam bin Zur’ah adalah perawi yang di-tautsiq Ibnu Ma’iin, Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisaa, Ibnu Hibbaan, dan Ibnu Numair. Namun Abu Haatim mendla’ifkannya. Perkataan yang benar, ia adalah perawi tsiqah. Adapun jarh Abu Haatim adalah jenis jarh mubham (tidak dijelaskan sebabnya), sehingga tidak diterima jika telah tetap pen-tautsiq-annya. Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy, ia adalah perawi tsiqah – namun disifati banyak memursalkan hadits. Jubair bin Nufair, ia perawi tsiqah lagi jaliil. Dikatakan, ia mendapati masa kepemerintahan Al-Waliid bin ‘Abdil-Malik (86 H). Antara Syuraih dan Jubair adalah semasa (mu’asharah), sehingga riwayat Syuraih ini dihukumi bersambung.

Kesimpulannya, riwayat ini lemah dari faktor Muhammad bin Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy.

Muhammad bin Ismaa’iil mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdul-Wahhaab bin Adl-Dlahhaak; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah hal. 2162 no. 5425 dari Muhammad bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad bin Hammaad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab bin Adl-Dlahhaak : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, selanjutnya seperti sanad di atas.

Namun sayangnya ‘Abdul-Wahhaab bin Adl-Dlahhaak adalah perawi matruuk [At-Taqriib – bersama At-Tahriir 2/397 no. 4257].

2.    Al-Imam Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (1098) berkata :

حدثنا محمد بن عوف ثنا عبد الحميد بن إبراهيم عن عبدالله بن سالم عن الزبيدي عن الفضيل بن فضالة يرده إلى ابن عائذ برده ابن عائذ إلى جبير بن نفير عن عياض بن غنم قال لهشام بن حكيم : ...........(الحديث).....

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim, dari ‘Abdullah bin Saalim, dari Az-Zubaidiy, dari Al-Fudlail bin Fadlaalah, ia mengembalikannya kepada Ibnu ‘Aaidz, dan Ibnu ‘Aaidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair, dari ‘Iyaadl bin Ghanm, ia berkata kepada Hisyaam bin Al-Hakiim : “…..(al-hadits)….”.

‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim adalah perawi lemah. Hapalannya tercampur setelah kitab-kitabnya hilang. ‘Abdullah bin Saalim Al-Asy’ariy, ia seorang perawi yang tsiqah. Az-Zubaidiy, ia adalah Muhammad bin Al-Waliid Az-Zubaidiy; seorang perawi tsiqah. Ibnu ‘Aaidz, ia adalah ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaidz Al-Azdiy; seorang perawi tsiqah.

Kesimpulannya, riwayat ini lemah dari faktor ‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim.

‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim mempunyai mutaba’ah dari ‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 17/367 no. 1007, Al-Haakim 3/290, dan Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 7/18-19 dari jalan Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, dari ‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy, dari ‘Abdullah bin Saalim, selanjutnya seperti sanad di atas.

Mengenai Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, Abu Haatim berkata : “Syaikh”. Ibnu Ma’iin memujinya dengan berkata : “Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bihi)” [Al-Jarh wat-Ta’diil 2/209 no. 711]. An-Nasaa’iy – sebagaimana dinukil Al-Mizziy – mengatakan : “Tidaktsiqah”. Namun dalam riwayat Ibnu ‘Asaakir sebagaimana yang dibawakan oleh Ibnu Badraan dalam At-Tahdziib (2/407), An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah, jika ia meriwayatkan dari ‘Amru bin Al-Haarits”. Jadi ketidaktsiqahan ini di-taqyid dalam periwayatan dari ‘Amru. Muhammad bin ‘Auf memutlakkan kedustaan terhadapnya. Abu Dawud mengikuti Muhammad bin ‘Auf dengan perkataannya : “Tidak ada apa-apanya”. Namun perkataan keduanya ini perlu ditinjau kembali, sebab Al-Bukhaariy (dalam Shahih-nya dengan periwayatan mu’allaq), Abu Haatim, Al-Fasaawiy, dan yang lainnya membawakan riwayatnya dimana tidak ada keraguan bahwa mereka tidaklah meriwayatkan dari para pendusta yang dikenal kedustaaannya. Al-Haakim (Al-Mustadrak 3/290) dan Ibnu Hibbaan (Ats-Tsiqaat 8/113) men-tautsiq-nya. Perkataan yang benar di sini adalah bahwa Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq adalah shaduuq; riwayatnya lemah jika berasal dari ‘Amr bin Al-Haarits.

Adapun ‘Amr bin Al-Haarits; Ibnu Hibbaan berkata : “Mustaqiimul-hadiits” [Ats-Tsiqaat, 8/480]. Jika Ibnu Hibbaan telah men-jazm-kan satu penta’dilan dalam Ats-Tsiqaat, maka ta’dil tersebut diakui. Adz-Dzahabiy mentsiqahkannya (Al-Kaasyif 2/73 no. 4136), sedangkan Ibnu Hajar mengatakan : “Maqbuul” [At-Taqriib – bersama At-Tahriir 3/89 no. 5001].

Hadits ini dengan keseluruhan jalannya adalah shahih li-ghairihi.

Nasihat dalam Islam menduduki tempat yang sangat penting, karena nasihat merupakan inti syari’at Allah yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya :

عَنْ تَميمٍ الدَّاريِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : (( الدِّينُ النَّصيحَةُ ثلاثاً )) ، قُلْنا : لِمَنْ يا رَسُولَ اللهِ ؟ قالَ : (( للهِ ولِكتابِهِ ولِرَسولِهِ ولأئمَّةِ المُسلِمِينَ وعامَّتِهم

Dari Tamiim Ad-Daariy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Agama itu nasihat” – tiga kali – . Kami (para shahabat) bertanya : “Kepada siapa wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda :“(Nasihat) kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 55, Al-Humaidiy no. 837, Ahmad 4/102, An-Nasaa’iy 7/156-157, Ibnu Hibbaan no. 4575, Abu ‘Awaanah 1/36-37, Ath-Thabaraaniy no. 1260 & 1263, Al-Baghawiy no. 3514, dan yang lainnya].

Hampir semua sisi Islam tersentuh dalam hadits nasihat di atas, termasuk dalam hal ini nasihat kepada penguasa kaum muslimin dan rakyatnya.

Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

وأما النصيحة لأئمة المسلمين فحب صلاحهم ورشدهم وعدلهم وحب اجتماع الأمة عليهم وكراهة افتراق الأمة عليهم والتدين بطاعتهم في طاعة الله عز وجل والبغض لمن رأى الخروج عليهم وحب إعزازهم في طاعة الله عز وجل

“Adapun nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin adalah dalam bentuk cinta kebaikan, petunjuk, dan keadilan mereka; cinta persatuan umat kepada mereka, benci perpecahan umat kepada mereka, mentaati mereka dalam taat kepada Allah ‘azza wa jalla, marah kepada orang yang keluar dari ketaatan terhadap mereka, dan cinta keperkasaan (kemauan keras) mereka dalam taat kepada Allah ‘azza wa jalla” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/232].

Al-Haafidh Ibnu Shalah rahimahullah berkata :

والنصيحة لأئمة المسلمين : معاونتُهم على الحق ، وطاعتُهم فيه ، وتذكيرهم به ، وتنبيههم في رفق ولطف ، ومجانبة الوثوب عليهم ، والدعاء لهم بالتوفيق وحث الأغيار على ذلك

“Nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin adalah membantu mereka di atas kebenaran, taat kepada mereka dalam hal tersebut, mengingatkan mereka kepada hal tersebut, menasihati/mengingatkan mereka dengan santun dan lemah lembut, tidak menyerang mereka, mendoakan kebaikan untuk mereka, dan lain-lain” [Lihat :Shiyaanatu Shahiih Muslim, hal. 223-224 – melalui perantaraan Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/233].

Inti nasihat kepada pemimpin kaum muslimin (dan juga kaum muslimin seluruhnya) adalah ajakan berbuat baik dan pelarangan dari perbuatan munkar. Ketika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan manusia untuk berbuat sesuatu, tentu akan turun pula petunjuk bagaimana melaksanakan sesuatu itu. Sungguh mustahil jika perkara yang besar tersebut tidak diatur oleh Syaari’; sedangkan dalam buang air kecil saja, Islam telah menerangkan adab-adabnya.

Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata saat menerangkan aturan umum Islam dalam menasihati kaum muslimin :

وكان السَّلفُ إذا أرادوا نصيحةَ أحدٍ ، وعظوه سراً حتّى قال بعضهم : مَنْ وعظ أخاه فيما بينه وبينَه فهي نصيحة، ومن وعظه على رؤوس الناس فإنَّما وبخه

“Adalah generasi salaf jika ingin menasihat seseorang, mereka menasihatinya secara rahasia, hingga salah seorang dari mereka berkata : ‘Barangsiapa menasihati saudaranya secara empat mata, itulah nasihat. Barangsiapa yang menasihatinya di depan manusia, sungguh ia sedang menjelek-jelekkannya” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/236, tahqiq : Dr. Muhammad Al-Ahmadiy Abun-Nuur; Daarus-Salaam, Cet. 2/1424 H, Kairo].

Al-Imam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :

من وعظ أخاه سراً فقد نصحه وزانه ، ومن وعظه علانية فقد فضحه وخانه

“Barangsiapa yang menasihat saudaranya secara sembunyi-sembunyi, sungguh ia telah menasihatinya sekaligus mempercantiknya. Namun, barangsiapa yang menasihati saudaranya secara terang-terangan (di hadapan orang banyak), sungguh ia telah membuka aibnya dan juga mengkhianatinya” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam  Hilyatul-Auliyaa’, 9/140].

Jika ini prinsip dasar dalam nasihat kepada kaum muslimin, lantas bagaimana halnya dengan pemimpin mereka yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda tentangnya :

السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ، فَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللهُ، وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللهُ.

“Sulthan (pemimpin kaum muslimin) adalah naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa yang memuliakannya, maka Allah akan muliakan pula ia. Dan barangsiapa yang menghinakannya, maka Allah akan hinakan pula ia”[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim no. 1024; hasan lighairihi. Lihat Dhilaalul-Jannah hal. 492; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 1/1400] ?

Tentu saja apa yang dianjurkan untuk dilakukan kepada kaum muslimin lebih ditekankan lagi kepada pemimpin mereka.

Islam telah memberikan syari’at yang penuh hikmah dalamkaifiyah menasihati penguasa muslim. Satu syari’at yang menjadi ciri Ahlus-Sunnah dalam meredam fitnah dan menginginkan kebaikan yang luas bagi kaum muslimin.

عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ قِيلَ لِأُسَامَةَ لَوْ أَتَيْتَ فُلَانًا فَكَلَّمْتَهُ قَالَ إِنَّكُمْ لَتُرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ إِنِّي أُكَلِّمُهُ فِي السِّرِّ دُونَ أَنْ أَفْتَحَ بَابًا لَا أَكُونُ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ

Dari Abu Waail ia berkata : Dikatakan kepada Usaamah (bin Zaid) : “Seandainya engkau temui Fulan (yaitu 'Utsmaan bin 'Affaan radliyallaahu 'anhu) lalu kamu berbicara dengannya". Usaamah berkata : "Sesungguhnya kalian telah memandang bahwa aku tidak berbicara dengannya kecuali aku perdengarkan kepada kalian semua. Sungguh aku sudah berbicara kepadanya secara rahasia, sedangkan aku tidak ingin membuka satu pintu (fitnah) dimana aku menjadi orang yang pertama membukanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. dan Muslim no. 2989].

Usaamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu tidak ingin menjadi sumber fitnah baru di kala banyak kaum muslimin terfitnah oleh dusta yang dihembuskan kaum munafikin pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu, dimana beliau dan para pejabat yang mendampinginya dituduh telah banyak melakukan penyelewengan (dan sungguh jauh sangkaan mereka itu – Abu Al-Jauzaa’).

Sebagian kaum muslimin menyangka bahwa nasihat yang diberikan kepada penguasa secara sembunyi-sembunyi (rahasia) adalah jika kesalahan penguasa tersebut juga dilakukan sembunyi-sembunyi. Jika tidak, maka boleh menasihatinya secara terang-terangan – bahkan mencelanya – berdasarkan hadits :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullahshallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang yang menampak-nampakkannya. Dan sesungguhnya diantara menampak-nampakkan (dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata : 'Wahai fulan semalam aku telah melakukan ini dan itu, ' padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6069 dan Muslim no. 2990].

Ini keliru, bertentangan dengan apa yang dipahami para shahabat radliyallaahu ‘anhum. Hadits Abu Hurairah di atas adalah hukum umum, sedangkan hadits ‘Iyaadl bin Ghanm telah men-takhshish-nya. Bukankah kekeliruan ‘Iyaadl bin Ghanm yang diingkari Hisyaam bin Hakiim jenis kekeliruan yang nampak lagi tidak tersembunyi ? Setelah menyadari kekeliruannya akibat pengingkaran Hisyaam tersebut, ‘Iyaadl pun mengingkari kaifiyah pengingkaran (nasihat) tersebut karena ia anggap bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah untuk menasihati penguasa secara sembunyi-sembunyi (rahasia). Setelah itu, Hisyaam bin Hakiim pun tunduk dan menerima hadits yang disampaikan ‘Iyaadl sebagai wujudtaslim-nya kepada sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” [QS. Al-Ahzaab : 36].

Perhatikan pula riwayat berikut :

عن سعيد بن جبير قال قلت لابن عباس آمر إمامي بالمعروف قال إن خشيت أن يقتلك فلا فإن كنت فاعلا ففيما بينك وبينه

Dari Sa’iid bin Jubair ia berkata : Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas : “Apakah aku perlu mengajak pemimpinku kepada kebaikan ?”. Ibnu ‘Abbaas menjawab : “Jika engkau takut ia akan membunuhmu, maka tidak usah. Namun jika kamu memang harus melakukannya, maka lakukanlah (ajakan/nasihat tersebut) hanya antara engkau dan ia saja” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 7186, Ibnu Abi Syaibah 15/75, dan Ibnu Abid-Dunyaa dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyi ‘anil-Munkar hal. 113; shahih].

Perhatikan pula riwayat berikut :

عَنْ سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ قَالَ لَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى وَهُوَ مَحْجُوبُ الْبَصَرِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ قَالَ لِي مَنْ أَنْتَ فَقُلْتُ أَنَا سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ قَالَ فَمَا فَعَلَ وَالِدُكَ قَالَ قُلْتُ قَتَلَتْهُ الْأَزَارِقَةُ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْأَزَارِقَةَ لَعَنَ اللَّهُ الْأَزَارِقَةَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كِلَابُ النَّارِ قَالَ قُلْتُ الْأَزَارِقَةُ وَحْدَهُمْ أَمْ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا قَالَ بَلَى الْخَوَارِجُ كُلُّهَا قَالَ قُلْتُ فَإِنَّ السُّلْطَانَ يَظْلِمُ النَّاسَ وَيَفْعَلُ بِهِمْ قَالَ فَتَنَاوَلَ يَدِي فَغَمَزَهَا بِيَدِهِ غَمْزَةً شَدِيدَةً ثُمَّ قَالَ وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ

Dari Sa'iid bin Jumhaan ia berkata : Aku menemui Abdullah bin Abi Aufaa, ketika itu ia tidak bisa melihat. Kemudian aku mengucapkan salam atasnya. Ia bertanya : "Siapakah engkau?". Aku menjawab : "Aku adalah Sa'iid bin Jumhaan." Ia bertanya lagi : "Apakah yang dilakukan oleh ayahmu?". Aku menjawab : "Ia telah dibunuh oleh kelompok Al-Azariqah." Ia pun berkata, "Semoga Allah melaknati kelompok Al-Azariqah. Semoga Allah melaknati kelompok Al-Azariqah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami, bahwa mereka itu adalah anjing-anjingnya neraka". Aku bertanya : "Apakah hanya kelompok Al-Azariqah saja, ataukah semua kaum Khawarij?". Ia ia menjawab : "Ya, benar. Semua kaum Khawarij". Aku berkata : "Sesungguhnya para penguasa tengah mendhalimi rakyat dan berbuat tidak adil kepada mereka". Akhirnya Abdullah bin Abi Aufa menggandeng tanganku dan menggenggamnya dengan sangat erat, kemudian berkata : "Duhai celaka kamu wahai Ibnu Jumhaan. Hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham, hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham. Jika engkau ingin penguasa itu mendengar nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah dia apa-apa yang kamu ketahui hingga ia menerimanya. Jika tidak, maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/382-383; hasan].

Inilah yang seharusnya diamalkan oleh kaum muslimin dalam muamalahnya terhadap penguasa muslim.

Al-Haafidh Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :

وقوله ومناصحة أئمة المسلمين هذا ايضا مناف للغل والغش فإن النصيحة لا تجامع الغل إذ هي ضده فمن نصح الأئمة والأمة فقد برئ من الغل وقوله ولزوم جماعتهم هذا ايضا مما يطهر القلب من الغل والغش فإن صاحبه للزومه جماعة المسلمين يحب لهم ما يحب لنفسه ويكره لهم ما يكره لها ويسوؤه ما يسؤوهم ويسره ما يسرهم وهذا بخلاف من انجاز عنهم واشتغل بالطعن عليهم والعيب والذم لهم كفعل الرافضة والخوارج والمعتزلة وغيرهم فإن قلوبهم ممتلئة نحلا وغشا ولهذا تجد الرافضة ابعد الناس من الاخلاص اغشهم للائمة والامة واشدهم بعدا عن جماعة المسلمين

“Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘dan nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin’; hadits ini mengandung pengertian menghilangkan sifat iri dan dengki, karena nasihat tidak mungkin bersatu dengan kedengkian, bahkan ia (nasihat) adalah lawannya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menegakkan nasihat kepada para imam dan rakyat biasa, berarti dia telah terlepas dari sifat dengki. Adapun sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘dan tetap berpegang kepada al-jama’ah mereka’; ini juga termasuk satu hal yang bisa membersihkan hati dari sifat iri dan dengki. Karena pelakunya, dengan menetapi jama’ah kaum muslimin, berarti dia mencintai mereka sebagaimana cintanya kepada diri sendiri. Dan akan menyakitkannya apa yang membuat mereka sakit. Akan membuatnya mudah (lapang) apa yang memudahkan mereka. Hal ini berbeda jauh dengan keadaan orang yang menentang (membelot) dari imam dan menyibukkan diri dengan celaan-celaan kepada mereka, serta (membeberkan) aib dan menghinakan mereka, seperti tindakan Rafidlah, Khawarij, Mu’tazillah, dan yang sejenis dengan mereka; karena hati mereka telah dipenuhi dengan rasa dengki. Oleh karena itu kamu akan dapati bahwa Rafidlah adalah sejauh-jauh manusia dari rasa ikhlash dan sedengki-dengki manusia terhadap para penguasa dan rakyat jelata, serta sejauh-jauh manusia dari jama’ah kaum muslimin….” [Miftah Daaris-Sa’adah, 1/72-73; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].

Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits Usaamah radliyallaahu ‘anhumaa:

قال المهلّب : أرادوا من أسامة أن يكلم عثمان، وكان من خاصته، وممن يختلف عليه في شأن الوليد بن عقبة، لأنه كان ظهر عليه ريح نبيذ، وشهر أمره، وكان أخا عثمان لأمه، وكان يستعمله، فقال أسامة : (قد كلمته سراً دون أن أفتح بابًا) أي : باب الإنكار على الأئمة علانية، خشية أن تفترق الكلمة .

وقال عياض : مراد أسامة : أنه لا يفتح باب المجاهرة بالنكير على الإمام؛ لما يخشى من عاقبة ذلك، بل يتلطّف به، وينصحه سرًا، فذلك أجدر بالقبول

“Telah berkata Muhallab : ‘Mereka menginginkan agar Usaamah berbicara dengan ‘Utsmaan karena Usaamah termasuk orang yang dekat dengan ‘Utsmaan, dan berselisih dengannya dalam perkara Al-Waliid bin ‘Uqbah karena tercium darinya bau khamr, dan telah masyhur perkara tersebut. Ia (al-Waliid) juga merupakan saudara seibu ‘Utsmaan dan ‘Utsmaan mengangkatnya sebagai salah satu pegawainya. Usamah berkata : ‘Sungguh aku telah mengajaknya berbicara akan tetapi aku tidak mau membuka sebuah pintu’. Artinya pintu pengingkaran kepada penguasa secara terang-terangan karena khawatir akan memecah-belah persatuan.

‘Iyaadl berkata : ‘Maksud Usaamah adalah ia tidak mau membuka pintu terang-terangan dalam mengingkari seorang pemimpin karena khawatir akibat buruk yang ditimbulkanya. Akan tetapi ia bersikap lemah-lembut kepadanya (‘Utsmaan) dan menasihatinya secara diam-diam. Yang demikian tentu lebih dapat diterima” [Fathul-Baariy, 13/52].

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :

ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله وقد قدمنا في أول كتاب السير هذا أنه لا يجوز الخروج على الأئمة وإن بغوا في الظلم أي مبلغ ما أقاموا الصلاة ولم يظهر منهم الكفر البواح والأحاديث الواردة في هذا المعنى متواترة ولكن على المأموم أن يطيع الإمام في طاعة الله ويعصيه في معصية الله فإنه لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق.

“Akan tetapi, barangsiapa yang mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian permasalahan, sudah selayaknya menasihati tanpa mempermalukannya di hadapan khalayak umum. Namun caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits :“Hendaklah ia mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”. Telah kami paparkan diawal buku As-Siyar bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam (pemerintah) kaum muslimin walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun selama mereka menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalahmutawatir. Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk mentaati imam dalam ketaatan kepada Allah dan mendurhakainya bila ia mengajak bermaksiat kepada Allah. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq” [As-Sailul-Jarar, hal. 965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].

Ibnun-Nahhaas rahimahullaah berkata :

وَيَخْتَارُ الْكَلَامَ مَعَ السُّلْطَانِ فِي الْخَلْوَةِ عَلَى الْكَلَامِ مَعَهُ عَلَى رُؤُوسِ الْأَشْهَادِ، بَلْ يَوَدُّ لَوْ كَلَّمَهُ سِرًَّا، وَنَصَحَهُ خُفْيَةً مِنْ غَيْرِ ثَالِثٍ لَهُمَا.

“Dan hendaknya (seseorang) memilih pembicaraan (dalam rangka nasihat) kepada penguasa di tempat yang bebas/jauh dari khalayak. Bahkan lebih disukai kalau ucapan itu disampaikan secara sembunyi-sembunyi dan menasihatinya dengan diam-diam tanpa orang ketiga antara keduanya” [Tanbiihul-Ghaafiliin, hal. 64].

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar