Translate

Minggu, 17 Maret 2019

Jangan Debat Berkepanjangan Dan Hindarilah Debat Kusir

Suatu ketika ada beberapa sahabat yang sedang berdebat tentang takdir, ketika Rasulullah sholallahu alaihi wa salam melewati mereka, Beliau pun sangat marah. Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (no. 85) meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu anhu dengan sanad yang dikatakan hasan shahih oleh Imam Al Albani, bahwa beliau rodhiyallahu anhu berkata :

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَصْحَابِهِ، وَهُمْ يَخْتَصِمُونَ فِي الْقَدَرِ، فَكَأَنَّمَا يُفْقَأُ فِي وَجْهِهِ، حَبُّ الرُّمَّانِ مِنَ الْغَضَبِ، فَقَالَ: «بِهَذَا أُمِرْتُمْ، أَوْ لِهَذَا خُلِقْتُمْ، تَضْرِبُونَ الْقُرْآنَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ، بِهَذَا هَلَكَتِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ»

Rasulullah sholallahu alaihi wa salam melewati para sahabatnya, mereka sedang “ngotot-ngototan” tentang permasalahan takdir. Maka Nabi sholallahu alaihi wa salam pun seolah-olah di wajahnya pecah biji delima (memerah wajahnya –pen.) karena saking marahnya, lalu bersabda : “dengan inikah kalian diperintahkan, atau karena inilah kalian diciptakan, kalian membenturkan satu ayat Al Qur’an dengan lainnya. Dengan sebab inilah binasa umat-umat sebelum kalian”.

Hadits yang senada diriwayatkan juga oleh Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu dalam riwayat Imam Tirmidzi.

Asy-Syaikh Ubaidillah bin Muhammad al-Mubarokfuriy dalam kitabnyaMuroo’atul Mafaatiih Syarah Misykatul Mashoobiih (1/201) berkata :

فالمقصود من الحديث الزجر والمنع من التكلم في القدر والخوض فيه لعدم الفائدة فيه سوى السؤال والمناقشة يوم القيامة

Maksud dari hadits adalah larangan dari membincangkan masalah qodar dan mendalam-ndalam padanya, karena tidak ada faedahnya, selain pertanyaan dan perdebatan pada hari kiamat-selesai-.

Oleh karena itu sebaiknya kita tinggalkan perdebatan dalam masalah agama yang tidak ada faedah didalamnya. Bahkan sekalipun kita di pihak yang benar, tetap meninggalkan perdebatan adalah jalan yang terbaik. Nabi sholallahu alaihi wa salam sampai memberikan garansi kepada umatnya yang mampu meninggalkan perdebatan, sekalipun ia benar dengan rumah di surga. Beliau sholallahu alaihi wa salam bersabda :

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Saya menjamin rumah di surga bawah, bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar; dan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan berdusta, sekalipun untuk bercanda; serta rumah di surga atas bagi orang yang bagus akhlaknya (HR. Abu Dawud).

Umar Bin Khattab berkata :

لا يجد عبد حقيقة الإيمان حتى يدع المراء وهو محق ويدع الكذب في المزاح وهو يرى أنه لو شاء لغلب

“Seseorang tidak akan merasakan hakikat iman sampai ia mampu meninggalkan perdebatan yang berkepanjangan meskipun ia dalam kebenaran, dan meninggalkan berbohong meskipun hanya bercanda padahal ia tahu seandainya ia mau ia pasti menang dalam percebatan itu”
(Kanzul Ummal juz 3 hal 1165)

Imam Ishaq bin Isa berkata :

المِراء والجِدال في العلم يَذهبُ بنور العلم من قلب الرجل

“Imam Malik bin Anas mengatakan : “Debat kusir dan pertengkaran dalam masalah ilmu akan menghapuskan cahaya ilmu  dari hati seseorang”

Imam Ibnu Wahab berkata : “Aku mendengar Imam Malik bin Anas mengatakan :

المراء في العلم يُقسِّي القلوب ، ويورِّث الضغن

“Perdebatan dalam ilmu akan mengeraskan hati dan menyebabkan kedengkian”
(Jaami’ al Uluum wak Hikam 11/16)

Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, halaman 147) menjelaskan larangan debat berkepanjangan sebagai berikut:

وعليك بالحذر من المراء والجدال فإنهما يوغران الصدور ويوحشان القلوب ويولِّدان العداوة والبغضاء فإن ماراك أوجادلك محِقٌّ فعليك بالقبول منه, لأن الحق أحق أن يتبع, أو مبطل فعليك بالإعراض عنه, لإنه جاهل والله تعالى يقول: "واعرض عن الجاهلين

Artinya: “Jangan sekali-kali melibatkan dirimu dalam perdebatan berkepanjangan, sebab hal itu akan mengobarkan kemarahan, merusak hati, menimbulkan permusuhan, dan membangkitkan kebencian. Apabila seseorang mendebatmu dengan suatu kebenaran, terimalah, sebab kebenaran selalu lebih patut diikuti. Apabila ia terus mendebatmu dengan suatu kebatilan, berpalinglah dan tinggalkan orang itu, sebab ia adalah seorang jahil, sedangkan Allah SWT telah berfirman, “Berpalingklah dari orang-orang jahil.”

Dari kutipan diatas dapat diuraikan larangan debat berkepanjangan disebabkan berpotensi menimbulkan hal-hal negatif seperti berikut:

Pertama, mengobarkan kemarahan di salah satu atau kedua belah pihak. Hal ini bisa terjadi jika salah satu pihak mulai tidak fokus pada topik pembicaraan tetapi sudah menyerang secara verbal pada pribadi pihak lainnya. Sikap marah dari salah satu pihak biasa dibalas dengan sikap yang sama oleh pihak lainnya.  

Kedua, merusak hati kedua belah pihak karena masing-masing terbakar emosinya. Emosi yang tak terkendali pada akhirnya akan menghilangkan akal masing-masing. Keadaan makin parah ketika masing-masing pihak mulai menggunakan okol (otot) dari pada akal sehingga yang terjadi kemudian adalah adu kekuatan fisik dan bukannya adu mulut.

Ketiga, menimbulkan permusuhan di antara kedua belah pihak karena pihak yang awalnya merasa menang secara retoris bisa jadi pada akhirnya mengalami kekalahan secara fisik. Hal ini terjadi ketika pihak yang kalah secara retoris ternyata memiliki kekuatan fisik yang lebih kuat. Permusuhan bisa makin melebar jika pihak-pihak yang berdebat merupakan representasi dari suatu kelompok tertentu sehingga menyulut solidaritas kelompok.

Keempat, menumbuhkan kebencian di antara kedua belah pihak yang sewaktu-waktu dapat membakar emosi mereka. Kebencian yang tak bisa dipadamkan pada akhirnya akan menjadi bara dendam kesumat dan berpotensi melanggengkan permusuhan baik di antara individu yang berdebat maupun anggota kelompoknya.

Untuk menghindari hal-hal negatif diatas, Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad sangat menekankan agar kita memiliki sportivitas dalam berdebat, yakni bersikap jujur terhadap suatu kebenaran dari pihak lain. Artinya jika pihak lain itu ternyata pendapatnya memang benar, maka secara jujur kita harus bersedia mengakui dan menerimanya. Sikap semacam ini sangat terpuji karena kebenaran dari manapun asalnya harus diterima dan diikuti tanpa memandang siapa yang menyatakannya.

Sebaliknya, apabila kita menyakini bahwa pendapat kita benar dan pihak lawan bicara pendapatnya salah karena kejahilannya, maka sebaiknya kita segera meninggalkan orang itu karena tidak sepatutnya kebenaran dikaburkan oleh kejahilan dan apalagi dikalahkan oleh kebatilan. Dengan cara seperti ini, maka debat berkepanjangan dapat dihindari sehingga tidak menimbulkan hal-hal negatif sebagaimana disebutkan di atas. Anjuran meninggalkan pihak yang jahil ini sejalan dengan perintah Allah SWT di dalam Al-Qur’an, surah Al-A’raf, ayat 199, “Waa’ridh ‘anil jahilin(Berpalinglah dari orang-orang jahil)."

Jika sudah tidak nyaman dalam perdebatan seperti ini, sebaiknya segera tinggalkan saja karena bukan manfaat yang akan kita dapat, melainkan justru madhorot. Bukan ukhuwwah yang kita raih, melainkan kebencian dan kedengkian yang kita peroleh.

لاَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَلاَ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلاَ تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ

“Janganlah kalian mencari ilmu untuk menandingi para ulama atau untuk mendebat orang-orang bodoh atau agar bisa menguasai pertemuan dan majlis-majlis.  Barangsiapa yang berbuat seperti itu, maka neraka baginya, neraka baginya.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Majah dan Al Hakim, beliau menyatakan bahwa hadits ini Shahih dengan para periwayat yang terpercaya sesuai dengan syarat-syarat Imam Muslim)

Akhiron

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah aku berlindung  kepada-Mu dari lemahnya hati dan kemalasan, sifat pengecut, kikir, kepikunan dan dari azab kubur.”

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا

“Ya Allah limpahkan pada hatiku ketaqwaan kepada-Mu dan sucikanlah ia sesungguhnya Engkau lah sebaik-baik Yang Mensucikan hati. Engkau lah pelindung hatiku dan Yang Paling dicintainya.”

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari Ilmu yang tidak bermanfaat,  hati yang tidak pernah tenang, nafsu yang tidak pernah merasa puas dan dari do’a yang tidak pernah dikabulkan.”
(HR Bukhari & Muslim)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar