Translate

Rabu, 09 Januari 2019

Iman Adalah Perbuatan

Termaktub Dalam Hadits

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Suhail, dari ‘Abdullah bin Diinaar dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Iman itu ada tujuh puluh, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan : Laa ilaha illallaah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah salah satu cabang dari iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 35].

Hadits di atas menjelaskan bahwa cabang-cabang atau bagian-bagian iman itu tidaklah berada dalam satu tingkatan. Sebagian lebih utama daripada sebagian yang lain. Dan termasuk ‘aqidah Ahlus-Sunnah adalah bahwa iman terbagi menjadi pokok (al-ashl) dan cabang (al-far’u).

Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :

وقال جمهور أهل الإرجاء الإيمان هو فعل القلب واللسان جميعا
 وقالت الخوارج الإيمان فعل الطاعات المفترضة كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح
وقال أهل الجماعة الإيمان هي الطاعات كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح غير أن له أصلا وفرعا

“Dan jumhur orang Murji’ah berkata : iman itu perbuatan hati dan lisan seluruhnya. Orang-orang Khawarij berkata : iman itu semua perbuatan ketaatan yang diwajibkan, dengan hati, lisan, dan anggota tubuh (jawaarih). ...... Dan Ahlus-Sunnah berkata : iman itu seluruh ketaatan yang dilakukan oleh hati, lisan, dan seluruh anggota badan, dimana ia mempunyai pokok (al-ashl) dan cabang (al-far’)” [Al-Iimaan, 1/331].

Apa yang dimaksud ashlul-iimaan ??

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

قالَ تعالى ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ [فاطر : 32] ، فالمسلمُ الّذي لم يقمْ بواجبِ الإيمانِ هوَ الظّالمُ لنفسِه ، والمقتصدُ هوَ المؤمنُ المُطلقُ الّذي أدّى الواجبَ وتركَ المحرّم ، والسابقُ بالخيراتِ هوَ المُحسِنُ الّذي عبَدَ اللهَ كأنّه يراه

“Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar’ (QS. Faathir : 32). Muslim yang tidak menegakkan kewajiban iman, maka ia disebut orang yang dhalim terhadap dirinya sendiri. Orang yang pertengahan (al-muqtashid) adalah orang yang mempunyai keimanan mutlak (al-mu’minul-muthlaq) yang menunaikan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Adapun orang yang bersegera dalam kebaikan, ia adalah seorang muhsin yang menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/358].

Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah ketika menjelaskan golongan pertama (adh-dhaalimu li-nafsihi) yang disebut Syaikhul-Islaam di atas, berkata :

وهم الذين تجرءوا على بعض المحرمات ، وقصروا فيِ بعض الواجبات مع بقاء أصل الإيمان معهم

“Mereka adalah orang yang berani mengerjakan sebagian yang diharamkan dan kurang/lalai dalam mengerjakan sebagian kewajiban, bersamaan dengan keberadaan pokok iman (ashlul-iimaan) bersamanya” [At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 92].

Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :

فأصله المعرفة بالله والتصديق له وبه وبما جاء من عنده بالقلب واللسان مع الخضوع له والحب له والخوف منه والتعظيم له مع ترك التكبر والاستنكاف والمعاندة فإذا أتى بهذا الأصل فقد دخل في الإيمان ولزمه اسمه وأحكامه ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب المحارم

“Dan pokok iman adalah : ma’rifat kepada Allah, membenarkan-Nya dan apa-apa yang datang dari-Nya dengan hati dan lisan, dengan ketundukan kepada-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, mengangungkan-Nya. Serta meninggalkan kesombongan, penolakan, dan penentangan. Apabila seseorang mempunyai pokok iman ini, maka ia masuk dalam (wilayah) iman, dan mengkonsekuensikan padanya akan namanya (yaitu mukmin) dan hukum-hukumnya. Dan tidak sempurna iman seseorang hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu adalah hal-hal yang diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan, 1/331-332].

Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

ومعلومٌ أنّ الجنة إنما يستحقّ دخولها بالتصديق بالقلب مع شهادة اللسان، وبهما يخرجُ من يخرجُ من أهل النار فيدخلُ الجنة.

“Dan telah diketahui bahwasannya surga hanyalah berhak dimasuki dengan adanya tashdiiq (pembenaran) hati dan syahaadat lisan. Dan dengan keduanya lah dikeluarkan penduduk neraka yang kemudian masuk ke dalam surga” [Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 1/112].

Tashdiq dengan hati dan pengikraran syahadat dengan lisan itulah ashlul-iimaan sebagaimana perkataan para ulama di atas.

Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita” [QS. Al-Ahqaaf : 13].

حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَيْرُ بْنُ هَانِئٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي جُنَادَةُ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ "

Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Al-Fadhl: Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid, dari Al-Auza’iy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Umairah bin Haani’, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Junaadah bin Abi Umayyah, dari ‘Ubaadahradliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang bersyahadat/bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah utusan-Nya; dan (bersyahadat/bersaksi) bahwasannya ‘Iisaa adalah hamba dan utusan-Nya, serta kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, dan ruh daripada-Nya; dan (bersaksi) bahwasannya surga itu benar, neraka adalah benar; maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga betapa pun amal yang telah diperbuatnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3435].

Dari perkataan para imam di atas – yang merupakan interpretasi ‘aqidah Ahlus-Sunnah – dapat dipahami bahwa hukum kekafiran tidaklah tetap – dari sisi meninggalkan (at-tarku) – dengan kesepakatan (ijmaa’), hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan.

Timbul pertanyaan :

Apakah amal jawaarih (anggota badan) bukan termasuk bagian dari ashlul-imaan ?.

Menurut jumhur Ahlus-Sunnah : Tidak. Amal jawaarih termasuk bagian dari furuu’ul-iimaan, dan ia adalah penyempurnanya (kamaalul-iimaan).

Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :

ذهبَ أكثرُ أصحابِ الحديثِ إِلىَ أنّ اسمَ الإيمانِ يجمَعُ الطاعاتِ كلِّها فرضِها ونفلِها ، وأنّها عَلى ثلاثةِ أقسامٍ :
فقِسمٌ يكفُرُ بتركِه وَهُوَ اعتقادُ ما يجِبُ اعتقادُه وإقرارٌ بِما اعتقدَه .
وقِسمٌ يفسُقُ بتركِه أو يعصِي ولاَ يكفُرُ بهِ إذا لَم يجحَدْه وَهُوَ مفروضُ الطّاعاتِ كالصّلاةِ والزّكاةِ والصّيامِ والحَجّ واجتنابِ المحارِمِ .
وقِسمٌ يكونُ بتركِه مخطِئاً لِلأَفضَلِ غيرَ فاسِقٍ ولاَ كافِرٍ وَهُوَ ما يكونُ مِن العبادَاتِ تَطوّعاً

“Jumhur ahlul-hadiits berpendapat bahwa nama iman itu mengumpulkan semua ketaatan, baik yang wajib/fardlumaupun yang sunnah. Dan iman itu terbagi menjadi tiga bagian : Pertama, bagian yang mengkafirkan apabila ditinggalkan, yaitu i’tiqaad terhadap semua hal yang diwajibkan i’tiqaad-nya, serta mengikrarkan apa-apa yang di-i’tiqad-kannya itu. Kedua, bagian yang menyebabkan kefasiqan atau bermaksiat apabila ditinggalkan, namun tidak menyebabkan kekafiran apabila ia tidak mengingkarinya. Hal itu adalah ketaatan-ketaatan yang diwajibkan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan menjauhi yang diharamkan. Ketiga, bagian yang bila ditinggalkan menjadikan seseorang keliru/terluput akan hal-hal yang lebih utama, tanpa menyebabkan kefasikan ataupun kekafiran. Hal itu seperti pada ibadah-ibadah tathawwu’(sunnah)” [Al-I’tiqaad, hal. 202].

Bagian pertama yang dikatakan Al-Baihaqiy adalah ashlul-imaan – sebagaimana menjadi bahasan - , karena sesuatu yang menyebabkan kafirnya seorang muslim apabila ditinggalkan hanyalah ashlul-iimaan sebagaimana telah lewat penjelasannya. Bagian kedua dan ketiga adalahfuruu’ul-iimaan yang tidak menyebabkan kekafiran jika ditinggalkan.

Al-Imaam Al-Marwadziy rahimahullah berkata :

لأن البي صلى الله عليه وسلم سمّى لإيمانَ بالأصل وبالفروع، وهو الإقرارُ، والأعمال....... فجعلَ أصلَ الإيمانِ الشهادة، وسائرَ الأعمال شُعباً، ثمّ أخبرَ أنّ الإيمان يكمل بعد أصلهِ بالأعمالِ الصّالحة....

“Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakan iman dengan ashl (pokok) dan furuu’ (cabang); dan ia adalah iqraar dan amal-amal…… Dan beliau menjadikanashlul-iimaan syahadat, dan menjadikan seluruh amal cabang-cabang. Kemudian beliau mengkhabarkan bahwasannya iman disempurnakan setelah pokoknya dengan amal-amal shaalihah….” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/711-712].

Dan telah lewat perkataan Ibnu Mandah rahimahullah :

ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب المحارم

“Dan tidak sempurna iman seseorang hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu adalah hal-hal yang diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan, 1/331-332].

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

الدّينُ القائمُ بالقلبِ من الإيمانِ علماً وحالاً هو الأصل ، والأعمالُ الظّاهرةُ هي الفروعُ  ، وهي كمالُ الإيمانِ

“Agama yang tegak dengan keimanan di hati secara ilmu dan keadaannya, merupakan pokok. Dan amal-amaldhaahir merupakan cabang-cabang (iman), dan ia adalah kesempurnaan iman” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/354].

Dikuatkan pula oleh beberapa perkataan ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan amal jawaarihsebagai berikut :

Al-Imaam Asy-Syaafi’iy berkata – sebagaimana dinukil oleh Asy-Syiiraaziy rahimahumallah - :

الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق ينجو من الخلود النار ويدخل في الجنة

“Iman itu adalah tashdiiq, iqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja, maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian) masuk ke dalam surga” [‘Umdatul-Qaari’, 1/175].

Tentang riwayat Al-Imaam Ahmad rahimahullah, anaknya – Shaalih bin Ahmad – berkata :

سألت أبي عمن يقول : الإيمان يزيد وينقص، ما زيادته ونقصانه ؟. فقال : زيادته بالعمل ونقصانه بترك العمل، مثل تركه : الصلاة والحج وأداء الفرائض......

Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang berkata : ‘Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Apakah penambahan dan pengurangannya ?’. Ia (Ahmad) menjawab : ‘Penambahannya adalah dengan amal dan pengurangannya adalah dengan meninggalkan amal. Contoh meninggalkan amal adalah : shalat, haji, dan penunaian berbagai kewajiban....” [Masaailu Al-Imaam Ahmad bi-Riwayaat Abil-Fadhl Shaalih, 2/119].

Al-Imaam Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata :

الإيمان والإسلام اسمان لمعنين : فالإسلام : عبارة عن الشهادتين مع التصديق بالقلب. والإيمان : عبارة عن جميع الطاعات؛ خلافا لمن قال : الإسلام والإيمان سواء إذا حصلت معه الطمأنينة

“Iman dan Islam itu adalah dua nama untuk dua makna. Islam adalah perkataan/ungkapan dari dua kalimat syahadat bersamaan dengan pembenaran/tashdiiq dengan hati. Dan iman adalah perkataan/ungkapan dari seluruh ketaatan. Hal ini berbeda dengan orang yang mengatakan bahwa Islam dan iman itu sama (maknanya) apabila terdapat bersamanya thuma’niinah” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/406].

حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ مرفوعا : حَتَّى إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًالَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهَرُ الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَلَا تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ إِلَى الشَّجَرِ مَا يَكُونُ إِلَى الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُثُمَّ يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ لَكُمْ فَيَقُولُونَ رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا

Telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'iid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Hafsh bin Maisarah, dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha' bin Yasaar, dari Abu Sa'iid Al-Khudriy secara marfu’ : “…… Sehingga ketika orang-orang mu'min terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah di dalam menuntut al-haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka; “Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat biji jagung, keluarkanlah’. Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali”. Abu Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan kalian baca ayat : ‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS. An-Nisaa’ : 40). Allah lalu berfirman : ‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafa’at. Sekarang yang belum memberikan syafa’at adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan. Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan berwarna putih". Para sahabat kemudian bertanya : "Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah orang-orang badui ?”. Beliau melanjutkan : "Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang pernah mereka amalkan dan kebaikan yang mereka lakukan. Allah kemudian berfirman : ‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu akan kalian miliki’. Mereka pun menjawab : ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari penduduk bumi’. Allah kemudian berfirman : ‘(Bahkan) apa yang telah Kami siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali berkata : ‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua!’. Allah menjawab : "Ridla-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 302].

Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

والمرادُ بقولِه «لُم يعملُوا خَيراً قَط» مِن أعمالِ الجَوارِح ، وإن كانَ أصلُ التَّوحِيد معَهُم ، ولِهذَا جاءَ في حديثِ الّذِي أمرَ أهلَه أن يحرِقوُه بعدَ موتِه بالنّارِ إنه «لم يعَمَل خَيراً قَط غيرَ التَّوحِيد»

“Dan yang dimaksudkan dengan sabda beliau : ‘tidak beramal kebaikan sedikitpun’, yaitu dari amal-amal jawaarih(anggota badan), apabila ashlut-tauhiid (pokok tauhid) ada pada mereka. Oleh karena itu ada pada hadits yang mengkisahkan seseorang yang memerintahkan keluarganya agar membakarnya dengan api setelah kematiannya, bahwasannya ia tidak beramal kebaikan sedikit pun selain tauhiid” [At-Takhwiif minan-Naar, 1/259].

Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :

قالَ : «ثمّ هُوَ سُبحانَه بعدَ ذلِكَ يقبِضُ قَبضةً فَيُخرِجُ قوماًلمَ يعمَلُوا خَيراً قَط ، يُرِيدُ إلاّ التّوحيدَ المجرّدَ عَن الأعمَالِ

“Beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kemudian setelah itu Allah menggenggam satu genggaman, lalu Allah mengeluarkan satu kaum yang belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun’. Maksudnya : Kecuali tauhid yang kosong dari amal (jawaarih)” [Fathul-Majiid, hal. 48, Cet. 7/1377].

Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

فيخرجون أولا من كان في قلبه مثقال دينار من إيمان، ثم الذي يليه، ثم الذي يليه، [ثم الذي يليه] حتى يخرجوا من كان في قلبه أدنى أدنى أدنى مثقال ذرة من إيمان ثم يخرج الله من النار من قال يومًا من الدهر: "لا إله إلا الله" وإن لم يعمل خيرًا قط، ولا يبقى في النار إلا من وجب عليه الخلود، كما وردت بذلك الأحاديث الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ ولهذا قال تعالى: { ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا }

“Lalu akan keluar pertama kali (dari neraka) orang-orang yang dalam hatinya terdapat keimanan seberat dinar, kemudian orang setelahnya, kemudian orang setelahnya. Hingga keluar dari dari mereka orang yang dalam hatinya terdapat keimanan seberat dzarrah. Kemudian Allah mengeluarkan dari neraka orang yang pernah mengucapkan Laa ilaaha illallaah ketika masa hidupnya, meskipun belum pernah beramal kebaikan sedikitpun. Dan tidaklah tersisa di neraka kecuali orang yang memang diwajibkan kekal di dalamnya, sebagaimana terdapat dalam hadits shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang lalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut’ (QS. Maryam : 72)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 5/256-257].

Asy-Syaikh Muhammad Khaliil Harraas rahimahullah berkata ketika mengomentari perkataan Ibnu Khuzaimah dalam kitab At-Tauhiid :

لا، بل ظاهرها : أنهم لم يعملوا خيرا قط كما صرح به في بعض الروايات أنهم جاءوا بإيمان مجرد لم يضموا إليه شيئا من العمل

“Tidak, bahkan maknanya sebagaimana dhahirnya : Bahwasannya mereka tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun sebagaimana dijelaskan dalam sebagian riwayat bahwasannya mereka datang dengan iman saja, tanpa menyertakan padanya amal sedikitpun” [Tahqiq Kitaab At-Tauhiid li-Ibni Khuzaimah, hal. 309].

Dan yang lainnya dari perkataan ulama.

حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ، ثنا عِيسَى بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنِي عَدِيُّ بْنُ عَدِيٍّ، قَالَ: كَتَبَ إِلَيَّ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: " أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الإِيمَانَ فَرَائِضُ، وَشَرَائِعُ، وَحُدُودٌ، وَسُنَنٌ، فَمَنِ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمِلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلِ الإِيمَانَ......"

Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Jariir bin Haazim: Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin ‘Aashim : Telah menceritakan kepadaku ‘Adiy bin ‘Adiy, ia berkata : “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah menulis surat kepadaku : ‘Amma ba’du, sesungguhnya iman itu berupa perkara-perkara yang diwajibkan, syari’at-syari’at, huduud, dan sunnah-sunnah. Barangsiapa yang menyempurnakannya, maka sempurna imannya. Dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka tidaklah sempurna imannya......” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iimaan no. 135; shahih].

Sisi pendalilan dari atsar ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah ini : Kewajiban dan syari’at-syari’at Islam dimasukkan olehnya (‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz) sebagai penyempurna iman yang barangsiapa meninggalkannya, maka imannya tidak sempurna, lagi tidak dikafirkan.

Asy-Syaikh Haafidh bin Ahmad Al-Hakamiy rahimahullah berkata :

و الفرق بين هذا و بين قول السلف الصالح أنَّ السلف لم يجعلوا كل الأعمال شرطاً في الصحة، بل جعلوا كثيراً منها شرطاً في الكمال، كما قال عمر بن عبد العزيز فيها: من استمكلها استكمل الإيمان، و من لم يستمكلها لم يستكمل الإيمان. و المعتزلة جعلوها كلها شرطاً في الصحة و الله أعلم

“Dan perbedaan antara perkatan ini dengan perkataan as-salafush-shaalih bahwasannya salaf tidak menjadikan semua amal sebagai syarat keshahihan (iman). Bahkan mereka menjadikan kebanyakan amal sebagai syarat kesempurnaan (iman), sebagaimana dikatakan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz padanya : ‘Barangsiapa yang menyempurnakannya, maka imannya sempurna. Dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka imannya tidak sempurna’. Adapun Mu’tazilah telah menjadikan seluruh amal sebagai syarat keshahihan iman.Wallaahu a’lam” [Ma’aarijul-Qabuul, hal. 446].

Mafhum perkataan Al-Baihaqiy di atas, bahwa ada sebagian ulama yang tidak berpendapat sebagaimana dijelaskan. Memang benar, ini tidak terlepas dari bahasan kafir tidaknya orang yang meninggalkan amal yang menjadi bagian dari rukun Islam yang empat. Para ulama berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana dikatakan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

وقد اتفق المسلمون على أنه من لم يأت بالشهادتين فهو كافر، وأما الأعمال الأربعة فاختلفوا في تكفير تاركها،

“Dan kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia kafir. Adapun amal-amal yang empat, para ulama berselisih pendapat akan pengkafiran yang meninggalkannya......” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/302].

Kemudian beliau menyebutkan pendapat-pendapat tersebut, yang diantaranya beliau berkata :

وخامسة‏:‏ لا يكفر بترك شيء منهن، وهذه أقوال معروفة للسلف‏

“Pendapat kelima, beliau (Ahmad bin Hanbal) tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan sesuatu dari keempat hal tersebut. Inilah pendapat-pendapat yang dikenal oleh salaf” [selesai].

Misalnya tentang permasalahan shalat, Abu Ismaa’iil Ash-Shaabuniy rahimahullah (373-449 H) berkata :

واختلف أهل الحديث في ترك المسلم صلاة الفرض متعمداً ؛ فكفره بذلك أحمد بن حنبل ، وجماعة من علماء السلف رحمهم الله أجمعين ، وأخرجوه به من الإسلام، للخبر الصحيح المروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (بين العبد والشرك ترك الصلاة ، فمن ترك الصلاة فقد كفر).

   وذهب الشافعي ، وأصحابه، وجماعة من علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين – إلى أنه لا يكفر به – ما دام معتقداً لوجوبها – وإنما يتوجب القتل كما يستوجبه المرتد عن الإسلام . وتأولوا الخبر : من ترك الصلاة جاحداً لها ؛ كما أخبر سبحانه عن يوسف عليه السلام أنه قال: (إني تركت ملة قوم لا يؤمنون بالله وهم بالآخرة هم كافرون) ، ولم يك تلبس بكفر ففارقه ؛ ولكن تركه جاحداً له.

“Ahlul-hadiits berselisih pendapat tentang keadaan seorang muslim yang meninggalkan shalat fardlu secara sengaja. Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – telah mengkafirkannya serta mengeluarkannya dari agama Islam. Hal itu berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Batas antara seorang hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir’.

Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa orang tersebut tidak dikafirkan dengannya, selama ia meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia wajib dibunuh (sebagai hadd) seperti halnya wajib dibunuhnya orang yang murtad dari Islam. Mereka menakwilkan hadits di atas dengan : ‘orang yang meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya’. Hal itu sebagaimana firman Allahsubhaanahu  tentang Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian’ (QS. Yuusuf : 37). Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena kekufuran yang samar, akan tetapi karena keingkaran mereka terhadap Allah dari hari kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84].

Maka, barangsiapa yang menghukumi/menganggap satu atau lebih amalan jawaarih dari rukun Islam yang empat yang bila ditinggalkan menyebabkan kekafiran (akbar),maka baginya amal tersebut bagian dari ashlul-imaan. Tidak sah keimanan seseorang kecuali dengannya.

Oleh karena itu tampak dari penjelasan di atas bahwa perselisihan apakah (sebagian) amal jawaarih masuk bagian dari ashlul-iimaan atau tidak, merupakan perselisihan di kalangan Ahlus-Sunnah. Bukan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dengan Murji’ah – sebagaimana klaim sebagian orang.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar